Reading Time: < 1 minute

Ya, Prodi Ilmu Komunikasi UII kembali dapat memertahankan peringkat Akreditasi Program Studi-nya dengan peringkat A. Berita itu datang setelah sebelumnya, pada 10/7/2019, asesor Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) melakukan kunjungan untuk mengecek dokumen-dokumen dan bukti-bukti akreditasi. Tepat enam hari kemudian, 16 Juli 2019, masuk Surat Keputusan dari BAN-PT bernomor 2387/SK/BAN-PT/Akred/S/VII/2019 ke program studi ini.

Isi Surat Keputusan (SK) itu memutuskan, menetapkan,”keputusan badan akreditasi nasional perguruan tinggi tentang status akreditasi dan peringkat terakreditasi Program Studi Ilmu Komunikasi pada program sarjana Universitas Islam Indonesia, Kabupaten Sleman,” tulisnya. Direktur Dewan Eksekutif BAN PT, T. Basaruddin, lewat surat itu kemudian melanjutkan bahwa ia menetapkan Status Akreditasi dan Peringkat Terakreditasi Program Studi Ilmu Komunikasi pada Program Sarjana Universitas Islam Indonesia adalah berstatus terakreditasi dengan peringkat A.

Tercatat dalam Borang Program Studi Ilmu Komunikasi UII selama tiga tahun terakhir dosen-dosen program studi ini (secara akumulatif) sudah memiliki 269 karya publikasi. Baik itu publikasi ilmiah internasional, nasional, makalah konferensi, jurnal, hingga artikel di media massa. Capaian-capaian itu dapat dicontohkan seperti 5 karya film dokumenter dengan beragam penghargaan internasional dan nasional, 24 artikel populer di media masssa, 22 artikel jurnal masuk di jurnal skala internasional, 4 buku dan chapter berskala penerbit internasional seperti Springer dan Routledge, dan 60 artikel ilmiah yang dipresentasikan di konferensi internasional. Juga tak kalah aktif, ada lebih dari 90 penghargaan yang telah diraih mahasiswa Komunikasi UII selama 5 tahun terakhir, baik dalam skala regional, nasional, maupun internasional.

Selamat, dan terus berkarya dan berdaya, Civitas Akademika Program Studi Ilmu Komunikasi UII!

 

Foto: M. Iskandar T. G.

Sertifikat Akreditasi tersebut bisa diakses pada tautan berikut ini.

Reading Time: 2 minutes

After making preparations on all fronts, finally arrived the awaited day. The Study Program has made several preparations such as document preparation, proof checking, and intensive routine coordination for the past one to two years. All UII Communication academics ranging from students, staff staff, to lecturers unite their hopes for re-accreditation to achieve its targets: A again.

On 10/7/2019 Communication UII welcomed the visit of two assessors from the National Accreditation Agency for Higher Education (BAN-PT) in the context of the Field Assessment (AL) Re-accreditation of the UII Communication Studies Program. The UII Communication Accreditation, which was due to expire in the coming August, will now be reviewed directly after previously the Forms of Study Team and Faculty Former Formers sent documents to BAN-PT. The document will in turn be checked, assessed, and integrated with other assessment components.

On this occasion two assessors were sent to check the evidence and documents prepared by the team. They are Prof. Dr. Hafied Cangara, M.Sc. and Dr. Irwansyah, S.Sos., MA. Both are well-known lecturers who have long been known in the world of communication science universities in Indonesia. For example, Prof. Dr. Hafied Cangara, M.Sc. is a professor from Hasanuddin University and author of frequently referenced books such as Environmental Communication, Political Communication, and Introduction to Communication Studies. Whereas Dr. Irwansyah, S.Sos., MA. is a graduate of the University of Hawaii at Manoa (UHM) Honolulu in the United States and a consultant on several campuses in Indonesia and central government agencies.

At the end of his visit, Prof. Dr. Hafied Cangara, M.Sc. and Dr. Irwansyah, S.Sos., MA. provide important messages for the development of the UII Communication Science study program. For example, Dr. Irwansyah said that it is very important that in the future all study programs in Indonesia can prioritize courses that have a vision of the future. “So it is not only the present vision, but also the future. Global vision is not necessarily the future, digital is the future,” he said. Dikti grant research also needs to be intensified. Dr. Irwansyah said that now lecturers have an easier opportunity to be able to and manage Dikti grants. Reportedly the criteria and requirements remain strict, but the reporting has eliminated the technical requirements that are counterproductive to the essence of higher education research.

