Tag Archive for: amir effendi siregar

Reading Time: 2 minutes

Lanjutan dari Forum AES: Rezim Soeharto Memengaruhi Kurikulum dan Riset Ilmu Komunikasi Indonesia (1)

Kesempatan Justito Adiprasetio di serial ke 2 Forum Amir Effendi Siregar, mengungkap beragam pengaruh dalam diskursus Ilmu Komunikasi di Indonesia. Ia memaparkan ada pengaruh scholar Jerman, Amerika, dan orde Soeharto dalam Diskursus Ilmu Komunikasi di Indonesia.

“Jadi diskursus ‘penerangan’ seperti kita tahu kalau di Unpad dulu ada prodi manajemen komunikasi, dulunya ilmu penerangan. Dulunya juga di beberapa kampus punya jurusan di bawah ilmu komunikasi itu ilmu penerangan, bahkan ilmu publisistik dulunya di bawahnya ada ilmu penerangan,” kata Tito, panggilan akrab Justito.

Bahkan, lanjut Tito,  ilmu penerangan menjadi mata kuliah dalam ilmu publisistik. Tito melacak Diskursus ilmu penerangan ini ada sebelum 1945. Departemen Penerangan juga menjadi  salah satu dari 12 departemen pertama indonesia, kata Tito. Sedangkan istilah ‘ilmu publisistik’ berdasar pelacakan Tito, muncul pada era 60an ketiak banyak akademisi Indonesia yang terpengaruh dan studi di Jerman. Jerman mengunakan istilah publisistik sebelum menyebut studi media dan komunikasi.

“Publisistik atau publizeren atau terminologi dalam bahasa jerman itu punya lingkup lebih luas dibanding jurnalistik. Tapi tentu keduanya berbeda dengan terminologi komunikasi yang kita kenal sekarang. karena itu yang nanti akan menjadi argumen Profesor Astrid Susanto yang nanti akan mengubah itu,” ungkap Tito di tengah diskusi via aplikasi Zoom ini.

Pada tahun 1949 muncul namanya akademi politik di Jogja. Data yang Tito temukan, akademi itulah yang pertama kali mengajarkan ilmu penerangan. “Nanti akademi ilmu politik ini akan berubah menjadi jurusan ilmu sosial politik, Fakultas Ilmu Hukum, UGM,” paparnya.

Bagaimana Lika-liku Diskursus Ilmu Komunikasi di Indonesia?

Menurut penuturan Tito, ada otoritas pengajar publisistik, seperti publisistik Unpad dan UGM. Perubahan Ilmu Publisistik di 1970an ke ilmu komunikasi yang diajukan Prof Astrid Susanto, “ini pernah jadi Dekan Unpad lalu pindah ke UI,” katanya. Tito menjelaskan, menurut beberapa akademisi, ada perubahan paradigma ilmu pengetahuan saat itu. “Hampir semuanya berargumen termasuk saya, berargumen, ini merupakan transisi dari paradigma ilmu penegtahuan yang sebelumnya Jerman ya, dari paradigma eropa kontinental, ke arah yang baru nih anglo saxon Amerika,” papar Tito.

“Kalau kita lacak buku-buku periode 1950an kita bisa lihat itu di amerika sedang ramai sekali  ilmu komunikasi. Yang sebelumnya mazhabnya Laswell itu digempur, lalu muncul kontestan-kontenstan lain Lazarsfeld,” kata TIto mengungkap pelacakannya. Lazarfeld, kata Tito, pernah kerjasama dengan Horkheimer dan Adorno (ilmuwan Jerman). Mereka melakukan riset bersama walau tampak agak berbeda pendekatannya, katanya. Tito juga menjelaskan tokoh-tokoh ilmu komunikasi yang gandrung saat periode 50an di Amerika lainnya seperti Curt Levin, atau Hovland yang pertama kali mengenalkan metode eksperimentasi di ilmu komunikasi.

Legitimasi Ilmu Komunikasi di negeri Abang Sam justru mulai bergema pada 1950an di kampus-kampus di sana. Pada 1970, paradigma itu mempengaruhi indonesia. Dalam Arti, kata Tito, pada saat itu, paradigma ‘ilmu komunikasi’ sudah mulai diperbincangkan akademisi-akademisi indonesia. “Itu yang menjadi landasan banyak yang mengatakan pendidikan ilmu komunikasi mulai bergeser dari eropa kontinental ke anglo saxon,” tambah Tito.

Apakah tepat? Menurut Tito, tidak terlalu salah juga argumen tersebut, karena periode 1960an, ada Profesor Alwi Dahlan, orang indonesia yang pertama kali mengunjungi Amerika. Alwi mendapatkan gelar doktor pada 1967. Ia, kata Tito, jadi salah satu sarjana ilmu komunikasi indonesia yang pertama kali menamatkan studinya di Amerika.

Bersambung ke Rezim Soeharto dan Pembangunanisme Ilmu Komunikasi

Reading Time: 3 minutes

After the Amir Effendi Siregar Forum (AES) was previously enlivened by more than 200 registrants, this time the AES Forum was held again. The creative team of the AES Forum now carries the theme of the Great Epistemic Communication of the New Order and Post-Development. This time, on July 4, 2020, the speaker reached one of the conclusions that President Soeharto’s Regime Influenced the Indonesian Communication Curriculum and Research.

