Tag Archive for: diskusi nadim komunikasi UII

Reading Time: 3 minutes

Setelah terkendala dua tahun lebih Pandemi Covid-19, akhirnya pameran karya tujuh tema foto story dari Fotografer penerima beasiswa Doc-Camp (Doctrine-Media Camp) 2019 berhasil juga terlaksana. Uniknya, kali ini pameran juga berkolaborasi dengan 16 peserta Doc-Camp 2022 buah kerjasama dengan komunitas mahasiswa komunikasi yang fokus pada dunia fotografi di UII yaitu Klik18. Klik18 menyumbang lima tema foto cerita pada perhelatan pameran ini.

Cita-cita untuk melihat wajah Islam 20 tahun pasca reformasi sudah sudah ada sejak 2018 lalu. “Kami, tepatnya Mas Muzayin, Ali MInanto (keduanya adalah Dosen Komunikasi UII) dan Saya punya angan-angan untuk memotet bagaimana wajah Islam pasca 20 tahun reformasi. Lalu kami membuat pelatihan membuat film, foto, video, dan tulisan feature,” kenang M. Iskandar Tri Gunawan tentang mula-mula Doc-Camp dirilis. Mulanya, Doc-Camp adalah dua kegiatan dengan dua nama yang akan digabung: Doctrine (documentary training) dan Media Camp pada 2018. Menurut Iskandar, pada 2019, kedua program pengembangan mahasiswa ini dilebur menjadi satu nama dengan semangat yang serupa menjadi Doc-Camp 2019.  Pada Doc-Camp 2019, tema yang diangkat tidak lagi soal Islam 20 tahun pasca reformasi, melainkan islam dan transfromasi: membaca kota dan mendaras desa, kata Iskandar di pembukaan Diskusi dan Pameran Foto Doc-Camp 2022 pada 20 September 2022 di Mini Theathre Prodi Ilmu Komunikasi UII.

Beberapa tahun membuat rangkaian pelatihan yang dinamai Doctrine di tahun 2018, Media Camp di 2018, dan Doc-Camp di 2019. “Tahun 2020-2021 kosong terjeda pandemi. Hingga akhirnya kami mengundang kerjasama dengan temen-teman Klik18 untuk pameran bareng,”Ujar Iskandar selaku Laboran di Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia dalam pembukaan acara diskusi foto yang bertajuk Islam dan Transformasi pada 20 September 2022.

Jeda dan Ruang Berefleksi

Jeda waktu aktifitas dua hingga tiga tahun karena pandemi memberikan penanda waktu yang penting. “Adanya acara ini juga adalah salah satu wujud dari hasil proses itu. Proses memberi ruang untuk berkreasi, ruang berekspresi, dan mendorong berdialog dengan klub dari kampus lain,” sambut Zaki Habibi, salah satu dosen Prodi Ilmu Komunikasi UII memberi sambutan mewakili dari Prodi Komunikasi UII. Menurut Zaki, pameran dan diskusi foto Doc-Camp 2022 hasil kerjasama dengan PSDMA Nadim Komunikasi UII dan Klik18 adalah ruang untuk berefleksi atas foto dan islam kini setelah istirahat akibat pandemi Covid-19.

“Panggung ini adalah apresisi untuk klik18, para mentor, kru Prodi Komunikasi UII dan Anda semua. ini pinggangnya kaku karena dua tahun ini rebahan,” Kelakar Zaki, yang juga adalah Dosen Komunikasi UII spesialis kajian Urban dan Visual Culture.

Foto sama halnya dengan pandemi. Zaki menjelaskan foto adalah bagian dari momen, ruang dan waktu yang dibekukan untuk memberi jeda. Jeda sejenak untuk membaca ruang visual. Jeda, ambil sedikit waktu untuk berhenti sejenak dari arus rutinitas yang terus menerus, untuk berefleksi.

Zaki Habibi, perwakilan Prodi Komunikasi UII, memberi sambutan dalam Pembukaan Diskusi dan Pameran Foto Doc-Camp 2022 pada 20 September 2022. Menurutnya, pameran ini adalah hasil dari jeda dan refleksi selama dua tahun pandemi Covid-19 (Foto oleh Nabiel Marazieq)

Di sini, dalam pameran ini, membaca fotografi dan membaca masyarakat dalam ranah isi. “Kayaknya teman kita melihat Islam ini tidak sempit, tidak hanya Islam yang teologi dan ritual,” kata Zaki.

