Tag Archive for: Indonesia

Horor
Reading Time: 2 minutes

Film horor menjadi genre paling diminati penonton Indonesia, terbukti dari 10 deretan film terlaris 3 diantaranya diisi genre tersebut. Sepanjang tahun 2024 saja setidaknya ada 12 film horor yang telah tayang di bioskop. Sineas Indonesia nampaknya berlomba-lomba untuk memenangkan pasar. Sayangnya, unsur religi yang menjadi jalan pintas seolah jadi strategi ampuh.

Menampilkan adegan komedi, seks, dan religi menjadi bentuk normalisasi film horor Indonesia. Jadi tak heran jika ketiga unsur tersebut tak boleh absen dalam proses produksinya. Namun belakangan kritik keras soal ritual ibadah dalam tren film horor dilayangkan oleh Gina S. Noer sutradara Indonesia.

“Kebanyakan film horor menggunakan sholat, doa, dzikir dan lain-lain Cuma jadi pilot devices murahan untuk jumpscare karakternya diganggu setan. Sehingga kelemahan iman bukan lagi menjadi eksploitasi kritik terhadap keislaman yang dangkal. Tapi cara dangkal biar cepat seram,” tulisnya pada story Instagram beberapa waktu lalu.

Meski kritik tersebut ramai-ramai dibagikan, nyatanya penikmat film horor dengan eksploitasi agama tak menurun. Tercatat film Siksa Kubur karya Joko Anwar ditonton lebih dari 4 juta penonton.

Horor adalah kata yang kuat. Kata ini membangkitkan perasaan benci, jijik, enggan, takut, dan teror. Peristiwa mengerikan terjadi di dunia kita setiap hari, jadi wajar saja jika peristiwa-peristiwa ini masuk ke dalam imajinasi kolektif kita melalui literatur, film, dan bentuk-bentuk seni dan wacana populer lainnya. (ISLE: Interdisciplinary Studies in Literature and Environment, Volume 21, Issue 3, Summer 2014)

Mempertimbangkan Genre Ecohoror

Salah satu tawaran solusi bagi sineas Indonesia untuk mengeksplorasi terhadap religiusitas disampaikan oleh salah satu dosen Ilmu Komunikasi UII, Khumaid Akhyat Sulkhan, S.I.Kom, M.A. ia berpendapat bahwa genre ecohorror bisa menjadi pilihan.

Terlebih Indonesia sebagai negara dengan polemic isu lingkungan tak terselesaikan genre ecohorror layak menjadi sarana edukasi dan mempromosikan kesadaran ekologis dan tentunya mempresentasikan krisis ekologis yang nyata.

“Di industri perfilman luar negeri, isu lingkungan dan cerita horor sudah sering dipertemukan dalam genre ecohorror. Genre ini mengacu pada cerita-cerita mengenai alam yang membalas perbuatan eksploitatif manusia,” tulisnya dalam laman The Conversation.

Ecohoror mampu mengeksplorasi cerita yang berhubungan antara manusia, alam, dan makhluk hidup lainnya. Sebut saja film Godzilla (1954)—monster yang bangkit akibat ledakan bom nuklir.

“Liputan Project Multatuli juga menegaskan alam sebagai entitas yang aktif. Pohon yang seolah menolak ditebang, batu yang tidak bisa dihancurkan, berikut kisah-kisah ganjil yang menyertainya, adalah fenomena-fenomena yang menunjukkan bahwa alam memiliki cara tersendiri untuk melawan gencarnya pembangunan infrastruktur oleh negara,” tambahnya.

“Hal ini menegaskan potensi ecohorror untuk dikembangkan di Indonesia sebagai alternatif dari tayangan horor yang terjebak dalam narasi agama. Riset tahun 2022 sudah membuktikan bahwa film horor merupakan salah satu genre terfavorit masyarakat kita. Sehingga, ecohorror sebagai sub-genre film horor punya peluang untuk diminati sebagaimana film-film hantu lainnya,” tandasnya.

Artikel selengkapnya dapat diakses melalui laman https://theconversation.com/ecohorror-alternatif-untuk-film-horor-religi-di-indonesia-229812

 

 

 

Bullying
Reading Time: 2 minutes

International Stand up to Bullying Day atau hari internasional menentang bullying selalu diperingati setiap bulan Februari dan November. Untuk bulan Februari selalu diperingati pada hari Jumat terakhir, yakni tepat pada tanggal 23 Februari 2024. Sementara di bulan November diperingati pada Jumat ketiga.

Merujuk pada laman National Today, tujuan dari International Stand Up to Bullying adalah untuk menciptakan empati dan menghentikan perundungan dan pelecehan. Hal ini perlu disuarakan lebih masif karena bullying memiliki efek jangka panjang pada kesehatan mental seseorang.

Lantas bagaimana dengan kondisi di Indonesia? Menurut data yang dihimpun oleh Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) setidaknya terdapat 30 kasus bullying di sekolah sepanjang 2023. Bullying paling banyak terjadi pada tingkat SMP sebanyak 50%, disusul tingkat SD 30%, dan SMA sederajat 20%.

Baru-baru ini kasus bullying salah satu siswa SMA menjadi perhatian publik, Vincent Rompies sebagai orangtua yang anaknya tengah terlibat dalam kasus tersebut sempat dimintai keterangan dari pihak kepolisian. Pria berusia 43 tahun itu mengucapkan ungkapan empati atas peristiwa tak terpujin yang dilakukan sang anak dan menyerahkan segala proses hukum kepada pihak berwajib.

