Tag Archive for: amir effendi siregar

Reading Time: 3 minutes

We have often heard about semiotics as a method of visual text analysis. Names like Roland Barthes, Pierce, or Saussure are no stranger to communicative friends. Semiotics as an analytical scalpel has even become a trend in analysis around the 2000s as seen from the existence of several compulsory courses on several campuses in Indonesia.

However, Muzayin Nazaruddin, one of the lecturers at the Islamic University Communication Science who also seriously studied semiotics with a master and took a Ph. D at the University of Tartu, wants to see in a bigger picture the tendency to use methods that are common in Indonesia. Semiotics should serve as a paradigm, not a text analysis tool.

At the Amir Effendi Siregar (AES) Forum on September 26, 2020, Muzayin showed a tendency to use the same semiotic tradition. As if it has become an example of how to operate the semiotic method in analyzing films or images. “That’s not wrong, but it’s boring.”

Muzayin gave an example of a study that is commonly carried out by students and, unfortunately, also carried out by researchers. For example, research looks at what symbols appear in certain films or media. What is the meaning contained. For example, there are students researching patriotism in films. However, if we reflect on it, it turns out that he did not contribute anything to the development of the concept of patriotism.

In research prevalence using semiotics, for example, there is also a common sense which is useless. “For example, we analyze a photo of a woman with a hijab, detailed analysis, we analyze the hijab, the background, what she is wearing, the analysis is complicated. The denotation and connotation are like this. Then at the end, this conclusion concludes that this woman is Muslim,” Muzayin explained an example of semiotic research which is common in Indonesia. “It looks like this is cool, the thesis is thick, but this is sad, because to say that a Muslim woman wearing a hijab does not have to use a semiotic. High school student also know that the hijab is a marker of a Muslim. This is where I often see semiotic research failing,” said Muzayin exemplifying more details. This ultimately makes semiotics studies boring, stagnant, and says nothing and does not contribute,” Muzayin said further.

How is the actual history of semiotics studies in Indonesia?

The development of semiotics studies in Indonesia can be seen for example in the 1990s. “In the 1990s, student study groups studied semiotics not from lecture texts. Then according to Emmanuel Subangun said that in 1992 the Circle of Semiotic Enthusiasts in Jakarta was established,” said Muzayin. This is quite encouraging, according to him.

Returning to the tendency of semiotics to be a text analysis tool rather than a paradigm. When Semiotics is seen as a paradigm, it does not narrow it just as analytical methods. The semiotic paradigm allows researchers to see every event, phenomenon, media, and natural phenomenon with a semiotic perspective. For example, at Tartu University, where Muzayin took his doctoral program in Semiotics, there were various studies based on semiotics, such as Culture Semiotics, zoo semiotic, there is even something that is not yet common in Indonesia which is called bio-semiotic in Tartu.

For semiotics, communication is the central point for understanding culture, said Muzayin. “This is especially for cultural semiotics,” Muzayin explained. As for Biosemiotics, Communication is a fundamental concept to understand nature. Muzayin continued, even for ecosemiotics, communication is central to understanding the dynamics relations of culture-nature.

“At the animal and plant level, even semiotics is understood as a communication between the two to see the semiosis process,” Muzayin added. This is a perspective that we need to understand together.

Semiotic analysis with a micro analysis model is to see the unit of analysis in detail in the film: break it down, then see the signs in the scene, then translate into denotation, index, symbol connotations, etc.

In fact there are other ways, for example macro analysis by viewing the film, by relating various phenomena or the context of the film being made and then analyzed. “How do we see a film as a sign that is present in a certain sign system and then interpreted as a sign,” Muzayin explained.

 

Reading Time: < 1 minute

Dalam forum Amir Effendi Siregar pada 26 September 2020, Muzayin Nazaruddin, Dosen Komunikasi UII, menyampaikan beberapa kebosanan dan kekeliruan para peneliti di indonesia terkait penggunaan analisis semiotika dalam membedah teks dalam sistem tanda.

