Forum AES: Meriset Komunikasi dengan Metode Penelitian Sejarah – Pengalaman Meriset 68 Ribu Halaman Data Sejarah

Reading Time: 4 minutes

Belajar dari Pengalaman Luthfi Adam Meriset 68 Ribu Halaman Arsip 

Kali ini Luthfi Adam menjelaskan tentang Meriset Komunikasi dengan Metode Penelitian Sejarah. Luthfi, dalam kajian Seri Bincang Sejarah Komunikasi yang pertama, ini selain bicara tentang metode sejarah, ia juga mengurai urgensi pengajaran Sejarah Jurnalistik dalam kurikulum jurusan komunikasi.  Serial bincang sejarah yang dipandu Holy Rafika Dhona, akademisi Komunikasi UII dengan fokus kajian Komunikasi Geografi, ini berusaha mendedah cakrawala pemikiran sejarah komunikasi di Indonesia. Hal ini jarang, atau bahkan luput dari perhatian akademisi Komunikasi, Jurnalistik, di Indonesia. “Bagaimana scholar komunikasi meminjam teknik meneliti sejarah untuk riset komunikasi mereka?” Luthfi memulai dengan pantikan ketika memulai diskusi tentang metode sejarah dalam Forum Amir Effendi Siregar (Forum AES) ini.

“Sebenarnya, metode penelitian sejarah tidak jauh berbeda dengan cara kerja jurnalis,” papar Luthfi. “Kita semua tahu, sejarah adalah narasi analisis yang terjadi di masa lalu. Singkatnya, metode penelitian sejarah adalah teknik-teknik yang dibangun oleh penelitinya, sejarahwan, untuk mengakses sumber-sumber utama, untuk mengetahui apa yang terjadi di masa lalu,” jelasnya kemudian.

Menurut Luthfi, kata kunci dalam metode penelitian sejarah adalah primary resources (sumber primer).  Sejarawan biasa menyebutnya arsip, kata luthfi. Jika jurnalis melakukan investigasi untuk memberitakan suatu masalah lewat wawancara, lewat memotret, dan penelusuran data, “pada prinsipnya pada penelitian sejarah, sama. mencari sumber primer. jurnalis mencari sumber primer juga.” katanya.

Bagaimana caranya

Sejarawan harus menelusuri arsip dari data sejarah atau arsip yang dibutuhkan untuk menceritakan kejadian atau persitiwa di periode tertentu. Arsip jenisnya beragam kata akademisi yang juga pernah mengajar di Prodi Ilmu Komunikasi UII pada medio 2006-2007, ini. Bentuk arsip bisa surat kabar, korespondensi, artefak, oral history melalui interview dll. “Jadi yang harus ditekankan dari prinsip dasar dari metode sejarah adalah penggunaa sumber primer untuk menceritakan masa lalau atau menganalisis apa yang terjadi di masa lalu.” jelasnya.

Meski terlihat sederhana, sesungguhnya tetap menantang, kalau tidak mau dibilang sulit, kata Luthfi. Apa hal-hal yang menantang maksud Luthfi itu? Pertama, mengumpukan sumber primer atau yang sering sejarawan sebut arsip. Mengumpulkan sumber primer membutuhkan beberapa keterampilan. Ia membutuhkan waktu, ketekunan dan kesabaran.

Belum lagi, penulisan sejarahnya. Ia sangat bergantung terhadap topik yang akan diteliti. “Mempelajari tentang kolonialisme, misalnya, tidak saja mempelajari temanya, tapi juga sejarah sains, sejarah agrikultur, dan lainnya. Insting sejarawan adalah, arsip yang digunakan sejarawan terdahhulu itu ada dimana, apa yang mereka pakai,” jelasnya.

“Karena modal utama sejarawan adalah sumber primer, membaca karya sejarah, maka kita akan sangat sibuk mencatat bukan cuma argumen atau ceritanya, tapi arsip apa yang digunakan. Arsip apa yang digunakan sejarawan lain. Makanya saya lebih banyak menongkrongi footnote-nya,” kata Luthfi Adam.