“Saya sangat berempati atas kejadian atau peristiwa yang terjadi saat ini. Dan juga harapannya semoga tidak ada lagi peristiwa-peristiwa atau kejadian seperti ini di masa mendatang, baik di lingkungan sekolah atau di lingkungan terdekat. Semuanya tidak ada lagi,” ucap Vincent Rompies dilansir dari laman HaiBunda.

Perlu diketahui di Indonesia pelaku bullying dapat dipidana, mengacu pada UU No. 35 tahun 2014 tentag Perlindungan Anak, Pasal 76C dijelaskan bahwa setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasn terhadap anak.

Sementara Pasal Hukum Bullying dalam KUHP diatur dan dijamin dalam UUD 1945 Pasal 28B ayat (2), setiap anao berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Beberapa pasal salah satunya Pasal 170 KUHP pelaku bullying dapat dipidana penjara enam bulan hingga lima tahun.

Meski demikian, kasus bullying di Indonesia tak terelakan. Maka sebagai masyarakat di Indonesia kita perlu bersuara mengenai International Stand up to Bullying Day. Selain berdampak pada kesehatan mental dan fisik fakta menyebutkan di Amerika bullying menjadi isu yang serius ditangani, 1 dari 5 siswa berusia 12 hingga 18 tahun mengalami perundungan. Tak hanya itu setidaknya 160.000 anak putus sekolah atas hal ini.

Salah satu staf Prodi Ilmu Komunikasi UII yang berinisial DP bercerita soal pengalamannya yang menerima perundungan sepanjang masa sekolah merasa International Stand up to Bullying Day adalah hal yang sangat diterima dan perlu diimplikasi oleh masyarakat Indonesia.

“Harapannya kesadaran ini perlu dibangun di sekolah maupun di rumah. Saya tidak tahu bagaimana kalau di sekolah, semoga ada materi yang memberi pengetahuan tentang kesehatan mental akibat bullying, apa saja tindakan yang berpotensi menyakiti orang lain. Mungkin perlu ya merayakan dengan saling meminta maaf berjabat tangan di sekolah. Sementara untuk orangtua penting juga mengetahui pengetahuan ini,” ujarnya.

Dampak bullying yang dialami sepanjang masa sekolah membuatnya mengubah banyak hal dalam kehidupannya. Ia merasa menjadi sosok yang takut, menghindari kelompok-kelompok yang mendominasi, dan cenderung diam. Bahkan DP mengubah style fashionnya, dari yang gemar mengenakan outfit pink menjadi gelap seperti hitam dan abu-abu karena tak ingin terlihat oleh pandangan orang lain.

Di Amerika International Stand up to Bullying Day diperingati dengan beberapa hal, pertama mengenakan outfit berwarna pink sebagai bentuk dukungan kepada korban. Kedua meningkatkan kesadaran, salah satunya membagikan informasi terkait bullying di media sosial dan cara mengambil langkah-langkah hukum. Terakhir, membuat event di lingkungan kerja dan mengajak rekan-rekan lainnya untuk merayakan hari anti bullying.

Lantas bagaimana menurutmu Comms? Apakah ingin turut merayakan International Stand up to Bullying Day demi keadilan.

 

 

Penulis: Meigitaria Sanita

Reading Time: 4 minutes

Sebuah catatan menarik yang ditulis oleh Prof. Dr. rer. soc. Masduki, S.Ag., M.Si., salah satu dosen prodi Ilmu Komunikasi UII yang berkesempatan menjalani program visiting lecturer di School of Creative Management and Performing Arts (SCIMPA), University Utara Malaysia (UUM). Cerita mengalir terkait materi yang komprehensif hingga jelajah wisata kuliner di distrik Changlun.

Visiting lecturer merupakan program kerja sama yang disepakati oleh Prodi Ilmu Komunikasi UII dengan SCIMPA UUM. Berikut catatan yang juga diposting pada media sosial pribadinya.

Visiting Lecturer di UUM Malaysia

4-10 November 2023

Prof. Dr. rer. soc. Masduki, S.Ag., M.Si., saat mengajar di SCIMPA UUM, Foto: Doc pribadi

Fenomena mahasiswa memiliki akun FB lebih dari satu ternyata tidak hanya jamak terjadi di Indonesia, tetapi juga di Malaysia. Bagi para millenials, media sosial begitu penting, bukan semata soal etalase citra diri, tapi ia kini bertransformasi sebagai tool of business.

Merujuk artikel Jiayin Qi (2018), ada pergeseran dari motive presentation of self (Goffman) ke social capital (Bourdieu) dan juga ke shared world (Heidegger).

Kini motivasi membuka akun makin beragam, bangga punya beberapa akun sosmed sekaligus, makin kompleks, memicu perilaku ekonomi berbagi, yang berpola post-privacy di satu sisi, melahirkan ketergantungan pada platform, kolonialisasi platform disisi lain.

Masalahnya, apakah ada kesadaran yang tinggi atas tergerusnya ‘waktu luang’ personal dan hilangnya kedaulatan atas wilayah privasi, data pribadi ketika ber-medsos? Apakah ada kondisi resiprokal: aktivasi/engagement atas medsos dengan right/request to platform owners untuk moderasi konten? Relasi kuasa user dengan platform digital seperti Instagram dan TikTok yang sangat tidak imbang tampak tak dirasakan sebagai ‘masalah’, seolah-olah layanan gratis, tanpa batas.