Muzayin, yang sedang melanjutkan studi Ph.D di Tartu University di bidang semiotika, melihat kesalahan cara pandang semiotika oleh banyak peneliti di Indonesia. “DI Indonesia semiotika baru dipandang sebagai sebuah metode saja, belum sebagai sebuah paradigma,” ungkap Muzayin.

Selama ini kalau ingin menganalisis sebuah teks gambar, video, karya sastra, puisi pasti akan memakai semiotika. “Itu keliru sacara paradigmatis. Dalam komunikasi ada tradisi semiotika, cara mamandang fenomena dengan kacamata semiotika,” ungkap Muzayin.

Muzayin mencontohkan sebuah penelitian yang lazim dilakukan mahasiswa dan, sayangnya, juga dilakukan peneliti. Misal penelitian melihat simbol apa yang muncul dalam film atau media tertentu. Apa makna yang terkandung. Misalnya ada mahasiswa meneliti patriotisme dalam film. Tapi kalau kita kemudian renungkan, ternyata dia tidak memberikan sumbangsih apapun bagi pengembangan konsep patriotisme.

Kembali pada kecenderungan semiotika menjadi sebuah alat analisis teks ketimbang paradigma. Ketika Semiotika dipandang sebagai paradigma, maka ia tidak menyempit hanya sebagai metode analisis. Paradigma semiotik memungkinkan peneliti melihat setiap peristiwa, fenomena, media, dan gejala alam dengan cara pandang semiotik.

Misal, di Tartu University, tempat Muzayin mengambil program doktor Semiotika, hadir beragam kajian berdasar semiotika. Seperti Semiotika Budaya (culture semiotic), zoo semiotic, bahkan ada yang belum lazim di Indonesia yang di Tartu disebut bio-semiotic.

Lalu ia melanjutkan penjelasaannya dengan memberikan contoh bahwa jika semua fenomena komunikasi, peristiwa dilihat sebagai sebuah sign, yang bisa kita lihat di level penerima, atau level produksi, atau di level konteks jika semua dilihat secara semiosis yang saling berkaitan, maka semua peristiwa bisa dianalisa menggunakan semiotika.

Reading Time: < 1 minute

Forum Amir Effendi Siregar – Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia menggelar

Serial Bincang Sejarah Komunikasi (Sesi 12)

Topik:

Surat Kabar Militer di Indonesia 1939-1966: “Kedaruratan dan Militerisasi”

Pembicara:

Norman Joshua

Sedang menempuh studi program doktoral di Department of History, Northwestern University. Memiliki keterkaitan penelitian seperti kajian Asia Tenggara, sejarah Militer, militerisasi, hubungan sipil-militer, ekonomi politik internasional, dan revolusi nasional indonesia. Pernah menulis buku berjudul “Pesindo: Pemuda Sosialis Indonesia 1945-1950” yang diterbitkan oleh Marjin Kiri.

 

Jadwal

Sabtu 3 Oktober 2020
Pukul 14.00.
Via Zoom

atau

 

Registrasi:

 

Reading Time: 2 minutes

Semiotika sebagi sebuah metode analisis teks visual sudah sering kita dengar. Nama seperti Roland Barthes, Pierce, atau Saussure pasti juga tak asing bagi teman-temen komunikasi. Semiotika sebagai pisau bedah analisis bahkan pernah menjadi trend analisis di sekitar tahun 2000an terlihat dari adanya beberapa mata kuliah wajib di beberapa kampus di Indonesia.

Tetapi, Muzayin Nazaruddin, salah sorang pengajar di Ilmu Komunikasi Universitas Islam yang juga secara serius mempelajari semiotika dengan master dan menempuh Ph. D di University of Tartu, ingin melihat dalam gambaran lebih besar kecenderungan penggunaan metode yang jamak di lakukan di Indonesia. Semiotika harus dijadikan sebagai paradigma, alih-alih sebuah alat analisis teks.

