Tag Archive for: komunikasi pemberdayaan

Reading Time: 2 minutes

Inclusive schools, schools with teachers, students, curriculum, facilities, activities as well as a friendly vision and mission for students with various tendencies and talents. Many schools of this kind have been abandoned, and even tend to be forgotten by separating students with special needs in Special Schools (SLB), and non-special needs in public schools. There are various kinds of school readiness to realize inclusive schools; a school that is friendly to every child’s diversity and uniqueness.

This discussion about reconnecting inclusive communication spaces is a series of community service activities initiated by Holy Rafika Dhona, MA lecturer in Communication Studies at the Indonesian Islamic University FPSB in the Geography and Environmental Communication Research cluster. This discussion invited Ana Rukma Dewi from ECCD-RC (Early Childhood Care and Development Resource Center) an online information centre and early childhood service, Saturday 5 June 2021.

The discussion entitled ‘Reconnection 2021: the introduction of inclusive schools and their practice in Indonesia’ re-considered an inclusive learning space for all people who had been cut off by the separation of learning spaces for children with special needs (disabled) and without special needs ( non-ABK). “The room is a shared construction including a study room for ABK. So far, inclusive schools have been mere slogans,” said Dhona.

To see how long the school system is not inclusive to make it easier for participants to understand schooling practices in Indonesia, participants are invited to play. This game simulation is to set special requirements for participants who are allowed to take part in the game in the zoom breakroom room. The game begins by selecting participants who use wifi, use no cellphones, and have ID cards outside Jogja.

Those who do not meet these criteria will be eliminated. Many participants cannot enter because they use internet package quotas, use cellphones, and have Jogja ID cards. Participants who were unable to enter the breakroom were very sad and curious about what was happening there. That’s the school simulation that happened.

Schooling practices that have been said to be inclusive so far are still far from ideal. There are many provisions that must be prepared seriously by all parties, both the government, the school’s vision and mission, teachers, activities, as well as school facilities and infrastructure. In addition, it is also important to take into account the readiness of parents and students. “Are parents and other students prepared for the possible consequences side-by-side in inclusive schools?” said Ana.

The Event Further Get in This Info.

 

Reading Time: 2 minutes

Sekolah Inklusi, sekolah dengan guru, murid, kurikulum, fasilitas, kegiatan juga visi misi yang ramah bagi murid yang beragam kencenderungan dan bakat. Sekolah semacam ini sudah banyak ditinggalkan, bahkan cenderung dilupakan dengan memisah murid dengan kebutuhan khusus di Sekolah Luar Biasa (SLB), dan non kebutuhan khusus (non ABK) di sekolah umum. Ada berbagai macam kesiapan sekolah untuk mewujudkan sekolah inklusi; sekolah yang ramah pada setiap keragaman dan keunikan anak.

Diskusi tentang mengkoneksikan kebali ruang komunasi inklusi ini adalah sebuah rangkaian kegiatan pengabdian masyarakat yang inisiasi oleh Holy Rafika Dhona, MA dosen Ilmu Komunikasi FPSB Universitas Islam Indonesia di kluster Riset Geography and Enviromental Communication . Diskusi ini mengundang Ana Rukma Dewi dari ECCD-RC (Early Childhood Care and Development Resource Center) sebuah pusan informasi da layanan anak usia dini, Sabtu 5 Juni 2021 secara daring.

Diskusi dengan tajuk ‘Rekoneksi 2021: pengenalan sekolah inklusi dan praktiknya di Indonesia’ ini kembali kemngkonsikan ruang belajar yang inklusi bagi semua orang yang selama ini sempat terputus dengan ada pemisahan ruang belajar bagi anak-anak yang berkebutuhan khusus (difabel) dan tanpa kebutuhan khusus (non ABK).  “Ruang adalah kontrsuksi bersama termasuk juga ruang belajar untuk ABK. Sekolah inklusi selama ini sebatas slogan belaka, ”kata Dhona.

Untuk melihat betapa selama sistem sekolah tidak inklusi untuk memudahkan peserta memahami praktik persekolahan di Indonesia, peserta diajak untuk bermaian. Simulasi permainan ini adalah dengan menetapkan persyaratan khus bagi peserta yang boleh mengikuti permainan di ruang breakroom zoom. Permainan dimulai dengan menyeleksi peserta yag memakai pakai wifi, pakai bukan hape, ber KTP di luar jogja.