Lewat foto-foto, kata Zaki, dapat dilihat di masyarakat kita bahwa Islam tidak sebatas pada ajaran yang sifat nya teologis, ritual, dan spiritual. “Tapi kita bisa lihat Islam yang lebih kultural, yang berinteraksi dengan masyarakat,“ kata Zaki dalam sambutannya

“Kita harus bisa membacanya dengan kacamata yang beyond the simbol of ibadah.”

Banyak sisi lain dari kultur, fotografi itu mampu mengambil jeda sejenak untuk melihat dunia yang dihentikan dalam frame. Ciri khas fotografi adalah membekukan momen, membekukan ruang dan waktu untuk berhenti sejenak memberikan kita jeda untuk berefleksi bersama.” tutupnya.

Sesi selanjutnya diisi dengan materi Bedah Karya Foto dari Boy Tri Harjanto, pendamping pelatihan sejak 2018. Boy adalah fotografer European Press Agency (EPA) Photo, ia memberi masukan baik teknis dan konsep pada sejumlah foto yang dipamerkan di Pameran foto bertema Islam dan Tranformasi kali ini.

 

Reading Time: 2 minutes

Tema foto cerita tentang Islam kini lebih mudah diangkat. Selain tema tersebut cukup universal, subjek yang diambil untuk
subjek foto cerita cukup banyak ditemui karena mayoritas warga Indonesia adalah muslim dengan beragam latar belakang. Baik mahasiswa, laki perempuan, bisa tak punya kesulitan merangkai cerita lewat rana dan lensa menjadi sebuah foto cerita.

“Pertumbuhan Islam di Nusantara juga signifikan baik yang terjadi di kota-kota besar ataupun di desa-desa membuat kemudahan mengambil isu Islam dalam foto cerita semakin tinggi,” kata Boy T. Harjanto, fotografer dari EPA (European Press Agency) Photo, yang menjadi pembicara utama dalam Diskusi dan Pameran Foto Cerita Doc-Camp 2022 hasil kerjasama Pusat Studi dan Dokumentasi Media Alternatif Nadim Komunikasi UII dan Klik18. Boy melihat pameran foto dengan mengangkat tema islam saat ini sangat mudah diambil karena selain universal juga ragamnya berlimpah.

Pada kesempatan ini, pada 20 September 2022, Boy didapuk oleh panitia Doc-Camp 2022, menjadi pembedah 12 karya foto cerita para fotografer dari mahasiswa se-UII. Menurut Boy, dari aspek fotografi, 7 tema foto cerita dari peserta Doc-Camp awal ini, punya kesempatan menemukan momentum dan peristiwa foto lebih fleksibel dan lebih bisa mengeksplorasi foto. “Peserta Doc-Camp 2019 punya waktu agak panjang, sehingga sangat memungkinkan peserta untuk melakukan produksi pengulangan foto yang lebih baik ketimbang peserta Doc-Camp 2022,” kata Boy menilai dari aspek fotografis.

Sedangkan peserta Doc-Camp 2022 mengalami keterbatasan waktu dan padatnya jadwal kuliah dan kepanitiaan kampus
mengakibatkan mereka kesulitan mengambil foto ulang. Meskipun sebenarnya masa hunting juga memasuki masa libur ujian, tak sepenuhnya tiap tim punya kesempatan untuk mengambil foto ulang sehingga sulit mendapatkan foto lebih baik.

Menurut Boy, foto-foto cerita para peserta ini, dari segi pengambilan foto, secara teknik dasar pengambilan foto sudah cukup baik, “meski masih ada beberapa kesalahan teknis, seperti kurang fokus dan ada yang under dan over exposure,” tambah Boy.