“Yesterday Lutfi Adam explained that history was divided into history of what, history of who, and history of where. Maybe this month the AES Forum seems to be focusing on history of What. So, about communication studies in Indonesia,” said Holy Rafika Dhona, the moderator and lecturer in this Communication Science Department, started the event via the Zoom Video Conference.

In this second AES Forum Series, Justito Adiprasetio, a communication science academician from Padjadjaran University (Unpad) will talk about a bit and epistemic history of communication since the Suharto order. How ‘publicistics’ and ‘penerangan/ information’ become the main stream. Before the term ‘communication science’ as a popular study program on Indonesian campuses. Justito, fondly called Tito, is completing a book on the History of Knowledge and the Power of Communication Sciences in Indonesia.

The Suharto Regime Influenced Communication Science Curriculum and Research

How Are Communication Research Disciplined to Support Developmentalism?

Tito, quoting Michael Morfit in Prisma Magazine, in the 1970-1980s, in almost every government department established a research and development section to carry out “line-oriented research.” The same thing happened in the Information Department (departemen penerangan).

Research which now relies on for example, grants from the Directorate of Higher Education or the Ministry of Communication and Information, used to rely entirely on the Ministry of Information. The campus at that time was really attached to the Ministry of Information as a research sponsor. This is what Tito found too. For example, he explained the findings of campus research in the 1970-1980 period. Nearly all research is ordered by the Ministry of Information or Bappenas. The project also revolved around, for example, on Family Planning (KB), Pelita planning, and others.

It happened at UI, Unpad, the School of Communication Science in Surabaya and so on. All research titles refer to as if to strengthen government policy. “In fact, I am looking for research data sponsored by the private sector. At least or research that is not sponsored by the state there is no data. I did not say there was no yes. But there is no data. But maybe that is my limitation,” he said in surprise. “Even the private sector has been funded to support the Ministry of Information.

Even Prof. Alwi Dahlan wrote about communication research in the 1970-1980s. Alwi said, the research at that time only showed the legitimacy of science without a fundamental purpose. Alwi Dahlan said many of the results of the study at that time did not reflect the symptoms studied. “This is the exact sentence from Alwi Dahlan. In the 1970-1980 communication Science studies, in the end, ‘measuring tools, scale, design, and even similar questionnaires, were used to examine different problems without appropriate changes and deepening’ he wrote,” Tito said, reading the quote written by Alwi Dahlan.

continued to the Soeharto Regime Influencing Research and Curriculum (2)

——————————

Starting this month’s AES Forum, Justito Adiprasetio will present the Epistemic Concussion of the New Order and Post-Development Communication. Furthermore, on July 18 there will be Ignatius Haryanto who will present an initial trace of the history of communication science in Indonesia. Then between 26-31 filled by Antoni from Univ. Brawijaya. Holy Rafika, Head of the Center for Study and Documentation of Alternative Media Nadim UII Communications, said, it is likely that Antoni from Brawijaya, one of them will tell Brawijaya’s experience working in the field of communication history studies.

Reading Time: 2 minutes

Setelah Forum Amir Effendi Siregar (AES) sebelumnya diramaikan dengan lebih dari 200 pendaftar, kali ini Forum AES kembali diadakan. Tim kreatif Forum AES kini mengangkat tema Gegar Epistemik Komunikasi Orde Baru dan Pasca Pembangunan. Kali ini, pada 4 Juli 2020, pembicara mencapai salah satu kesimpulan bahwa Rezim Presiden Soeharto Memengaruhi Kurikulum dan Riset Ilmu Komunikasi Indonesia.

“Kemarin Mas Luthfi Adam sudah menjelaskan bahwa sejarah itu dibagi menjadi history of what, history of who, dan history of where. Mungkin bulan ini Forum AES tampaknya akan fokus pada history of What. Jadi, tentang studi komunikasi di Indonesia,” ucap Holy Rafika Dhona, moderator sekaligus Dosen di Program studi ini, memulai acara via aplikasi Zoom ini.

Pada Serial Forum AES yang kedua ini, Justito Adiprasetio, akademisi ilmu komunikasi dari Universitas Padjadjaran (Unpad) akan berbicara tentang sekelumit dan sejarah epistemik komunikasi sejak orde Soeharto. Bagaimana ‘publisisitik’ dan ‘penerangan’ menjadi arus utama. Sebelum istilah ‘ilmu komunikasi’ sebagai program studi populer di kampus-kampus Indonesia. Justito, akrab dipanggil Tito,  sedang merampungkan buku tentang Sejarah Pengetahuan dan Kekuasaan Imu Komunikasi di Indonesia.

Rezim Soeharto Memengaruhi Kurikulum dan Riset Ilmu Komunikasi

Bagaimana Riset-riset Komunikasi Didisiplinkan untuk Mendukung Pembangunanisme?

Tito, mengutip Michael Morfit di Majalah Prisma, pada 1970-1980an, hampir di setiap departemen pemerintah mendirikan satu seksi penelitian dan pengembangan untuk melaksanakan “penelitian yang berorientasi pada garis kebijakan.” Begitu juga yang terjadi di Departemen Penerangan.

Riset-riset yang kini bersandar pada misalnya, hibah Dikti atau Kominfo, dulu justru bertumpu total pada Departemen Penerangan. Kampus saat itu benar-benar menempel pada Departemen Penerangan sebagai sponsor penelitian. Inilah yang ditemukan Tito juga. Misalnya, ia memaparkan temuan riset-riset kampus  pada periode 1970-1980. Hampir semua riset adalah pesanan Departemen Penerangan atau Bappenas. Proyeknya pun berkisar misalnya, pada soal Keluarga Berencana (KB), perencanaan Pelita, dan lain-lain.

