Forum Amir Effendi Siregar #2: Rezim Soeharto Memengaruhi Kurikulum dan Riset Ilmu Komunikasi Indonesia (1)

Reading Time: 2 minutes

Setelah Forum Amir Effendi Siregar (AES) sebelumnya diramaikan dengan lebih dari 200 pendaftar, kali ini Forum AES kembali diadakan. Tim kreatif Forum AES kini mengangkat tema Gegar Epistemik Komunikasi Orde Baru dan Pasca Pembangunan. Kali ini, pada 4 Juli 2020, pembicara mencapai salah satu kesimpulan bahwa Rezim Presiden Soeharto Memengaruhi Kurikulum dan Riset Ilmu Komunikasi Indonesia.

“Kemarin Mas Luthfi Adam sudah menjelaskan bahwa sejarah itu dibagi menjadi history of what, history of who, dan history of where. Mungkin bulan ini Forum AES tampaknya akan fokus pada history of What. Jadi, tentang studi komunikasi di Indonesia,” ucap Holy Rafika Dhona, moderator sekaligus Dosen di Program studi ini, memulai acara via aplikasi Zoom ini.

Pada Serial Forum AES yang kedua ini, Justito Adiprasetio, akademisi ilmu komunikasi dari Universitas Padjadjaran (Unpad) akan berbicara tentang sekelumit dan sejarah epistemik komunikasi sejak orde Soeharto. Bagaimana ‘publisisitik’ dan ‘penerangan’ menjadi arus utama. Sebelum istilah ‘ilmu komunikasi’ sebagai program studi populer di kampus-kampus Indonesia. Justito, akrab dipanggil Tito,  sedang merampungkan buku tentang Sejarah Pengetahuan dan Kekuasaan Imu Komunikasi di Indonesia.

Rezim Soeharto Memengaruhi Kurikulum dan Riset Ilmu Komunikasi

Bagaimana Riset-riset Komunikasi Didisiplinkan untuk Mendukung Pembangunanisme?

Tito, mengutip Michael Morfit di Majalah Prisma, pada 1970-1980an, hampir di setiap departemen pemerintah mendirikan satu seksi penelitian dan pengembangan untuk melaksanakan “penelitian yang berorientasi pada garis kebijakan.” Begitu juga yang terjadi di Departemen Penerangan.

Riset-riset yang kini bersandar pada misalnya, hibah Dikti atau Kominfo, dulu justru bertumpu total pada Departemen Penerangan. Kampus saat itu benar-benar menempel pada Departemen Penerangan sebagai sponsor penelitian. Inilah yang ditemukan Tito juga. Misalnya, ia memaparkan temuan riset-riset kampus  pada periode 1970-1980. Hampir semua riset adalah pesanan Departemen Penerangan atau Bappenas. Proyeknya pun berkisar misalnya, pada soal Keluarga Berencana (KB), perencanaan Pelita, dan lain-lain.

Itu terjadi di UI, Unpad, Sekolah TInggi Ilmu Komunikasi di Surabaya dan sebagainya. Semua judul riset mengacu seakan untuk menguatkan kebijakan pemerintah. “Bahkan saya mencari data penelitian yang disponsori oleh swasta. Setidaknya atau penelitian yang tidak disponsori negara itu tidak ada datanya. Saya tidak bilang tidak ada ya. Tapi tidak ada datanya. Tapi mungkin itu keterbatasan saya,” katanya heran. “Bahkan yang swasta pun dibiayai untuk men-support Departemen Penerangan.

Bahkan Prof. Alwi Dahlan menulis tentang riset-riset komunikasi pada 1970-1980an itu. Kata Alwi, riset-riset saat itu hanya menunjukkan legitimasi keilmuan tanpa tujuan yang mendasar. Alwi Dahlan menyebutkan banyak hasil penelitian pada masa itu tidak mencerminkan gejala yang diteliti. “Ini kalimatnya persis dari alwi dahlan.  Tahun 1970-1980 riset-riset komunikasi itu pada akhirnya, ‘alat ukur, skala, desain, dan bahkan kuesioner yang serupa, digunakan untuk meneliti masalah yang berbeda-beda tanpa perubahan dan pendalaman yang layak’ tulisnya,” kata Tito membaca kutipan tulisan Alwi Dahlan.

bersambung ke Rezim Soeharto Memengaruhi Riset dan Kurikulum

——————————

Mengawali Forum AES bulan ini ada Justito Adiprasetio yang akan mempresentasikan Gegar Epistemik Komunikasi Orde Baru dan Paska Pembangunan. Selanjutnya, pada 18 juli akan hadir Ignatius Haryanto yang akan mempresentasikan penelusuran awal sejarah ilmu komunikasi di indonesia. Kemudian antara 26-31 diisi oleh Antoni dari Univ. Brawijaya. Holy Rafika, Kepala Pusat Studi dan Dokumentasi Media Alternatif Nadim Komunikasi UII, mengakatan, kemungkinan Antoni dari Brawijaya salah satunya akan bercerita pengalaman Brawijaya bekerja dalam lapangan kajian sejarah komunikasi ini.