Acara Diskusi ini dihadiri oleh puluhan peserta. Baik dari komunitas mahasiswa dan klub di UII, hingga beberapa komunitas foto dan penikmat foto dari luar UII. Selain diskusi, pameran foto juga telah diadakan dari 20-23 September 2022 dengan 12 tema foto dan lebih dari 150 pigura foto yang dipamerkan di Perpustakaan UII yang berlatar Candi Kimpulan. Pengunjung pameran foto tercatat lebih dari 300 peserta baik dari dalam dan luar UII, misalnya dari Unriyo Yogyakarta, Fotka, Lens Club Sanata Dharma, Komunitas foto mahasiswa Semarang, dan lain-lain.

Reading Time: 2 minutes

The Covid-19 pandemic has clearly limited space for movement. The short period bored everyone, and people wanted to immediately engage in activities within those limitations. The entertainment world is also looking for alternative solutions to keep the economy running. Many K-Pop music industries are also trying to make digital concerts amid the pandemic.

One of the phenomena of this digital concert was brought up by Salsabila Dewi Kemuning for her to explore more deeply as the topic of her thesis research. Results of her research, in addition to being presented in the final exam, She also presented in international seminars 6th Conference on Communication, Culture and Media Studies (CCCMS). On Tuesday, 28 June 2022, this research will also be presented in the Monthly Discussion Center for Study and Documentation of Alternative Media (PSDMA) NADIM Communication Department UII.

Kemuning’s research is entitled Digital K-Pop Concert Room. This research wants to know three things that are also stated in the research objectives. The first problem is how to construct liveness in digital concert shows. The second is how the audience positions themselves in the digital liveness concert ‘space.’

Third, how does this K-POP digital concert-show work as an ideology that produces liveness and space? The first and second points are how the concert organizers make the audience and the concert feels so real as if they feel the atmosphere of a real concert.

Ethnographic Qualitative Research 

This research uses an ethnographic qualitative approach. The way to do this is by joining the informants when watching the concert digitally. After that, the researcher will record all behavioral expressions, expressions, and habits made by the informants during the digital concert. Usually, the informants and researchers already have a close and fluid relationship, so all expressions and behaviors that appear are very natural.

The Kemuning process in selecting resource persons must be selective so that the data generated in the research is credible. The resulting data can certainly be justified scientifically. Kemuning is looking for college students who are true K-pop fans. At least the informant has been fond of K-Pop for three years. “What is certain is that he or she will watch a digital concert,” said Kemuning, referring to her research sources who are digital concertgoers. The next criterion is that the source is a reputable fandom, meaning those closest to him/ her know very well that he/ she is a K-Pop fandom.

During the research period, Kemuning conducted interviews and direct observations related to the experience of the informants watching. Kemuning recorded what they felt and saw their expressions while watching, as well as the expressions they said while watching or after watching.

You can watch the video here too:

Reading Time: 2 minutes

Pandemi Covid-19 jelas membuat ruang gerak terbatas. Rentang waktunya yang tidak sebentar jelas membuat semua orang bosan dan ingin segera berkegiatan dalam keterbatasan itu. Dunia hiburan juga mencari alternatif solusi agar tetap bisa menjalankan roda ekonominya. Banyak industri musik K-Pop pun menjajal untuk membuat konser digital di tengah pandemi yang melanda.

Salah satu fenomena konser digital ini diusung oleh Salsabila Dwi Kemuning untuk dia telusuri lebih dalam sebagai topik riset skripsinya. Hasil risetnya, selain dia paparkan dalam ujian akhir, juga dia presentasikan dalam seminar Internasional Conference on Communication, Culture and Media Studies (CCCMS) ke-6. Pada Selasa, 28 Juni 2022, riset ini juga dipaparkan di Diskusi Bulanan Pusat Studi dan Dokumentasi Media Alternatif (PSDMA) NADIM Ilmu Komunikasi UII.

Riset Kemuning ini berjudul Ruang Konser Digital K-Pop. Riset ini ingin mengetahui tiga (3) hal yang juga tertuang dalam ‘tujuan penelitian’. Pemasalahan yang pertama adalah bagaimana mengkonstruksi liveness dalam tayangan konser digital. Kedua adalah bagaimana penonton memposisikan diri dalam ‘ruang’ konser liveness digital.

Ketiga, bagaimana tayangan konser digital K-POP ini bekerja sebagai ideologi yang memproduksi liveness dan keruangan. Poin pertama dan kedua ini sebetulnya adalah bagaimana penyelenggara konser membuat seolah penonton dan konsernya terasa begitu nyata seolah merasakan atmosfir konser nyata.

