Reading Time: 2 minutes

Studi lanjut adalah perjuangan membangun perjalanan intelektual. Wajar jika jatuh bangun menjadi makanan dalam setiap prosesnya. Tak jarang, motivasi yang ajeg menjadi kunci. Proses intelektual perlu dilewati mulai dari membangun, hingga menguji gagasan.

Masduki, dosen komunikasi UII, dan Raden Retno Kumolo, Dosen Psikologi UII, misalnya, keduanya adalah doktor baru FPSB dan hadir dalam acara Pisah Sambut Dosen dan Tenaga Kependidikan Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya, Universitas Islam Indonesia. Pada acara ini Dekan FPSB UII juga memberi kenang-kenangan pada Bapak Djiwanggo dan Ibu Indri, dua tenaga pendidikan FPSB yang telah merampungkan masa pengabdiannya di UII selama ini.

Pada acara yang dilaksanakan 5 Mei 2021 ini, Masduki berbagi pengalamannya selama mengambil doktor di Munich, Jerman. Mulanya, ia merasa yakin dapat menyelesaikan doktoralnya hingga tiga tahun. “Saya sudah percaya diri waktu mengajukan proposal riset pada supervisor saya. Saya merasa ini sudah keren,” kata Masduki. Belakangan, 5 lembar usulan risetnya yang sudah dirasa bagus, diminta revisi oleh supervisor. Menurut supervisor, usulan ini lebih kepada usulan program sebuah NGO. “Jadi bukan usulan yang penuh dengan kajian-kajian teoritik, maksudnya.”

“Dari situlah saya meyakini, perjuangan saya akan lebih dari 3 tahun,” kata Masduki sambil terbahak mengenang masa-masa awal. Akibatnya, setelah itu, Masduki harus lebih banyak membaca dan menelaah beragam buku. “Saya sampai menghabiskan waktu dari perpustakaan buka hingga tutup. Itu enam bulan pertama perjuangannya,” ungkapnya.

Resep Cepat Menyelesaikan Studi Doktoral

Retno Kumolo Hadi, doktor baru lainnya, mengucapkan resep menyelesaikan studi doktoral berdasarkan pengalaman. “Menurut saya yang paling penting adalah niat: mengerjakan sesuatu yang baik. Kalau niat begitu kita akan mendapatkan pertolongan dari Allah SWT,” ungkapnya. Ia juga memberikan penghargaan yang tinggi pada seluruh karyawan, tendik, teman-teman yang telah berkontribusi mendukung para dosen yang tengah melanjutkan studi.

Tips lain dari Masduki, mengutip Hegel, bahwa S3 itu layaknya tesa, antitesa, sintesa kata hegel. “Tahapan orang S3 itu membangun tesanya dulu. Semacam proposisi. Lalu mengembangkan antitesa,” jelasnya. “Layaknya bangunan itu dipukuli sampe jadi kuat. Proses itu di masa membangun antitesa. Nah proses akhir ini sintesisnya dan yakin ini sudah selesai,” ungkapnya.

Di sisi lain, Masduki meyakini menjalani studi lanjut adalah membangun intellectual journey. “Saya juga memberi garis bawah, saya senang mengutip Quran Surat Ali Imron ayat 91. Inna fi kholqi fissamawati…li ulil albab. Jadi kalau kita ikut S1, S2, dan S3 ya ujungnya ulil albab,” katanya. “Nah prosesnya itu kita membaca. Ini luar biasa ini,” sambungnya.

Ulil albab adalah tahapan puncak intelektual setelah Ulin Nuha. Menurut Masduki, jika ulinnuha adalah taraf ilmuwan mengumpulkan pengetahuan, penemu dan menyampaikan di kelas. “Namun kalau ulil albab itu cendekiawan. Jadi dia tidak cuma penjelajah intelektual (intellectual explorer) tapi juga pembelajar, yang dinding kampus ini tidak cukup sebagai lokus pengabdian, tetapi juga punya pengabdian pada dunia yang lebih luas,” paparnya. “Yang dalam bahasa Gramsci itu intelektual organik. Bukan intelektual tradisional,” jelas Masduki.