Mereka yang tidak masuk kriteria tersebut akan tereliminasi. Banyak peserta yang tidak bisa masuk karena menggunakan kuota paket internet, menggunakan ponsel, dan ber-KTP Jogja. Peserta yang tidak dapat masuk ruang breakroom sangat sedih dan penasaran dengan apa yang terjadi di sana. Begitulah simulasi persekolahan yang terjadi.

Praktik persekolahan yang selama ini dikatakan inklusi juga masih jauh ideal. Banyak ketentuan yang harus disiapkan secara serius oleh semua pihak, baik pemerintah, visi-misi sekolah, guru, kegiatan, juga fasilitas dan sarana prasarana sekolah. Selain itu juga penting untuk diperhitungkan kesiapannya juga adalah orang tua dan murid. “Apakah orang tua dan murid lain siap dengan konsekuesi yang mungkin muncul berdampingan di sekolah inklusi?” ungkap Ana.

Reading Time: 2 minutes

Di sebuah sekolah inklusi ada desain universal yang harus matang disiapkan. Desain ini harus juga diimani oleh semua pihak yang terlibat dalam proses belajar mengajar. Tak hanya guru melainkan juga orang dewasa lain. Desain itu biasa disebut Universal Design for Learning (UDL).

UDL adalah sebuah kerangka berpikir yang memungkinkan orang dewasa menyediakan beragam pilihan kepada anak. “Anak bisa terlibat memilih cara menyerap informasi dan mengekspesikan hasil belajarnya,” kata Ana Rukma Dewi dari ECCD-RC (Early Childhood Care and Development Resource Center), sebuah pusat informasi dan layanan anak usia dini, yang berbicara pada Sabtu, 5 Juni 2021 secara daring. Menurut Ana, cara pandang UDL ini harus memungkinkan tiga aspek pembelajaran yaitu Minat & Atensi, Penyerapan Informasi, dan Ekspresi.

Dalam aspek ‘minat dan atensi’, orang dewa dipercaya mampu merangsang motivasi dan mempertahankan antuasme siswa dalam beajar. Selain itu,dalam perpekttif UDL ini orang dewasa harus bisa mengenali minat dan kekuatan (potensi) anak.

Dalam aspek penyerapan informasi, orang dewasa dituntut untuk memeberikan informasi dan materi dengan berbagai cara agar siswa mampu memahaminya dengan mudah. Orang dewasa juga wajib untuk menyediakan bergam media belajar yang disesuaikan dengan gaya belajar anak.

Sedangkan dalam aspek ekspresi, orang dewasa harus mampu menawarkan berbagai pilihan dan dukungan agar setiap siswa dapat menciptakan, mempelajari, dan berbagi informasi sesuai dengan gaya dan ekpresi siswa. Orang dewasa juga harus menyediagam beragam metode penialain yang juga disesuaikan dengan ekspresi siswa.

Informasi dan materi dibuat dengan berbagai cara agar siswa mampu memahaminya dengan mudah. Orang dewasa juga wajib untuk menyediakan beragam media belajar yang disesuaikan dengan gaya belajar anak.

Holy Rafika Dhona, MA, Dosen Komunikasi UII, dan beberapa mahasiswa klaster riset ini menggelar diskusi ini sebagai rangkaian event pemberdayaan masyarakat dalam empat tema diskusi. Diskusi kali ini adalah diskusi yang pertama. Momen diskusi bersama Ana dari ECCDRC ini merupakan bagian dari implementasi kluster Riset Komunikasi UII yaitu klaster Geography and Environmental Communication.

Diskusi dengan tajuk ‘Rekoneksi 2021: pengenalan sekolah inklusi dan praktiknya di Indonesia’ ini berusaha mendiskusikan kembali ruang-ruang belajar bagi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Apakah ia sudah ideal, apakah masih sebatas jargon. “Ruang adalah konstruksi bersama termasuk juga ruang belajar untuk ABK. Sekolah inklusi selama ini sebatas slogan belaka, ”kata Dhona.

 

 

Reading Time: 2 minutes

In an inclusive school, there is a universal design that must be carefully prepared. This design must also be believed by all parties involved in the teaching and learning process. Not only teachers but also other adults. This design is known as Universal Design for Learning (UDL).

