Berdaya Bersama dengan Tie Dye (2)

Reading Time: 2 minutes

Sambungan dari Berdaya Bersama..

Sara fadila, salah satu anggota tim pemberdayaan ini juga berpendapat. “Respon mereka yang positif sekali membuat saya bahagia. Saya bahagia juga bisa mencoba hal baru. Mereka penuh semangat, dan itu yang bikin berkesan buat saya,” katanya.

Menurut Irene, anggota komunitas difabelzone mulanya ikut kegiatan membatik di Yayasan Kristen untuk Kesehatan Umum (YAKKUM). Salah satu pengajarnya adalah bagian dari difabelzone.id. “Awalnya setelah pelatihan tiga bulan, habis itu selesai. Karya mereka mau diapain bingung. Lalu saya, Ada bu wuri, dan ibu yang lain, memfasilitasi teman-teman difabel zone yang punya kelebihan. Awalnya enam orang. Akhirnya nambah terus lagi,” cerita Irene.

Setelah berlatih terus, setelah dua tahun siap karya-karya komunitas ini dipasarkan. “Dan puji tuhan alhamdulillah kami dapat tempat gratis pameran di jakarta dan ada sebagian karya kami dibeli duta besar Srilanka. Dua bulan lalu karya mereka juga ada yang terbang ke amerika,” ungkap Irene.
“Pada intinya kami ingin membantu teman difabel bisa mandiri. Bisa menghasilkan uang dan mereka bisa membantu keluarga,” lanjut Irene.

Bagaimana kabar penjualan produk batik pada masa pandemi?

“Difabelzone sebelum pandemi itu kami titip jual di mirota malioboro, di baim wong, dan ada di beberapa tempat. Pada saat pandemi corona itu semua berhenti. Kami berpikir ini mau tidak mau teman-teman difabel harus bisa tetap menghasilkan uang,” kata Irene menceritakan dampak pandemi pada komunitas ini. Akhirnya penjualan berjalan dari teman ke teman. “So far masih berjalan,” imbuh Irene.

Belakangan, komunitas ini juga mendapat kepercayaan dari salah satu perusahaan besar. Karya mereka jadi merchandise perusahaan. Perlahan-lahan bisa akhirnya. “Terima kasih pada teman-teman UII sudah berkenan datang dan sudah berbagi berkah. Berkat buat yg diberi dan yang memberi.

Vadhiya mengharapkan semoga apa yang mereka lakukan dapat membuka mata orang yang selama ini menganggap difabel sebelah mata. “Oh tidak, kita selama ini yang tidak sadar, tidak mau, dan tidak mau tahu. Padahal ketika saya ke sana, saya yang harus belajar banyak dari mereka. Mereka itu membatik itu rapi, kalau dilihat itu sudah seperti kerajinan yang bagus sekali. Bagusnya tanpa tapi dan tanpa cuma,” kata Vadhiya mengapresiasi.

Ifa Zulkurnaini, pemandu diskusi Nadim Komunikasi UII ini menyimpulkan, stigma buruk pada difabel di sekitar kita itu muncul karena kita yang tidak mau tahu dan tidak berbaur. Proses perkenalan itu harus natural. Tidak dibuat-buat. Kalau itu dilakukan tulus, tentu pemberdayaan akan lebih mengena di hati kata dia menutup diskusi.