Itu terjadi di UI, Unpad, Sekolah TInggi Ilmu Komunikasi di Surabaya dan sebagainya. Semua judul riset mengacu seakan untuk menguatkan kebijakan pemerintah. “Bahkan saya mencari data penelitian yang disponsori oleh swasta. Setidaknya atau penelitian yang tidak disponsori negara itu tidak ada datanya. Saya tidak bilang tidak ada ya. Tapi tidak ada datanya. Tapi mungkin itu keterbatasan saya,” katanya heran. “Bahkan yang swasta pun dibiayai untuk men-support Departemen Penerangan.

Bahkan Prof. Alwi Dahlan menulis tentang riset-riset komunikasi pada 1970-1980an itu. Kata Alwi, riset-riset saat itu hanya menunjukkan legitimasi keilmuan tanpa tujuan yang mendasar. Alwi Dahlan menyebutkan banyak hasil penelitian pada masa itu tidak mencerminkan gejala yang diteliti. “Ini kalimatnya persis dari alwi dahlan.  Tahun 1970-1980 riset-riset komunikasi itu pada akhirnya, ‘alat ukur, skala, desain, dan bahkan kuesioner yang serupa, digunakan untuk meneliti masalah yang berbeda-beda tanpa perubahan dan pendalaman yang layak’ tulisnya,” kata Tito membaca kutipan tulisan Alwi Dahlan.

bersambung ke Rezim Soeharto Memengaruhi Riset dan Kurikulum

——————————

Mengawali Forum AES bulan ini ada Justito Adiprasetio yang akan mempresentasikan Gegar Epistemik Komunikasi Orde Baru dan Paska Pembangunan. Selanjutnya, pada 18 juli akan hadir Ignatius Haryanto yang akan mempresentasikan penelusuran awal sejarah ilmu komunikasi di indonesia. Kemudian antara 26-31 diisi oleh Antoni dari Univ. Brawijaya. Holy Rafika, Kepala Pusat Studi dan Dokumentasi Media Alternatif Nadim Komunikasi UII, mengakatan, kemungkinan Antoni dari Brawijaya salah satunya akan bercerita pengalaman Brawijaya bekerja dalam lapangan kajian sejarah komunikasi ini.

Reading Time: 4 minutes

Belajar dari Pengalaman Luthfi Adam Meriset 68 Ribu Halaman Arsip 

Kali ini Luthfi Adam menjelaskan tentang Meriset Komunikasi dengan Metode Penelitian Sejarah. Luthfi, dalam kajian Seri Bincang Sejarah Komunikasi yang pertama, ini selain bicara tentang metode sejarah, ia juga mengurai urgensi pengajaran Sejarah Jurnalistik dalam kurikulum jurusan komunikasi.  Serial bincang sejarah yang dipandu Holy Rafika Dhona, akademisi Komunikasi UII dengan fokus kajian Komunikasi Geografi, ini berusaha mendedah cakrawala pemikiran sejarah komunikasi di Indonesia. Hal ini jarang, atau bahkan luput dari perhatian akademisi Komunikasi, Jurnalistik, di Indonesia. “Bagaimana scholar komunikasi meminjam teknik meneliti sejarah untuk riset komunikasi mereka?” Luthfi memulai dengan pantikan ketika memulai diskusi tentang metode sejarah dalam Forum Amir Effendi Siregar (Forum AES) ini.

“Sebenarnya, metode penelitian sejarah tidak jauh berbeda dengan cara kerja jurnalis,” papar Luthfi. “Kita semua tahu, sejarah adalah narasi analisis yang terjadi di masa lalu. Singkatnya, metode penelitian sejarah adalah teknik-teknik yang dibangun oleh penelitinya, sejarahwan, untuk mengakses sumber-sumber utama, untuk mengetahui apa yang terjadi di masa lalu,” jelasnya kemudian.

Menurut Luthfi, kata kunci dalam metode penelitian sejarah adalah primary resources (sumber primer).  Sejarawan biasa menyebutnya arsip, kata luthfi. Jika jurnalis melakukan investigasi untuk memberitakan suatu masalah lewat wawancara, lewat memotret, dan penelusuran data, “pada prinsipnya pada penelitian sejarah, sama. mencari sumber primer. jurnalis mencari sumber primer juga.” katanya.

Bagaimana caranya

Sejarawan harus menelusuri arsip dari data sejarah atau arsip yang dibutuhkan untuk menceritakan kejadian atau persitiwa di periode tertentu. Arsip jenisnya beragam kata akademisi yang juga pernah mengajar di Prodi Ilmu Komunikasi UII pada medio 2006-2007, ini. Bentuk arsip bisa surat kabar, korespondensi, artefak, oral history melalui interview dll. “Jadi yang harus ditekankan dari prinsip dasar dari metode sejarah adalah penggunaa sumber primer untuk menceritakan masa lalau atau menganalisis apa yang terjadi di masa lalu.” jelasnya.

Meski terlihat sederhana, sesungguhnya tetap menantang, kalau tidak mau dibilang sulit, kata Luthfi. Apa hal-hal yang menantang maksud Luthfi itu? Pertama, mengumpukan sumber primer atau yang sering sejarawan sebut arsip. Mengumpulkan sumber primer membutuhkan beberapa keterampilan. Ia membutuhkan waktu, ketekunan dan kesabaran.