UDL is a framework that allows adults to provide a variety of choices to children. “Children can be involved in choosing how to absorb information and express their learning outcomes,” said Ana Rukma Dewi from ECCD-RC (Early Childhood Care and Development Resource Center), an early childhood information and service center, who spoke on Saturday, June 5, 2021 online. According to Ana, this UDL perspective must allow three aspects of learning, namely Interest & Attention, Information Absorption, and Expression.

In the aspect of ‘interest and attention’, the gods are believed to be able to stimulate motivation and maintain student enthusiasm in learning. In addition, in this UDL perspective, adults must be able to recognize the interests and strengths (potential) of children.

In the aspect of information absorption, adults are required to provide information and material in various ways so that students are able to understand it easily. Adults are also required to provide a variety of learning media that are adapted to children’s learning styles.

Whereas in the aspect of expression, adults must be able to offer various choices and support so that each student can create, learn, and share information according to the student’s style and expression. Adults must also provide a variety of assessment methods that are also adapted to students’ expressions.

Information and materials are made in various ways so that students can understand them easily. Adults are also required to provide a variety of learning media that are adapted to children’s learning styles.

Holy Rafika Dhona, MA, UII Communication Lecturer, and several students of this research cluster held this discussion as a series of community empowerment events in four discussion themes. This discussion is the first one. The moment of discussion with Ana from ECCDRC is part of the implementation of the UII Communication Research cluster, namely the Geography and Environmental Communication Research cluster.

The discussion entitled ‘Reconnection 2021: introduction of inclusive schools and their practice in Indonesia’ seeks to re-discuss learning spaces for Children with Special Needs (ABK). Is he already ideal, is it still just jargon? “The space is a joint construction including a study room for ABK. So far, inclusive schools have been mere slogans,” said Dhona.

 

 

 

 

 

Reading Time: 2 minutes

Kondisi difabel masih sering dianggap sebagai hambatan untuk berkarya. Sejatinya difabel tak ubahnya kebanyakan orang, memiliki kemampuan berbeda masing-masing. Ia bukan terbatas kemampuan (dis-able). Kemampuan tiap orang dapat diasah dengan program yang akomodatif sesuai kebutuhan dan potensinya. Termasuk program pemberdayaan sosial yang selama ini rutin digelar oleh Prodi Ilmu Komunikasi UII. Seperti apakah program yang melibatkan difabel oleh Komunikasi UII?

Vadhiya Rahma dan empat kawannya dari komunikasi UII angkatan 2018 menerobos stigma difabel. Ia mempelopori pelatihan produksi karya ‘tie dye’ di Komunitas Difabelzone.id. Tujuannya mengembangkan keterampilan dan meningkatkan taraf hidup bagi difabel.

“Ternyata bukan hanya kita yang berbagi ilmu ke mereka, sebaliknya justru kita mendapatkan banyak ilmu dari mereka,” ujar Vadhiya, pada Rabu (31/03/2021), ketika hadir secara daring di diskusi bulanan Pusat Studi dan Dokumentasi Media Alternatif (PSDMA) Nadim, Komunikasi UII. Menurutnya kondisi difabel bukanlah hambatan untuk berbisnis dan berkarya.

Stigma buruk terhadap difabel muncul karena memang masih banyak orang yang tidak mau kenal dan tidak mau tahu. Penggunaan diksi difabel pun sebenarnya belum banyak digunakan. Padahal kata ‘difabel’ (populer dikenal dari kependekan ‘different ability’), sebagai pilihan kata alternatif dibanding kata ‘disabilitas’ (disability) perlu selalu digaungkan.

Program yang ditawarkan Vadhiya dan tim tidak hanya memberikan pelatihan. Setelah hasil karya jadi, produk tie dye dipasarkan melalui media sosial. Program talkshow pun dilakukan. Talkshow bertajuk “How To Start Business in Young Age” memberikan inspirasi bisnis sekaligus upaya branding agar konten dapat menarik pembeli. Sementara itu, Vadhiya dan tim terbesit untuk melanjutkan program ini dengan skala yang lebih besar, seperti bazar online.