Riset Kualitiatif Etnografis

Riset ini menggunakan pendekatan kualitatif etnografis. Cara melakukannya adalah dengan ikut serta dengan narasumber ketika menonton konsernya secara digital. Setelah itu, peneliti akan mencatat segala ekspresi perilaku, ungkapan, kebiasaan yang dilakukan oleh narasumber saat konser digital tersebut berlangsung. Biasanya narasumber dan peneliti sudah memiliki hubungan yang cair dan dekat, sehingga semua ekpresi dan perilaku yang muncul sangat natural.

Proses Kemuning memilih narasumberpun harus selektif supaya data yang dihasilkan dalam penelitiannya kredibel. Data yang dihasilkanpun tentu bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Kemuning mencari mahasiswa kuliah yang benar-benar penggemar K-pop. Setidaknya, informannya sudah menggemari K-Pop tiga tahun. “Yang pasti ia akan menonton konser digital,” kata Kemuning merujuk pada narasumber penelitiannya yang adalah penonton konser digital. Kriteria berikutnya adalah narasumber merupakan fandom yang punya reputasi, maksudnya orang-oarng terdekatnya tahu betul bahwa ia adalah fandom K-Pop.

Selama masa penelitian, kemuning melakukan wawancara dan observasi langsung terkait pengalaman narasumber menonton. Kemuning mencatat apa yang dirasakan, melihat ekspresi ketika menonton, juga ungkapan yang mereka ucapkan saat menonton atau setetelah menonton.

Reading Time: 2 minutes

The music industry has been affected by the Covid-19 Pandemic. The pandemic in an unclear time frame makes the music industry have to make creative innovations to turn the wheels of their industry. The concept of digital concerts must be lived. They must consider how digital concerts can feel real instead of just showing regular video shows. For example The Online Concert BTS, NCT 127 online concert, and etc.

Salsabilla Dewi Kemuning, a student of the Department of Communications at the Universitas Islam Indonesia (UII), raised this digital concert phenomenon as the topic of her undergraduate thesis research. She saw how the audience could feel the atmosphere of this digital concert. He explained the liveness concept of this online concert at the Monthly Discussion Center for Alternative Media Studies and Documentation (PSDMA) NADIM of Communication Department UII on Tuesday, 28 June 2022.

To make the digital concert so real, the event organizer made various efforts, both visual appearance and audience experience. For example, by presenting a live chat feature, video calls, rest breaks, and stage creations. Some of the explanations for these efforts are as follows:

Live chat

The audience can feel so connected to the concert directly (synchronously) by providing a live chat feature where the audience can comment directly in the chat column provided.

Video call and lightstick

The existence of this video call makes the audience feel that when they are watching this concert, they are sure that this concert is taking place. Especially when the stage screen also shows all the audience from all directions, their faces live. In addition, the lights tick on the ticket is also used to impress a real concert.

Breaktime for rest

The impression of liveness is also felt when the artist needs a short break to rest. This break is also often done by artists when they do live concerts. Participants also got a real concert atmosphere when the artist asked for a break to change clothes or take a break.

Stage layout

The event organizer does two kinds of stage layouts when building a liveness image. The first is to use the studio during concerts and Augmented Reality (AR) to present effects on stage. The second is to build an outdoor concert stage with all the concert equipment like a real concert. “The two methods received different responses from the audience. The audience can feel the aura of the concert more with the second method,” said Kemuning.

 

Reading Time: 2 minutes

Industri musik ikut terimbas Pandemi Covid-19. Pandemi dalam rentang waktu yang tidak jelas membuat industri musik harus membuat inovasi kreatif memutar roda industri mereka. Konsep konser digital harus dijalani. Mereka harus memikirkan bagaimana konser digital dapat dirasakan begitu nyata, alih-alih sekadar menampilkan tayangan video biasa. Misalnya Online Concert BTS, konser online NCT 127, dan sebagainya.