Belum lagi, penulisan sejarahnya. Ia sangat bergantung terhadap topik yang akan diteliti. “Mempelajari tentang kolonialisme, misalnya, tidak saja mempelajari temanya, tapi juga sejarah sains, sejarah agrikultur, dan lainnya. Insting sejarawan adalah, arsip yang digunakan sejarawan terdahhulu itu ada dimana, apa yang mereka pakai,” jelasnya.

“Karena modal utama sejarawan adalah sumber primer, membaca karya sejarah, maka kita akan sangat sibuk mencatat bukan cuma argumen atau ceritanya, tapi arsip apa yang digunakan. Arsip apa yang digunakan sejarawan lain. Makanya saya lebih banyak menongkrongi footnote-nya,” kata Luthfi Adam.

Pemahaman mengenai arsip adalah vital. Luthfi meneliti sejarah Kebun Raya Bogor di abad 19. Pada awal proposal, ia sudah harus menunjukkan topiknya penting, pada komite penilai. Pertanyaan riset yang ia ajukan juga harus bagus. “Tapi kemudian saya harus menunjukkanpada Komite Disertasi saya. Dimana letak arsip yang saya ambil dan ternyata setelah saya telusuri, letak arsipnya ada di tiga negara: Indonesia, Belanda, dan Inggris,” ceritanya. Kemudian akhirnya ia harus melakukan riset lapangan selama satu tahun mengunjungi berbagai perpustakaan pusat arsip di tiga negara tersebut. “itu kesulitan pertama,” katanya.

Kesulitan Kedua

Menurut tuturan Luthfi pada diskusi Forum AES , mengumpulkan data sejarah yang kita butuhkan cukup kompleks. Luthfi bilang ini susah-susah gampang, “Susah karena untuk mendapatkan satu set arsip yang kita butuhkan, kita harus membaca belasan bundel dulu. Kita dikasih nih sama petugas arsip ini. Oh, ternyata nggak  relevan ini. Ternyata yang relevan itu di bundel yang ketiga. Di tengah-tengah.”

Luthfi juga bercerita tentang pustaka majalah kebun raya bogor di tengah abad 19. Dia meneliti 100 tahun Kebun Raya Bogor. Ia memotret dan mempelajari 68 ribu halaman. Konsekuensinya, data file harus cepat ditandai, file-ing, nama koleksi apa, tetap pengorganisasian data yang rapi.

“Intinya metode riset sejarah, seperti metode riset yang lain sebetulnya. Metode riset sejarah, sesederhana kita harus menemukan sumber primer. Hanya saja, untuk menemukan, mengambil, dan mengorganisir datanya sangat menantang, bukan sulit. He-he-he. Apalagi kurun waktunya panjang,” jelasnya.

Salah satu tantangan Luthfi adalah penguasaan bahasa. Kemampuan menemukan arsip, juga kemampuan memahami bahasa aslinya. Bahasa arsip.

Seakan Penelitian Sejarah Sangat Teknikal, Dimana konsep?

Kata Luthfi, upaya utama para sejarawan memang ingin membangun sebuah narasi. “Hasrat utama kami itu menceritakan sesuatu,” katanya.

“Tapi bukan ketika menceritakan sesuatu kami hanya bercetrtia. Kami tentu saja terpengaruh oleh teori ilmu sosial. Biasanya sejarawan itu menyimpan teori itu di latar belakang. jadi fokusnya membangun narasi cerita. Saya pribadi sangat terpengaruh oleh konsep dan teori dalam kajian orientalisme misalnya, kajian poskolonial, teknik discourse analysis juga saya coba terapkan,” kata Luthfi

Ia mengatakan, ia terpengaruh oleh kajian budaya material di antropologi. Luthfi juga terpengaruh oleh latar belakang komunikasi dan studi media dalam penelitiannya. Luthfi menyontohkan, misalnya, ia sangat tertarik untuk mengumpulkan data dari media cetak. Biasanya sejarawan punya ketertarikan tertentu.

“Saya contohnya tertarik media-media apa yang dipublikasikan Kebun Raya Bogor atau medai saintifik dan agrikultur. Mulai abad tengah 19 itu jurnal ilmiah dan populer itu banyak terbit. Justru bahan bakar utama riset saya itu dari situ, dari media cetak,” katanya.

“Namun akhirnya teori konsep yang kami pakai, kami aplikasikan tapi kami buat meresap ke dalam cerita,” paparnya.

Lalu dimana Letak Argumen dalam Penulisan Cerita Sejarawan?

Biasanya, sambung Luthfi, sejarawan populer mungkin tidak punya beban untuk berargumen dengan sejarawan lain. Namun, selain menyajikan cerita yang enak dibaca oleh awam, sejarawan harus terikat dengan perkembangan literatur di disiplin sejarah sendiri, katanya.

“Saya dilatih menjadi ahli sejarah asia tenggara, khususnya indonesia. Saya menulis sejarah kolonialisme, sejarah lingkungan, sejarah sains, maka saya harus juga ikut serta dengan  literatur mutakhir di kajian tadi. Ada buku sejarah yang saya coba revisi,” jelasnya.

