Catatan Prof. Masduki dalam Visiting Lecturer di UUM Malaysia, dari Kedaulatan Privasi Media Sosial hingga Diskusi di Distrik Changlun

Reading Time: 4 minutes

Sebuah catatan menarik yang ditulis oleh Prof. Dr. rer. soc. Masduki, S.Ag., M.Si., salah satu dosen prodi Ilmu Komunikasi UII yang berkesempatan menjalani program visiting lecturer di School of Creative Management and Performing Arts (SCIMPA), University Utara Malaysia (UUM). Cerita mengalir terkait materi yang komprehensif hingga jelajah wisata kuliner di distrik Changlun.

Visiting lecturer merupakan program kerja sama yang disepakati oleh Prodi Ilmu Komunikasi UII dengan SCIMPA UUM. Berikut catatan yang juga diposting pada media sosial pribadinya.

Visiting Lecturer di UUM Malaysia

4-10 November 2023

Prof. Dr. rer. soc. Masduki, S.Ag., M.Si., saat mengajar di SCIMPA UUM, Foto: Doc pribadi

Fenomena mahasiswa memiliki akun FB lebih dari satu ternyata tidak hanya jamak terjadi di Indonesia, tetapi juga di Malaysia. Bagi para millenials, media sosial begitu penting, bukan semata soal etalase citra diri, tapi ia kini bertransformasi sebagai tool of business.

Merujuk artikel Jiayin Qi (2018), ada pergeseran dari motive presentation of self (Goffman) ke social capital (Bourdieu) dan juga ke shared world (Heidegger).

Kini motivasi membuka akun makin beragam, bangga punya beberapa akun sosmed sekaligus, makin kompleks, memicu perilaku ekonomi berbagi, yang berpola post-privacy di satu sisi, melahirkan ketergantungan pada platform, kolonialisasi platform disisi lain.

Masalahnya, apakah ada kesadaran yang tinggi atas tergerusnya ‘waktu luang’ personal dan hilangnya kedaulatan atas wilayah privasi, data pribadi ketika ber-medsos? Apakah ada kondisi resiprokal: aktivasi/engagement atas medsos dengan right/request to platform owners untuk moderasi konten? Relasi kuasa user dengan platform digital seperti Instagram dan TikTok yang sangat tidak imbang tampak tak dirasakan sebagai ‘masalah’, seolah-olah layanan gratis, tanpa batas.

Pertanyaan dan gugatan kecil ini saya kemukakan saat mengisi kelas selaku dosen tamu pada School of Creative Management and Performing Arts (SCIMPA), University Utara Malaysia (UUM) di Kedah pekan ini, 4-10 November 2023. Selama kurang lebih satu pekan, saya mendapat kehormatan untuk mengikuti budaya akademik, berdiskusi dengan para eksekutif SCIMPA terkait Dual Degree, dan ini yang menggairahkan: mengisi beberapa kelas mahasiswa tingkat bachelor (S1), mengupas the future of digital media, digital media regulation hingga AI journalism.

Menjalankan tugas visiting lecturer, ibarat menjadi ‘warga negara kehormatan’ di UUM. Saya bukan hanya mendapat akses masuk Kompleks kampus dengan area geografis terbesar di Malaysia 24 jam, tinggal di hotel kampus, tapi disediakan ruangan kerja, plus keramahan para academic staf saat ngobrol di pantri, ketemu di koridor menuju kelas, dll.

UUM berlokasi di kawasan Sintok, negara bagian Kedah, dekat perbatasan Thailand, daerah paling utara Malaysia. Dari total 30 ribu mahasiswa, sekitar satu ribu adalah mahasiswa asing dari Eropa dan Timur Tengah. Merujuk QS rating, UUM berada di kisaran 400-450 universitas terbaik di dunia.

Undangan resmi dari Rektor UUM mengikuti Faculty Exchange 2023 untuk berbagi ilmu dan pengalaman akademis terasa istimewa, meskipun durasi offline-nya pendek, satu pekan. Sisa waktu antara November 2023 hingga Februari 2024 agar genap satu semester, berpola online, termasuk mentoring mahasiswa semester 5-6, yang mengerjakan thesis writing, creative production, dll.