Dalam acara Forum Amir Effendi Siregar (AES) pada 26 September 2020, Muzayin menunjukkan kecenderungan penggunakan tradisi semiotik yang itu-itu saja. Seolah sudah menjadi contoh bagaimana mengoperasikan metode semiotika dalam mengalisas film atau gambar. “Itu tidak salah, tapi membosankan.”

Dalam kelaziman penelitan menggunakan semiotika, misal, ada juga kelaziman yang sia-sia. “Misal kita menganalisis sebuah foto perempuan berjilbab, analisis detil, kita analisis jilbabnya, latarnya, apa yang ia pakai, analisisnya rumit. Denotasi dan konotasinya seperti ini. Lalu di ujungnya, kesimpulan ini menyimpulkan bahwa perempuan ini muslim,” Muzayin menjelaskan contoh penelitian semiotika yang umum di indonesia.

“Kelihatannya seperti ini keren, tebal skripsinya, tetapi Ini menyedihkan, karena untuk mengatakan perempuan berjilbab ini muslim tidak usah menggunakan semiotik. Anak SMA pun tahu bahwa jilbab adalah penanda seorang muslim. Di sinilah saya sering melihat penelitian semiotika gagal,” papar Muzayin mencontohkan lebih detil. Ini kan akhirnya membuat kajian semiotika menjadi membosankan, stagnan, dan tidak mengatakan apa-apa dan tidak berkontribusi,” kata Muzayin lebih jauh.

Bagaimana sebenarnya sejarah studi semiotika di Indonesia?

Perkembangan studi Semiotika di Indonesia bisa dilihat misal di tahun 1990an. “Di awal dekade 1990an kelompok studi mahasiswa belajar semiotika bukan dari teks-teks kuliah justru. Kemudian menurut Emmanuel Subangun mengatakan bahwa pada 1992 telah berdiri Lingkaran Peminat Semiotik  di Jakarta,” kata Muzayin. Ini cukup menggembirakan, menurutnya.

Bagi semiotika, komunikasi adalah titik sentral untuk memahami kebudayaan (culture), kata Muzayin. “Ini khususnya bagi cultural semiotics,” jelas Muzayin.  Sedangkan bagi Biosemiotics, komunikasi adalah konsep mendasar untuk memahani nature. Muzayin melanjutkan, bahkan bagi ecosemiotics, komunikasi adalah sentral untuk memahami dinamika relasi culture-nature.

“Di level hewan dan tumbuhan, bahkan semiotik dipahami sebagai komunikasi antara keduanya untuk melihat proses semiosis,” kata Muzayin menambahkan. Ini adalah perspektif yang perlu kita pahami bersama.

Analisis semiotika dengan model mikro analisis yaitu melihat unit analisis dengan detail dalam film: memecah, lalu melihat tanda-tanda dalam scene tersebut, lalu menerjemahkan dalam konotasi denotasi, indeks, simbol, dll.

Sebenarnya ada cara lain, misalnya analsis secara makro dengan melihat film tersebut, dengan mengaitkan berbagai fenomena atau konteks film itu dibuat lalu dianalisis. “Bagaimana kita melihat film sebagai sebuah sign yang hadir dalam sebuah sign system tertentu lalu dimaknai sebagai suatu petanda,” jelas Muzayin.

Reading Time: < 1 minute
0Days0Hours

Forum Amir Effendi Siregar – Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia menggelar

Serial Bincang Sejarah Komunikasi (Sesi 11)

Topik:

Stagnasi Riset Komunikasi: Belajar dari Sejarah Semiotika dalam Studi Komunikasi Indonesia

Pembicara:

Muzayin Nazaruddin

Dosen Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia. Memperoleh pendidikan semiotika di International Master Program of Semiotica, Department of Semiotics, University of Tartu, Estonia. Saat ini tengah menempuh PhD di almamater yang sama dengan topik riset Semiotika bencana, memadukan pendekatan cultural semiotics dan ecosemiotics.

