Media, Kapitalisme, dan Demokrasi: Pijar Pemikiran Bang Amir yang Terserak

Reading Time: 3 minutes

Agaknya anda sebagai mahasiswa Komunikasi UII, tak bisa tidak, segera harus mengalihkan fokus pada ide dan gagasan Bang Amir. Ya, anda harus meluangkan waktu barang setengah jam saja untuk menyelami kenikmatan berwacana dan merasakan keindahan idealisme yang tegak dan lurus dari seorang pendiri tempat Anda kuliah hari ini. Betul, anda memang jangan sia-siakan waktu untuk segera fokus pada pemikiran Bang Amir, tentu di tengah kesibukan mengerjakan tugas kuliah, menyiapkan kepanitiaan ini itu, mengatur jadwal agar tak ketiduran saat jam kuliah, hingga masalah romantisme pemuda kekinian lain,  dan tentu bisa saja membaca ide Bang Amir disambi memutar lagu kesukaan di spotify. Anda bakal tahu istilah baru yang jadi kata kunci hampir seluruh mata kuliah soal media, ekonomi politik dan demokrasi di Komunikasi tanpa harus mengerutkan dahi. Tiga hal itu adalah: diversity of ownership, diversity of voices, dan diversity of content. Namun, pertama kali, anda harus memertanyakan ketika anda (akan) membaca tulisan berikut di awal buku ini:

Demokrasi termasuk di dalamnya demokrasi media tidak pernah datang dari langit. Demokrasi bukanlah sesuatu yang terberi (Given). Sebaliknya, demokrasi harus terus menerus diperjuangkan, bahkan di negara yang sudah maju sekalipun.”

Begitulah salah satu kutipan yang ditulis oleh Puji Rianto, orang dekat Amir Effendi Siregar, salah satu pendiri Ilmu Komunikasi UII. Pengantar itu ia letakkan di awal tulisan untuk mengantarkan pembaca memasuki ruang intelektual yang hadir lewat tulisan-tulisan dan karya Bang Amir dalam buku berjudul “Media, Kapitalisme, dan Demokrasi dalam dinamika politik indonesia kontemporer.” Ini adalah buku himpunan gagasan-gaasan Bang Amir, nama panggilan Amir Effendi Siregar, yang terserak dan tersebar di beragam kesempatan dan sempat terarsip di Prodi Ilmu Komunikasi UII dan belum sempat terpublikasikan. Guna merawat ide-ide di dalamnya, maka menerbitkannya menjadi sebuah buku adalah salah satu upayanya, selain juga mendiskusikan dan membuka siapapun untuk membedahnya dalam tulisan-tulisan lain selain tulisan kali ini.

Maksud Rianto menulis itu, bahwa demokrasi meski ia hadir di negara maju, bahkan di negara berkembang, tetap butuh generasi muda yang mengawal dan meneruskan perjuangan. Rianto ingin mengajak pembaca, terutama dosen dan mahasiswa Komunikasi UII, tempat pembaca portal ini berada, meneruskan dan mengawal demokrasi yang telah dikerjakan Bang Amir. Jika begitu, maka ide-ide Bang Amir yang selama ini telah ia gaungkan selama hidup, bergerak, juga dalam membangun Komunikasi UII,  bisa terus mengabadi. Ya, karena generasi muda merawatnya.

Buku yang merupakan pijar pemikiran Bang Amir selama paska reformasi ini beberapa masih relevan hingga saat ini dalam kajian komunikasi kontemporer. Misalnya, Bang Amir menulis bersama Rahayu, soal digitalisasi yang hingga sampai hari ini belum kunjung usai. Ada tarik meanarik kepentingan antara swasta, publik, dan tentu saja pemerintah yang belakangan ini kian liberal saja dalam pengelolaan media, komunikasi dan demokrasi.

Bila anda membaca buku ini, anda akan menemukan sajian lengkap penting kajian soal regulasi dan regulator media, kondisi media dan demokrasi hari ini, dan juga soal bagaimana ekonomi politik memandang media dan demokratisasi media di Indonesia secara kontemporer. Misalnya, dalam tulisan berjudul “Mengefektifkan Peran-Peran Lembaga Pers”, dengan satu paragraf kuat, Bang Amir, yang juga adalah pentolan Pers Mahasiswa Himmah UII era 70an ini, menegaskan bahwa menjaga kebebasan pers dan pers itu sendiri bukan semata tugas media/ pers, melainkan publik masyarakat. Kebebasan pers juga penting, karena tanpanya, demokrasi dan kebebasan masyarakat bermedia tak akan terwujud.

Ini pesan kuat pada dosen dan mahasiswa Komunikasi UII bahwa tugas gerakan literasi media, pemantauan media dan demokratisasinya, ada di pundak warga akademik pula. Sebab, bagaimanapun, warga akademiklah yang bisa memandang media dan demokratisasi media secara jernih dan berjarak, ketimbang pers dan regulatornya sendiri, bahkan. Bang Amir menulis:

Kita menyadari bahwa peranan lembaga dan institusi pers belum cukup baik. Semuanya masih dalam proses untuk memaksimalkan efektivitas lembaga dan institusi pers. Beberapa kelemahan yang terjadi selama ini bukan alasan untuk membunuh kemerdekaan pers karena tanpa kemerdekaan pers, demokrasi akan mati. Perlu usaha bersama semua komponen masyarakat untuk meningkatkan profesionalisme dalam dunia kerja pers.

Selain tulisan Bang Amir, ada juga testimoni kolega, sahabat, dan mantan mahasiswa Bang Amir, di akhir buku. Semuanya berkesan. Jika anda membacanya, sejenak anda akan merasa kehilangan dengan Bang Amir meskipun belum pernah kuliah bersama dosen cerdas ini. Sebab dari penuturan di testimoni ini, anda juga akan merasa Bang Amir adalah sosok dosen yang diidamkan, mencerdaskan, tak menggurui, teguh memegang prinsip tapi sekaligus menghargai pendapat orang lain. Bukan saja soal media, komunikasi dan demokratisasi media, tapi anda juga akan memahami dan mengamini bahwa apa yang dikerjakan Bang Amir adalah soal kebenaran dan kemanusiaan, yang harus anda lanjutkan!