Salsabila Dwi Kemuning, salah satu mahasiswa Jurusan ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII) mengangkat fenomena konser digital ini sebagai topik riset skripsinya. Ia melihat bagaiamana atmosfer konser digital ini dapat dirasakan oleh penontonnya. Konsep liveness konser online in ia ceritakan di Diskusi Bulanan Pusat Studi dan Dokumentasi Media Alternatif (PSDMA) NADIM Ilmu Komunikasi UII pada Selasa 28 Juni 2022.

Untuk membuat konser digital itu begitu nyata dirasakan, pihak Event organizer melakukan berbagai upaya baik visual appearence maupun audience experience-nya. Misalnya dengan menghadirkan fitur obrolan langsung (live chat), video call, jeda istirahat, hingga kreasi tata panggung. Beberapa penjelasan upaya itu adalah sebagai berikut:

Live chat

Membuat penonton merasaka begitu terhubung dengan konser secara langsung (sinkron) adalah dengan memberikan fitur live chat dimana penonton bisa memberikan komentar secara langsung di kolom chat yang disediakan.

Video call dan lightstick

Adanya fitur video call ini membuat penonton merasa bahwa saat ia sedang menonton konser ini, ia yakin bahwa konser ini nyata sedang berlangsung. Terlebih ketika layar panggung juga menampilkan semua penonton dari semua penjuru ditampilkan wajah mereka secara live. Selain itu, fasilitas lightstick yang ada di ticket juga digunakan untuk mengesankan real concert.

Breaktime untuk istirahat

Kesan liveness juga terasa saat artis membutuhkan break sejenak untuk istirahat. Break ini juga sering dilakukan oleh artis saat mereka melakukan konser langsung. Atmosfer konser real juga didapatkan peserta saat artis meminta jeda waktu untuk berganti baju atau istirahat.

Tata panggung

Ada dua macam tata letak panggung yang dilakukan oleh Event organizer saat membangun liveness image. Pertama adalah dengan menggunakan studio saat konser dan menggunakan Augmented Reality (AR) untuk menyajikan efek-efek di panggung. Kedua adalah membangun panggung konser outdoor dengan segala kelengkapan konser layaknya real concert. “Kedua metode ini mendapat tanggapan berbeda dari penonton. Penonton lebih bisa merasakan aura konser dengan metode kedua,” ungkap Kemuning.

You can watch the video here too:

Reading Time: 2 minutes

Fenomena Desa Wisata kian marak. Terlebih di abad instagram kini banyak orang yang ingin menyambangi berbagai tempat yang instragramable. Selain untuk healing-healing dari kepenatan, juga agar tetap eksis di dunia maya dengan update story dan laman feed.

Namun, mengembangakan desa wisata bukanlah hal mudah. Banyak hal yang harus dipertimbangkan dan dipersiapakan. Mulai dari sumber daya manusia, infrastruktur dan juga sumber pendanaan. Maraknya desa wisata ini menjadi daya tarik tersendiri untuk ditelisik lebih jauh bagiaman mengupayakan pembentukan desa wisata tersebut serta apa kendala dan cara mengatasinya.

Untuk mengetahui bangaimana masyarakat dan pemerintah desa Karangrejo membangun desa wisata ini, Zubaidah Nur Oktafiani, mahasiswa Ilmu Komunikasi mengangkatnya sebagai sebuah tema untuk menyelesaikan tugas akhirnya sebagai mahasiswa. Temanya adalah Komunikasi pemberdayaan dalam Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat Desa Wisata di Wilayah Borobudur Magelang. Zubaidah memaparkan ini dalam diskusi bulanan yang diselenggrakan oleh Pusat Studi dan Dokumentasi Media Alternatif (PSDMA) NADIM Prodi Ilmu Komunikasi Universitas islm Indonesia (UII) pada Kamis, 9 Juni 2022.

Ia menceritakan tahap-tahap pemerintah desa dan masyarakat yang paling utama yang harus dilakukan adalah perencanaan yang meliputi penggalian potensi desa, membuat masterplan rencana pembangunan, dan membentuk organisasi penunjang.

Menurut Zubaidah, ada beberapa prinsip dasar yang sering lalai dipertimbangkan dalam proses pembentukan desa wisata. Dalam pembentukan desa wisata karrangrejo Borobudur prinsip-prinsip yang dijaga dan diaplikasikan adalah prinsip tersebut antara lain kesetaraan, partisipasi seluruh komponen masyarakat, kemandirian dengan tidak bergantung bantuan dari pihak pemerintah maupun pihal lain, serta prinsip keberlanjutan.