 

Jadwal

Sabtu, 26 September 2020
Pukul 15:30 WIB
Via Zoom

atau

 

Registrasi:

Reading Time: 2 minutes

Music always accompanies our daily activities. Music has also existed since time immemorial. For the sake of study studies in Indonesia, this article will be shortened from the colonial and pre-independence era.

In a history talk held by the Amir Effendi Siregar (AES) Forum, Idham Resmadi, a Creative Industry Lecturer from Telkom University, shared the history of music studies into 4 phases of periodization. “Starting from the colonial and pre-independence era, paca independence, the music industry era and post-reformation,” said Idhar on September 19, 2020.

At the event held by PSDMA Nadim Communications UII, Idhar said that the first phase, namely in the colonial period appeared on a radio station namely Radio NIROM, where the Dutch always enjoyed music every day. Then came soeara NIROM (NIROM voice) in the form of a leaflet. The contents are the program schedule on the radio.

Over time there was struggle and cultural influences began to develop. “For example, between fans of traditional keroncong and keroncong which is somewhat westernized. The term will develop, the arena of cultural contestation, there is the term keroncong gado-gado (Mixed Keroncong) because there is an assumption that western influence has cultural influences and negative values,” explained Idhar.

The second phase is post-independence. In this era, music has not entered the era of commercialization, and there is still a struggle for influence between East and West. The aura of fighting for discourse on cultural values ​​is still strong, said Idhar. But in print media like Diskorina, debate and criticism are no longer as harsh as before. And they tend to contain light information like astrology, humorous stories, crossword puzzles, etc. “Back then, Western culture was easier for teenagers to accept.”

In the 65th century, music became a political propaganda tool for the New Order. In the past, ABRI (Kostrad) used music, even through musical performances. “Even the cultural strategy is for soldiers to have their own band,” he added.

After that, there was a struggle for the discourse “Kampungan vs Gaul” between fans of the music “Dangdut vs Rock” which was quite busy. This kind of opinion was brought by Aktuil magazine. Also in the magazine, fashion trends are also easily accepted and adapted by the Indonesian people.

In the 1970s-1980s music developed. And this year, music entered the world of industry. There are also many tabloids and music magazines that support the music industry from an economic perspective. The magazine is not far from entertainment, lifestyle, or gossip. “There is a symbiosis of mutualism between music and media. The media supports the promotion of music, and music becomes a commodity.”

 

Reading Time: 2 minutes

Musik selalu menemani aktifitas sehari-hari kita. Musik juga hadir sejak jaman dahulu. Demi kepentingan kajian studi di Indonesia, maka tulisan ini akan diperpendek mulai jaman kolonial dan pra kemerdekaan.

Dalam bincang sejarah yang diadakan Forum Amir Effendi Siregar (AES), Idham Resmadi, Dosen Industri Kreatif dari Telkom University, membagi sejarah kajian musik dalam 4 fase periodesasi. “Dimulai dari jaman kolonial dan pra kemerdekaan, paca kemerdekaan, masa industri musik dan pasca reformasi,” kata Idhar pada 19 September 2020.

Pada acara yang diadakan oleh PSDMA Nadim Komunikasi UII, ini Idhar mengatakan bahwa fase pertama yaitu di masa kolonial muncul Radio NIROM, dimana penjajah Belanda sehari hari selalu menikmati musik. Lalu muncul juga soeara NIROM yang berbentuk leaflet. Isinya adalah susunan acara di radio tersebut.

Lama-lama terjadi perebutan dan pengaruh budaya mulai berkembang. “Misalnya antara penggemar keroncong tradisional dengan keroncong yang agak kebarat-baratan. Bakal berkembang istilah, arena kontestasi budaya, ada istilah keroncong gado-gado karena ada anggapan pengaruh barat itu ada pengaruh kebudayaan dan nilai-nilai negatif,” jelas Idhar.