Intelektual tradisional adalah orang yang hanya di kampus melakukan eksaminasi, kata Masduki. Intelektual model ini memikirkan bagaimana dampak ia di luar kampus.

“Semoga kita bisa menuju ke sana. Semoga nanti kawan-kawan juga bisa begitu dan sehingga fakuktas kita bisa bereputasi internasional,” tutup Masduki.

Reading Time: 2 minutes

Kunci untuk melakukan magang adalah harus mengetahui akar kita. Apa pun yang ingin Anda lakukan, apa pun yang akan Anda rasakan, itu tergantung pada Anda. Kuncinya ada pada Anda. Akan lebih baik jika Anda tidak hanya memiliki pengetahuan tetapi juga sikap yang baik. Ketika Anda berpikir kompetensi Anda tidak sebaik mereka, itu adalah celahnya. 

“Perasaan itu juga terjadi pada saya. Kuncinya hanya mensyukuri diri sendiri. Fokus pada diri sendiri, bukan orang lain,” kata Yasser Muhammad Syaiful, Country Head ELSA, Corp, pembicara di International Program of Communication (IPC) Workshop . Workshop kali ini bertajuk “Workshop Persiapan Magang untuk Masa Depan Global” Cicil.co.id feat IPC. Workshop, yang diselenggarakan pada 5 Mei 2021, ini juga bekerjasama dengan Elsa Speak. 

Yasser mengatakan bahwa apa yang membuat mahasiswa menonjol dan berhasil tergantung pada empat kunci sukses, terutama dalam magang. Yang pertama adalah mengetahui faktor ‘mengapa’ dari Anda. “Sebelum melamar pekerjaan atau magang, ketahui faktor ‘why’ dari Anda. Setelah itu, Anda perlu bertransformasi menjadi diri Anda yang baru,” kata Yasser. 

Yang kedua adalah Anda harus melakukan proses tindakan nyata. Tanpa tindakan dan aksi, Anda tidak akan mencapai tujuan. “Komitmen melakukannya dengan disiplin juga menjadi kunci keberhasilan,” tambahnya kepada seluruh peserta workshop. “Dan yang terakhir adalah melakukan evaluasi. Dan ini akan memotivasi kita sebagai pribadi,” kata Yasser. Evaluasi membuat kita tahu apa yang lebih baik dan apa yang salah dalam mencapai tujuan kita. 

Emi Zulaifah, Wakil Dekan Fakultas FPSB UII, juga banyak berbagi poin dengan seluruh mahasiswa yang akan mencoba melakukan magang sebagai mahasiswa internasional. “Menurut saya magang adalah hal yang baik. Saat melakukan magang, banyak mahasiswa akan mendapatkan perspektif yang berbeda dan juga semangat dalam belajar.

“Sungguh, semangat belajar bisa dibawa kemana-mana. Anda masih sangat muda, hari semakin cerah dan itulah Anda. Dengan magang, kita akan belajar banyak,” kata Emi memotivasi mereka. 

Kedua, sebagai mahasiswa UII, menjaga integritas itu penting. “Anda akan mendapatkan pengalaman profesional, Anda harus menjaga integritas. Dan bawalah itu dengan penuh integritas ke dalam perjalanan magangmu,” kata Emi.

Kalau mau jadi pemimpin, Anda harus membuat mahasiswa memahami masyarakat dengan KKN, dan Anda akan melihat banyak ketimpangan di sana. Semua pengalaman semacam ini akan memberi para mahasiswa ide, apapun jenis masalah yang akan mereka hadapi. “Saya pikir itu sama jika Anda nanti akan magang, Anda akan melihat kenyataan. Kami percaya melakukan pemagangan akan membuka banyak peluang,” kata Emi. 

Berdasarkan Ida Nuraini Dewi, sekretaris program Program Internasional di Komunikasi, UII, mahasiswa akan magang setelah menyelesaikan ujian skripsi.

Ini adalah artikel pertama. Lanjutkan ke beirta yang kedua di sini

Reading Time: 2 minutes

The key to do an internship is must to know our roots. Anything you want to do, anything you will feel, it depends on you. The key is on you. It would be best if you had not only knowledge but also a good attitude. When you think your competence is not good as theirs, it is the gap. 