Ada tujuh upaya pemerintahan desa menuju pengembangan desa wisata. Pertama adalah Desa melakukan pengembangan SDM dengan cara membuat kegiatan edukasi, pelatihan keterampilan, diskusi dan studi banding. Kedua, desa menjalin kerjasama dengan beragam pihak. Contohnya kemitraan dengan instansi pemerintah, LSM, agen travel, bahkan perusahaan negara.

Upaya ketiga, desa juga menyelenggarakan aktivitas-aktivitas pemerintahan di desa dengan mengadakan rapat, acara tahunan, dan juga pertemuan. Sedangkan usaha keempat yang dilakukan pemerintah desa adalah menguatkan citra dan promosi lewat sarana online maupun offline.

Empat upaya ini akhirnya mendukung bagaimana upaya kelima bekerja efektif. Desa menyelenggarakan festival atau kegiatan lain yang menarik kunjungan dan popularitas. Selain festival, misalnya, juga diadakan pertandingan voli dan festival budaya yang dihelat rutin.

Tentunya, upaya keenam ini juga penting mendukung upaya lainnya. Upaya keenam ini juga dilakukan agar ada penunjang pariwisata. Upaya ini dilakukan untuk membentuk organisasi warga sebagai support system pariwisata. Upaya ketujuh adalah dengan bermitra dengan perguruan tinggi. Beberapa kampus yg menjadi mitra adalah ISI, UGM, UNY, Sekolah pariwisata Sahid, UMS, Dll

Dampak positif pemberdayaan masyarakat desa wisata Karangrejo terlihat pada beberapa hal. Menurut Zubaidah, misalnya adalah dampak dengan adanya perbaikan kelembagaan di lingkup desa, perbaikan lain misalnya perbaikan iklim usaha, perbaikan pendapatan di sektor ekonomi, perbaikan lingkungan misalnya dengan meningkatnya kesadaran masyarakat akan hidup bersih dan sehat yang mendukung lokasi wisata yang bersih. Ada juga dampak dengan meningkatnya taraf kehidupan masyarakat, dan perbaikan kondisi sosial masyarakat yang menjadi lebih guyup dengan adanya beberapa lembaga masyarakat yang menopang pariwisata.

Reading Time: 2 minutes

The phenomenon of Tourism Villages is increasingly widespread. Especially in the Instagram age, now many people want to visit various Instagram-able places. In addition to healing from fatigue, it continues to exist in the virtual world by updating Instagram stories pages and feeds.

However, developing a tourist village is not easy. There are many things to consider and prepare. Starting from human resources, infrastructure and also funding sources. The rise of this tourist village is the main attraction to investigate further how to seek the formation of a tourist village, what obstacles are, and how to overcome them.

To find out how the community and the Karangrejo village government built this tourist village, Zubaidah Nur Oktafiani, a Communication Department student, chose it as a theme to complete her final assignment as a student. Empowerment Communication in Improving the Welfare of Tourism Village Communities in the Borobudur Magelang Region is the theme. Zubaidah explained this in a monthly discussion organized by the Center for the Study and Documentation of Alternative Media (PSDMA) NADIM of the Communication Department at the Islamic University of Indonesia (UII) on Thursday, June 9, 2022.

She recounted the most important steps the village government and community had to take were planning, including exploring village potential, making a master plan of development plans, and forming supporting organizations.

According to Zubaidah, several basic principles are often neglected to consider when forming a tourist village. In the establishment of the Karangrejo Borobudur tourism village, the principles that are maintained and applied are, among others, equality, participation of all components of society, and independence without relying on assistance from the government or other parties, and the principle of sustainability.

There are seven village government efforts toward the development of tourist villages. The first is that the Village conducts human resource development through educational activities, skills training, discussions and comparative studies. Second, the Village cooperates with various parties. For example, partnerships with government agencies, NGOs, travel agents, and even state companies.