Luthfi coba menawarkan pendekatan baru dalam memahami kolonialisme dan lain-lain. Namun, itu semua sejarawan lakukan sembari  upaya mereka menulis sejarah dan menulis cerita agar karyanya bisa sebanyak-banyaknya dibaca oleh pembaca, “bukan saja oleh spesialis.”

Reading Time: < 1 minute
0Days0Hours0Minutes


Forum Amir Effendi Siregar menggelar Bincang Sejarah Komunikasi Seri 2

Topik : Gegar Epistemik Komunikasi Orde Baru dan Pasca Pembangunan

Pembicara: Justito Adiprasetio
Justito menyelesaikan studi magisternya di Kajian Budaya dan Media, UGM dan Ilmu Komunikasi UGM. Saat ini mengajar di Fakultas Ilmu Komunikasi, UNPAD, dan sedang menyelesaikan buku yang membahas Sejarah Kekuasaan/ Pengetahuan Ilmu Komunikasi Indonesia.

Jadwal

Sabtu, 4 Juli 2020 (09:30)
Via Zoom

Registrasi (Tidak dipungut biaya):

 

Reading Time: 4 minutes

At a glance, the summary of the AES # 1 Forum is: Journalistic History Important To Taught in the Department of Journalism and Communication Studies. Lutfi Adam, scholar graduate from Northwestern University, speaker of the Amir Effendi Siregar Forum (Forum AES) said that. This First Session held on June 28, 2020 in a Zoom video conference by the Center for Study and Alternative Media Documentation NADIM of Communication Science Department at Univeersitas Islam Indonesia. He was the first speaker at the first AES Forum this year with the theme: History of Communication.

Holy Rafika Dhona is the Head of PSDMA Nadim Communication Department at UII. He, as well as the moderator, said he and the team chose Lutfi Adam, Ph.D as the guest speaker with many reason. First, because he had a history and communication background as well. “And his knowledge is still new because he just graduated in May 2020. He is also the winner of a dissertation prize at the Department of History at Northwestern University. It was the campus where he earned his doctorate,” said Holy Rafika, Lecturer in Communication Science Department. Holy also have a specialty in the field of Geographic Communication studies.

Rafika also explained why this forum was called the AES Forum. This forum was formed by Communication Science Department of UII to talk about ideas or spirit about communication in particular. “This name is a reminder of the founder of our department. And he is also owned by all members of the press in Indonesia.”

Historical Method for Communication Research

Lutfi Adam said in his presentation at the beginning, this event was also planned to be made into a book. “So maybe in the future, I will write a method for communication research. It should be in more detail in the form of an essay. So that the picture can be clearer.”

On this occasion, first, Lutfi Adam explained what he would explain in this session. “I will discuss the historical method as communication research,” he said. “Before begining this session, there is any disclaimer: I was no longer a scholar of communication science. My last education was history. So, I represent the discipline of history, not communication,” he continued. Lutfi said, he would share a historical method. However, he can provide an overview of how to adopt historical research methods for communication research. It is because he has a background in communication and media studies.

Then, we neet to answer many question when discussing the history of communication. First, why is it important to research the history of communication. Then, how about researching history. Then, how does communication adopt the historical method for research?

Mas Marco and Journalistic History

Hence, Lutfi Adam also explained the urgency of the history of communication by recounting flash back a few years ago when in the 2005 and 2006 he composed a undergraduated thesis. The theme of the undergraduated thesis he raised was a matter of his strong urge to write journalistic history. He read many sources, especially, about the experiences and stories of journalism journey of Tirto Adi Soerjo. And at least, He finally passed on Mas Marco Kartodikromo as an early journalist.

Pramoedya Ananta Toer’s Tetralogy Book very inspiring Luthfi. That the book titled is This Earth of Mankind. “In the past, when I was composing my research, I was concerning to compose journalistic history. Tetralogy of This Earth of Mankind was inspiring me. And in my opinion was the history of the press,” Luthfi explained.

According to Lutfi, in this Tetralogy Book of This Earth of Mankind, the role of journalists is embedded in an era known as the era of nationalism.

“I am curious about this character, Mas Marco. Then I wrote a thesis on the history of Mas Marco Kartodikromo.” Then he raised the question, “how do I write history in the communication department  Faculty?”

Why is Journalistic History Important To Taught in the Department of Journalism and Communication Studies ?

At that time, said Lutfi, he used solely the instincts used in the work of journalism. “Use the journalist’s instincts,” he said. How the journalists worked, mapped out topics, searched for data, written sources, interviewed sources, “and I plotted to do that and retrieve data. I went to the National Library. Read many, including the writings of Mas Marco from other newspapers I managed to collect,” he recalled.

“Until I brought the writing and I always got insights and research topics from there. That also made me succeed in getting a historical scholarship. If I could get a doctoral research history scholarship, wasn’t that what I used yesterday as the journalist’s instincts is a meaningful historical method? actually, it is no different,” he thought later.

“What I want to say is, why I say it is important to examine the history of Mas Marco? The difficulty when I first studied journalistic theory was to contextualize the values ​​taught by my lecturers,” he explained. “But more or less what I got in the classroom, the illustrations are not detailed and not down to earth. That makes me feel journalistic history is an important course. So it should taught in the journalism department,” concluded Luthfi.

“Because in my opinion, even though history is a very practical science, but when explored, journalistic history is very rich. It also can help journalistic scholars to develop journalism. We can not develop journalism, journalistic values, and journalistic techniques, if we do not understand the history of journalistic development,” said Lutfi to complete the story.