Fase kedua adalah pascakemerdekaan. Di jaman ini musik belum memasuki era komersialisasi, dan masih terjadi perebutan pengaruh antara Timur dan Barat. Aura perebutan wacana nilai budayanya masih kuat, kata Idhar. Tapi di media cetak seperti Diskorina, perdebatan dan kritik tak lagi keras seperti sebelumnya. Dan cenderung berisi informasi ringan seperti astrologi, cerita humor, teka teki silang, dll. “Saat itu, budaya Barat lebih mudah diterima oleh remaja.”

Di tahun sekitar 65an, musik menjadi alat propaganda politik orde Baru. Dulu musik dipakai oleh ABRI (kostrad), bahkan juga melalui pertunjukan musik. “Bahkan strategi budayanya itu tentara sampai punya grup band sendiri,” imbuhnya.

Setelah itu ada perebutan wacana “Kampungan vs Gaul” antara penggemar musik “Dangdut vs Rock” yang cukup ramai. Opini seperti ini dibawa oleh majalah Aktuil. Di majalah itu juga, trend busana juga mudah ditetima dan diadaptasi oleh masyarakat Indonesia.

Di tahun 1970an-1980an musik berkembang. Dan di tahun tahun ini musik memasuki dunia industri. Banyak juga berkembang tabloid dan majalah musik yang isinya menunjang industri musik dari aspek ekonomi. Majalah itu isinya tak jauh dari hiburan, gaya hidup, atau Gosip. “Terjadilah simbiosis mutualisme antara musik dan media. Media menjadi penunjang promosi musik, dan musik menjadi komoditas.”

Reading Time: < 1 minute
0Days0Hours

Forum Amir Effendi Siregar – Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia menggelar Serial Bincang Sejarah Komunikasi (Sesi 10)

Topik:

Membaca Ulang Media Musik Indonesia: Selera, Kelas, dan Warisannya

Pembicara:

Idhar Resmadi

Penulis dan dosen di Fakultas Industri Kreatif Telkom University. Lebih banyak menulis tentang musik dan budaya populer. Penerima hibah riset musik dari British Council 2019 dan hibah kebudayaan Fasilitasi Bidang Kebudayaan 2020 dari Kemendikbud. Bukunya antara lain Music Records Indie Label (2008), Based on A True Story Pure Saturday (2013), Jurnalime Musik dan Selingkar Wilayahnya (2018), dan beberapa buku antologi lainnya.

Jadwal:

Sabtu, 19 September 2020
Pukul 10:00 WIB
Via Zoom

dan

Registrasi:

 

 

Reading Time: 3 minutes

Sebuah slogan yang sarat spirit heroisme: Sekali Di Udara Tetap di Udara, menggema di media sosial dan saluran terestrial dalam bulan ini, menjelang perayaan tiga perempat abad kelahiran RRI (radio republik Indonesia), radio nasional tertua. Slogan ini lahir dalam masa revolusi kemerdekaan tahun 1948, ketika studio RRI Solo dibawah pimpinan R. Maladi, harus pindah ke Karanganyar menghindari aksi militer Belanda.

Slogan ini terus di rawat dalam benak dan disuarakan hingga 75 tahun kemudian, sebagai isyarat verbal bahwa RRI bertekad menjadi bagian dari proses ’revolusi udara’ pasca kemerdekaan. Meski lanskap sosial politik dan sistem media telah berubah. Merujuk buku Sedjarah Radio (1963), teks lengkap slogan itu sebetulnya didahului kalimat: Sekali Merdeka Tetap Merdeka, namun kalimat ini kerapkali tidak disertakan. Terinspirasi dari daya tahan slogan ini melewati berbagai periode politik dan sistem media, tulisan pendek ini menggali sejarah RRI dalam kerangka kebijakan penyiaran di Indonesia.

Dua Periode Kritis

Memasuki usia 75 tahun bagi RRI berarti juga memasuki periode ketiga kebijakan penyiaran Indonesia. Kebijakan pertama berlaku sejak radio ini lahir tahun 1945 hingga tahun 1970. Corak dasarnya monopolistik, di mana otoritas politik Indonesia hanya memiliki satu jenis media, yaitu radio pemerintah, radio siaran di luar pemerintah dianggap illegal. Model monopolistik ini jamak terjadi di negara lain termasuk di Inggris di mana sejak berdiri tahun 1927 hingga 1970-an, BBC menjadi pemain tunggal. Perbedaannya, BBC sejak awal menjadi media publik berbasis kebudayaan publik, sedang RRI lahir dengan semangat menjadi radio politik, mendukung pemerintah pasca kemerdekaan, bukan kebudayaan.