Whereas Prof. Hafied actually reinforced that it was time for UII Communication Studies to advance to become a faculty equivalent to other campuses. More internationalization is also needed. There are also many developments achieved, he said, for example alumni who are now spread in national media, play a role in community empowerment, and also, “the students are good in the realm of practice seen during the day’s visitation. I was also interviewed with alumni who taking part in TVone, Detik, Pertamina and national institutions are very good, “he said. Please note, when the first accreditation of UII Communication was also Prof. Hafied is the assessor. So do not be surprised if he can compare and see the rapid development of UII Communication.

Reading Time: 2 minutes

Setelah melakukan persiapan di segala lini, akhirnya tibalah hari yang ditunggu itu. Program Studi telah melakukan beberapa persiapan seperti penyusunan dokumen, pengecekan bukti, dan koordinasi-koordinasi rutin intensif sejak satu hingga dua tahun belakangan. Semua sivitas akademika Komunikasi UII mulai dari mahasiswa, staf pegawai, hingga dosen menyatukan asa agar re-akreditasi mencapai targetnya: A kembali.

Pada 10/7/2019 Komunikasi UII menyambut kunjungan dua asesor dari Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) dalam rangka Assesment Lapangan (AL) Re-akreditasi Program Studi Ilmu Komunikasi UII. Akreditasi Komunikasi UII yang sedianya habis pada agustus mendatang kini akan ditinjau langsung setelah sebelumnya Tim Penyusun Borang Program Studi dan Fakultas mengirimkan dokumen pada BAN-PT. Dokumen itu pada gilirannya akan dicek, dinilai, dan dipadukan dengan komponen-komponen penilaian lainnya.

Pada kesempatan kali ini dua asesor dikirim untuk mengecek bukti dan dokumen yang telah disiapakan tim. Mereka adalah Prof. Dr. Hafied Cangara, M.Sc. dan Dr. Irwansyah, S.Sos., MA. Keduanya adalah dosen kenamaan yang sudah lama dikenal dalam dunia perguruan tinggi ilmu komunikasi di Indonesia. Misalnya, Prof. Dr. Hafied Cangara, M.Sc. adalah profesor dari Universitas Hasanuddin dan penulis buku-buku yang sering menjadi rujukan seperti Komunikasi Lingkungan, Komunikasi Politik, dan Pengantar Ilmu Komunikasi. Sedangkan Dr. Irwansyah, S.Sos., MA. adalah lulusan University of Hawaii at Manoa (UHM) Honolulu Amerika Serikat dan seorang konsultan beberapa kampus di Indonesia dan instansi pemerintahan pusat.

Di akhir kunjungannya, Prof. Dr. Hafied Cangara, M.Sc. dan Dr. Irwansyah, S.Sos., MA.  memberikan pesan-pesan penting untuk pengembangan program studi Ilmu komunikasi UII. Misalnya, Dr. Irwansyah mengatakan sangat penting ke depan seluruh prodi di indonesia dapat mengedepankan mata kuliah-mata kuliah yang punya visi masa depan. “Jadi bukan hanya bervisi kekinian, tapi juga masa depan. Visi global belum tentu masa depan, digital itu masa depan,” katanya. Riset-riset hibah Dikti juga perlu digencarkan. Dr. Irwansyah mengatakan kini dosen-dosen punya peluang lebih mudah untuk dapat dan mengelola hibah Dikti. Kabarnya kriteria dan persyaratannya tetap ketat, namun pelaporannya sudah mengeliminir syarat-syarat teknis yang kontraproduktif dengan esensi penelitian pendidikan tinggi.

Sedangkan Prof. Hafied justru menguatkan bahwa Ilmu Komunikasi UII sudah saatnya bisa melaju menjadi fakultas setara kampus-kampus lain. Perlu juga internasionalisasi lebih banyak. Banyak juga perkembangan yang diraih, katanya, misalnya alumninya yang kini tersebar di media-media nasional, berperan dalam pemberdayaan masyarakat, dan juga, “mahasiswanya bagus-bagus di ranah praktik terlihat saat visitasi seharian tadi. Saya juga tadi wawancara dengan alumni-alumninya yang berkiprah di TVone, Detik, Pertamina, dan institusi-institusi nasional, bagus sekali,” katanya. Perlu diketahui, saat akreditasi pertama Komunikasi UII juga Prof. Hafied adalah asesor-nya. Maka tak heran bila ia dapat membandingkan dan melihat perkembangan Komunikasi UII yang pesat.