Berbeda dengan universitas pada umumnya di Indonesia, UUM adalah model universitas terintegrasi yang mirip ‘pondok pesantren’ di Indonesia. Seluruh mahasiswa wajib tinggal di dalam kampus, beraktifitas akademik dan sosial. Cik Amir dan Ruzinoor, dua dosen senior yang menjadi host mengajak keliling sport center, culinary dan health center, hingga mengajak menikmati menu makan siang di warung dekat perbatasan Thailand. UUM adalah visi besar Dr. Mahathir Muhammad, ‘golden boy’ of Kedah untuk membangun kampus yang paling luas dan lengkap, termasuk lapangan golf dan menembak.

Pada kelas mata kuliah regulasi dan etika untuk industri kreatif di lantai 3 SCIMPA, para mahasiswa yang notabene masih semester satu antusias menyimak penjelasan disrupsi dan kuasa digital yang merendahkan humanitas menjadi sekedar angka algoritma. Mereka sependapat, posisi etika dan regulasi menjadi penting sebagai bentuk pelibatan negara, bukan semata user dan platfom digital dalam kerja moderasi konten digital.

Pada kelas introduction to digital media dengan jumlah mahasiswa yang lebih kecil, mereka, termasuk satu mahasiswa asal dari Jepang antusias mengupas isu robotic journalism, alienasi teknologi atas dunia sosial yang genuine, dan ancaman krisis lapangan kerja fisik pasca disrupsi digital.

Model visiting lecturer yang dikemas hibrid: offline dan online dengan tetap berdurasi satu semester bisa menjadi jalan baru memperkuat budaya mobilitas akademik akademisi Indonesia-Malaysia, yang beyond conference dan publikasi. Ketika ajang konferensi semakin turistik, instant, maka visiting lecturer menyajikan hal sebaliknya: pertukaran ilmu, community engagement jangka panjang.

Tahun ini UUM mengemasnya dalam konsep exchange week (offline) yang memuat aktifitas mengajar, sharing pengalaman publikasi internasional, strategi dan arah kebijakan internasionalisasi, pola karir para akademisi, sharing pengalaman dan jaringan riset kolektif, showing latest campus facilities, dll.

Tinggal satu pekan di kawasan bebas macet Sintok sepertinya sangat pendek. Menikmati aroma dan rasa nasi lemak, nasi kandar, teh tarik, dll menjadi agenda harian tambahan, disertai diskusi dengan warga lokal distrik Sintok, Kedah. Secara kebetulan saya juga telah menjadi board editor Jurnal of Creative Industry and Sustainable Culture SCIMPA sehingga membuka ruang diskusi terkait tata kelola, indexing dan budaya publikasi. Kami mendiskusikan hal ini sambil makan nasi Briyani Ayam Tandoori di warung Islamabad, distrik Changlun, 10 kilo dari UUM.

Kembali ke fenomena sosmed di atas, visiting lecture bagi UUM bukan lagi soal presentation of selfism, lewat indeksasi jumlah pengajar- mahasiswa asing di satu kampus, tapi ruang ‘shared world’, sharing social capital atas nama ekualitas dunia akademik. Pada farewell high tea yang dihelat di resto hotel EDC Kamis sore, Dr Hisyam, Dekan SCIMPA School berbagi optimisme kolaborasi lanjutan terdekat: riset bersama tahun 2024 dengan sharing pendanaan, more exchange lecturer, dll.

Terimakasih SCIMPA UUM dan Program Studi Komunikasi UII atas pertukaran akademik singkat ini. Khususnya, untuk pengalaman kecil mengajar dengan kombinasi bahasa pengantar Inggris, Indonesia dan Melayu, suatu hybrida komunikasi yang unik, ada local wisdom.

Selebihnya, menghayati keramahan scholars negeri jiran, ‘on the spot’ mengingat lagu lagu legendaris tahun 1990-an, seperti Suci Dalam Debu, Isabella, atau lagu lagu gubahan P. Ramlee adalah sebuah kemewahan. Selain lagu-lagu slow rock, nasi lemak, nasi kandar dan teh tarik adalah cara lain memahami negeri jiran, yang makin progressif dalam kerja-kerja kolaborasi akademik global.

 

*Catatan ini telah terbit di Facebook pribadi pemilik