Pertanyaan dan gugatan kecil ini saya kemukakan saat mengisi kelas selaku dosen tamu pada School of Creative Management and Performing Arts (SCIMPA), University Utara Malaysia (UUM) di Kedah pekan ini, 4-10 November 2023. Selama kurang lebih satu pekan, saya mendapat kehormatan untuk mengikuti budaya akademik, berdiskusi dengan para eksekutif SCIMPA terkait Dual Degree, dan ini yang menggairahkan: mengisi beberapa kelas mahasiswa tingkat bachelor (S1), mengupas the future of digital media, digital media regulation hingga AI journalism.

Menjalankan tugas visiting lecturer, ibarat menjadi ‘warga negara kehormatan’ di UUM. Saya bukan hanya mendapat akses masuk Kompleks kampus dengan area geografis terbesar di Malaysia 24 jam, tinggal di hotel kampus, tapi disediakan ruangan kerja, plus keramahan para academic staf saat ngobrol di pantri, ketemu di koridor menuju kelas, dll.

UUM berlokasi di kawasan Sintok, negara bagian Kedah, dekat perbatasan Thailand, daerah paling utara Malaysia. Dari total 30 ribu mahasiswa, sekitar satu ribu adalah mahasiswa asing dari Eropa dan Timur Tengah. Merujuk QS rating, UUM berada di kisaran 400-450 universitas terbaik di dunia.

Undangan resmi dari Rektor UUM mengikuti Faculty Exchange 2023 untuk berbagi ilmu dan pengalaman akademis terasa istimewa, meskipun durasi offline-nya pendek, satu pekan. Sisa waktu antara November 2023 hingga Februari 2024 agar genap satu semester, berpola online, termasuk mentoring mahasiswa semester 5-6, yang mengerjakan thesis writing, creative production, dll.

Berbeda dengan universitas pada umumnya di Indonesia, UUM adalah model universitas terintegrasi yang mirip ‘pondok pesantren’ di Indonesia. Seluruh mahasiswa wajib tinggal di dalam kampus, beraktifitas akademik dan sosial. Cik Amir dan Ruzinoor, dua dosen senior yang menjadi host mengajak keliling sport center, culinary dan health center, hingga mengajak menikmati menu makan siang di warung dekat perbatasan Thailand. UUM adalah visi besar Dr. Mahathir Muhammad, ‘golden boy’ of Kedah untuk membangun kampus yang paling luas dan lengkap, termasuk lapangan golf dan menembak.

Pada kelas mata kuliah regulasi dan etika untuk industri kreatif di lantai 3 SCIMPA, para mahasiswa yang notabene masih semester satu antusias menyimak penjelasan disrupsi dan kuasa digital yang merendahkan humanitas menjadi sekedar angka algoritma. Mereka sependapat, posisi etika dan regulasi menjadi penting sebagai bentuk pelibatan negara, bukan semata user dan platfom digital dalam kerja moderasi konten digital.

Pada kelas introduction to digital media dengan jumlah mahasiswa yang lebih kecil, mereka, termasuk satu mahasiswa asal dari Jepang antusias mengupas isu robotic journalism, alienasi teknologi atas dunia sosial yang genuine, dan ancaman krisis lapangan kerja fisik pasca disrupsi digital.

Model visiting lecturer yang dikemas hibrid: offline dan online dengan tetap berdurasi satu semester bisa menjadi jalan baru memperkuat budaya mobilitas akademik akademisi Indonesia-Malaysia, yang beyond conference dan publikasi. Ketika ajang konferensi semakin turistik, instant, maka visiting lecturer menyajikan hal sebaliknya: pertukaran ilmu, community engagement jangka panjang.

Tahun ini UUM mengemasnya dalam konsep exchange week (offline) yang memuat aktifitas mengajar, sharing pengalaman publikasi internasional, strategi dan arah kebijakan internasionalisasi, pola karir para akademisi, sharing pengalaman dan jaringan riset kolektif, showing latest campus facilities, dll.

Tinggal satu pekan di kawasan bebas macet Sintok sepertinya sangat pendek. Menikmati aroma dan rasa nasi lemak, nasi kandar, teh tarik, dll menjadi agenda harian tambahan, disertai diskusi dengan warga lokal distrik Sintok, Kedah. Secara kebetulan saya juga telah menjadi board editor Jurnal of Creative Industry and Sustainable Culture SCIMPA sehingga membuka ruang diskusi terkait tata kelola, indexing dan budaya publikasi. Kami mendiskusikan hal ini sambil makan nasi Briyani Ayam Tandoori di warung Islamabad, distrik Changlun, 10 kilo dari UUM.

Kembali ke fenomena sosmed di atas, visiting lecture bagi UUM bukan lagi soal presentation of selfism, lewat indeksasi jumlah pengajar- mahasiswa asing di satu kampus, tapi ruang ‘shared world’, sharing social capital atas nama ekualitas dunia akademik. Pada farewell high tea yang dihelat di resto hotel EDC Kamis sore, Dr Hisyam, Dekan SCIMPA School berbagi optimisme kolaborasi lanjutan terdekat: riset bersama tahun 2024 dengan sharing pendanaan, more exchange lecturer, dll.

