Berdaya Bersama dengan Tie Dye (1)

Reading Time: 2 minutes

Vadhiya Rahma Naisya mulai mengumpulkan beberapa bahan untuk besok. Dia dan lima teman lainnya sesama mahasiswa Komunikasi UII bikin gelaran pemberdayaan masyarakat di Komunitas Difabelzone, Pandak, Bantul pada Desember lalu. Meski peluh mengucur, pantang ia mengeluh. Vadhiya berprinsip, jika berbagi dapat menjadi berkah untuk sesama, tentu itu akan mendulang bahagia.

Bahan-bahan itu adalah pewarna, kain, dan beberapa alat lain untuk praktik membuat tie dye. Bagi yang belum tahu soal tie dye pasti mengernyit. Namun ternyata tie dye sudah dikenal bahkan sejak lama, terutama di jawa dengan nama jumputan. Mengajak teman-teman komunitas difabelzone membuat baju tie dye adalah keseruan tersendiri menurut Vadhiya. Betapa tidak, antusiasme dan hasil akhir yang tak terduga coraknya bikin jerih payah persiapan sana sini selama kurang lebih tiga pekan terbayar.

Meski pandemi mendera, dengan protokol kesehatan ketat, mereka merancang pelatihan pembuatan tie dye jadi semarak. Mbak Ila contohnya. Menurut penuturan Vadhiya, Mbak Ila yang difabel bisu, sangat tertarik dan aktif mengikuti petunjuk dan praktik pembuatan tie dye dari Vadhiya dan kawan-kawan. Vadhiya juga jadi belajar beragam hal, katanya. “Misal kalau Mbak Ila mau bertanya tentang teknik dan cara yang belum jelas, Vadhiya akan bertanya pada bu Irene. Dari penjelasan bu Irene, saya belajar juga soal cara berkomunikasi dengan bahasa isyarat,” papar Vadhiya.

“Rasanya dua hari pelatihan pembuatan Tie Dye masih kurang kalau ingat kebersamaan dan kekeluargaannya, bahkan kami dada-dada waktu pulang itu lama sekali,” kenang Vadhiya. “Saya senang dengan semangat dan kemauan belajarnya yang tinggi dari teman-teman difabel zone.”

Ia bersama tim melaksanakan pemberdayaan masyarakat untuk memenuhi mata kuliah Manajemen Program Komunikasi Non Komersil yang diampu oleh Puji Hariyanti, Dosen Komunikasi UII, spesialis Komunikasi Pemberdayaan. Puji bahkan mengapresiasi ide tie dye dengan komunitas difabel yang berdiri sejak 2016 ini, dan berharap dapat dilanjutkan kembali.

Bagaimana membuat pemeberdayaan masyarakat di tengah pandemi?

“Ya, go with the flow saja,” katanya. “Kami jalani seperti bermain. Nggak ada beban. Jadi meski ada yang di luar kota, kami berbagi tugas yang bisa dilakukan dari luar kota,” jelas Vadhiya. Justru ketika dibawa santai dan menaati protokol, segalanya yang di awal rasanya sulit, menjadi mudah.
“Banyak orang bilang difabel itu kekurangan, justru saya bilang bukan, yang betul adalah teman-teman difabel itu punya banyak kelebihan,” tutur Irene Juliana, pendamping Komunitas Difabel Zone.

Vadhiya mengungkapkan bahwa sebelumnya teman-teman komunitas difabelzone ini telah lama bisa membatik. Dari situ terlihat bagaimana kerapian dan ketekunan dalam berkarya mewujud. “Kami pas pulang itu rasanya pengin bisa seminggu di sana, kami belajar banyak soal berkarya,” kata Vadhiya dalam kesempatan diskusi bulanan yang diselenggarakan oleh Pusat Studi dan Dokumentasi Media Alternatif (PSDMA) Nadim Komunikasi UII pada 31 Maret 2021.

 

 

Lanjutan cerita klik di sini