Also read Research on Communication with Historical Research Methods

 

Reading Time: 3 minutes

Sekilas, ringkasan dari Forum AES #1 adalah sejarah jurnalistik penting diajarkan di Jurusan Jurnalistik dan Ilmu Komunikasi. Luthfi Adam, akademisi lulusan doktoral Nortwestern University, pembicara Forum Amir Effendi Siregar (Forum AES) Sesi Pertama mengatakan itu pada 28 Juni 2020 di sebuah video konverensi Zoom bersama Pusat Studi dan Dokumentasi Media Alternatif NADIM Prodi Ilmu Komunikasi UII. Ia adalah pembicara pertama dalam Forum AES pertama yang tahun ini mengangkat tema Sejarah Bincang Sejarah Komunikasi.

Holy Rafika Dhona, Kepala PSDM Nadim Komunikasi UII, juga sebagai moderator, mengatakan ia dan tim memilih Luthfi Adam., Ph.d sebagai narasumber karena ia memiliki latar belakang sejarah dan komunikasi sekaligus. “dan masih hangat ilmunya karena baru lulus di Mei 2020. Ia juga pemenang disertasi di Departemen Sejarah di Nortwestern University, kampus tempatnya meraih gelar doktor” kata Holy Rafika, Dosen di Prodi Ilmu Komunikasi yang spesialisasinya adalah klaster kajian Komunikasi Geografi.

Holy juga menjelaskan mengapa forum ini disebut Forum AES.  Forum ini dibentuk oleh prodi untuk membicarakan tentang ide atau gagasan  hal ihwal komunikasi khususnya. “Nama ini jadi pengingat atas pendiri prodi kami dan juga dimiliki oleh semua insan pers di indonesia.”

Luthfi Adam mengatakan dalam pemaparannya di mula, event ini juga rencananya akan dijadikan buku. “jadi mungkin untuk ke depannya, untuk metode untuk riset komunikasi ini lebih detil saya tulis dalam bentuk esai. Sehingga bisa lebih jelas gambarannya.”

Mengapa Riset Sejarah Komunikasi (Jurnalistik) Penting?

Pada kesempatan ini, mula-mula Luthfi Adam menjelaskan apa saja yang akan ia jelaskan pada sesi ini. “Saya akan membahasa metode sejarah sebagai riset komunikasi,” katanya. “Sebelumnya disclaimer ini,  saya bukan lagi scholar ilmu komunikasi. Pendidikan terakhir saya adalah sejarah. Jadi, saya mewakili disiplin sejarah, bukan komunikasi,” sambungnya. Luthfi mengatakan, ia akan membagikan sebuah metode sejarah. Namun, karena ia memiliki latar belakang ilmu komunikasi, ia bisa memberikan gambaran mengenai bagaimana mengadopsi metode penelitian sejarah untuk riset komunikasi.

Ada beberapa pertanyaan perlu dijawab ketika berdiskusi soal sejarah komunikasi. Pertama, mengapa penting meriset sejarah komunikasi. Kemudian, bagaimana meneliti sejarah. Lalu, bagaimana komunikasi mengadopsi metode sejarah untuk riset?

Luthfi Adam menjelaskan urgensi sejarah komunikasi dengan menceritakan flash back beberapa belas tahun yang lalu ketika media 2005 dan 2006 ia menyusun skripsi. Tema skripsi yang ia angkat adalah soal dorongan kuatnya menulis sejarah jurnalistik. Ia membuka banyak sumber, terutama, tentang pengalaman dan cerita perjalanan jurnalistik Tirto Adi Soerjo dan akhirnya diteruskan oleh Mas Marco Kartodikromo sebagi jurnalis pemula. Ia terinspirasi oleh Tetralogi Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer. “Dulu saya ketika menyusun skripsi saya terdorong untuk menyusun sejarah jurnalistik. Saya terdorong dengan tetralogi bumi manusia yang menurut saya adalah sejarah pers,” jelas Luthfi.

Menurut Luthfi, dalam Tetralogi Bumi Manusia inilah tersemat peran jurnalis dalam sebuah era periode yang dikenal dengan era kebangkita nasionalisme.

“Saya penasaran dengan tokoh ini, Mas Marco. Lalu saya menulis skripsi mengenai sejarah Mas Marco Kartodikromo.” Lalu ia mengemukakan pertanyaan, “bagaimana saya menulis sejarah di jurusan komunikasi di Fikom UNPAD?”

Mas Marco dan Sejarah Jurnalistik

Saat itu, tutur Luthfi, ia menggunakan semata-mata insting yang digunakan dalam proses kerja jurnalsitik. “Pakai insting wartawan,” katanya. Bagaimana waratawan bekerja, memetakan topik, mencari data, sumber tertulis, mewawancari sumber, “dan saya plek melakukan itu dan mengambil data. Saya pergi ke Perpustakaan Nasional. Di sana ternyata surat kabar yang didirikan yang diasuh Mas Marco itu cukup lengkap: Doenia Bergerak. termasuk tulisan Mas Marco dari koran lain berhasil saya kumpulkan,” kenangnya.

“Sampai saya bawa tulisan itu dan saya selalu mendapat insight dan topik penelitian dari situ. Itu juga yang membuat saya berhasil mendapatkan beasiswa sejarah. Kalau saya bisa dapat beasiswa riset sejarah doktoral, bukankah yang kemarin saya  pakai insting wartawan itu adalah metode sejarah berarti? tekniknya sebenarnya tidak berbeda kan,” pikirnya kemudian.