Terimakasih SCIMPA UUM dan Program Studi Komunikasi UII atas pertukaran akademik singkat ini. Khususnya, untuk pengalaman kecil mengajar dengan kombinasi bahasa pengantar Inggris, Indonesia dan Melayu, suatu hybrida komunikasi yang unik, ada local wisdom.

Selebihnya, menghayati keramahan scholars negeri jiran, ‘on the spot’ mengingat lagu lagu legendaris tahun 1990-an, seperti Suci Dalam Debu, Isabella, atau lagu lagu gubahan P. Ramlee adalah sebuah kemewahan. Selain lagu-lagu slow rock, nasi lemak, nasi kandar dan teh tarik adalah cara lain memahami negeri jiran, yang makin progressif dalam kerja-kerja kolaborasi akademik global.

 

*Catatan ini telah terbit di Facebook pribadi pemilik

AWG
Reading Time: 4 minutes

Letak geografis negara Indonesia selama ini dianggap keuntungan luar biasa. Selalu dikagumi dan disanjung dengan kata-kata cantik, indah, dan menakjubkan karena laut dan gunungnya yang  menyimpan sumber daya dan selalu estetik dalam potret yang bertebaran di media.

Namun, ada hal yang luput tentang keindahan Indonesia. Seolah terbuai dengan keindahan, Indonesia ternyata negara rawan bencana mulai dari gempa bumi, tsunami, erupsi, hingga banjir.

Berdasarkan riset bertajuk World Risk Report 2022 yang dirilis oleh Bündnis Entwicklung Hilft bersama Institute for International Law of Peace and Armed Conflict (IFHV) of the Ruhr-University Bochum menyebut bahwa Indonesia merupakan negara paling berisiko terkena bencana kedua di dunia dengan skor World Risk Index (WRI) sebesar 43,50 poin.

Dalam laporan tersebut terdapat 193 negara berisiko terkena bencana di dunia, posisi pertama adalah Filipina dengan skor WRI 46,86 poin, disusul Indonesia. Selengkapnya dapat diakses melalui https://reliefweb.int/report/world/worldriskreport-2023-disaster-risk-and-diversity.

Setidaknya ada lima indikator mengapa Indonesia masuk dalam negara kedua paling rawan bencana di dunia yakni paparan (exposure), kerentanan (vulnerability), kerawanan (susceptibility), kurangnya kapasitas mengatasi masalah (lack of coping capacities), kurangnya kapsitas adaptasi (lack of adaptive capacities).

Peliknya persoalan bencana di Indonesia seolah tak banyak dilirik, terbukti dengan minimnya edukasi dan literasi kebencanaan di ranah pendidikan. Melihat keresahan ini, International Program Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII) menggelar workshop bertajuk “The 4th Annual Workshop on Globalization 2023: Media and Disaster Journalism, Comparing Indonesian and Japanese Experiences” pada 19 Oktober 2023 di Perpustakaan Pusat UII.

Annual Workshop on Globalization (AWG) ini merupakan workshop tahunan yang digelar oleh International Program Prodi Ilmu Komunikasi UII. Dalam diskusi yang dipandu oleh Dr. Zaki Habibi hadir tiga pembicara yakni Yoshimi Nishi, Professor and Researcher in The Center for Southeast Asian Studies (CSEAS), Kyoto University, Jepang. Pembicara kedua adalah Ahmad Arif, General Chairman of Disaster Journalist for Indonesia and Kompas Journalist. Ketiga, Muzayin Nazaruddin, Researcher on Disaster and Enviromental Communication, Universitas Islam Indonesia.

AWG

Annual Workshop Globalization, foto bersama pembicara dan mahasiswa
Foto: Rizka Aulia Ramadhani

Comparing Indonesian and Japanese Experiences

Membandingan Indonesia dan Jepang dalam segi pengalaman bencana menjadi inti pembahasan AWG kali ini. Jika Indonesia masih terperangkap dalam eksploitasi tangisan kehilangan akibat bencana di media, ternyata Jepang lebih memberikan edukasi cara bangkit hingga antisipasi bencana susulan dalam berita di media lokal dan nasional.

Yoshimi Nishi menyampaikan materi terkait “Collective Memory and Inheritance of Disaster Experience in Jepang”, ia menjelaskan konsep mitigasi bencana, komunikasi bencana yang dibangun pemerintah di Jepang, hingga Memorial Day yang terus disampaikan dalam sistem pendidikan di Jepang agar semua siswa dari generasi memahami negaranya adalah tempat rawan bencana sehingga mampu beradaptasi dan bangkit dari bencana.

Salah satu komunikasi dan edukasi dibangun melalui film dan drama series. Tahun 2016 ada Your Name atau dalam bahasa Jepang Kimi no Na Wa, Shin Godzilla (2016), Crimson Fat (1976), Oshin (1983-1984), dan banyak lainnya.

Film sengaja dijadikan media edukasi bagi masyarakat Jepang, bahkan mereka memiliki kalimat ampuh yakni “sonae” “kakugo” yang berarti kesiapsiagaan.

Disaster film is strategy disaster management. From costume to culture, sonae kakugo,” ucap Yoshimi Nishi.

Ia menjelaskan terkait cerita yang dibangun melalui berbagai cara dan upaya mampu membangkitkan kesiapsiagaan masyarakat di Jepang dalam menghadapi bencana besar seperti tsunami maupun gempa.