Orientasi penyiaran yang bersifat politis ini dikoreksi pada periode antara tahun 1970-1995-an. Keluarnya PP No. 55/1970 yang mengakui radio swasta mengakhiri era dominasi tunggal RRI. Regulasi ini mempromosikan radio sebagai institusi budaya, berbasis kreatifitas masyarakat dengan tujuan sosial-komersial. Kompetisi menjadi kata kunci yang sejatinya bisa memperkuat posisi RRI sebagai media publik. Sayang, hasrat pemerintah mengkooptasi RRI masih kuat sehingga periode 1970-1985 bisa dianggap sebagai sejarah paling buruk bagi RRI sebagai institusi radio yang seharusnya melayani warga negara.

Masa Lalu atau Masa Depan?

Periode ketiga (1995-2020) adalah periode paling dinamis sistem penyiaran Indonesia termasuk RRI. UU Penyiaran No. 32/2002 mengkoreksi kebijakan dualisme: radio pemerintah dan radio swasta menjadi kebijakan pluralistik terbatas. Ditandai munculnya radio publik dan radio komunitas sebagai pemain baru. Pilihan RRI pada tahun 2000 untuk menjadi radio publik sudah benar, selaras semangat demokratisasi media. Namun, dalam perjalanan hingga tahun 2020, rupanya tampak sikap galau, dan semangat untuk menjaga aliansi mesra dengan otoritas politik, bukan beraliansi dengan publik. Para insan di radio terbesar di Indonesia ini masih bimbang: merawat masa lalu atau meraih masa depan.

Karakteristik budaya jurnalisme di Indonesia pada 15 tahun terakhir, ketika RRI sudah mengemban status sebagai lembaga penyiaran publik mirip dengan apa yang digambarkan Robert McChesney (1999) sebagai: rich media poor democracy (jumlah media yang banyak, informasi yang berhamburan, tetapi minim kualitas yang merawat demokrasi). Setelah berusia 15 tahun sebagai LPP, pengelola RRI tampak tenggelam kepada kejayaan masa lalu sebagai media pembangunan dan saluran budaya serta olah raga, dan melewatkan kesempatan untuk menjadi saluran informasi yang tajam dan berkualitas. Slogan “sekali di udara tetap di udara“ kian mengalami kemandegan makna dan spirit perubahan. Nah, jika ingin meraih masa depan yang cerah menuju satu abad (25 tahun ke depan), RRI harus segera berbenah memenuhi aspirasi publik, sebab hanya publik yang loyalitasnya tulus.

 

Penulis: Masduki, Dr.rer.soc.

Dosen Program Studi Ilmu Komunikasi UII

—–

Tulisan ini telah terbit sebelumnya di Harian Kedaulatan Rakyat di Yogyakarta pada edisi 11 September 2020 halaman 11. Gagasan dalam tulisan ini kembali kami terbitkan dalam laman ini demi menyemarakkan Bulan Penyiaran Publik. Kami meyakini, Semangat pembaruan Lembaga Penyiaran Publik yang tersirat dalam tulisan Dosen Program Studi kami ini layak digaungkan dan dikemasulang di laman-laman studi komunikasi sebagai bagian dari proses laku Pengelolaan Pengetahuan (Knowledge Management). Penulis adalah doktor dengan spesialisasi kajian Penyiaran Publik, Media Layanan Publik dalam klaster riset Regulasi dan Kebijakan Komunikasi.  Tulisan ini juga menjadi bagian komitmen kami pada rangkaian diskusi Sejarah Komunikasi dalam kajian Forum Amir Effendi Siregar.