Foto: M. Iskandar T. G.

Reading Time: 2 minutes

Mahasiswi Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia (FPSB UII) berpartisipasi dalam konferensi ilmiah internasional di Rangsit University Thailand. Konferensi bertajuk 4th Rangsit University National And International Research Conference On Science And Technology, Social Science, And Humanities 2019 dan UII ini diadakan pada 25-26 April 2019. Kedua mahasiswa UII atas nama Dian Annisa (Ilmu Komunikasi 2015) dan Pratiwi Mulido (Hubungan Internasional 2015) mempresentasikan penelitian penelitian Products Brand Image mengenai Modern Liberalism.

Sebelumnya mereka harus mengumpulkan full paper untuk dapat berpartisipasi. Paper yang sudah dikumpulkan akan direview oleh pihak pelaksana. Butuh satu hingga tiga kali revisi hingga penelitian peserta bisa diterima dan peserta mendapatkan Letter of Acceptance.

Disampaikan Dian Annisa bahwa di sana ia menyampaikan hasil penelitian dengan harapan dapat bermanfaat untuk peserta konferensi. “Tujuan dari kegiatan ini ialah sebagai wadah untuk berbagi pengetahuan dan hasil penelitian. Sebagai peserta pemula tentunya kami sangat senang dengan ilmu yang didapatkan dan pengalaman yang luar biasa dengan akademisi global”, tuturnya.

Penelitiannya yang berjudul “Effects of the Starbucks Products Brand Image on the Consumer Perception in XXI Empire Cinema” fokus pada pengaruh citra merek dan persepsi konsumen terhadap Produk Starbucks. Hasil penelitian tersebut menyimpulkan ada efek yang muncul dari branding Starbucks dalam mengubah persepsi konsumen di Starbucks XXI Empire cabang Yogyakarta untuk mengkonsumsi produk-produknya. Manfaat dari penelitian ini tentunya dapat menjadi rujukan dalam memulai bisnis kedai kopi.

Sementara penelitian Pratiwi Mulido berjudul “Overview Of Modern Liberalism Theories About The Impact Of Economic Reform Vietnam”. Penelitian ini membahas tentang reformasi ekonomi Vietnam ditinjau dari teori modern liberalism.

“Penelitian ini menunjukan bahwa keberhasilan dalam reformasi ekonomi (Doi Moi) tidak berlangsung lama di Vietnam karena fakta menunjukan terjadi ketidakstabilan dalam PDB Vietnam. Dengan pendekatan teori Liberalisme Modern dapat dijelaskan bahwa pemerintah ikut serta dalam kegiatan ekonomi dan bertanggung jawab atas krisis ekonomi”, pungkas Pratiwi. Kedua mahasiswa pun berharap mereka dapat terus aktif dalam kegiatan akademik sarat manfaat seperti yang mereka ikuti kali ini. (GT/ESP)

Reading Time: 2 minutes

Melihat pentingnya peran ikatan alumni terhadap kampus, Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya (FPSB), Universitas Islam Indonesia (UII) menginisiasi pembentukan ikatan alumni prodi serta buka bersama alumni pada Minggu (2/5). Acara tersebut berlangsung di Eastparc Hotel Yogya dan dihadiri perwakilan alumni serta pengurus prodi.

Kegiatan diawali dengan pembacaan surat keputusan tentang pembentukan Ikatan Alumni Prodi Ilmu Komunikasi Ruang Interaksi Alumni Komunikasi (Relasi) FPSB UII dan pengangakatan pengurus periode 2019/2023.

Dalam surat tersebut, diputuskan pengurus yang terdiri dari ketua, sekertaris, bendahara dan beberapa bidang, yang masa baktinya selama 2019-2023. Masa bakti selama empat tahun terhitung sejak penetapan yakni pada tanggal 10 bulan Mei tahun 2019, ditandatangani oleh ketua Dewan Perwakilan Wilayah Ikatan Alumni UII Didik Noor Dewantoro, SH, MM, serta Totok Purwanto S.H, Selaku sekertaris.