In the third effort, the Village also organizes government activities in the Village by holding meetings, annual events, and also meetings. Meanwhile, the fourth effort made by the village government is to strengthen the image and promotion through online and offline means.

These four efforts ultimately support how the fifth effort works effectively. The village hosts festivals or other activities that attract visits and popularity. Apart from festivals, for example, volleyball matches and cultural festivals are also held regularly.

Of course, this sixth effort is also important to support other efforts. This sixth effort is also carried out to support tourism. This effort was made to form a citizen organization as a tourism support system. The seventh effort is to partner with universities. Some partner campuses are ISI, UGM, UNY, Sahid Tourism School, UMS, etc.

The positive impact of community empowerment in the Karangrejo tourism village can be seen in several ways. According to Zubaidah, for example, is the impact of institutional improvements in the village scope, other improvements such as improving the business climate, improving income in the economic sector, improving the environment, for example by increasing public awareness of clean and healthy living that supports clean tourist sites. There is also an impact by increasing the standard of living of the community and improving the community’s social conditions, which are becoming more cohesive with the existence of several community institutions that support tourism.

Reading Time: < 1 minute

Apa kabar desa wisata Borobudur Magelang?

Di kesempatan kali ini, PSDMA Nadim akan melaksanakan diskusi bulanan.

Tema yang dibahas adalah “Komunikasi Pemberdayaan dalam Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat (Studi Kasus Pemerintah Desa Wisata Karangrejo Borobudur Magelang)”.

📅 Kamis, 9 Juni 2022
🕑 14.00 WIB
📍 Zoom Link at:

Jangan lupa untuk hadir, ya!

Reading Time: 2 minutes

Pandemic The pandemic has changed work patterns. There have been many new challenges. Like what? Monthly discussions held by the UII Communications Nadim try to raise it and find answers to these questions. Starting from changing online media strategies, and looking for various strategies and content tricks to win over readers, even amidst the Coronavirus siege.

This time, Nadim’s discussion invited a resource person named Muhammad Diast Reyhan Rafif to become a discussion partner for students at UII Communications. Diast is an alumnus of the 2017 batch of UII Communication Studies. His final research in his thesis examined Editorial Management in Reporting on the Cancellation of the National Football League Competition. Several media are used as research objects. Among them are detik.com, and okezone.com. Bolasport.com, Jawapos.com.

According to Diast, several online media are quite responsive and creative in dealing with reporting amid a pandemic. “Detik.com, for example, raised the human interest side during the pandemic. Regarding salary uncertainty amidst competition uncertainty, also player activities during the pandemic, including news of league I and league 2 uncertainties,” said Diast revealing one of his research results on Tuesday, 15 February 2022.

Another second, another dotcom media, and the rest. Bolasport, said Diast, provides football travel content, in the form of a timeline or memorable moments. That timeline is tracked year by year. Apart from that, bolasport also covers supporter activities during the pandemic. Even though it seems ordinary, you can see creative efforts meandering amidst the lack of events that could be sources of writing due to the cancellation of the National Football League competition.

Different Srategies from different medias

It’s no different, Okezone from the MNC group media has another strategy. “Okezone.com has soccertainment. It is a rubric that reports on player activities when the leagues haven’t started, for example, player support, federation support, health support when a player or coach is exposed to corona,” said Diast, who also served as Chair of the Communication Editor’s Journalism Club. this. According to Diast, this rubric talks a lot about international football because it still attracts a lot of interest from readers.

If Legal publishes a lot of international sports news because it is liked by many readers, Jawapos focuses more on national sports news. For example, the news raised is about the activities of coaching players outside the field. Or also the theme of the player transfer market because there are many players abroad. This includes not forgetting to also cover PSSI’s steps to run the league.

Ifa Zulkurnaini, the moderator of the discussion, also asked if there was further research that could be done in the context of sports journalism. Narayana, UII Communication Lecturer, who was also present as a participant in the discussion said that there was still something that could be researched about sports journalism. Not only what Diast did, in football, but other research could also be carried out on how other sports journalism media cover amid a pandemic, especially for sports other than football. “Football can still go on, but what about basketball, badminton, and others? How can sports journalists and the media cover and survive during a pandemic? Maybe that’s what can be continued,” said Nara trying to argue in the middle of the discussion.