Pemahaman mengenai arsip adalah vital. Luthfi meneliti sejarah Kebun Raya Bogor di abad 19. Pada awal proposal, ia sudah harus menunjukkan topiknya penting, pada komite penilai. Pertanyaan riset yang ia ajukan juga harus bagus. “Tapi kemudian saya harus menunjukkanpada Komite Disertasi saya. Dimana letak arsip yang saya ambil dan ternyata setelah saya telusuri, letak arsipnya ada di tiga negara: Indonesia, Belanda, dan Inggris,” ceritanya. Kemudian akhirnya ia harus melakukan riset lapangan selama satu tahun mengunjungi berbagai perpustakaan pusat arsip di tiga negara tersebut. “itu kesulitan pertama,” katanya.

Kesulitan Kedua

Menurut tuturan Luthfi pada diskusi Forum AES , mengumpulkan data sejarah yang kita butuhkan cukup kompleks. Luthfi bilang ini susah-susah gampang, “Susah karena untuk mendapatkan satu set arsip yang kita butuhkan, kita harus membaca belasan bundel dulu. Kita dikasih nih sama petugas arsip ini. Oh, ternyata nggak  relevan ini. Ternyata yang relevan itu di bundel yang ketiga. Di tengah-tengah.”

Luthfi juga bercerita tentang pustaka majalah kebun raya bogor di tengah abad 19. Dia meneliti 100 tahun Kebun Raya Bogor. Ia memotret dan mempelajari 68 ribu halaman. Konsekuensinya, data file harus cepat ditandai, file-ing, nama koleksi apa, tetap pengorganisasian data yang rapi.

“Intinya metode riset sejarah, seperti metode riset yang lain sebetulnya. Metode riset sejarah, sesederhana kita harus menemukan sumber primer. Hanya saja, untuk menemukan, mengambil, dan mengorganisir datanya sangat menantang, bukan sulit. He-he-he. Apalagi kurun waktunya panjang,” jelasnya.

Salah satu tantangan Luthfi adalah penguasaan bahasa. Kemampuan menemukan arsip, juga kemampuan memahami bahasa aslinya. Bahasa arsip.

Seakan Penelitian Sejarah Sangat Teknikal, Dimana konsep?

Kata Luthfi, upaya utama para sejarawan memang ingin membangun sebuah narasi. “Hasrat utama kami itu menceritakan sesuatu,” katanya.

“Tapi bukan ketika menceritakan sesuatu kami hanya bercetrtia. Kami tentu saja terpengaruh oleh teori ilmu sosial. Biasanya sejarawan itu menyimpan teori itu di latar belakang. jadi fokusnya membangun narasi cerita. Saya pribadi sangat terpengaruh oleh konsep dan teori dalam kajian orientalisme misalnya, kajian poskolonial, teknik discourse analysis juga saya coba terapkan,” kata Luthfi

Ia mengatakan, ia terpengaruh oleh kajian budaya material di antropologi. Luthfi juga terpengaruh oleh latar belakang komunikasi dan studi media dalam penelitiannya. Luthfi menyontohkan, misalnya, ia sangat tertarik untuk mengumpulkan data dari media cetak. Biasanya sejarawan punya ketertarikan tertentu.

“Saya contohnya tertarik media-media apa yang dipublikasikan Kebun Raya Bogor atau medai saintifik dan agrikultur. Mulai abad tengah 19 itu jurnal ilmiah dan populer itu banyak terbit. Justru bahan bakar utama riset saya itu dari situ, dari media cetak,” katanya.

“Namun akhirnya teori konsep yang kami pakai, kami aplikasikan tapi kami buat meresap ke dalam cerita,” paparnya.

Lalu dimana Letak Argumen dalam Penulisan Cerita Sejarawan?

Biasanya, sambung Luthfi, sejarawan populer mungkin tidak punya beban untuk berargumen dengan sejarawan lain. Namun, selain menyajikan cerita yang enak dibaca oleh awam, sejarawan harus terikat dengan perkembangan literatur di disiplin sejarah sendiri, katanya.

“Saya dilatih menjadi ahli sejarah asia tenggara, khususnya indonesia. Saya menulis sejarah kolonialisme, sejarah lingkungan, sejarah sains, maka saya harus juga ikut serta dengan  literatur mutakhir di kajian tadi. Ada buku sejarah yang saya coba revisi,” jelasnya.

Luthfi coba menawarkan pendekatan baru dalam memahami kolonialisme dan lain-lain. Namun, itu semua sejarawan lakukan sembari  upaya mereka menulis sejarah dan menulis cerita agar karyanya bisa sebanyak-banyaknya dibaca oleh pembaca, “bukan saja oleh spesialis.”