Pengurus yang dilantik di antaranya sebagai dewan pembina antara lain Dr. H. Fuad Nashori., S.Psi., M.Si., M.Ag., Dr. Phil. Emi Zulaifah., Dra., M.Sc., Puji Hariyanti., S.Sos., M.Kom. Selanjuntya, Muhammad Candra Kurniawan sebagai Ketua, wakil ketua dijabat oleh Intan Tanjung Sari, Muhammad Ikhsan Permana Putra, Ransi Hamsa Umar, dan Muhammad Akherus.

Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan, Keagamaan, dan Alumni UII, Dr. Drs. Rohidin., S.H., M.Ag dalam sambutannya menekankan pentingnya peran alumni bagi akreditasi. “Saat akreditasi, pertanyaan terkait ikatan alumni prodi selalu ditanyakan, akan tetapi kita hanya bisa menunjukkan Ikatan alumni UII yang di dalam AD ART hanya ada satu.” Jelas Rohidin.

Dengan terbentuknya ikatan alumni tingkat prodi, diharapkan dapat mendorong para alumni dalam memberikan kontribusi mereka terhadap kampus. Dalam paparannya, Rohidin juga menyampaikan bahwa beberapa program terkait ikatan alumni telah disusun pihaknya. Salah satunya tentang regulasi donasi alumni, yang digunakan untuk membantu mahasiswa yang kurang mampu.

Melengkapi pernyataan Wakil Rektor, Didik Noor Dewantoro menyampaikan, “Aktivtas di luar keluar dapat berupa bakti sosial, kalau di DIY kita adakan sumbangan air bersih, mengadakan qurban di daerah terpencil, di daerah banjir kita juga ikut menyumbang, serta aktivitas sosial lainnya. Sedangkan untuk kegiatan internal kita ada pengajian rutin, dan juga di rumah sakit UII ada diskon bagi para alumni.” Jelasnya.

Pihaknya juga mendorong pembentukan IKA di tingkat prodi. “Kemarin kita dari Farmasi, Teknik Sipil, Ekonomi, beberapa di Fakultas Ilmu Agama Islam, serta beberap jurusan lain segera menyusul.” Imbuhnya.

Sebagai ketua IKA Relasi, Muhammad Candra Kurniawan yang juga merupakan alumni Ilmu Komunikasi angkatan kedua setelah Ilmu Komunikasi Berdiri tahun 2004, mengungkapkan rasa syukur atas dibentuknya organisasi ini. Candra berharap organisasi ini dapat menyatukan lagi para alumni yang telah lama lulus, yang tidak hanya ada di Indonesia tetapi juga yang ada di luar nergeri.

“Dengan terbentuknya Relasi semoga kita bisa saling membantu, saling support, kita bisa saling berbagi informasi, berbagi ilmu antara sesama alumni juga para adik-adik yang masih menempuh pendidikan, sehingga membawa manfaat untuk bersama.” Tegasnya. (DD/ESP)

Reading Time: 2 minutes

Workshop menulis jurnal internasional adalah salah satu rangkaian dari The 5th Conference on Communication, Culture and Media Studies (CCCMS) dari 14-16 April 2019 di Auditorium FPSB UII. Acara yang dimoderatori oleh Herman Felani Tandjung dan diisi oleh pemateri Kati Lindström asal ahli Landscape Semiotic dari KTH Royal Institute of Technology, Swedia. Pada kesempatan workshop itu ratusan peserta hadir baik dari peserta konferensi maupun undangan. Acara ini diselenggarakan untuk membiasakan dan memberi kesempata pada Lindström berbagi pengalaman tentang penulisan jurnal secara internasional.

Lindström mengatakan tahapan penulisan jurnal internasional harus dicermati dengan benar. Standar penerbit juga tidak boleh luput diperhatikan. Pertama, persiapkan tema dan tulisan dengan matang dengan sumber-sumber yang kredibel. Hati-hati dengan self plagiarism. Setelah tahap persiapan selesai, tahap selanjutnya adalah memilih jurnal yang sesuai dengan tema yang kita tulis. Apakah ia relevan, apakah contoh yang diberikan sudah tepat. Setelah itu, proses submitting atau pendaftaran bisa dilakukan. Setelah submit, adalah masuk tahap review. Pada tahap ini yang perlu dilakukan adalah berdiskusi dengan reviewer dan membuka pandangan dan masukan.

Dalam workshop ini Lindström juga mendapat beberapa pertanyaan. Misalnya pertanyaan peserta dari Universitas Lambung Mangkurat. Ia bertanya apakah mungkin mengirim dua artikel jurnal ke 2 jurnal berbeda. “Tidak, itu tidak diperbolehkan, ambil kembali naskah anda jika itu terlalu lama dalam satu penerbit jurnal,” kata Lindström. Lalu ia bertanya lagi, “artikel jurnal saya menghilang, saya sudah mencarinya di digital tapi tidak ditemukan.” Menurut Lindström, itu tidak mungkin. “Itu pasti ada dalam database Scopus, anda bisa melacaknya di sana,” kata Lindström.

Tips dan Trik

Lindström menyarankan banyak hal. Misalnya, “‌Keep writing everyday an hour, (menulislah setiap hari satu jam). At the last automatically (pada akhirnya anda akan merasa terbiasa otomatis dalam menulis). Never a week because you will forget. (jangan sampai seminggu, karena anda bisa saja lupa ide anda),” kata Lindström. Menurut Lindström mengapa harus tiap hari, karena memulai lebih sulit. Tetapi sebaiknya kita juga harus menikmatinya. “its hard if you not enjoy that,” saran Lindström. Ada juga pertanyaan lain, mengapa harus menulis di jurnal internasional terdaftar scopus? “‌in scopus is more attraction, a lot more people to read. (Di scopus akan lebih banyak orang tertarik membaca karya kita),” katanya menjawab.

Reading Time: 2 minutes

The international journal writing workshop is one of a series of The 5th Conference on Communication, Culture and Media Studies (CCCMS) from April, 14 until 16, 2019 at the FPCS UII’s Auditorium. The program was moderated by Herman Felani Tandjung and Kati Lindström as the speaker. Lindström is a Landscape Semiotic experts from KTH Royal Institute of Technology, Sweden. On this occasion, hundreds of participants attended both from the conference and invited participants. This event was held to familiarize and give Lindström a chance to share experiences on journal writing internationally.

Lindström said the stages of writing an international journal must be observed properly. Publisher standards also should not be overlooked. First, prepare themes and writings carefully with credible sources. Be careful with self plagiarism. After the preparation stage is complete, the next step is to choose a journal that matches the theme we are writing about. Is it relevant, is the example given right. After that, the submitting or registration process can be done. After submitting, the review stage is entered. At this stage what needs to be done is to discuss with the reviewer and open views and input.

In this workshop Lindström also received several questions. For example the questions of participants from Lambung Mangkurat University. He asked if it was possible to send two journal articles to two different journals. “No, that’s not allowed, take your manuscript back if it’s taking too long in one journal publisher,” Lindström said. Then he asked again, “my journal article disappeared, I have searched it digitally but not found.” According to Lindström, that is impossible. “It must be in the Scopus database, you can track it there,” Lindström said.


Tips and tricks


Lindström suggests many things. For example, “Keep writing everyday an hour. At the last automatically (eventually you will feel accustomed to writing automatically). Never a week because you will forget. (Not until a week, because you can just forgot your idea), “Lindström said. According to Lindström why it has to be every day, because starting is more difficult. But we should also enjoy it. “its hard if you don’t enjoy that,” Lindström suggested. There is also another question, why should I write in an international journal registered with Scopus?” Scopus is more attraction, a lot more people to read. On Scopus there will be more people interested in reading our work,” She said.

Reading Time: 2 minutes

Untuk menjalin kerja sama yang baik dalam bidang keilmuan, khususnya dalam bidang penelitian komunikasi ruang dan lingkungan, Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya (FPSB), Universitas Islam Indonesia (UII), menyelenggarakan Konferensi Internasional yang kelima kalinya, pada Senin (15/4). Kegiatan dilangsungkan di Auditorium FPSB lantai 3 bertajuk “5th Conference on Communication, Culture and Media Studies (CCCMS) 2019” dengan tema “Communication Space and Environmental”

Konferensi internasional yang berlangsung selama 3 hari yaitu pada tanggal 14-16 April 2019 ini diisi dengan berbagai macam agenda. Hari pertama dilaksanakan pre-conference, sedangkan hari kedua dilaksanakan pembukaan konferensi dan penyampaian materi oleh pembicara kunci. Selanjutnya, pada hari terakhir diisi dengan sesi paralel lanjutan serta workshop bertajuk “How to Prepare Article for an International Journal”.

Wakil Dekan 2 FPSB UII, Dr. Phil. Emi Zulaifah., M.Sc dalam sambutannya mengucapkan selamat datang kepada para peserta yang datang dari berbagai negara, serta menyampaikan harapan agar kegiatan ini dapat meningkatkan semagat kolaborasi guna menciptakan kemaslahatan bersama.

“Tradisi kolaborasi interdisiplin ilmu sudah berlangsung sejak kampus ini berdiri pada 1945. Hal ini didasari oleh kesadaran bapak pendiri bangsa melalui dunia pendidikan, salah satunya membangun universitas ini (UII”, Jelasnya.

Senada, ketua panitia penyelenggara Holy Rafika Dhona., S.I.Kom., M.A menyebutkan terdapat lebih dari 100 abstrak yang terkumpul dengan 50 peserta yang hadir tak hanya dari Indonesia, tetapi juga dari Malaysia, Filipina, Arab Saudi, dan Australia.

Sementara, Prof. Kati Lindstrom dari Institut Teknologi Kerajaan KTH Swedia dan Universitas Tartu Estonia, sebagai pembicara kunci pada konferensi tersebut, memaparkan materinya tentang “Perils of Celebratory Framing or Why History and Semiotics Matter For Biodiversity Communication”.

Ia menjelaskan keanekaragaman hayati saat ini, digambarkan melalui 3 bentuk, yaitu makanan (beras), hutan dan air, yang kemudian dikomunikasikan melalui pengadilan budaya, dan infrastruktur pariwisata. Sebagai bagian dari lingkungan, untuk melindunginya, tidak hanya terkait dengan praktek ilmu pengetahuan tetapi juga terkait pada nilai dan narasi budaya.

Ia menambahkan terdapat tiga warisan budaya yang menarasikan tentang lingkungan. Pertama bahwa kepedulian lingkungan yang kompleks terkadang direduksi menjadi narasi masa lalu, sederhana, dan menggugah. Kedua, representasi berlebihan terhadap lingkungan telah membentuk bias terhadap fenomena lain. Dan yang terakhir, tanggapan terhadap perubahan lingkungan, tergantung pada seberapa baik perubahan ini, sesuai dengan narasi menarik yang telah ada sebelumnya.

Untuk itu, ia menyebutkan diperlukan kebijakan yang baik dan tidak bertumpu pada nilai-nilai penguasa dalam menjaga lingkungan. Sehingga kebijakan tidak hanya dari perspektif lanskap hidup atau organisme yang dilindungi. Kebijakan cenderung bergantung pada konstruksi naratif yang kuat seperti alam dan budaya, diri dan lainnya, daripada perbedaan yang bermakna untuk kehidupan individu. (DD/ESP)

Reading Time: 2 minutes

Retyan Sekar, a researcher in this discussion under the theme: The Space and Power in Jogja, got interesting and unusual findings. Retyan drew conclusions from her research (research title: Normalization of Demonstrations at the Jogja Zero Kilometers. He tracked during the pre-reformation era in Indonesia, none of the activists in the 80s and 90s were interested in protesting at the zero kilometer of Jogja. “In that era, the demonstration was usually held at the Gedung Agung or the closest is at Keraton Palace,” said Retyan, who is also a student female activist in Yogyakarta.

There is no big magnet to protest at Zero Kilometers’ Jogja, said one of the research sources. Likewise, during the reform era, the concentration of student demonstrations was not at Zero Kilometers’ Jogja. “In fact, the Gejayan Street, Bundaran UGM, and along the Malioboro Street or the Gedung Agung (National Palace) were the points of action,” Retyan said in the Monthly Routine Discussion of UII Communication Department on Tuesday, April 9, 2019, in the RAV (Mini Theatre) Room of UII Communication Department.

The student and civil protest is going to be popular to be held at the zero Kilometer of Jogja is in the post-reform era around 2004. At that time, many artists who protested at zero-kilometer Jogja as a form of counter-discourse to the government. In 2010 until now, the opposite happened. The Provincial Government of Yogyakarta carried out a counter discourse by making the zero kilometer jogja, at the end of Malioboro street, as the center of Jogja’s. What have they done was by revitalizing the infrastructure of the zero kilometers so that Zero Kilometer Jogja become the center of everything. Retyan, by the Geographic Communication perspective and using the Foucoult’s theory that listed in “Discipline and Punish”, saw this practice of space production by this local government as the normalization of protest actions.

There is discipline, supervision, and surveillance, by the local government through the media and various factors in the protest actions that held at the zero-kilometer point of Jogja. The demonstration at the zero kilometers is also being mediated by the media. Even though during the pre-reform and reformation, there was no interest and important point to made the zero kilometer as the peak of the demonstration. In the middle of the discussion, during the question and answer session, one of the discussion participants, Razik, questioned Retyan’s analysis, and quoting Henry Lefebvre’s thought.

“How actually happened, is media the only one that formed a Zero Kilometer as an action/ demonstration space or actually there are other factors or elements that formed? Is zero space important because it is part of “mode of production” of the capitalism model in Jogja?” Asked Razik. Retyan answered that she did not deny that there were other factors that formed the Zero Kilometer of Jogja as space of the center of the demonstration, but her research focus was that the media also contributed to the protest actions so that activists in the post reform era choosing zero kilometers of Jogja rather than at other locations such as other activists in the previous era.

This Discussions that were also carried out while breaking the fasting of ramadhan was became a space of appreciation and meeting of ideas. It also became a forum for sharing stories, methods, and techniques in conducting or doing research at the UII Communication Studies.

This writing is a continuation of What’s Up with Jogja Scrummy and the Zero Kilometer of Jogja?

 

Reading Time: 2 minutes

Vivi Mulia Ningrum and Retyan Sekar Nurani, students of Communication Studies (2015), began to sit in front of the participants of the discussion in the Audio Visual Room (Mini Theater) of UII’s Communication Department. Both were accompanied by Risky Wahyudi, researcher and staff of Center for Study and Documentation of Alternative Media NADIM (PSDMA Nadim) Communication Department  of the Universitas Islam Indonesia (UII). Today, Tuesday, April 9, 2019, the three of them were the center of attention from the attendees at the Monthly Routine Discussion of UII Communication Department under the discussion theme: Space and Power in Yogyakarta.

This discussion is the first series on student research series in the Geography Communication cluster. Risky Wahyudi said, Communication Department hopes that this Monthly Discussions such as this models can strengthen the academic culture, academic pulpits, and become learning spaces for research, service and previous preaching. Both the research conducted by lecturers, students, and academicians can be used as learning and appreciation space.

Vivi and Retyan, in their thesis research, try to dismantle the ideology and practice of space production in Jogja. The results are diverse, Vivi for example, found in her research that Jogja Scrummy produced its outlets and outlets in such a random way just to form the ideology that Jogja was formed as a tourism city. “How can Dude Herlino advertise that Jogja Scrummy is a typical product of Jogja but he wears traditional Javanese clothes which are not typical of Jogja, but Surakarta?” Vivi said. The packed tagline reads “Remember Jogja, Remember Jogja Scrummy” suggests that their consumers are also tourists: people who travel. Jogja is no longer formed as a student city, but tourism, even though it is inconsequential, he said. The design of the interior space is arranged so that consumers who come not only shop but also take photographs.

“So the photo of artist Dude Herlino is mediation, then photographed consumers have also been included as a presenter, twice as much as this,” added Vivi, who claimed to have gone back and forth from Jogja Scrummy outlets for more than 15 times. Starting from interviewing various buyers there, He also recorded interviews, saw forms, found patterns, and simultaneously recited the meaning behind the space in Scrummy Yogyakarta. The atmosphere of the discussion warmed up when Risky Wahyudi, the moderator, questioned the conception of consumers as tourists who were not entirely right. .

For him and according to his observations in recent years, consumers of Yogyakarta Scrummy look not tourists but students or jogja people who buy their products to be made as souvenirs. The formation of Jogja as a tourist city does not seem right. Vivi answered by explaining the emphasis on the meaning of the Jogja Scrummy tagline interpretation that looked as if the consumer segment was a tourist seen from the choice of words in the tagline. Discussion # Series of Geography Communication Clusters