Your body moves without you even thinking abaout it, culture transmitted acrros generations. Stories can experience events you have never experienced before,” imbuhnya.

Jika di Jepang masyarakat telah siap dan beradaptasi dengan bencana, lain halnya dengan Indonesia. Ahmad Arif yang telah malang melintang di dunia media menyampaikan materi terkait “Lesson from Aceh Tsunami 2004 in Japan 2011: Disaster Similiarities, Differences in Media Responses” menyebut bahwa media di Indonesia masih terperangkap dalam eksploitasi kesedihan bencana.

Dari pengalaman meliput kedua bencana, Ahmad Arif membuka materi dengan membandingkan data kedua bencana yang berkekuatan sama, gempa tsunami di Aceh berkekuatan Mw 9,1 memakan korban 126.915 orang meninggal, 37.063 dinyatakan hilang. Sementara di Sendai, Japan dengan kekuatan gempa tsunami Mw 9,1 dengan korban meninggal 15.883 meninggal dan 2.681 korban hilang.

Angka-angka itu menjadi fakta bahwa Indonesia masih minim kapasitas dalam mengatasi dan adaptasi bencana. Banyak faktor yang membuat Indonesia tertinggal jauh dalam menghadapi bencana karena budaya dan kebiasaan masyarakat.

“Indonesia tertinggal dari Jepang, agak susah meniru karena berbagai faktor mulai dari budaya, antropologi, dan sejarah,” terang Ahmad Arif.

Minimnya pengetahuan mitigasi bencana semakin diperparah dengan karakter media di Indonesia. Dari riset yang dilakukan oleh Ahmad Arif ada perbedaan mencolok dalam segi peliputan. Bencana tsunami Aceh 2004 seolah terputus karena akses dan informasi terputus sehingga foto kejadian itu diketahui di hari kedua. Sementara pada tsunami Sendai 2011, informasi langsung diketahui di hari yang sama karena media di Jepang telah mengantisipasi peristiwa yang akan terjadi.

“Foto tsunami Aceh baru diketahui di hari kedua, foto yang dicantumkan pada hari pertama itu tsunami di India. Berbeda dengan di media Jepang yakni Yomiuri Shimbun, media di sana sudah mengantisipasi peristiwa ini (bencana) akan terjadi,” jelasnya.

Ditambah fokus media di Indonesia adalah fokus memotret tragedi dengan konten yang sama dengan gambar kerusakan, orang menangis, dan gambar korban. Sementara di Jepang lebih fokus pada proses recovery.

Terakhir materi terkait “Media and Disasters: Indonesian Experiences (Some Early Reflections)” yang disampaikan oleh Muzayin Nazaruddin yang telah aktif mendalami kajian komunikasi bencana.

Pada awal penyampaian materi, ia melempar pertanyaan terkait bencana tsunami Aceh kepada audiens. Ia menanyakan apakah para mahasiswa yang lahir pada tahun sekitar tahun 2004 tahu informasi terkait bencana tersebut. Menariknya, mahasiswa menjawab mereka mengetahui dari media dan cerita orang tua namun tidak dari sekolah atau institusi pendidikan. Hal ini menegaskan bahwa minim edukasi mitigasi bencana di bangku sekolah.

Akibat eksploitasi media Indonesia terhadap tragedi bencana, berdampak pada korban bencana yang mudah mendapat informasi hoaks.

The media landscape has dramatically changed more effective for risk communication, its mean more hoax, more rumors,” pungkas Muzayin Nazarudin.

Muzayin memberikan lima tawaran untuk menghadapi dan merespons bencana di Indonesia antara lain mengintegrasikan kebijakan redaksi dengan kebijakan pengurangan risiko bencana yang lebih komprehensif dengan kebijakan pengurangan risiko bencana.

Kedua, transformasi dari “bencana sebagai peristiwa media” menjadi “jurnalisme pengurangan risiko bencana” lebih “pengurangan risiko bencana” komitmen yang lebih besar terhadap PRB, terkait komunikasi risiko, peringatan dini, dan pendidikan bencana.

Ketiga, peningkatan keterampilan jurnalis secara terus menerus terkait dengan isu-isu risiko dan terkait dengan isu-isu risiko dan bencana.

Keempat, media arus utama media lama harus  menjadi sumber yang berwibawa dan terpercaya, mengklarifikasi rumor, dan menyajikan berita yang akurat.

Terakhir, mengedukasi masyarakat tentang keterampilan pengecekan fakta keterampilan literasi media, terutama dalam isu risiko dan bencana kolaborasi dengan pemangku kepentingan yang relevan.

Itulah catatan terkait perbandingan pengalaman mengatasi bencana antara Indonesia dan Jepang. Bagaimana Indonesia ke depan ya Comms? Apakah media di Indonesia akan berhenti menyoroti tragedi dan beralih pada proses recovery seperti media di Jepang?

Masa tunggu jemaah haji
Reading Time: 3 minutes

Bulan Zulhijah menjadi momen paling mengharukan bagi umat muslim di Indonesia, selain penuh keutamaan, bulan ini juga menjadi suka cita mendalam bagi mereka yang menanti-nanti berangkat haji ke Tanah Suci. 