“Saya ingin katakan, mengapa saya bilang penting meneliti sejarah Mas Marco, kesulitan ketika saya dulu mempelajari teori jurnalistik adalah mengonstekstualisasikan nilai-nilai yang diajarkan dosen-dosen saya,” jelasnya. “Tapi kurang lebih apa yang saya dapat di ruang kelas itu ilustrasinya tidak detil dan tidak membumi. Itu membuat saya merasa sejarah jurnalistik adalah matakuliah penting dan diajarkan di jurusan jurnalistik,” simpul Luthfi.

“Karena menurut saya, walaupun sejarah adalah ilmu yang sangat praktis, tapi kalau digali, sejarah jurnalistik itu sangat kaya dan bisa membantu scholar jurnalistik untuk mengembangkan ilmu jurnalistik, bagaimana kita mau mengembangkan ilmu jurnalistik, nilai-nilai jurnalistik, teknik-teknis jurnalistik, kalau kita tidak memahami sejarah perkembangan jurnalistik tersebut,” ungkap Luthfi memungkasi cerita.

Baca juga Meriset Komunikasi dengan Metode Penelitian Sejarah

Untuk melihat video dokumentasi:
Reading Time: < 1 minute
0Days0Hours0Minutes0Seconds

UNDANGAN DISKUSI
Forum Bang Amir Effendi Siregar

SERIAL BINCANG SEJARAH KOMUNIKASI

Pusat Studi dan Dokumentasi NADIM Prodi Ilmu Komunikasi UII


Sesi 1: Sejarah sebagai Metode Riset Komunikasi

Pembicara
Luthfi Adam, Ph.D

Disertasinya “Cultivating Power: The Buitenzorg Botanic Garden and Empire Building in Netherland East Indies, 1745-1919” adalah pemenang Harold Perkin Prize sebagai disertasi terbaik tahun 2019-2020 di Departemen Sejarah Northwestern University, Illinois, Amerika Serikat. Sebelumnya kuliah Jurnalistik Unpad dan Kajian Budaya Media UGM.

Jadwal

Minggu, 28 Juni 2020
09.30 WIB
via Zoom (in Bahasa)

 

Registrasi: tidak dipungut biaya

https://bit.ly/serialbincangsejarahkomunikasi

 

 

Reading Time: < 1 minute

​Michael Schudson, pernah mengeluh “penulisan sejarah Komunikasi ‘sayangnya kurang berkembang” (Schudson. 1991). Meski keluhan Schudson itu sudah lama dituliskan, namun fakta itu masih terjadi di Indonesia.  Tak banyak sarjana Indonesia yang menyibukkan diri dengan sejarah komunikasi. Sebagai metode, sejarah barangkali tak disampaikan sebagai metodologi penelitian dalam mata kuliah metode. 

Padahal, sejarah penting sebagai instrument berefleksi. Ia adalah ruang membaca gerak ilmu komunikasi; sampai dimana ia dan apa kekurangannya. Sejarah penting untuk menentukan apa yang kita perlu ingat dan apa yang perlu kita lupakan untuk kebaikan masa depan. 

Forum Bang Amir Effendi Siregar – Prodi Komunikasi UII berniat mengadakan Bincang Serial Sejarah Komunikasi di Indonesia yang digelar dari Juni hingga September dengan platform online. 

Beberapa pembicara yang bersedia hadir adalah Prof. Rianne Subijanto  (Baruch College, CUNY) – Dr. Luthfi Adam (Northwestern) – Dr. Masduki  (UII) – Ignatius Haryanto (UMN) – Dr. Antoni (Univ Brawijaya) – Dr. Wijayanto (LP3ES) – Justito Adiprasetio (Universitas Padjadjaran) – Muzayin Nazaruddin (Tartu) – Puji Rianto (UII) – I Gusti Ngurah Putra (UGM) – Wisnu Prastyo Utama (UGM) – Norman Joshua (Northwestern)

Sementara topik-topik yang akan dibicarakan adalah Sejarah sebagai Metode Riset Komunikasi, Area Studi Sejarah Komunikasi, Genealogy Studi Komunikasi, Sejarah Pendidikan Komunikasi, Sejarah Studi Komunikasi Pasca Pembangunan,  Sejarah Sistem Pers dan Penyiaran Indonesia, Sejarah Pers Mahasiswa di Indonesia, Sejarah Media Militer Indonesia – Sejarah Humas/PR di Indonesia. 

Acara ini gratis bagi siapa saja, semoga menjadi ikhtiar dari dan untuk semua.

