Pengabdian Masyarakat: Menghubungkan kembali Ruang Komunikasi Pembelajaran Inklusi

Reading Time: 2 minutes

Sekolah Inklusi, sekolah dengan guru, murid, kurikulum, fasilitas, kegiatan juga visi misi yang ramah bagi murid yang beragam kencenderungan dan bakat. Sekolah semacam ini sudah banyak ditinggalkan, bahkan cenderung dilupakan dengan memisah murid dengan kebutuhan khusus di Sekolah Luar Biasa (SLB), dan non kebutuhan khusus (non ABK) di sekolah umum. Ada berbagai macam kesiapan sekolah untuk mewujudkan sekolah inklusi; sekolah yang ramah pada setiap keragaman dan keunikan anak.

Diskusi tentang mengkoneksikan kebali ruang komunasi inklusi ini adalah sebuah rangkaian kegiatan pengabdian masyarakat yang inisiasi oleh Holy Rafika Dhona, MA dosen Ilmu Komunikasi FPSB Universitas Islam Indonesia di kluster Riset Geography and Enviromental Communication . Diskusi ini mengundang Ana Rukma Dewi dari ECCD-RC (Early Childhood Care and Development Resource Center) sebuah pusan informasi da layanan anak usia dini, Sabtu 5 Juni 2021 secara daring.

Diskusi dengan tajuk ‘Rekoneksi 2021: pengenalan sekolah inklusi dan praktiknya di Indonesia’ ini kembali kemngkonsikan ruang belajar yang inklusi bagi semua orang yang selama ini sempat terputus dengan ada pemisahan ruang belajar bagi anak-anak yang berkebutuhan khusus (difabel) dan tanpa kebutuhan khusus (non ABK).  “Ruang adalah kontrsuksi bersama termasuk juga ruang belajar untuk ABK. Sekolah inklusi selama ini sebatas slogan belaka, ”kata Dhona.

Untuk melihat betapa selama sistem sekolah tidak inklusi untuk memudahkan peserta memahami praktik persekolahan di Indonesia, peserta diajak untuk bermaian. Simulasi permainan ini adalah dengan menetapkan persyaratan khus bagi peserta yang boleh mengikuti permainan di ruang breakroom zoom. Permainan dimulai dengan menyeleksi peserta yag memakai pakai wifi, pakai bukan hape, ber KTP di luar jogja.

Mereka yang tidak masuk kriteria tersebut akan tereliminasi. Banyak peserta yang tidak bisa masuk karena menggunakan kuota paket internet, menggunakan ponsel, dan ber-KTP Jogja. Peserta yang tidak dapat masuk ruang breakroom sangat sedih dan penasaran dengan apa yang terjadi di sana. Begitulah simulasi persekolahan yang terjadi.

Praktik persekolahan yang selama ini dikatakan inklusi juga masih jauh ideal. Banyak ketentuan yang harus disiapkan secara serius oleh semua pihak, baik pemerintah, visi-misi sekolah, guru, kegiatan, juga fasilitas dan sarana prasarana sekolah. Selain itu juga penting untuk diperhitungkan kesiapannya juga adalah orang tua dan murid. “Apakah orang tua dan murid lain siap dengan konsekuesi yang mungkin muncul berdampingan di sekolah inklusi?” ungkap Ana.