Wajar, bagi masyarakat Indonesia yang ingin berangkat haji tak cukup hanya memiliki uang melainkan kesabaran yang harus dipupuk setiap tahun demi tahun. Berdasarkan data dari Kemenag RI masa tunggu haji di Indonesia paling lama mencapai 47 tahun dan rata-rata 31-32 tahun, artinya usia tua mendominasi jamaah haji asal Indonesia yang datang ke Tanah Suci. 

Banyaknya peminat serta kuota yang disediakan selalu menjadi isu sensitif setiap tahunnya. Pemerintah Indonesia dan pihak Pemerintah Arab Saudi terus melakukan hubungan baik demi kelancaran bersama, termasuk kesempatan menambah kuota haji setiap tahunnya. 

Data menyebutkan jika masa tunggu haji paling cepat yakni di Kabupaten Maluku Barat Daya yakni 11 tahun, disusul Kabupaten Wondama dengan masa tunggu 12 tahun. Sementara paling lama di Kabupaten Bantaeng yakni 47 tahun. 

Total kuota haji untuk Indonesia tahun 2023 adalah 221.000, namun mendapat tambahan 8.000 kuota sehingga menjadi 229.000 kuota. Berdasarkan informasi yang disampaikan Duta Besar RI untuk Arab Saudi Abdul Aziz Ahmad, kuota tahun 2023 menjadi jumlah terbanyak sepanjang sejarah. 

“Indonesia mengirim jemaah haji terbanyak pada tahun 1444/2023 ini, yaitu total 229.000 orang. Jumlah ini adalah jumlah jamaah haji Indonesia terbesar sepanjang sejarah,” ujar Abdul Aziz Ahmad dikutip dari Kompas.com, Rabu (24/5/2023). 

Meski Indonesia mendapatkan jatah kuota paling tinggi di dunia, nyatanya masa tunggu haji di Indonesia relatif paling lama di antara negara-negara lain. Sehingga bagi masyarakat Indonesia yang ingin berangkat haji di usia muda nampaknya agak sulit tercapai. 

Berdasarkan cerita yang disampaikan oleh mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII) yakni Fauziyah Mubarokah yang magang di Kantor Kemenag Kabupaten Magelang menyebutkan jika lansia paling mendominasi jemaah haji tahun ini. 

Dari data yang disampaikan 60 persen jamaah haji asal Kabupaten Magelang berusia di atas 65 tahun. Bahkan paling tua berusia 96 tahun bernama Mingsari Dulmuri, dan paling muda 20 tahun bernama Felita Rahma Gisela. 

Banyaknya usia tua yang diberangkatkan tahun ini menimbulkan beberapa masalah dan kendala lantaran tidak ada kuota untuk pendamping di tahun 2023. Alhasil setidaknya 4 orang dipulangkan lantaran tak layak berangkat saat dilakukan pengecekan kesehatan di Embarkasi Solo. 

“Yang dipulangkan empat orang, karena demensia dan faktor kesehatan. Demensia untuk mengurus diri tak bisa dan tidak ada pendampingan. Empat orang yang dipulangkan ini semua berusia 80 tahun ke atas,” jelas Fauziyah Mubarokah. 

Empat jemaah asal Kabupaten Magelang yang terpaksa dipulangkan rata-rata kesehatan fisik dan mentalnya sangat menurun. Tak jarang mereka bertindak di luar kendali hingga emosional efek dari demensia. 

Demensia yang paling sering terjadi adalah penyakit Alzheimer dan demensia vaskular. Alzheimer adalah jenis demensia yang berhubungan dengan perubahan genetik dan perubahan protein di otak. Sedangkan, demensia vaskular adalah jenis demensia akibat gangguan di pembuluh darah otak. 

“Lebih ke mental, psikis (kondisi kesehatan) mereka bingung, lupa, dan pengen segera berangkat. Rewel, emosional dan bertingkah, hingga marah-marah,” jelasnya. 

Sebelumnya empat jamaah yang dipulangkan sempat lolos cek kesehatan di Puskesmas Magelang, namun semalam di Embarkasi Solo kondisi mental dan psikisnya ternyata dinyatakan tidak mampu. Sehingga harus dipulangkan dan menunggu tahun depan jika memungkinkan. 

“Sudah di Embarkasi Solo. Sebelumnya yang mengeluarkan istitoah Puskesmas Magelang lolos cek kesehatan, pas di embarkasi tidak lolos atau tidak layak diterbangkan,” terang mahasiswa angkatan 2019 tersebut. 

Fauziyah menyebutkan kemungkinan empat jemaah itu diberangkatkan tahun depan mungkin bisa dilakukan jika ada pendamping orang. Secara umum pendamping haji dibagi menjadi tiga yakni, obat, alat, dan manusia. Sementara kasus pemulangan di Embarkasi Solo karena tidak ada pendamping orang. 

Fakta tentang jamaah haji didominasi oleh usia tua sebenarnya bukan hal yang baru saja terjadi, tahun-tahun sebelumnya juga sama. Berdasarkan laporan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) jumlah jamaah haji di Indonesia didominasi usia 50 tahun hingga 70 tahun ke atas (Laporan tahun 2016-2022). 

Tahun 2016, jumlah usia ini mencapai 101.277 dari total 154.441 jamaah. Selanjutnya pada tahun 2017 yakni 136.787 dari 205.485 jamaah. Tahun 2018, 136.882 dari 203.345 jamaah. Tahun 2019 mencapai 147.120 dari 212.732 jamaah. Sementara tahun 2020 dan 2021 ditiadakan lantaran Pandemi Covid-19, diberangkatkan kembali tahun 2022 dengan jumlah yang relatif kecil dan usia di atas 70 tahun ditunda keberangkatannya. Total jamaah haji yang berangkat ke Tanah Suci tahun 2022 yakni 92.668. 