Reading Time: 3 minutes

Agaknya anda sebagai mahasiswa Komunikasi UII, tak bisa tidak, segera harus mengalihkan fokus pada ide dan gagasan Bang Amir. Ya, anda harus meluangkan waktu barang setengah jam saja untuk menyelami kenikmatan berwacana dan merasakan keindahan idealisme yang tegak dan lurus dari seorang pendiri tempat Anda kuliah hari ini. Betul, anda memang jangan sia-siakan waktu untuk segera fokus pada pemikiran Bang Amir, tentu di tengah kesibukan mengerjakan tugas kuliah, menyiapkan kepanitiaan ini itu, mengatur jadwal agar tak ketiduran saat jam kuliah, hingga masalah romantisme pemuda kekinian lain,  dan tentu bisa saja membaca ide Bang Amir disambi memutar lagu kesukaan di spotify. Anda bakal tahu istilah baru yang jadi kata kunci hampir seluruh mata kuliah soal media, ekonomi politik dan demokrasi di Komunikasi tanpa harus mengerutkan dahi. Tiga hal itu adalah: diversity of ownership, diversity of voices, dan diversity of content. Namun, pertama kali, anda harus memertanyakan ketika anda (akan) membaca tulisan berikut di awal buku ini:

Demokrasi termasuk di dalamnya demokrasi media tidak pernah datang dari langit. Demokrasi bukanlah sesuatu yang terberi (Given). Sebaliknya, demokrasi harus terus menerus diperjuangkan, bahkan di negara yang sudah maju sekalipun.”

Begitulah salah satu kutipan yang ditulis oleh Puji Rianto, orang dekat Amir Effendi Siregar, salah satu pendiri Ilmu Komunikasi UII. Pengantar itu ia letakkan di awal tulisan untuk mengantarkan pembaca memasuki ruang intelektual yang hadir lewat tulisan-tulisan dan karya Bang Amir dalam buku berjudul “Media, Kapitalisme, dan Demokrasi dalam dinamika politik indonesia kontemporer.” Ini adalah buku himpunan gagasan-gaasan Bang Amir, nama panggilan Amir Effendi Siregar, yang terserak dan tersebar di beragam kesempatan dan sempat terarsip di Prodi Ilmu Komunikasi UII dan belum sempat terpublikasikan. Guna merawat ide-ide di dalamnya, maka menerbitkannya menjadi sebuah buku adalah salah satu upayanya, selain juga mendiskusikan dan membuka siapapun untuk membedahnya dalam tulisan-tulisan lain selain tulisan kali ini.

Maksud Rianto menulis itu, bahwa demokrasi meski ia hadir di negara maju, bahkan di negara berkembang, tetap butuh generasi muda yang mengawal dan meneruskan perjuangan. Rianto ingin mengajak pembaca, terutama dosen dan mahasiswa Komunikasi UII, tempat pembaca portal ini berada, meneruskan dan mengawal demokrasi yang telah dikerjakan Bang Amir. Jika begitu, maka ide-ide Bang Amir yang selama ini telah ia gaungkan selama hidup, bergerak, juga dalam membangun Komunikasi UII,  bisa terus mengabadi. Ya, karena generasi muda merawatnya.

Buku yang merupakan pijar pemikiran Bang Amir selama paska reformasi ini beberapa masih relevan hingga saat ini dalam kajian komunikasi kontemporer. Misalnya, Bang Amir menulis bersama Rahayu, soal digitalisasi yang hingga sampai hari ini belum kunjung usai. Ada tarik meanarik kepentingan antara swasta, publik, dan tentu saja pemerintah yang belakangan ini kian liberal saja dalam pengelolaan media, komunikasi dan demokrasi.

Bila anda membaca buku ini, anda akan menemukan sajian lengkap penting kajian soal regulasi dan regulator media, kondisi media dan demokrasi hari ini, dan juga soal bagaimana ekonomi politik memandang media dan demokratisasi media di Indonesia secara kontemporer. Misalnya, dalam tulisan berjudul “Mengefektifkan Peran-Peran Lembaga Pers”, dengan satu paragraf kuat, Bang Amir, yang juga adalah pentolan Pers Mahasiswa Himmah UII era 70an ini, menegaskan bahwa menjaga kebebasan pers dan pers itu sendiri bukan semata tugas media/ pers, melainkan publik masyarakat. Kebebasan pers juga penting, karena tanpanya, demokrasi dan kebebasan masyarakat bermedia tak akan terwujud.

Ini pesan kuat pada dosen dan mahasiswa Komunikasi UII bahwa tugas gerakan literasi media, pemantauan media dan demokratisasinya, ada di pundak warga akademik pula. Sebab, bagaimanapun, warga akademiklah yang bisa memandang media dan demokratisasi media secara jernih dan berjarak, ketimbang pers dan regulatornya sendiri, bahkan. Bang Amir menulis:

Kita menyadari bahwa peranan lembaga dan institusi pers belum cukup baik. Semuanya masih dalam proses untuk memaksimalkan efektivitas lembaga dan institusi pers. Beberapa kelemahan yang terjadi selama ini bukan alasan untuk membunuh kemerdekaan pers karena tanpa kemerdekaan pers, demokrasi akan mati. Perlu usaha bersama semua komponen masyarakat untuk meningkatkan profesionalisme dalam dunia kerja pers.

Selain tulisan Bang Amir, ada juga testimoni kolega, sahabat, dan mantan mahasiswa Bang Amir, di akhir buku. Semuanya berkesan. Jika anda membacanya, sejenak anda akan merasa kehilangan dengan Bang Amir meskipun belum pernah kuliah bersama dosen cerdas ini. Sebab dari penuturan di testimoni ini, anda juga akan merasa Bang Amir adalah sosok dosen yang diidamkan, mencerdaskan, tak menggurui, teguh memegang prinsip tapi sekaligus menghargai pendapat orang lain. Bukan saja soal media, komunikasi dan demokratisasi media, tapi anda juga akan memahami dan mengamini bahwa apa yang dikerjakan Bang Amir adalah soal kebenaran dan kemanusiaan, yang harus anda lanjutkan!