Program pelatihan ini juga didukung penuh oleh Komunitas Difabelzone.id yang sangat kooperatif. Disela acara, Irene Juliana salah satu pendamping komunitas Difabelzone.id menuturkan untuk tidak melihat teman-teman difabel sebagai orang yang mempunyai kemampuan terbatas, melainkan kemampuan yang berbeda. Ia juga menceritakan latar belakang berdirinya komunitas Difabelzone.id yang berdiri sejak 2016. Mulanya adalah Irene dan beberapa temannya melihat kurangnya fasilitas yang mengakomodir wirausaha difabel pada pasca program pelatihan keterampilan di salah satu yayasan difabel di Yogyakarta. Difabelzone.id menawarkan diri menjadi ruang alternatif bagi difabel untuk mandiri dan berkarya.

Di akhir acara, Vadhiya berharap program ini bisa menginspirasi siapa saja. Ia pun mengucapkan terimakasih kepada Difabelzone.id karena sudah diberi kesempatan untuk berbagi dan belajar. “Kita diterima dengan baik, makanya kita juga ingin memberikan feedback yang terbaik,” ucap Vadhiya di akhir sesi diskusi.

Reporter/ Penulis: Indria Juwita (Mahasiswa Ilmu Komunikasi UII angkatan 2017, Magang PSDMA Nadim Ilmu Komunikasi UII)

Editor: A. Pambudi W.

 

 

Reading Time: 2 minutes

Conditions with disabilities are still often seen as an obstacle to work. In fact, people with disabilities (diffable) is actually same as most people, have different abilities. They are not dis-able. Each person’s ability can be honed with an accommodating program according to their needs and potention. Including the social empowerment program that has been routinely held by the UII Department of Communication. What is the program involving the diffable by UII Communication’s students like?

Vadhiya Rahma and four of her friends from Deartment of Communication, class 2018 broke through the stigma of disabilities/ diffable person. She pioneered the production training for producing tie dye in the Difabelzone.id Community. The goal is to develop skills and improve the standard of living for diffable person.

“It turns out that not only us who share knowledge with them, on the contrary we get a lot of knowledge from them,” said Vadhiya, on Wednesday (31/03/2021), when she was present online at the monthly discussion of the Center for Alternative Media Studies and Documentation (PSDMA). Nadim, Department of Communications of UII. According to her, diffable persons are not an obstacle to doing business and working.

The bad stigma against diffables arises because there are still many people who do not want to know and do not want to know. The use of diffable diction is actually not widely used yet. Whereas the word ‘diffable’ (popularly known for its short form ‘different ability’), as an alternative word choice compared to the word ‘disability’ (dis-ability) needs to always be echoed.

Training and Marketing

The programs offered by Vadhiya and the team did not just provide training. After the work was finished, tie dye products marketed through social media. A program of talk show was held then. The talk show entitled “How To Start Business in Young Age” provides business inspiration as well as efforts branding so that content can attract buyers. Meanwhile, Vadhiya and her team were determined to continue this program on a larger scale, such as an online bazaar.

This training is also fully supported by the Difabelzone.id Community which is very cooperative. In between the event, Irene Juliana, one of the facilitators of the Difabelzone.id community, said not to see disabled friends as people with limited abilities, but different abilities. She also shared the background of the founding of the Difabelzone.id community which was founded in 2016.

Initially, Irene and some of her friends saw the lack of facilities to accommodate entrepreneurs with disabilities after a skills training program at one of the diffable foundations in Yogyakarta. Difabelzone.id offers itself to be an alternative space for people with disabilities to be independent and work.

At the end of the event, Vadhiya hoped that this program could inspire anyone. She also thanked Difabelzone.id because she had been given the opportunity to share and learn. “We are well received, that’s why we also want to give the best feedback,” said Vadhiya at the end of the discussion session.

Reporter / Author: Indria Juwita ( Department of Communications Student of UII, class of 2017, Internship in PSDMA Nadim, Department of  Communications of UII)

Editor: A. Pambudi W.

 

 

 

Reading Time: 2 minutes

Vadhiya Rahma Naisya mulai mengumpulkan beberapa bahan untuk besok. Dia dan lima teman lainnya sesama mahasiswa Komunikasi UII bikin gelaran pemberdayaan masyarakat di Komunitas Difabelzone, Pandak, Bantul pada Desember lalu. Meski peluh mengucur, pantang ia mengeluh. Vadhiya berprinsip, jika berbagi dapat menjadi berkah untuk sesama, tentu itu akan mendulang bahagia.