Tingginya tren jemaah haji yang berusia 50 tahun ke atas, Kemenkes menyiapkan sejumlah strategi untuk penanganan kegawatdaruratan medis pada penyelenggaraan haji 2023. Salah satunya yaitu lewat pembentukan Emergency Medical Team (EMT) atau dulu dikenal dengan nama Tim Gerak Cepat. 

Bagi Anda yang penasaran berapa masa tunggu haji setiap daerah di Indonesia, cek laman resmi Kemenag di bawah ini. 

Data Masa Tunggu Haji di Indonesia 

https://haji.kemenag.go.id/v4/waiting-list 

*** 

 

Penulis: Meigitaria Sanita

 

Hari media sosial
Reading Time: 5 minutes

Menyambut Hari Media Sosial di Indonesia yang jatuh pada 10 Juni 2023 tentu menjadi momen yang tepat untuk mengulas balik jejak digital yang pernah kita buat. Kira-kira, kegilaan apa yang sudah kita lakukan dengan media sosial? 

Hari Media Sosial perlu kita rayakan karena masyarakat Indonesia telah menempatkan media sosial menjadi rujukan utama sumber informasi, seperti terungkap dalam laporan hasil survei Kemenkominfo bersama Katadata Insight Center (KIC). Disebutkan bahwa media sosial kini menjadi rujukan informasi masyarakat Indonesia dengan persentase 72,6 persen dan bertahan dari tahun 2020 hingga 2022 mengalahkan televisi dan portal media daring. 

Di sisi lain, sifat media sosial yang membuat penggunanya mampu berinteraksi secara dua arah kerap kali menjadi forum adu komentar negatif hingga ujaran kebencian. Percaya tidak percaya, media sosial dapat mengubah manusia menjadi apa pun dan tak terduga karena kegilaannya. 

Perkembangan era digital yang pesat membuat kita dapat dinilai hanya dengan melihat beranda media sosial kita. Aktivitas digital kita terekam jelas. Maka tak heran, tak sedikit perusahaan yang meminta calon karyawannya mencantumkan akun media sosial yang dimiliki untuk melakukan screening awal.  

Tak hanya itu, dosa paling menakutkan justru adalah aib yang terbongkar dan tersebar melalui media sosial. Alasannya, masifnya penyebaran informasi melalui media sosial tak bisa kita bendung. Hal ini beberapa kali terjadi pada pesohor tanah air yang terjun di dunia entertainment. Ketika namanya tengah moncer, isu tak sedap seketika membuatnya menuai pujian dan atau hujatan di mana-mana. 

Beberapa pekan terakhir mungkin media sosial tengah dihebohkan video syur berdurasi 47 detik yang diduga RK. Awal mula video tersebar melalui media sosial Twitter sontak membuat korban tak tenang hingga berujung pelaporan melalui  kuasa hukumnya, Sandy Arifin dengan nomor laporan LP/B/113/V/2023/SPKT/Bareskrim Polri. Dalam laporan tersebut, pelaku dijerat Pasal 45 ayat 1 juncto 27 ayat 1 UU RI nomor 19 tahun 2016 tentang perubahan atas Undang Undang RI nomor 11 tahun 2008 tentang ITE. 

Dalam konteks ini RB adalah korban, namun dengan segala ketakutan dan dukungan dari orang-orang terdekat Ia berani menghadapi publik yang berkoar-koar memojokkan dirinya. Ia meminta maaf ke hadapan publik atas kegaduhan yang sebenarnya dilakukan oleh pelaku penyebaran video diduga mirip dirinya yang tak bertanggung jawab. 

Sesuai dengan laporan yang dilakukan oleh kuasa hukum RK, Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 45 ayat (1) UU ITE. Pasal 27 ayat (3) UU ITE menyatakan “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”. “Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”. 

Sementara untuk RK yang saat ini menjadi korban, LBH HKTI siap memberikan bantuan hukum agar RK tidak terus menerus menjadi sorotan negatif. Secara terbuka pihak RK juga akan meminta pendampingan psikolog dan selayaknya mendapatkan meminta bantuan dari Komnas Perlindungan Perempuan. 

Salah satu kegilaan di media sosial yang berefek brutal terjadi ketika video rekaman Mario Dandy, anak seorang Dirjen Pajak Kemenkeu RI, dengan sadar menganiaya David Ozora, anak petinggi GP Anshor, tersebar. Aksi yang sengaja direkam oleh Shane Lukas, sahabat pelaku,  viral di berbagai platform media sosial dan menjadi headline banyak media massa.  

Bahkan hingga kini proses hukum masih terus berjalan dan menetapkan Mario Dandy dan Shane Lukas sebagai tersangka atas kekejaman itu. Kasus ini juga menyeret ayah Mario Dandy yakni Rafael Alun Trisambodo yang menjadi sorotan publik karena kehidupan tak wajarnya yang bergelimang harta. Istrinya yang cenderung flexing  membuatnya diseret KPK dan dipecat secara tidak hormat sebagai aparatur sipil negara (ASN).  

