Reading Time: 3 minutesOleh Masduki, Dr.rer.soc.
Pengesahan UU Cipta Kerja No. 11/2020 hingga kini masih meninggalkan kontroversi di berbagai sektor publik termasuk sektor penyiaran. Dimasukkannya sejumlah pasal yang mengatur tata kelola lembaga penyiaran ke dalam UU ini memicu protes karena mereduksi prinsip universal penyiaran sebagai entitas yang tidak hanya bersifat benda/kerja komersial dan karenanya menjadi pengguna tenaga kerja seperti spirit UU Cipta Kerja. Penyiaran adalah entitas media massa, terkait pengelolaan konten yang sehat dan infrastruktur yang otonom, independen serta sebaran lembaganya harus merata, tidak Jakarta sentris. Tulisan pendek ini mengulas dua persoalan pokok yang memicu kontroversi tersebut.
Pemerintah Regulator Tunggal
Warisan penting demokratisasi penyiaran pasca 1998 di Indonesia adalah penguatan hak publik atas tata kelola media yang tercermin pada tiga aspek: Pertama, kehadiran lembaga regulator independen beranama Komisi Penyiaran Indonesia. Kedua, sistem penyiaran yang berformat lokal dan jaringan, bukan siaran berskala nasional. Ketiga, keberadaan lembaga penyiaran publik dan komunitas yang kuat dan profesional.
Terdapat perubahan signifikan penjaminan ketiga aspek diatas antara UU Penyiaran No. 32/2002 dengan UU Cipta Kerja. Dalam UU No. 32, terdapat dua regulator penyiaran yang posisinya relatif seimbang: Pemerintah dan KPI. Ini suatu kondisi yang relatif baik, meskipun belum paripurna karena seharusnya pemerintah tidak lagi menjadi regulator.
Dalam UU Cipta Kerja, pemerintah kembali menjadi regulator tunggal dan posisi Komisi Penyiaran adalah ‘regulator penggembira’ saja, karena tidak ada lagi hak review atas perizinan siaran. Setiap pelaku penyiaran yang mengajukan izin berdiri atau perpanjangan, cukup memberikan pernyataan sanggup mengikuti ketentuan P3SPS. Terminologi izin ini juga berubah, dari izin penyelenggaraan, menjadi hanya izin usaha. Artinya ada reduksi makna yang memposisikan penyiaran sebagai entitas bisnis semata, melihat publik sebagai konsumen, bukan entitas sosial yang berperan strategis untuk pemberdayaan publik.
Ancaman Baru Sentralisasi
Peta umum kepemilikan lembaga penyiaran analog (radio televisi) sejak 2002 hingga sekarang adalah Jakarta sentris atau Jawa sentris. Kepemilikan dan isi siaran televisi berpusat di Jakarta, sedangkan radio swasta adalah fenomena Jawa Barat dan Timur. Sebaran pemilik televisi yang hanya 12 kelompok disebut oligarki karena mereka menguasai, dan kemudian memakai media untuk tujuan politik praktis. Sentralisasi dan monopoli kepemilikan menjadi penyebab penyiaran tidak menjadi ruang publik yang egaliter, tetapi justru memicu destruksi harmoni sosial. Upaya mengatasi problem ini lewat UU Penyiaran No. 32/2002 tidak berhasil karena ada perlawanan yang kuat dari pemilik modal kuat.
UU Cipta Kerja berpeluang besar memperkuat peta sentralisasi dan monopoli bisnis penyiaran karena dua hal. Pertama, UU ini mengatur izin operasi penyiaran dapat berskala nasional, tidak lagi berskala lokal dan jaringan seperti amanat UU sebelumnya. Pemilik modal tentu lebih memilih mengembangkan model siaran nasional seperti saat ini karena menghemat modal dan kerja manajemen. Tanpa mekanisme perlindungan yang kuat, inisiatif pendirian televisi lokal sebagai upaya redistribusi hak publik akan makin terhambat.
UU Cipta Kerja khususnya pasal 60A juga memberi ‘cek kosong’ pengaturan teknis tata kelola siaran ddigital dan migrasi teknologi analog ke digital kepada Kementerian Kominfo bukan KPI. Artinya pemerintah menjadi penentu tunggal penyiaran digital dan berdasarkan pengalaman 10 tahun terakhir, pemerintah berpihak kepada pemodal bukan publik.
Memperhatikan kedua problem krusial diatas, maka para aktifis dan pemerhati media penyiaran perlu merapatkan barisan dan mendukung upaya judicial review yang kini diajukan komunitas masyarakat sipil ke Mahkamah Konstitusi. Harapan akan terjadinya koreksi UU ini juga masih ada pada rencana revisi UU Penyiaran No. 32/2002 tahun depan. Namun, melihat potret legislator yang dikuasai partai politik besar dengan kepentingan pragmatis yang kuat, harapan itu tampaknya sangat kecil untuk dapat terwujud.
Masduki, Dr.rer.soc.
Dosen Tetap Program Studi Ilmu Komunikasi UII
Ketua Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2Media)
Tulisan ini telah dimuat sebelumnya di harian Kedaulatan Rakyat edisi 16 November 2020. Kami muat kembali di laman ini untuk kepentingan edukasi, dokumentasi dan pembelajaran dalam dunia akademik. Pemuatan ini juga bagian dari komitmen situs Prodi Ilmu Komunikasi UII dalam upaya pengelolaan pengetahuan (Knowledge Management).