“Thats feeling also happens to me. The key is just to be grateful for yourself. Focus on yourself, not another person,” said Yasser Muhammad Syaiful, Country Head ELSA, Corp, the speaker at the International Program of Communication (IPC) Workshop. The workshop title is “Workshop Internship Preparation for Global Future” Cicil.co.id feat IPC. The workshop is also in collaboration with Elsa Speak on May 5th, 2021. 

Yasser said that what makes students stand out and succeed depends on four keys to success, especially in an internship. The first is to know your ‘why.’ “Before you applying for your job or internship, know your ‘why’. After that, you need to transform into the new you,” Yasser said. 

The second is you should have to make a process of real action. Without action, Zero action will reach no goal. “Commitment to do it with discipline is also the key to success,” added him to all workshop participants. “And the last is to do evaluation. And this will motivate us as a person,” said Yasser. Evaluation makes us know what is better and what is wrong in reaching our goal. 

Emi Zulaifah, as the Vice Dean of FPSB Faculty, also shares many points with all students who will try to do an internship as international students. “I think an internship is a good thing. When doing an internship, many students will gain a different perspective and keep the spirit of learning. 

“Really, the spirit of learning you can bring it everywhere. You are still very young, the day is rising and that is you are. By internship, We are going to learn a lot,” Emi said and motivated them. 

Second, as a student of UII, it is critical to keep integrity. “You go to professional experience, you bring with the integrity. And you bring it with integrity to your internship,” Emi said.

If you want to create a leader, you should make students understand society with KKN, and you will look there is a lot of imbalance. All this kind of experience gives them ideas about the sort of problem they will face. “I think it is the same if you go to an internship, you are going to see the reality. We believe doing intership will open alot of your opportunities,” Emi said. 

Based on Ida Nuraini Dewi, program secretary of International Program at Department of Communications, UII, the student will go to internship after finishing their final defense of the undergraduate thesis.

This is the first article. Continue to the second one here

Reading Time: 2 minutes

Read the first article here. 

Know your roots to do an internship. It depends on what you will do. It would help if you have a good attitude than knowledge only. When you think your competence is not good as theirs, it is the gap. 

“Thats feeling also happens to me. The key is just to be grateful for yourself. Focus on yourself, not another person,” said Yasser Muhammad Syaiful, Country Head ELSA, Corp, the speaker at the International Program of Communication (IPC) Workshop. The workshop title is “Workshop Internship Preparation for Global Future” Cicil.co.id feat IPC. The workshop is also in collaboration with Elsa Speak on May 5th, 2021. 

On that occasions, many students were also asking some questions to sharpener their understanding. For example, Nadhira Mutia, an International Program student, asking about curriculum vitae (CV). “How to provide best evidence to our CV?”

Yasser said that it is our task to ensure HRD knows who we are. “Be honest and be articulate, give the best picture of you, put your number there. It shows your evidence and credibility,” Yasser Answer.

Yasser also emphasized the importance of extracurricular activities. “The first thing first, you have already joined in any organization. List down the organization and your role. Just list down,” said Yasser. “After it, you can describe it. You have to put your description and also your result or achievement. Describe what your role there, what your impact there,” added Yasser. By describing our role in the organization, the recruiter will know how we deal with problems and how we solve them. “They will also know the way you deal with people.”

Use Linkedin apps also can make our CV better. Linkedin already has its measurement. Make your good profile on Linkedin. Yasser said that our CV in Linkedin is the easiest way to make a good profile.

Another question was came from Baiq Muthia Maharani, “Do you have any mistake and how to handle mistake?”

Yasser said that having the mindset that making mistakes is does not matter. “This is the way I did, I just put my note. Every time I just put the list and put it on my sticky note,” Yasser said. The idea is as long as you know the mistake and you can prevent it, it’s good, and list it. “It’s okay to make a mistake, just apologize, and you can find how to improve it.”

In the last session, Yasser reminds us that all we have is to gain these four mindsets: know why, be a new you, total action, and evaluation. If you have none of these four mindsets, you will not be motivated to do your best.

Reading Time: 2 minutes

Pandemi adalah berkah, dan Ramadhan menjadi menjadi momen mahasiswa seru untuk kolaborasi. Kenapa? Karena pendemi, semua kegiatan fisik dibatasi. Tapi justru karena tak mampu menjankau secara fisik dan kini semua kegiatan dilakukan secara online dan virtual, kolaborasi menjadi sangat mudah.

Momen Pendemi di tengah Ramadan ini menjadi kesempatan emas bagi mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII) dan Ilmu Komunikasi Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Solo. Kolaborasi Kajian Ekonomi Politik Komunikasi dilakukan antara Mahasiswa Ilmu Komunikasi UII dan Ilmu Komunikasi UNS, ini bertepatan dengan bulan Ramadan, mereka menggagas Kelas Alternatif: Ngaji Ekopol Media yang untuk volume 1 ini akan dilakukan sebanyak tujuh pertemuan mulai dari 12 April 2021 hingga 24 Mei 2021. Ngaji Ekopol ini mendaku Annisaa Fitri, pemantik sekaligus Dosen Komunikasi UNS dan Dr. Rer. Soc. Masduki, Dosen Komunikasi UII, sebagai pemantik di sesi kuliah tamu khusus studi kasus penyiaran indonesia dalam kacamata Ekonomi Politik.

Beberapa tema yang diusung antara lain adalah Sejarah Media Penyiaran Indonesia Dalam Perspektif Ekonomi politik Media, Pemikiran kritis dan Kritik katas Modernitas, Sejarah Studi Ekonomi Politik di Amerika, dan kajian pemikiran tokoh mulai dari Adorno dan Habermas tentang Culture Industry dan Public Sphere, Vincent Mosco tentang komodifikasi khalayak, konten, dan pekerja, Mosco & Chomsky soal komodifikasi imanen & manufacturing consent, hingga Fuch yang mengkaji soal digital labour, dan membaca kembali teori kritis di era digital.

Ada juga kuliah tamu dengan mendatangkan pakar seperti Masduki, Dosen Ilmu Komunikasi UII, yang konsen di sejarah ekonomi politik media penyiaran publik. Antusiasmenya pun lumayan tinggi yaitu rata-rata 40 hingga 50 partisipan.

Diminati Lintas Kampus dan Lintas Daerah

“Aku sama temen-temen UNS menggagas Ngaji Ekonomi Politik ini biar temen-temen (dari kampus lain) yang tertarik bisa ikut,” ungkap Alif Madani, salah satu Mahasiswa ilmu Komunikasi UII, angkatan 2016, yang turut menggagas kolaborasi Diskusi Ngaji Ekopol lintas kampus ini. Salah satu yang mendasari diskusi ini adalah ketertarikan banyak mahasiswa pada kajian kritis tetapi mereka tidak mendapatkannya di kurikulum kampus mereka. Gagasan mulanya berasal dari banyak pertemuan dalam forum yang digelar Ikatan Mahasiswa Ilmu Komunikasi/IMIKI antar daerah. Beragam diskusi dan obrolan digelar. “Malah di UNS mereka sudah punya komunitas kajian ekopol lebih dulu yang merasa perlu memperdalam kajiannya,” kata Alif.

Peminat diskusi inipun tak hanya dari Kampus UII dan UNS saja. Mahasiswa dari kampus lain juga banyak yang tertarik mengikuti diskusi Ekopol ini. Peserta lain berasal dari kampus jateng-DIY antara lain adalah Universitas Negeri Yogyakarta, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Universitas Ahmad Dahlan, Unversitas Respati Yogyakarta, Sekolah Tinggi Pemerintahan Desa APMD, Universitas Pembangunan Nasional “veteran” Yogyakarta, dan juga ada dari luar kota seperti Universitas Tarumanegara, Universitas Tidar Magelang, dan Univ. Nurul Jadid Probolinggo.

Berawal dari ngobrol-ngobrol dan diskusi informal, “diskusi ini merupakan dorongan dari temen-temen di Solo yang pengin belajar perspektif kritis di komunikasi, tapi di kampusnya masih minim bahkan nggak ada. Jadi tanggung jawab moral juga temen-temen Jogja yang sudah lebih dulu belajar ekopol dan kajian kritis lainnya dari ruang kelas kuliah di Komunikasi UII,” jelas Alif sebagai salah satu inisiator dari Komunikasi UII.

(gambar properti milik #NgajiEkopolmedia)

Reading Time: 2 minutes

On January 4, 1946, a secret carriage group containing Soekarno and his friends arrived at Tugu Train Station, Yogyakarta. Their arrival marked the move of the capital from Jakarta which had been occupied by Allied forces from NICA (Nederlandsch Indië Civiele Administratie) to Yogyakarta.

The Indonesian government moved several Indonesian Ministries to Yogyakarta, including the Ministry of Information, which was then followed by the Indonesian Film Agency (BFI). The transfer of the two institutions prompted artists and republican sympathizers to also move to Yogyakarta. This incident made Yogyakarta at that time not only the center of Indonesian government, but also the center of arts and cinema in Indonesia.

Four Key Actors

“There are four important actors in Yogyakarta as the capital of Indonesian films: the Indonesian Film Agency, the Ministry of Information, Mataram Entertainment, and Kino Drama Atelier,” said Dyna Herlina Suwarto on Saturday, April 24, 2021. Dyna speaks in the discussion entitled Yogyakarta as the Capital City of Indonesia’s Film. This webinar is held by the collaboration of the PSDMA Nadim and KNSK. PSDMA Nadim is stands for Center for Alternative Media Studies and Documentation (PSDMA) Nadim Department of Communications UII. KNSK is stands for National Consortium for History of Communication (KNSK).

The Speaker who is familiarly called Dyna is a lecturer in the Communication Department at Yogyakarta State University. She is also founder of Rumah Sinema, and NGO who is focused on youth and media literacy. She is also active in the Indonesian Film Reviewers Association (KAFEIN). Currently, Dyna is undertaking doctoral studies in Film and Television Studies, University of Nottingham.

Dyna stated that Yogyakarta in 1946-1949 could be called the media capital, because Yogyakarta was considered a safe place that allowed economic, knowledge, cultural and political interactions. Creative actors from various parts of Indonesia also interact with each other and expand local, national and international networks. Finally, the relatively stable conditions in Yogyakarta allow for capital accumulation, market expansion and distribution systems.

Media Capital

When the media capital discussed by Michael Curtin was initiated by the private sector, Yogyakarta as the media capital was actually owned by the state as the main actor.

“In modern media capital , as mentioned by Curtin, the objective is financial accumulation. Meanwhile at that time in Jogja the main objective of media or films produced at that time was politics. Recognition of Indonesia’s independence and sovereignty as well as the accumulated knowledge of the film production industry itself,” said Dyna who also active in the Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF).

There are several films that are important to discuss in the Yogyakarta era from 1946 to 1949. One of the documentary film produced by the Indonesian Film Agency is Indonesia Fight for Freedom. This film was brought to the United Nations to gain recognition of Indonesian sovereignity. Apart from films, the establishment of film academies Cinedrama Institute and Kino Drama Atelier is also significant. These film academies has also become a milestone in the development of film in Indonesia.

Although in the end the Dutch attacked Yogyakarta on December 19th, 1948 and brought the film to a halt at that time, this era has become an interesting piece of film history in Indonesia.

——–

Reporter and Author: Rizky Eka Satya, UII Department of Communication’s student, Class of 2015. Internship at PSDMA Nadim at Department of Communications UII.

Editor: A. Pambudi W.

 

Reading Time: 3 minutes

Hasil Disertasi Dr. rer. Soc, Masduki, MA, salah satu dosen senior di Komunikasi UII, tak henti-hentinya didiskusikan dan dibedah dalam beberapa kesempatan diskusi online. Pada bulan Ramadan ini pun, diskusi tentang penyiaran publik kembali hadir mengisi waktu paska tarawih pada Senin, 3 Mei 2021.

Menariknya, diskusi kali ini digagas secara kolaboratif oleh mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII) dan Ilmu Komunikasi Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Solo. Bertepatan dengan bulan Ramadan, temanyapun adalah Kelas Alternatif: Ngaji Ekopol Media yang akan dilakukan sebanyak 7 pertemuan. Di kesempatan keempat ini, diskusinya adalah kuliah tamu mengusung Sejarah Media Penyiaran Indonesia Dalam Perspektif Ekonomi politik Media dengan Masduki sebagai pembicara tamu. 50 partisipan mengikuti sesi ini.

Masduki mengatakan kemungkinan kalau orang Indonesia pasti bakal protes dan bertanya-tanya, “Ngapain riset tentang media penyiaran publik kita RRI TVRI yang secara market mengalami decline?” dari survey Nielson saja media penyiaran publik ini hanya medapatkan 2 sampai 2.5 poin. “Ini juga juga dipertanyatakan supervisor saya?” kata Masduki menceritakan pengalamannya memulai disertasi ini di Jerman.

Mengapa Topik Disertasi Penyiaran Publik Menarik?

“Saya tidak sedang meneliti sebuat institusi. Kita membicarakan sejarah lembaga penyiaran dalam konfigurasi politik yang sedang berubah di Indonesia. Sebuah lembanga penyiaran di sebuah bangsa yang sedang berubah, dan mengalami dinamika politik yang tidak stabil,” jawab Masduki kemudian.

Ketika bicara sejarah, pasti kita akan membayangkan kronologi tanggal dan bulan tertentu terjadinya peristiwa penting sejarah. Setidaknya begitu yang ada di benak kita ketika mendengar sejarah. Seperti bagaimana kita belajar sejarah di sekolah dulu. “Tidak seperti itu. Kita bisa saja cari di blog atau website tertentu selesai,” ungkap Masduki. “Melihat sejarah tidak melulu harus kronologis, tetapi memotret beberapa momentum penting sejarah lalu dilihat dalam dimensi yang lebih makro,” ujar Masduki.

Lalu Masduki memberikan gambaran salah satu chapter disertasinya dan buku yang membantunya dalam proses risetnya melihat gambaran penyiaran publik di negara-negara dunia ketiga. Ketika memulai chapter Sejarah Media Penyiaran Dunia Ketiga, Masduki menemukan sebuah Buku berjudul “Broadcasting in the Third World: Promise and Performing” oleh Elibu Katz (guru Besar University di Israel, dan Geoge Wedell.

“Buku ini menarik. Berisi tentang strategi orientasi dan performa konten media penyiaran 11 negara dunia ketiga termasuk Indonesia di tahun 70an, lalu di-compare dengan dunia pertama,” jelas Masduki.

Buku tersebut membantu Masduki dalam melihat fase sejarah media penyiaran Indonesia pada tahun 70an yang sangat kental dengan tiga hal. “Lintasan sejarah penyiaran di dunia ketiga, yang selalu menjadi platform penyiaran adalah, yang pertama, harus mendorong integrasi nasional.” Jelas Masduki yang kemudian menjadi tidak heran jika slogan RRI atau TVRI tidak jauh-jauh dari kata pemersatu bangsa atau media publik milik bangsa. “Yang seperti ini tidak ditemukan di negara dunia pertama.”

Yang kedua adalah Media menjadi corong pembangunan ekonomi dan sosial. Masduki meriwayatkan bahwa di Tahun 70 Peraturan Pemerintah nomor 55, PP pertama tentang penyiaran Indonesia yang isinya secara spesifik mematikan siaran politik di media komersial. Dan RRI menjadi corong pemerintah menyiarkan pembangunan, dan swasta disetir oleh pemerintah. Pada era Suharto inilah mendapatkan citra sebagai agent of socio-economic development.

Tujuan terakhir adalah perubahan dan kesinambungan budaya. Budaya menjadi yang utama dalam siaran saat itu. “Dan ini menjadi cenderung apolitis. Dan ini masih kita temukan sekali lagi sekarang,” ujar Masduki mengajak peserta untuk melihat dan mengenali penyiaran publik Indonesia yang masih didominasi oleh konten budaya alih-alih produk jurnalismenya yang kritis. “Pendek kata, menurut saya, walaupun ini dilakuka di 11 negara, kalau kita lihat, tiga hal ini masih menjadi warna paltform penyiaran kita,” simpul Masduki.

Ditarik mundur lagi di masa kepemimpinan Soekarno, menjelaskan berkembangnya ikon modernisasi dan simbol kemajuan pembangunan fisik di era sukarno. Jadi secara politik, penyiaran di indonesia bukan dibangun untuk mengakomodasi hak politik warga negara, melainkan tujuan politis alih-alih kebebasan informasi dan kebebasan berekspresi. Sedangkan media penyiaran Publik pada masa paska reformasi penyiaran ia ibaratkan seperti, “By Law (secara hukum) penyiaran publik dilihat sebagai hal yang mencerdaskan kehidupan bangsa, namun faktanya lebih pada menyiarkan kebudayaan,” kata Masduki.

Reading Time: 2 minutes

Pada tanggal 4 Januari 1946, rombongan gerbong rahasia berisikan Soekarno dan kawan-kawan tiba di Stasiun Tugu, Yogyakarta. Kedatangan mereka menandai perpindahan ibu kota dari Jakarta yang telah diduduki oleh pasukan Sekutu dari NICA (Nederlandsch Indië Civiele Administratie) ke Yogyakarta.

Pemerintah RI memindahkan beberapa Kementerian RI ke Yogyakarta, di antaranya adalah Kementerian Penerangan yang kemudian diikuti oleh Badan Film Indonesia (BFI). Perpindahan kedua institusi tersebut membuat para seniman dan simpatisan republik turut pindah ke Yogyakarta. Peristiwa ini membuat Yogyakarta pada waktu itu tidak sekadar pusat pemerintahan Indonesia, melainkan menjadi pusat kesenian dan perfilman di Indonesia pula.

Empat Aktor Perfilman Indonesia Awal

“Terdapat empat aktor penting dalam Yogyakarta sebagai Ibu kota Film Indonesia: Badan Film Indonesia, Kementerian Penerangan, Stitchting Hiburan Mataram, dan Kino Drama Atelier,” ujar Dyna Herlina Suwarto, pembicara dalam diskusi dengan judul “Yogyakarta sebagai Ibu kota Film Indonesia” yang diadakan oleh kolaborasi Pusat Studi dan Dokumentasi Media Alternatif (PSDMA) Nadim Komunikasi UII dengan Konsorsium Nasional Sejarah Komunikasi (KNSK) pada Sabtu, 24 April 2021.

Perempuan yang akrab disapa Dyna ini merupakan Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Negeri Yogyakarta, pendiri Rumah Sinema, serta aktif di Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF). Ia juga aktif dalam Asosiasi Pengkaji Film Indonesia (KAFEIN). Saat ini, Dyna sedang menjalankan studi doktoral di Film and Television Studies, University of Nottingham.

Dyna menyebutkan bahwa Yogyakarta pada tahun 1946-1949 dapat disebut sebagai media capital (ibu kota media), karena Yogyakarta dinilai sebagai tempat yang aman yang memungkinkan terjadinya interaksi ekonomi, pengetahuan, budaya dan politik. Aktor kreatif dari berbagai wilayah Indonesia juga saling berinteraksi serta memperluas jaringan kerja lokal, nasional, dan internasional.  Terakhir, kondisi Yogyakarta yang relatif stabil memungkinkan terjadinya akumulasi modal, perluasan pasar, dan sistem distribusi.

Ketika ibu kota media yang dibahas oleh Michael Curtin diinisiasi oleh swasta, Yogyakarta sebagai media capital justru dimiliki negara sebagai aktor utamanya.

“Kalau dalam modern media capital yang disebutkan Curtin tujuannya adalah akumulasi finansial, sedangkan waktu itu di Jogja tujuan utama media atau film yang diproduksi waktu itu adalah politik. Pengakuan terhadap kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia serta akumulasi pengetahuan industri produksi film itu sendiri,” ujar Dyna.

Terdapat beberapa film yang penting untuk dibahas di era Yogyakarta 1946-1949, salah satunya adalah film dokumenter produksi Badan Film Indonesia “Indonesia Fight for Freedom” yang dibawa ke PBB untuk mendapatkan pengakuan kedaulatan Republik Indonesia. Selain film, pendirian akademi film “Cinedrama Institute” dan “Kino Drama Atelier” juga menjadi tonggak perkembangan film di Indonesia.

Walaupun pada akhirnya Belanda menyerang Yogyakarta pada tanggal 19 Desember 1948 dan membuat perkembangan film pada saat itu terhenti, namun era tersebut telah menjadi potongan menarik sejarah perfilman di Indonesia.


Reporter dan Penulis: Rizky Eka Satya, