Academic Leader

Salah satu dosen Prodi ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII) yakni Prof. Dr. rer. soc. Masduki, S.Ag., M.Si., MA terpilih sebagai peserta terbaik 2 Kategori Dosen Bidang Sosial Humaniora dalam Anugerah Academic Leader LLDIKTI Wilayah V pada 16 Mei 2024 di Yogyakarta.

Academic Leader (AL) merupakan bentuk anugerah dari Pendidikan Tinggi terkait Merdeka Belajar – Kampus Merdeka, dimana dosen sebagai pemimpin keilmuan yang visioner dan menginspirasi dosen muda dan mahasiswa melalui karya inovatif yang bermakna nyata baik secara akademik maupun kebermaknaan bagi pembangunan masyarakat dan bangsa.

“Kita bersyukur dari Prodi ada dosen yang mendapat apresiasi dari eksternal dalam hal ini LLDIKTI wilayah V yang menganugerahkan Academic Leader atau role model dalam pencapaian akademik,” ujar Prof. Masduki setelah menerima Anugerah Academic Leader.

Berawal dari Sekprodi Ilmu Komunikasi UII, Ratna Permata Sari, S.I.Kom, M.A. yang menunjuknya langsung untuk mewakili Prodi sebagai bentuk partisipasi.

“Bagi saya yang saya terima dari LLDIKTI tadi siang menurut saya mengejutkan karena saya berfikir hanya mengisi borang diminta oleh Pak Rektor kemudian juga Ibu Sekprodi semata-mata untuk berpartisipasi namun ternyata dinilai oleh tim dianggap menonjol (pencapaian akademik) dalam 5 tahun terakhir,” tambahnya.

Beliau menyebut jika beberapa kriteria penilaian meliputi karya-karya publikasi di jurnal, penulisan buku, hingga riset-riset dan yang paling utama adalah inovasi yang kita tekuni selama ini. Berdasarkan pengalaman Prof. Masduki, selain melakukan pekerjaan utama sebagai pengajar di kampus beliau juga melakukan berbagai pekerjaan di luar kampus yang mampu meningkatkan kompetensi.

“Jadi kalau boleh saya ceritakan bahwa apa yang saya kerjakan baik di kampus di luar kampus beberapa tahun terakhir terhubung dengan kompetensi sebagai peneliti dalam bidang media dan jurnalisme yang itu tidak semata-semata hanya mengajar di kelas tapi juga memberikan pelatihan, memberikan pengembangan untuk teman-teman dosen yang lain dalam hal publikasi dan saya terlibat dalam beberapa riset yang berkaitan dengan media dan jurnalisme yang muaranya bukan hanya publikasi tapi juga berupa draft rancangan undang-undang dan proses advokasinya hingga komisi 1 DPR itu yang disebut pengabdian masyarakat yang berdampak bagi kebijakan,” tandasnya.

Dengan adanya program apresiasi ini harapannya pada tahun-tahun selanjutnya dosen-dosen dari Prodi Ilmu Komunikasi UII bisa turut berpartisipasi dan meraih penghargaan yang sama atau lebih tinggi lagi.

“Pemilihan Pak Masduki itu langsung, karena saya berfikir beliau yang paling tepat dan itu benar-benar bertepatan pada momen Idul Fitri. Alhamdulillah beliau bersedia,” ungkap  Sekprodi Ratna Permata Sari, S.I.Kom, MA.

pelanggaran akademis

Kasus pelanggaran akademis di tingkat universitas menjadi perbincangan hangat di kalangan akademisi hingga publik. Kasus ini perlu mendapat perhatian dan solusi karena merugikan pemerintah dan rakyat.

Dari investigasi yang dilakukan The Conversation Indonesia, Tempo, dan jaring.id, pelanggaran akademis yang terjadi pada tingkat universitas antara lain plagiarisme, kepengarangan yang tidak sah (ghostwriting dan paper mill), fabrikasi dan falsifikasi (pemalsuan data), pengajuan jamak, hingga konflik kepentingan penerbitan karya ilmiah yang bertujuan menguntungkan atau merugikan pihak tertentu.

Akibat palanggaran tersebut, tiga bulan pertama di tahun 2024 sebanyak 27 artikel ilmiah penulis Indonesia diretraksi atau dicabut dari laman penerbitan.

Beberapa bulan terakhir, deretan nama dosen dipecat dari institusi karena ketahuan melakukan pelanggaran akademis. Melansir dari jaring.id, pihak rektorat salah satu universitas swasta di Banten mengumumkan pencopotan Kepala Riset dan Pengabdian Masyarakat (dosen berusia 33 tahun) karena terbukti artikelnya yang dimuat pada Journal of Tourism and Attraction Vol 11 nomor 1 yang terbit tahun 2023 mencatut data dari mahasiswa Pascasarjana Universiti Malaya, Malaysia, Ghozian Aulia Perdana. Merasa dirugikan, mahasiswa tersebut mengunggah kecurangan tersebut.

Kejanggalan terjadi karena dosen berusia 33 tahun itu memiliki produktivitas tinggi dalam menghasilkan jurnal. Dalam setahun puluhan jurnal berhasil diproduksi dengan rata-rata 1-2 jurnal setiap bulannya. Kondisi ini diragukan oleh rekan sejawatnya, mengingat beban dosen cukup tinggi mulai dari mengajar, bimbingan mahasiswa, hingga pengabdian.

Tak hanya itu, melansir dari The Conversation Indonesia, pelanggaran akademik juga mewarnai perjalanan akademisi menuju guru besar. Hal ini berkaitan karena posisi guru besar adalah pencapaian jabatan akademik tertinggi yang mempengaruhi akreditasi bagi perguruan tinggi.

Sementara salah satu syarat untuk meraih gelar guru besar cukup kompleks, salah satunya adalah menerbitkan karya ilmiah dalam jurnal internasional bereputasi.

Mengapa Pelanggaran Akademis Terjadi?

Pelanggaran akademis terjadi karena berbagai faktor, mulai dari tarik menarik antara neoliberalisme, otoritarianisme, dan demokrasi pendidikan tinggi di Indonesia (Masduki dalam laman the Conversation).

Karier dosen atau akademisi bergantung pada angka kredit penilaian di mana hal ini dibentuk oleh negara melalui Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 1 2023. Dalam peraturan tersebut, angka kredit dapat dicapai melalui beberapa kegiatan antara lain pengajaran, penelitian, pengabdian masyarakat, dan publikasi jurnal ilmiah.

Alasan kedua, terkait dengan mental akademisi Indonesia yang dianggap tak siap dengan budaya penerbitan jurnal. Dan terakhir pengaruh ekosistem akademis di Indonesia yang kurang mendukung iklim penelitian dan penulisan.

Terlepas dari beberapa alasan tersebut, dosen Prodi Ilmu Komunikasi UII Holy Rafika Dhona, S.I.Kom., M.A. berrgumen bahwa plagiasi berkaitan dengan praktik menyalin dalam masyarakat berbudaya tutur hingga risiko kultur meniru di kampus.

“Pelanggaran akademis itu, misalnya plagiasi punya sejarahnya. Dia punya relasi dengan kultur akademis, kultur menulis, intinya kultur pengetahuan di kampus,” ujarnya.

“Bagaimana pengetahuan/ilmu dipahami (termasuk dikomunikasikan lewat buku, diktat, modul, dan jurnal ilmiah),” tambahnya.

Kampus sebagai tempat transmisi pengetahuan menganggap mahasiswa yang sukses ketika mampu menghafal pengetahuan yang diajarkan. Sehingga menyalin isi buku dianggap penting dan hal biasa. Kasus ini terjadi pada Hamzah Ya’qub, pendiri Universitas Islam Syekh Yusuf (UNIS). Tahun 1973 ia mempublikasikan buku berjudul Publisistik Islam: Seni dan tekni Dakwah. Menariknya tahun 1986 bukunitu disalin dan dipublikasikan orang lain dengan judul Komunikasi Islam: Dari Zaman ke Zaman. Penulis buku kedua tidak memberikan atribusi pada Ya’qub, namun hingga kini taka da isu plagiasi terkait kemiripan dua buku tersebut. (Holy Rafika Dhona, The Conversation)

Jalan Keluar untuk Menghentikan Pelanggaran Akademis

Untuk menyelesaikan persoalan ini, dibutuhkan komitmen dari pemerintah dan perguruan tinggi. Selain itu keterlibatan berbagai pihak untuk mengangkat dan memproses secara kolektif perlu dilakukan dengan melibatkan jurnalis dan akademisi. Karena kultur di Indonesia “No viral, no justice” maka melibatkan media untuk menyebarluaskan informasi mesti dilakukan.

“Jadi pelanggaran itu tidak hanya butuh solusi adanya kode etik, perbaikan sistem kinerja dosen, tapi juga perubahan kultur,” tandasnya.

Artikel ini ditulis dalam rangka memeperingati Hari Pendidikan Nasional 2024, harapannya catatan ini selain memberikan pengetahuan terkait pelanggaran akademis juga bisa membawa setitik perubahan pada dunia akademis yang terkadang serampangan.

 

Penulis: Meigitaria Sanita

Kebebasan Pers

3 Mei 2024 diperingati sebagai Hari Kebebasan Pers Sedunia atau World Press Freedom Day. UNESCO merilis tema “A Press for the Planet: Journalism in the face of the Environmental Crisis” yang menyoroti jurnalisme dalam menghadapi krisis lingkungan.

Momen ini merupakan dukungan besar bagi para jurnalis di seluruh dunia dalam pemberitaan krisis lingkungan global. Pentingnya jurnalisme dan kebebasan berekspresi mampu membawa perubahan dan solusi pada kondisi ini.

Antonio Guterres selaku Sekretaris Jenderal PBB menegaskan dalam pidatonya soal kondisi lingkungan yang darurat.

“Dunia sedang mengalami keadaan darurat lingkungan yang belum pernah terjadi sebelumnya dan menimbulkan ancaman nyata bagi generasi sekarang dan mendatang,” ujarnya dalam kanal YouTube UNESCO.

Melalui kerja-kerja jurnalis masyarakat akan memahami penderitaan planet kita hingga memobilisasi serta diberdayakan untuk mengambil tindakan demi perubahan.

“Media lokal, nasional, dan global dapat menyoroti berita tentang krisis iklim, hilangnya keanekaragaman hayati, dan ketidakadilan lingkungan. Melalui pekerjaan mereka, masyarakat menjadi memahami penderitaan planet kita, dan dimobilisasi serta diberdayakan untuk mengambil tindakan demi perubahan,” tambahnya.

Kebebasan pers menjadi kunci utama dalam membawa lingkungan semakin baik. Sementara kondisi dan keselamatan jurnalis tak selalu menguntungkan.

“Tidak mengherankan jika sejumlah orang, perusahaan, dan lembaga berpengaruh tidak melakukan apa pun untuk menghalangi jurnalis lingkungan melakukan pekerjaannya. Kebebasan media sedang terkepung. Dan jurnalisme lingkungan hidup adalah profesi yang semakin berbahaya. Sejumlah jurnalis yang meliput pertambangan ilegal, pembalakan liar, perburuan liar, dan isu-isu lingkungan lainnya telah dibunuh dalam beberapa dekade terakhir. Dalam sebagian besar kasus, tidak ada seorang pun yang dimintai pertanggungjawaban,” tambahnya.

Data dari UNESCO menyebutkan selama lima belas tahun terakhir tercatat 750 serangan terjadi kepada jurnalis dan kantor berita yang melaporkan isu-isu lingkungan hidup. Ironisnya proses hukum juga disalahgunakan untuk menyensor, membungkam, menahan, dan melecehkan jurnalis lingkungan.

Rekomendasi Buku Jurnalisme Lingkungan

Salah satu rekomendasi buku yang layak dibaca dan mendukung riset dalam kajian ini adalah buku berjuduk Jurnalisme Warga, Radio Publik dan Pemberitaan Bencana yang digarap oleh beberapa dosen Prodi Ilmu Komunikasi UII, Muyazin Nazaruddin, S.Sos., M.A, dan Dr. Zaki Habibi., M.Comms. yang bekerja sama dengan Radio Republik Indonesia (RRI), serta Jalin Merapi.

Buku ini menjelaskan terkait ketidakpastian informasi pasca bencana erupsi Gunung Merapi. Masifnya informasi pasca bencana membawa banyak media penyiaran berlomba-lomba mengeksploitasi dampak bencana yang justru menimbulkan keresahan masyarakat. Kondisi tersebut menandakan pentingnya media alternatif yang memberitakan bencana untuk memberi perspektif yang berbeda.

Dari isu tersebut, penulis menagaskan bahwa praktik jurnalistik yang dilakukan merupakan jurnalisme alternatif dengan argument memegang beberapa prinsip, yakni prinsip dasar pemberitaan bencana yakni akurasi, prinsip kemanusiaan atau berangkat dengan perspektif korban dan warga setempat, prinsip komitmen menuju rehabilitasi, serta prinsip control atas bantuan bencana.

Selain buku tersebut ada pula buku yang berkaitan dengan isu lingkungan, bencana, kebebasan pers seperti Jurnalisme di Cincin Api: Tak Ada Berita Seharga Nyawa, Mengatur Kebebasan Pers, Komunikasi Lingkungan: Penanganan Kasus-kasus Lingkungan Melalui Strategi Komunikasi, dan Komunikasi Bencana.

Selengkapnya dapat diakses melalui laman https://communication.uii.ac.id/nadim/

Atau dapat mengunjungi ruang NADIM dan membaca langsung koleksi buku-bukunya.

Dosen Ilmu Komunikasi

Bagi mahasiswa yang tertarik dengan kajian Jurnalisme dan Media dapat memantau beberapa riset yang dilakukan oleh beberapa dosen Prodi Ilmu Komunikasi UII. Berikut daftar nama dosen beserta daftar klaster riset.

https://communication.uii.ac.id/dosen/#top

 

Kunjungan

Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII) menerima kunjungan dari SMK Islam PB. Soedirman 1 Jakarta pada Kamis, 2 Mei 2024 di Auditorium FPSB.

Sebanyak 81 siswa dari program keahlian Desain Komunikasi Visual (DKV) bersama 11 guru pendamping bertandang ke Yogyakarta untuk memberikan pengalaman dan pengetahuan terkait dunia perkuliahan. Prodi Ilmu Komunikasi UII dipilih karena jurusan ini memiliki irisan dengan program keahlian DKV.

Kepala Sekolah SMK Islam PB Soedirman 1, Sugiarti, M.Pd. menjelaskan bahwa para siswa mengunjungi beberapa kampus di luar Jakarta, selain untuk wawasan akademik juga bertujuan untuk mengasah kemandirian siswa. Menurutnya, banyak dari siswa-siswanya yang tak ingin jauh dari Kota Jakarta.

Kedatangan tersebut disambut gembira oleh pihak Prodi Ilmu Komunikasi UII, Ratna Permata Sari, S.I.Kom, M.A. selaku sekretaris program yang kemudian memberikan gambaran terkait dunia perkuliahan di jurusan Ilmu Komunikasi UII.

Sharing session

Beliau menyebutkan berbagai aktivitas mahasiswa mulai kegiatan akademik hingga non akademik seperti berbagai organisasi dan komunitas yang ada di Prodi Ilmu Komunikasi UII. Untuk mendukung aktivitas tersebut tersedia fasilitas mulai dari laboratorium Fotografi dan Multimedia, Lab TV & Podcast, ruang produksi Ikonisia TV, hingga PDMA Nadim.

“Sebenarnya di Ilmu Komunikasi ada beberapa laboratorium tapi ada di Gedung yang beda. DI sini adalah dedung fakultas lebih banyak ruangan kelas kalau di gedung komunikasi sebagai kantor administrasi dan laboratorium, mohon maaf kami belum bisa mengajak karena gedungnya agak kecil, jadi kalau datang sebanyak ini jadi kita menunggu menjadi mahasiswa UII saja,” ucapnya dengan penuh tawa kepada para siswa.

Selain menawarkan program regular, sejak tahun 2018 Prodi Ilmu Komunikasi UII juga mendirikan International Program Communication (IPC). Kelas berbahasa Inggris ini memiliki berbagai program unggulan dengan skala internasional mulai dari student exchange, Passage to Asean, dan berbagai program lainnya.

“Ilmu Komunikasi UII tidak hanya punya program regular, tapi juga punya International Program Communication (IPC) yang sudah berdiri pada tahun 2018, saat ini hampir tiga angkatan lulus,” ujar Ida Nuraini Dewi Kodrat Ningsih, S.I.Kom., M.A. selaku sekretaris IPC.

“Program rutin kita adalah P2A atau Passage to ASEAN. Itu adalah program di bawah naungan Asosiasi Passage to ASEAN yang dulu sekretariatnya ada di Thailand sekarang di Vietnam. Tujuannya adalah memberi kesempatan kepada mahasiswa antar negara di ASEAN untuk saling belajar culture bahkan edukasi dalam konteks akademik,” tambahnya lagi.

Kunjungan tersebut berlangsung seru dengan antusiasme dari para siswa. Kegiatan ditutup dengan berbagai games serta foto bersama antara jajaran Prodi Ilmu Komunikasi UII dan pihak SMK Islam PB Soedirman 1 Jakarta.

Kuliah umum

Media Sosial dan Masa Depan Kemanusiaan menjadi tajuk pada pelaksanaan Kuliah Umum Pascasarjana Universitas Islam Indonesia (UII) pada 27 April 2024. Topik ini dipilih karena memiliki urgensi bagi kehidupan di masa mendatang. Secara sadar atau tidak, media sosial telah mengubah banyak hal termasuk dalam preferensi seseorang terhadap apapun termasuk politik.

Materi kuliah umum ini disampaikan oleh Prof. Dr.rer.soc. Masduki, S.Ag., M.Si, dosen Prodi Ilmu Komunikasi UII yang fokus pada kajian Media Policy, Comparative Media System, Public Media and Journalism, serta Media Activism.

Sebelum kuliah umum dimulai Prof. Dr. Jaka Nugraha, S.Si., M.Si. sebagai Wakil Rektor Bidang Pengembangan Akademik dan Riset pada sambutannya menyampaikan terkait bagaimana media sosial tak cukup diimani dampak positifnya saja. Melainkan juga bagaimana berfikir kritis terhadap perkembangan teknologi digital dan bagaimana menyelesaiakan berbagai persoalan yang terjadi.

Sementara itu, sudah saatnya bagi tugas institusi pendidikan untuk terus memberi wadah saling belajar dan membuka diri demi masa depan kemanusiaan yang lebih baik

“Begitu dahsyatnya perpecahan polemik yang terjadi di media sosial masing-masing karena sudah terkungkung oleh sudut pandang masing-masing. Tentunya kita di dunia akademik ini harus membuka diri, membuka pemikiran kita bahwa suatu masalah bisa dilihat dari berbagai sisi,” ujarnya saat membuka Kuliah Umum Pascarjana, di Ruang Teatrikal Lantai 2, Gedung Kuliah Umum Dr. Sardjito UII.

Dipandu oleh Dr. Herman Felani, S.S., M.A. kuliah umum itu dimulai dengan statement yang cukup menggugah mahasiswa.

“Orang mengakses media sosial itu seperti dopamine, ngeposting sesuatu nunggu di-like, dikomen kalau engga nanti dia engga bahagia akhirnya generasi milenial banyak yang stres. Kalau begini masa depan kemanusiaan apakah bisa terwujud dengan sesuai harapan kita?” ujarnya.

Menjawab keresahan tersebut Prof. Masduki menyempaikan materi Media Sosial dan Dehumanisasi. Secara umum beliau menjelaskan dua perspektif terkait media sosial yakni digital optimist yang memandang perkembangan ini adalah peluang besar yang bisa dimanfaatkan secara maksimal. Kedua digital pesimis, bagaimana sebagai subjek pengguna tak hanya percaya dengan peluang namun percaya bahwa manusia adalah objek yang dimanfaatkan oleh platform.

Lebih dalam, beliau memaparkan bagaimana media sosial dalam kehidupan sosial politik mampu mengubah persepsi seseorang secara masif. Terbukti pada sepuluh tahun terakhir, akibat media sosial politik di Indonesia sangat mudah dinormalisasi.

“Medsos bukan penyubur demokrasi saat ini tapi pengubur demokrasi,” ujarnya.

Situasi mencekam terjadi di media sosial pada tahun 2017 terkait polarisasi politik pilkada DKI, hingga normalisasi politik dinasti Jokowi pada Pemilu 2024.

“Terjadi di Indonesia terjadi fabrikasi terhadap slogan Gemoy. Orang yang tadinya keras, militer, tiba-tiba di medsos isinya joget-joget dan anda suka mungkin bukan anda tapi keluarga kita jadi ini disinformasi,” ujarnya

“Saya enggak bicara politiknya, tapi media sosial membuat kita menormalkan yang tidak normal. Mungkin pak Jokowi tidak keliru sekali tapi orang yang berbisnis dengan media sosial, free rider orang ikut meramaikan begitu asal dia bisa klaim subcribernya berapa, viewersnya berapa akhirnya dapat duit,” tambahnya.

Demi masa depan manusia yang lebih baik, ada tiga solusi yang dirangkum oleh Prof. Masduki, pertama pendekatan regulasi ala Eropa: digital service act, digital citizenship act, publisher right, anti disinformation act; kedua, pendekatan akademik mendorong fakultas hukum dan sosbud atau isipol untuk mengkaji digital transformation and human right issues; ketiga pendekatan kultural: literasi digital dalam spirit kedaulatan digital.

Selengkapnya: https://www.youtube.com/watch?v=Y1aiZkuG8Z8

 

Penulis: Meigitaria Sanita

Hari buruh

Tanggal 1 Mei diperingati sebagai hari buruh atau May Day, segala ketidakadilan terkait kesejahteraan akan disuarakan diberbagai penjuru negeri untuk masa depan yang lebih baik. Dua tuntutan utama yang disuarakan oleh para teman-teman buruh pada 1 Mei 2024 di Istana Negara dan Gelora Bung Karno adalah pencabutan Omnibus Law UU Cipta Kerja dan Outsourcing dengan upah murah.

Merujuk pada UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan juncto UU Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja, buruh diartikan sebagai setiap orang yang bekerja menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Menariknya menjadi buruh adalah kondisi objektif atau status sosial buruh tidak ditentukan berdasarkan merasa atau tidak, sadar atau tidak. Padahal sejatinya entah posisi manajer atau kepala cabang suatu perusahaan ia tetaplah buruh karena mendapat upah dari tempatnya bekerja.

Beranjak dari definisi buruh, istilah digital labour mungkin tak terlalu terdengar nyaring namun hal ini penting untuk diketahui banyak pihak. Menurut International Labour Organization (ILO), digital labour merupakan seseorang yang bekerja di bidang ekonomi platform berbasis web dengan tipe pekerjaan yang sangat terbuka kepada semua orang dan tersebar secara geografis atau crowdwork.

Ada masalah layaknya gunung es yang dialami oleh digital labour, artikel yang ditulis oleh Christian Fuch dan Sebastian Sevignani dari University of Wetminster UK pada laman trippleC menyebutkan argumen terkait konsep ekonomi politik dalam internet yang merujuk model akumulasi modal yang dominan dari platform internet perusahaan didasarkan pada eksploitasi tenaga kerja tak berbayar dari pengguna yang terlibat dalam pembuatan konten dan penggunaan blog, situs jejaring sosial, dan platform global.

Bagi kita pengguna Instagram, Facebook, WhatsApp, YouTube, Google, dan lainnya akan menciptakan keuntungan bagi pemilik platform. Kegiatan tersebut menciptakan komoditas data yang akan dijual kepada klien periklanan.

Prof. Dr.rer.soc. Masduki, S.Ag., M.Si. dosen Ilmu Komunikasi UII memberikan contoh terkait kreator konten di Indonesia, sejatinya mereka bukanlah pengusaha melainkan buruh platform.

“Dalam teori ekonomi politik media kita mengenal istilah digital labour, jadi kita bukan pelaku digital, bukan pengusaha digital tapi buruh digital,” jelasnya pada sesi Kuliah Umum Pascasarjana UII, 27 April 2024.

“Contoh kecil podcast Deddy Corbuzier, per paket itu berapa juta incomenya minimal Rp 350 juta revenuenya. Tapi pernahkah anda tahu keuntungan bahwa yang diraih itu hanya 10 persen dari keuntungan yang sesungguhnya. Sisanya milik owner platform,” tambahnya.

Kita sebagai pengguna menjadi objek atau angka algoritma yang menguntungkan bagi pemilik platform.

“Jadi sebenarnya konten kreator yang dijual bukan kontennya tapi jumlah viewersnya, jumlah subscriber, bahkan jumlah likesnya bisa dijual. Jadi sebenarnya Anda ini tidak dipedulikan mau dicerdaskan atau engga yang penting please subscribe, like, and comment hanya itu yang mereka mau dari Anda,” ujarnya lagi.

Lantas, bagaimana menciptakan kondisi yang adil?

Jumlah penduduk Indonesia yang begitu besar tentu sangat menguntungkan pemilik platform global. Sementara, negara Indonesia tak mendapat pemasukan ataupun pajak atas bisnis tersebut. Selain itu data yang kita tautkan tanpa persetujuan akan dijual, artinya pengguna turut menjadi asset untuk kepentingan pemilik platform.

Prof. Masduki menyebutkan masyarakat Indonesia dapat mendorong pemerintah agar memaksa pemilik platform global agar mendirikan kantor di Indonesia dan membayar pajak agar kondisi ini juga adil untuk negara.

Salah satu upaya yang telah dilakukan oleh insan pers di Indonesia beberapa waktu lalu adalah adalah mendorong pengesahan Publisher Rights, dalam aturan tersebut platform digital global mau tidak mau harus memberi keuntungan secara adil karena yang terjadi selama ini platform digital selalu mengagregasi berita-berita siber dari media online di Indonesia.

Menurutmu langkah apalagi yang perlu dilakukan oleh Indonesia agar kondisi ini sama-sama menguntungkan, Comms?

 

Penulis: Meigitaria Sanita

Demokrasi

Universitas Islam Indonesia (UII) bersama Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Republik Indonesia (RI) menandatangani Nota Kesepahaman dan Perjanjian Kerja Sama pada Jumat, 26 April 2024, di Gedung Kuliah Umum Prof. Dr. Sardjito UII.

Secara umum, nota kesepahaman tersebut melingkupi bidang pendidikan dan penyuluhan HAM, bidang pengkajian dan penelitian HAM, bidang pengabdian masyarakat, serta bidang-bidang lainnya yang dapat dilakukan bersama.

Setelah Rektor UII, Prof. Fathul Wahid, S.T., M.Sc., Ph.D. dan Ketua Komnas HAM RI, Dr. Atnike Nova Sigiro, M.Sc meneken nota kesepahaman, acara dilanjutkan dengan diskusi panel bertajuk Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi di Negara Demokrasi.

Fathul Wahid menegaskan pentingnya isu tersebut, mulai dari fakta-fakta yang terjadi di lapangan hingga tekanan dan ancaman yang dialami oleh sejumlah jurnalis dalam menjalankan tugasnya.

“Banyak alasan dan fakta di lapangan berbicara ternyata kebebasan berpendapat dan berekspresi di banyak pojok itu merupakan barang mewah dan bukan tanpa risiko dan kita punya beberapa saksi,” ujarnya.

“Kebebasan berpendapat seorang jurnalis dituntut karena sebuah berita oleh pemerintah provinsi senilai Rp700 miliar. Ternyata kebebasan berpendapat itu tidak sesuatu yang bisa kita nikmati begitu saja. Kita berharap di negara demokrasi kebebasan itu terjamin, di Indonesia dijamin konstitusi tapi pelaksanaanya bisa jadi agak berbeda,” tambahnya memberikan contoh kasus.

Atnike Nova Sigiro dalam sambutannya juga menyebut selain “melanjutkan kolaborasi yang selama ini dilakukan antara UII dengan Komnas HAM” ia juga menggarisbawahi terkait hak atas kebebasan berekspresi dan berpendapat adalah syarat mutlak untuk pengembangan diri warga negara.

Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi di Negara Demokrasi

Diskusi panel tersebut menghadirkan lima pakar antara lain Dr. Herlambang P. Wiratraman, S.H., M.A. (Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik); Dr. Abdul Haris Semendawai, S.H., LL.M. (Komisi Nasional Hak Asasi Manusia RI); Prof. Dr.rer.soc. Masduki, S.Ag., M.Si. (Ilmu Komunikasi UII dan Forum Cik di Tiro); Dr. Suparman Marzuki, S.H., M.Si. (Fakultas Hukum UII dan PYBW UII); dan Fatia Maulidiyanti (International Federation for Human Rights).

Diskusi dibuka oleh Dr. Herlambang P. Wirataman, S.H., M.A. yang membahas detail terkait kebebasan akademik. Berdasarkan temuan-temuan risetnya, sejak tahun 2015 kondisi di Indonesia tidak baik-baik saja.

Sementara baru-baru ini menjelang pesta demokrasi di Indonesia, deretan rektor di perguruan tingga dipaksa menyuarakan citra positif untuk kepentiang politik tertentu.

“Model baru otoritarianisme memanfaatkan informasi sebagai alat manipulasi itu pararel dengan temuan saya memperlihatkan bahwa kebebasan akademik mendapat serangan-serangan itu dan dianggap narasi-narasi yang muncul adalah narasi yang sebenarnya dominan tapi represif seperti hal yang dimaklumkan,” jelasnya.

“Peristiwa menjelang pemilu misalnya ketika rektor-rektor ditekan untuk mendapatkan citra positif Jokowi itu dianggap biasa saja. Padahal itu serangan yang paling memalukan,” tambahnya.

Menurutnya, gerakan kebebasan akademik sangat penting dilakukan demi mengawal perlawanan hukum dan konstitusional.

“Sehingga gerakan kebebasan akademik dan solidaritasnya harus dikuatkan agar pencerdasan kewargaan tumbuh dan dapat menjaga negara hukum demokratis dengan mengawal perlawanan hukum dan konstitusional,” tandasnya.

Temuan tersebut sejalan dengan data yang ditemukan oleh Prof. Dr.rer.soc. Masduki, S.Ag., M.Si. yang kini tengah sibuk menjadi pengajar di Prodi Ilmu Komunikasi UII. Beliau menegaskan soal kebebasan berekspresi dan kebebasan pers merupakan bagian tak terpisahkan.

“Antara kebebasan berkespresi dan kebebasan pers sebetulnya dua sisi mata uang. Jika kita merujuk banyak scholar bahwa kebebasan berekspresi tidak akan terjadi jika tidak ada kebebasan pers,” jelasnya.

Sulitnya situasi yang terjadi di Indonesia terjadi karena demokrasi yang buruk. Masduki menyebut pers saat ini berbasis internet tidak cukup bebas, kebebasan tersebut adalah mitos. Karena faktanya Indonesia adalah kategori partly free dalam penggunaan internet.

“Indonesia juga bukan termasuk negara yang free, orang bebas menyampaikan apapun di internet kan tidak. Kita dimasukkan dalam kategori partly free. Negara-negara yang free pasti dengan sistem demokrasi yang baik,” tambahnya.

Tak hanya di internet, tekanan-tekanan juga dilakukan dengan kalimat-kalimat represif. Hal ini terjadi pada hajatan besar pesta politik dI mana akademisi di perguruan tinggi negeri dipaksa bungkam atas dasar netralitas.

“Ada penggunaan bahasa yang sangat represif terhadap teman-teman akademisi terutama di perguruan tinggi negeri. Jadi saya mengajak banyak sekali kawan di PTN untuk menyuarakan kritik terhadap politik dinasti misalnya tetapi kemudian mereka tersandera dengan kalimat ‘yang namanya ASN ini harus netral’. Jadi ada diksi netralitas kalau merujuk Pierre Bourdieu bahasa itu sebagai alat control atas kebebasan berpikir,” pungkasnya.

Diskusi lengkap dapat disaksikan melalui kanal YouTube brikut:

https://www.youtube.com/watch?v=HZKs5j0AB-E

Riset

Ilmu Komunikasi merupakan jurusan yang cukup populer di Indonesia, hal ini terbukti dari jumlah peminat pada Seleksi Nasional Penerimaan Mahasiswa Baru (SNPMB) 2024. Data yang disebutkan oleh Databoks Katadata menempatkan jurusan Ilmu Komunikasi pada deretan tiga teratas dengan persaingan ketat di beberapa universitas.

Popularitas ini ternyata tak cukup imbang dengan ragam riset dari jurusan Ilmu Komunikasi. Salah satu konten reel Instagram milik Alwi Johan Yogatama atau @alwijo yang diunggah pada 22 Maret 2024 mendapat respons masif dari netizen.

Konten tanya jawab judul skripsi pada momen wisuda salah satu universitas ternama di Jawa Barat itu seolah mewakili riset-riset jurusan Ilmu Komunikasi, Jurnalistik, dan Media yang cenderung itu-itu saja.

Video yang telah ditonton lebih dari 900 ribu pengguna Instagram tersebut menuai komentar bernada negatif. Sebagain besar menilai jika judul tersebut terlalu mudah dan tidak berbobot.

“Pada gak berbobot ya skripsinya, Mahal2 biaya kuliah, skripsi unfaedah,” tulis akun @aa.irone.

“kok judul skripsi org kykny gmpg bgt yah,” tambah akun @diki_latu_har_hari.

“Hhmmm… Bangga kah bikin skripsi judul kek gituaan,” seru akun @kamakafi_patria.

Kelima mahasiswa dalam mahasiswa itu menyebutkan judul skripsinya adalah representasi dari sebuah film. Mulai dari anime One Piece hingga film Ngeri-ngeri Sedap yang sempat trending beberapa tahun lalu.

https://www.instagram.com/reel/C4zmeCUPDuF/?utm_source=ig_web_copy_link&igsh=MzRlODBiNWFlZA==

Merujuk pada riset The Dark Side of Communication Studies in Higher Education of Indonesia yang ditulis oleh Prof Masduki, dosen Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII) pada jurnal ASPIKOM menunjukkan iklim akademik Ilmu Komunikasi di Indonesia selama 20 tahun terakhir stagnan. Runtuhnya sistem politik otoriter Orde baru 1998 tak mengubah iklim akademik menjadi lebih bebas. Sementara inovasi cukup terbatas yakni hanya pada kurikulum atau mata kuliah tertentu.

Riset kualitatif yang dilakukan oleh 60 anggota ASPIKOM menunjukkan tiga kecenderungan antara lain pilihan minat, pilihan nomenklatur program studi atau jurusan, dan fakultas yang menaungi bidang ilmu komunikasi. Paling populer dan diminati adalah Ilmu Komunikasi yang bersifat umum dan holistik, Jurnalistik, dan Hubungan Masyarakat. Sementara riset dan minat di luar ketiganya bercorak kritis tampak rendah.

Tawaran Solusi untuk Riset Komunikasi

Menghadapi iklim akademik dan riset yang disebut itu-itu saja, Holy Rafika Dhona, S.I.Kom, M.A., salah satu dosen Ilmu Komunikasi UII menawarkan solusi yang menarik.

Artikel terbarunya yang berjudul Studi Media dan Komunikasi di Indonesia Stagnan: Perlu Pendekatan Baru pada laman The Conversation menyebut penyebab stagnansi riset komunikasi adalah liberalisasi pada tata kelola universitas. Selama ini pengetahuan komunikasi diartikan sebagai transmisi pesan dan terpusat dalam media sehingga yang dipelajari hal itu-itu saja.

Solusi yang ditawarkan agar riset komunikasi lebih beragam yakni dengan pendekatan materialis. Salah satu profesor komunikasi dari Universitas Grenoble, Prancis yakni Yves De La haye menjelaskan bahwa pendekatan ini sebagai kritik atas pandangan transmisi informasi. Komunikasi dan media tak sekadar transmisi informasi tetapi semua hal termasuk komoditas, orang, hingga ide.

Holy menyebut dengan pendekatan materialis mahasiswa dapat menangkap masalah secara riil dalam msayarakat.

Hal itu dilakukan dengan memperluas area penelitiannya pada subjek-subjek yang diabaikan dalam studi komunikasi selama ini, misalnya pedagang sayur (yang memobilisasi komoditas sayur dari desa ke kota), pedagang jajanan di sekolah-sekolah, petani, nelayan dan seterusnya.

Ia memberi contoh soal branding dalam komunikasi pariwisata, sebut saja fenomena ziarah wali dalam masyarakat Indonesia. Branding selalu mengasumsikan wisata modern dan teknologi, sementara ziarah wali terjadi karena budaya lokal. Dengan pendekatan materialis, fokus dapat dialihkan pada bunga tabur sebagai komoditas ekonomi antara pedagang kecil di tempat zirah hingga medium sakralitas.

Argumen soal pendekatan materialis dalam studi komunikasi tidak hanya menghasilkan keragaman dalam bidang riset tetapi juga sebagai jawaban mengenai fenomena komunikasi dan media bukanlah kepura-puraan yang dilontarkan James W. Carey.

Artikel selengkapnya dapat diakses pada laman berikut:

https://theconversation.com/studi-media-dan-komunikasi-di-indonesia-stagnan-perlu-pendekatan-baru-227325?utm_source=whatsapp&utm_medium=bylinewhatsappbutton

 

Penulis: Meigitaria Sanita

Visual data

Kelas Big Data Analytics and AI pada Kamis, 25 April 2024 cukup berbeda dari biasanya. Pasalnya kelas yang biasa diampu oleh salah satu dosen Prodi Ilmu Komunikasi UII yakni Ratna Permata Sari, S.I.Kom, M.A, sementara diambil alih oleh Prof. Fathul Wahid, ST., M.Sc., Ph.D.

Prof. Fathul Wahid, ST., M.Sc., Ph.D adalah Rektor UII yang memiliki latar belakang keilmuan Sistem dan Teknologi Informasi. Beliau menguasai berbagai bidang termasuk mata kuliah Big Data Analytics and AI.

Dalam kesempatan itu Pak Rektor menyampaikan materi terkait Visualisasi Data kepada 44 mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi di Ruang Audio Visual.

Visualisasi Data umumnya disampaikan secara detail dalam satu semester, namun Pak Rektor meringkasnya secara padat dalam satu pertemuan 3 SKS. Salah satu poin yang mencuri perhatian siang itu terkait dengan kecohan dalam visual data.

Kecohan dalam visual data ditampilkan dengan berbagai trik agar menciptakan impresi dan persepsi berbeda. Pak Rektor menyebut kecohan ini sering dilakukan oleh media untuk tujuan tertentu.

“Banyak data di media ditampilkan dengan cara mungkin tidak salah, tapi paling tidak memberikan impresi yang bisa salah,” ujar Pak Rektor.

Pada awal pembukaan materi Pak Rektor menampilkan peta dunia, bagaimana lanskap yang selama ini diimani oleh banyak pihak ternyata tak selalu benar. Dalam peta Greenland nampak lebih luas daripada Australia namun faktanya luas Australia tiga kali lebih besar dari Greenland.

Tak hanya itu beberapa angka presentase juga bisa ditampilkan dengan berbagai bentuk diagram agar persepsi pembaca menjadi berbeda.

“Data yang sama bisa ditampilkan dengan berbeda untuk impresi yang beda. Visualisasi kalau salah tidak selalu menghantarkan pesan yang diinginkan,” tambahnya.

Tak hanya menguasai soal materi tersebut, Pak rektor ternyata juga jago dalam mendesain poster dengan cukup sederhana. Pihaknya memanfaatkan Power Point untuk menghasilkan desain yang menarik.

Skill dan pengetahuan soal Visualisasi Data ini sangat penting bagi lulusan Ilmu Komunikasi, karena berfungsi sebagai to communicate, transform data into information, to show evidence.

Pada akhir presentasi Pak Rektor menyampaikan beberapa tips bagi mahasiswa ketika membuat data visual. Pertama penting bagi penulis atau desainer agar tidak melawan convensi, tidak menampilkan data secara berlebihan agar tak menganggu fokus pembaca, dan memprioritaskan data yang paling penting dan menarik.

Kabar menariknya, Pak Rektor akan kembali mengisi pada mata kuliah ini dalam skala kelas yang lebih besar. Kelas tersebut merupakan program team teaching bersama dosen Ilmu Komunikasi UII, Ratna Permata Sari, S.I.Kom, M.A,. Bagi mahasiswa Ilmu Komunikasi UII yang mengambil mata kuliah Big Data Analytics and AI masih ada kesempatan untuk bergabung. Tunggu informasi selanjutnya ya Comms.

Jurnal

Artikel ilmiah berjudul Islamic communication as an invention of modernwestern knowledge: critical analysis toward Islamic communication in Indonesia yang ditulis oleh Holy Rafika Dhona, S.I.Kom, M.A, salah satu dosen Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII) telah terbit pada Asian Journal Communication pada 23 Februari 2024.

Gagasan pada artikel tersebut mempertanyakan komunikasi Islam berakar secara murni pada agama itu sendiri. Dalam proses risetnya, penulis menganalisis wacana-wacana yang menghasilkan pengetahuan komunikasi Islam dengan metode arkeologi Foucaldian.

Argumen yang tertulis dalam artikel menyebutkan tradisi komunikasi Islam adalah produk dari wacana developmentalisme modern yang mendominasi di era Orde Baru (1966-1998). Sehingga mengakibatkan tradisi komunikasi Islam di Indonesia saat ini tidak mampu memberikan perspektif alternatif dalam studi komunikasi yang lebih luas.

Berdasarkan hasil risetnya, penulis menjelaskan wacana komunikasi Islam di Indonesia telah mengalami penafsiran, praktik, dan pelembagaan yang berbeda-beda, praktik, dan pelembagaan yang berbeda, sehingga menghasilkan empat tradisi yang berbeda: Islam sebagai konteks budaya komunikasi; komunikasi dakwah; Komunikasi Islam; dan komunikasi profetik.

Beberapa solusi yang ditawarkan untuk melihat kembali sejarah komunikasi Islam dalam konteks lokal tertentu dan menggunakan wacana Islam sebagai kritik terhadap segala bentuk dominasi, termasuk dominasi pengetahuan yang diistilahkan dengan Islam.

Penulis:

Holy Rafika Dhona merupakan dosen Prodi Ilmu Komunikasi yang fokus dengan klaster riset communication geography, geomedia, communication history, Foucaultian Discourse, dan matrealist approach on Communication.

Asian Journal of Communication – Routledge Taylor & Group

https://doi.org/10.1080//1080/01292986.2024.230902