Bahan-bahan itu adalah pewarna, kain, dan beberapa alat lain untuk praktik membuat tie dye. Bagi yang belum tahu soal tie dye pasti mengernyit. Namun ternyata tie dye sudah dikenal bahkan sejak lama, terutama di jawa dengan nama jumputan. Mengajak teman-teman komunitas difabelzone membuat baju tie dye adalah keseruan tersendiri menurut Vadhiya. Betapa tidak, antusiasme dan hasil akhir yang tak terduga coraknya bikin jerih payah persiapan sana sini selama kurang lebih tiga pekan terbayar.

Meski pandemi mendera, dengan protokol kesehatan ketat, mereka merancang pelatihan pembuatan tie dye jadi semarak. Mbak Ila contohnya. Menurut penuturan Vadhiya, Mbak Ila yang difabel bisu, sangat tertarik dan aktif mengikuti petunjuk dan praktik pembuatan tie dye dari Vadhiya dan kawan-kawan. Vadhiya juga jadi belajar beragam hal, katanya. “Misal kalau Mbak Ila mau bertanya tentang teknik dan cara yang belum jelas, Vadhiya akan bertanya pada bu Irene. Dari penjelasan bu Irene, saya belajar juga soal cara berkomunikasi dengan bahasa isyarat,” papar Vadhiya.

“Rasanya dua hari pelatihan pembuatan Tie Dye masih kurang kalau ingat kebersamaan dan kekeluargaannya, bahkan kami dada-dada waktu pulang itu lama sekali,” kenang Vadhiya. “Saya senang dengan semangat dan kemauan belajarnya yang tinggi dari teman-teman difabel zone.”

Ia bersama tim melaksanakan pemberdayaan masyarakat untuk memenuhi mata kuliah Manajemen Program Komunikasi Non Komersil yang diampu oleh Puji Hariyanti, Dosen Komunikasi UII, spesialis Komunikasi Pemberdayaan. Puji bahkan mengapresiasi ide tie dye dengan komunitas difabel yang berdiri sejak 2016 ini, dan berharap dapat dilanjutkan kembali.

Bagaimana membuat pemeberdayaan masyarakat di tengah pandemi?

“Ya, go with the flow saja,” katanya. “Kami jalani seperti bermain. Nggak ada beban. Jadi meski ada yang di luar kota, kami berbagi tugas yang bisa dilakukan dari luar kota,” jelas Vadhiya. Justru ketika dibawa santai dan menaati protokol, segalanya yang di awal rasanya sulit, menjadi mudah.
“Banyak orang bilang difabel itu kekurangan, justru saya bilang bukan, yang betul adalah teman-teman difabel itu punya banyak kelebihan,” tutur Irene Juliana, pendamping Komunitas Difabel Zone.

Vadhiya mengungkapkan bahwa sebelumnya teman-teman komunitas difabelzone ini telah lama bisa membatik. Dari situ terlihat bagaimana kerapian dan ketekunan dalam berkarya mewujud. “Kami pas pulang itu rasanya pengin bisa seminggu di sana, kami belajar banyak soal berkarya,” kata Vadhiya dalam kesempatan diskusi bulanan yang diselenggarakan oleh Pusat Studi dan Dokumentasi Media Alternatif (PSDMA) Nadim Komunikasi UII pada 31 Maret 2021.

 

 

Lanjutan cerita klik di sini

 

Reading Time: 2 minutes

Sambungan dari Berdaya Bersama..

Sara fadila, salah satu anggota tim pemberdayaan ini juga berpendapat. “Respon mereka yang positif sekali membuat saya bahagia. Saya bahagia juga bisa mencoba hal baru. Mereka penuh semangat, dan itu yang bikin berkesan buat saya,” katanya.

Menurut Irene, anggota komunitas difabelzone mulanya ikut kegiatan membatik di Yayasan Kristen untuk Kesehatan Umum (YAKKUM). Salah satu pengajarnya adalah bagian dari difabelzone.id. “Awalnya setelah pelatihan tiga bulan, habis itu selesai. Karya mereka mau diapain bingung. Lalu saya, Ada bu wuri, dan ibu yang lain, memfasilitasi teman-teman difabel zone yang punya kelebihan. Awalnya enam orang. Akhirnya nambah terus lagi,” cerita Irene.

Setelah berlatih terus, setelah dua tahun siap karya-karya komunitas ini dipasarkan. “Dan puji tuhan alhamdulillah kami dapat tempat gratis pameran di jakarta dan ada sebagian karya kami dibeli duta besar Srilanka. Dua bulan lalu karya mereka juga ada yang terbang ke amerika,” ungkap Irene.
“Pada intinya kami ingin membantu teman difabel bisa mandiri. Bisa menghasilkan uang dan mereka bisa membantu keluarga,” lanjut Irene.

Bagaimana kabar penjualan produk batik pada masa pandemi?

“Difabelzone sebelum pandemi itu kami titip jual di mirota malioboro, di baim wong, dan ada di beberapa tempat. Pada saat pandemi corona itu semua berhenti. Kami berpikir ini mau tidak mau teman-teman difabel harus bisa tetap menghasilkan uang,” kata Irene menceritakan dampak pandemi pada komunitas ini. Akhirnya penjualan berjalan dari teman ke teman. “So far masih berjalan,” imbuh Irene.

Belakangan, komunitas ini juga mendapat kepercayaan dari salah satu perusahaan besar. Karya mereka jadi merchandise perusahaan. Perlahan-lahan bisa akhirnya. “Terima kasih pada teman-teman UII sudah berkenan datang dan sudah berbagi berkah. Berkat buat yg diberi dan yang memberi.

Vadhiya mengharapkan semoga apa yang mereka lakukan dapat membuka mata orang yang selama ini menganggap difabel sebelah mata. “Oh tidak, kita selama ini yang tidak sadar, tidak mau, dan tidak mau tahu. Padahal ketika saya ke sana, saya yang harus belajar banyak dari mereka. Mereka itu membatik itu rapi, kalau dilihat itu sudah seperti kerajinan yang bagus sekali. Bagusnya tanpa tapi dan tanpa cuma,” kata Vadhiya mengapresiasi.

Ifa Zulkurnaini, pemandu diskusi Nadim Komunikasi UII ini menyimpulkan, stigma buruk pada difabel di sekitar kita itu muncul karena kita yang tidak mau tahu dan tidak berbaur. Proses perkenalan itu harus natural. Tidak dibuat-buat. Kalau itu dilakukan tulus, tentu pemberdayaan akan lebih mengena di hati kata dia menutup diskusi.

Reading Time: 3 minutes

Setahun belakangan Covid-19 menjadi fokus. Ia mengubah banyak hal. Termasuk pemberdayaan sosial yang selama ini rutin digelar oleh Prodi Ilmu Komunikasi UII. Mahasiswa dan akademisi, sebagai agen perubahan, adalah aktor utama dalam pemberdayaan dan perubahaan sosial di tengah-tengah masyarakat. Namun kala pandemi mendera, bagaimana pemberdayaan bisa tetap terlaksana?

Salammatul Putri dan empat kawannya dari Komunikasi UII angkatan 2018 hadir dengan solusi digital. Ia menggagas pemberdayaan digital. Sasarannya adalah menerobos beragam kendala dalam pembelajaran jarak jauh (PJJ) kata Salam pada Selasa (23/03/2021). “

Awalnya ada dua ide, tapi akhirnya kami memilih melakukan edukasi literasi digital lewat instagram,” kata Salam, ketika hadir secara daring di Pusat Studi dan Dokumentasi Media Alternatif (PSDMA) Nadim Komunikasi UII. Menurutnya, Ia melihat PJJ selama ini tidak efekti. Apalagi hanya menggunakan WhatsApp (WA), sebuah aplikasi perpesanan terpopuler di Indonesia saat ini versi Laporan Survei Internet Apjii 2019–2020. Selain lewat Instagram, Salam juga berbagi keterampilan menggunakan beragam aplikasi dari Google pada guru-guru dengan protokol kesehatan yang ketat.

Salam dan tim mensistematiskan gagasan pemberdayaannya dengan tajuk Digitalisasi & Pandemi: Kampanye Penggunaan Media Digital di MTSN 1 Pasir Talang, Solok Selatan. Gagasan yang akhirnya diwujudkan satu bulan ini mendapat respon yang tidak sedikit dari peserta diskusi. Misalnya Pambudi, salah satu peserta bertanya, bagaimana proses kemunculan ide ini. Apalagi jika dicermati, antaranggota timnya, bernama sfh_online, saling terpaut jarak karena kebijakan jaga jarak selama pandemi Covid-19. Bagaimana menyatukan ide dengan tim yang berbeda ide dan jarak.

Salam menjawab, ide pemberdayaannya mulanya ada dua. Pertama, kampanye literasi digital SFH. Kedua adalah penguatan UMKM di tengah keterpurukan ekonomi kala pandemi. Namun setelah dilihat dari beragam pertimbangan, Salam dan tim merasa lebih cocok mendapuk SFH sebagai rencana utama dalam pemberdayaan.

Tentunya tak mudah menggarap pemberdayaan sosial yang mulanya luring sekarang secara daring. Salam berbagi tips dan langkah-langkah agar bisa melakukan pemberdayaan digital.

Pertama, Anda harus peka dahulu pada lingkungan. Salam mengatakan peka terhadap lingkungan adalah kunci. “Kita kan makhluk sosial, dengan kepeduliaan kita bisa tahu masalah di sekeliling kita. Barulah kita bisa melakukan pemberdayaan dan menciptakan perubahan,” katanya.

Kedua, lakukan perubahan sekarang. Tidak ditunda. “Ya walaupun sedikit, yang penting bisa bermanfaat di masyarakat,” imbuhnya. Ketiga, “Kita butuh dan membutuhkan orang lain dalam tim. Kunci bekerja dalam tim adalah menghargai pendapat tiap anggota,” paparnya membeberkan pengalamannya berembuk dalam tim. Pandemi tidak bisa menjadi alasan. Banyak sarana yang bisa digunakan untuk berdiskusi menentukan program pemberdayaan. Salam menggunakan Zoom atau juga bertelepon.

Keempat, “ketahui dulu permasalahan dari lokasi atau tempat sasaran pemberdayaan,” kata Salam mewanti-wanti. Pada gilirannya, pemetaan masalah di sasaran pemberdayaan dapat membantu merancang program. Sebaliknya, keliru memetakan, bisa jadi salah pula dalam menentukan program. Salam menjelaskan bahwa pengabdian masyarakat yang ia lakukan di MTSn 1 Pasir Talang, Solok Selatan, ini mengajarkan penggunakan google classroom. Selama ini PJJ dilakukan lewat WA dirasa kurang efektif.

Meski begitu, tidak hanya menggunakan google classroom, melainkan juga pembelajaran fitur google classroom, kahoot, dll. Jadi ada pembelajaran yg tidak monoton atau tidak membosankan kata Salam.

Respon Peserta

Ada pelbagai testimoni dari guru setelah program pemberdayaan ini dilakukan oleh Salam dan tim. Beberapa dari mereka sangat berterima kasih dengan program ini. Tak hanya itu, Salam juga selalu memperbarui perkembangan penggunaan aplikasi para peserta pascapelatihan dan sosialisasi. Di tengah praktik pembelajaran, ada juga guru-guru yang masih bertukar pesan menghubungi dan berkonsultasi ketika ada kendala menggunakan aplikasi.

Misalnya, ada seorang guru yang lupa cara menggunakan aplikasi Kahoot. Ia berikan solusi lewat pesan WA, atau telepon. Salam juga menyarankan untuk mengikuti beragam pembaruan konten di akun instagram Sfh_online.

Salam berpesan pada seluruh mahasiswa Komunikasi UII, program sosial seperti ini harus terus dilakukan. Sebab sangat penting dan memberi solusi atas beragam permasalahan masyarakat. “Kalau ada pemberdayaan lain, lakukan semaksimal mungkin, karena ke depannya itu akan banyak berguna untuk kita semua, nantinya,” pesan Salam di akhir sesi diskusi.


Reporter/ Penulis: Indria Juwita (Mahasiswa Ilmu Komunikasi UII angkatan 2017, Magang PSDMA Nadim Ilmu Komunikasi UII) dan A. Pambudi W

Reading Time: 2 minutes

Pandemi menjadi tantangan baru bagi sekolah. Pasalnya, belum semua guru memiliki keterampilan dan literasi digital yang memadai dalam menggunakan media pembelajaran jarak jauh (PJJ). Sekolah daring menjadi kendala. Belajar menjadi kurang efektif. Maka dari itulah pemberdayaan digital bertajuk School From Home (SFH) hadir menjawab tantangan tersebut.

Salammatul Putri, Mahasiswa Ilmu Komunikasi UII Angkatan 2018, mengatakan, bahwa PJJ selama ini menuntut guru dan siswa harus mampu tak hanya beradaptasi melainkan juga berkreasi dan berinovasi di tengah pandemi. Jika tidak, belajar di sekolah bisa berujung kebosanan bahkan ketidakefektifan. Salam, karenanya, bersama keempat rekannya sesama mahasiswa Komunikasi UII, berinisiatif membuat program Literasi Digital di MTSN 1 Pasir Talang, Solok Selatan.

“Program ini adalah salah satu bentuk pemberdayaan yang diharapkan memberikan manfaat dan menciptakan perubahan pembelajaran di tengah PJJ,” kata Salam, pada Selasa (23/03/2021), via Zoom Meeting dalam diskusi bulanan Pusat Studi dan Dokumentasi Media Alternatif (PSDMA) Nadim Komunikasi UII.

Salam menuturkan, “Mulanya idenya beragam. Saya sempat riset kecil-kecilan. Saya lihat sistem pembelajaran di sekolah sepupu saya hanya menggunakan media WhatsApp,”  Ujar Salam, dalam diskusi berjudul Digitalisasi & Pandemi: Kampanye Penggunaan Media Digital di MTSN 1 Pasir Talang, Solok Selatan.

Apa yang Salam dan kawan-kawannya lakukan adalah hasil dari matakuliah Manajemen Program Pemberdayaan Nonkomersil. Program pemberdayaan ini dilakukan dengan dua model. Pertama, dengan melakukan kampanye literasi digital penggunaan beragam aplikasi digital untuk mempermudah PJJ. Kedua, dengan sosialisasi dan pendampingan penggunaan aplikasi digital untuk pembelajaran di MTSN 1 Pasir Talang.

Lewat Daring dan Luring

Salam dan tim kemudian berinisiatif membuat konten literasi digital di Instagram bernama sfh_online. Konten-konten ini mencoba mengatasi kendala-kendala PJJ yang selama ini bersliweran di jagat maya. Salam juga bekerja sama dengan Komunitas Remaja Solok Selatan bernama Share To Care untuk membantu mempromosikan konten-konten tersebut.

Program yang dilaksanakan selama satu bulan ini memuat konten instagram yang beragam. Misalnya, ada konten soal tips penggunaan aplikasi Google Classroom, tips belajar dan sukses menghadapi ujian, dan juga beberapa konten menarik seperti curhatan pelajar selama bersekolah di tengah pandemi. Curhatannya variatif. Mulai dari sakit mata hingga sakit pinggang.

Kemudian ada pula konten fakta unik dan kata motivasi. Tujuannya agar menambah pengetahuan pelajar dan memotivasi siswa agar belajar terasa menyenangkan. Tentu tidak melulu tips, ada juga kuis. Kutipan-kutipan inspiratif dari tokoh-tokoh besar juga tak ketinggalan.

Selain kampanye digital, sosialisasi juga dilakukan guna memperkenalkan aplikasi belajar mengajar online kepada guru di sekolah. Aplikasi itu misalnya Google Classroom dan Google Meet. Tak hanya itu, guru-guru MTSN 1 Pasir Talang juga berlajar bersama membuat kuis lewat aplikasi Kahoot. Berjalan beberapa hari, dampak dari program Salam dan tim mulai dirasakan. Ada perubahan sedikit demi sedikit dari proses belajar mengajar. Guru-guru mulai ada yang telah menggunakan aplikasi online yang Salam perkenalkan. Guru dan siswa juga belakangan juga memberi respon baik. Mereka melontarkan ucapan terima kasih atas manfaat pengetahuan sekaligus keharuan atas manfaat dari program pemberdayaan ini.


Reporter/ Penulis: Indria Juwita (Mahasiswa Ilmu Komunikasi UII angkatan 2017, Magang PSDMA Nadim Ilmu Komunikasi UII)

Editor: A. Pambudi W