Contoh kegilaan media sosial yang mampu mengubah nasib seseorang lainnya dialami oleh Fuji, adik ipar almarhum Vanessa Angel. Kepergian Vanessa pada penghujung tahun 2021 membuat Fuji menjadi sorotan publik. Warganet ramai-ramai memuji Fuji atas sikap dan kepeduliannya terhadap putra semata wayang Vanessa Angel dan Febri Andrianysah. Hal ini membuat Fuji mendadak populer dan dikenal publik, namun kebaikan itu tak selamanya disambut positif. Tak sedikit pengguna media sosial menghujatnya dengan sebutan terkenal dengan “jalur kematian”. 

Apapun itu, sebenarnya media sosial telah memberikan pengalaman dan informasi berharga. Tak sedikit keuntungan serta peluang muncul dari media sosial yang sebelumnya mungkin tak terpikirkan. 

Seperti yang dilakukan oleh Meilisa Sunora, salah satu alumni dari Prodi Ilmu Komunikasi UII, yang kini berprofesi sebagai pegawai bank sekaligus content creator di TikTok. Ia mengaku menjadi sosok yang lebih produktif dan kreatif berkat media sosial. Menariknya, hobinya membuat konten makan siang adalah sebuah ketidaksengajaan alias iseng-iseng yang justru mampu menghasilkan pundi-pundi yang tidak sedikit. 

“Pertama ekonomi aku dapet penghasilan dari TikTok itu dari keranjang kuning (affiliate) yang selama ini aku jual lewat video. Selain itu juga dapat endorsment dari berbagai brand. Itu nolong banget buat menambah uang jajan,” ujar Meilisa. 

Tak hanya itu, kini ia dikenal banyak orang ketika sedang beraktivitas di luar kantor. Hal ini membuatnya merasa mendapat banyak dukungan karena konten yang ia buat ternyata diterima pengguna media sosial. 

“Segi sosial aku jadi banyak banget teman yang tidak aku kenal tapi selalu support aku. Sampe  kadang lucu sendiri ketika aku makan di mana gitu suka ada aja yang menyapa tapi aku gak kenal, suka aja jadi ketemu temen baru,” tambahnya. 

“Ketika videoku banyak yang like itu senengnya luar biasa karena aku merasa karyaku diapresiasikan. Di sisi lain ternyata selama aku ngedit itu bisa ngilangin stres, sedih, dan overthingking,” tutur perempuan berusia 27 tahun itu. 

Meilisa tak memungkiri bahwa kenaikan follower-nya di TikTok cenderung cepat, berawal dari nol hingga Agustus 2022 video makan siang dengan menu natto viral hingga tembus 1 juta penonton seolah mengubah hidupnya. Ia kini konsisten mengunggah konten makan siang minimal 5 kali dalam seminggu. 

Meski terdengar asyik dan menikmatinya, ternyata tingkah ulah pengguna media sosial cukup unik. Tak jarang ada yang memberikan komentar negatif hingga menghina fisik. Tak hanya itu, sesama pengguna terkadang justru bertengkar karena ada yang membela dan menjatuhkannya. 

Khawatir dengan komentar warganet juga dirasakan oleh Natasia Nurwitasari alumni Prodi Ilmu Komunikasi UII yang kini menjadi Influencer Mama, Ia mengaku menonaktifkan notifikasi di Media Sosialnya demi mengurangi rasa stres. 

“Aku sampe sekarang mematikan notifikasi terus. Gak pernah terlalu mau ngecek kolom komentar, awalnya lumayan stres banget baca komentar-komentar negatif. Disitu aku dituduh “membohongi anak” padahal aku merasa di video udah jelas kok maksudnya itu untuk apa,” terang Natasia. 

Ibu satu anak itu pernah mendapat cibiran dari warganet terkait tips dan trik agar anak tidak selalu meminta mainan baru ketika berkunjung di pusat perbelanjaan. Ia juga telah menjelaskan alasannya secara detail. Namun tak semua orang menerima dengan positif ide tersebut. Hal ini membuatnya sempat ogah-ogahan membuat konten baru. Namun, kreativitasnya seolah tak bisa berhenti, Ia akhirnya bergabung dengan sebuah agency dan menerima endorsment dari beberapa brand ternama. 

“Aku sebenarnya masih belum terlalu mau melabeli diri aku sebagai influencer. Tapi keadaannya sekarang aku sudsh bergabung di agency, jadi mau tidak mau aku sudah kerja & berkecimpung di dunia digital creator. Untungnya yang dirasain banyak banget alhamdulillah Aku bisa tetep kerja biarpun sbg ibu rumah tangga,” jelasnya. 

Lantas bagaimana dengan kamu, sudahkah memanfaatkan dengan bijak kegilaan media sosial?  

Jika melihat peluang di Indonesia sepertinya cukup menguntungkan, tercatat masyarakat Indonesia memiliki setidaknya 8 media sosial. Selain itu, menurut survei Global Web Indeks, konsumen di Indonesia menghabiskan waktu selama 148 menit per hari untuk mengakses media sosial. 

Sebagai informasi Hari Media Sosial diinisiasi oleh Handi Irawan, CEO Frontier Group dan juga penggagas Hari Pelanggan Nasional. Gagasan Hari Media Sosial muncul karena fenomena penggunaan media sosial di Indonesia. Diharapkan dengan pesatnya perkembangan media sosial diimbangi dengan sikap yang bijak dan memanfaatkan kegilaan secara positif.

 

Penulis: Meigitaria Sanita