Reading Time: 3 minutes

A slogan full of the spirit of heroism: Sekali di Udara, Tetap di Udara (Once in the Air Stay in the Air), echoing on social media and terrestrial channels this month, ahead of the three-quarter century anniversary of the birth of RRI (radio republic of Indonesia), the oldest national radio. This slogan was born during the independence revolution in 1948, when RRI Solo studio under the leadership of R. Maladi, had to move to Karanganyar to avoid Dutch military action.

This slogan was kept in mind and voiced up to 75 years later, as a verbal signal that RRI was determined to be part of the post-independence ‘air revolution’ process. Although the socio-political landscape and media system have changed. Referring to the book Sedjarah Radio (1963), the full text of the slogan is actually preceded by the sentence: Once Free, Stay Free, but this sentence is often not included. Inspired by the persistence of this slogan through various periods of politics and media systems, this short article explores the history of RRI within the framework of broadcasting policy in Indonesia.

Two Critical Periods

Entering the age of 75 for RRI means entering the third period of Indonesia’s broadcasting policy. The first policy was in effect since radio was born in 1945 to 1970. The basic pattern is monopolistic, in which the Indonesian political authority only has one type of media, namely state radio, broadcast radio outside the government is considered illegal. This monopolistic model is common in other countries, including Britain, where since its founding in 1927 to the 1970s, the BBC has been the sole player. The difference is that the BBC has been a public media based on public culture from the start, while RRI was born with the spirit to become a political radio, supporting the post-independence government, not culture.

This political orientation of broadcasting was corrected in the period between 1970-1995s. The issuance of PP No. 55/1970 which acknowledged that private radio ended the era of RRI’s single domination. This regulation promotes radio as a cultural institution, based on community creativity with socio-commercial objectives. Competition is a keyword that can actually strengthen RRI’s position as a public media. Unfortunately, the government’s desire to co-opt RRI is still strong so that the period 1970-1985 can be considered as the worst history for RRI as a radio institution that should serve citizens.

Past or Future?

The third period (1995-2020) was the most dynamic period for the Indonesian broadcasting system, including RRI. Broadcasting Law No. 32/2002 corrects the policy of dualism: state radio and private radio to a limited pluralistic policy. Marked by the emergence of public radio and community radio as a new player. RRI’s choice in 2000 to become a public radio station was correct, in line with the spirit of media democratization. However, on the way up to 2020, there seems to be a troubled attitude and enthusiasm to maintain an intimate alliance with political authorities, not alliance with the public. The people on the biggest radio in Indonesia are still uncertain: caring for the past or reaching for the future.

The characteristics of journalism culture in Indonesia in the last 15 years, when RRI has assumed its status as a public broadcasting institution is similar to what Robert McChesney (1999) described as: rich media, poor democracy (large amount of media, scattered information, but minimal quality of care. democracy). After turning 15 as an LPP, the RRI manager seems to be immersed in its past glory as a medium for development and a channel for culture and sports, and has missed the opportunity to become a channel for sharp and quality information. The slogan “once in the air, remains in the air” increasingly stagnates the meaning and spirit of change. So, if you want to achieve a bright future towards a century (the next 25 years), RRI must immediately clean up to meet the aspirations of the public, because only the public has genuine loyalty.

 

Author: Masduki, Dr.rer.soc.

Lecturer of the UII Communication Science Departmen of Universitas Islam Indonesia

—–

This article was previously published in the Kedaulatan Rakyat Daily in Yogyakarta on the 11 September 2020 edition page 11. We republish the ideas in this paper on this page to enliven the Month of Public Broadcasting. We believe the spirit of renewing the Public Broadcasting Institution, which is implied in the writings of our Communication Science Lecturer, deserves to be echoed and republished on communication study pages as part of the Knowledge Management process. The author is a doctorate specializing in Public Broadcasting, Public Service Media in the Communication Policy and Regulation research cluster. This paper is also part of our commitment to a series of discussions on the history of communication in the study of the Amir Effendi Siregar Forum.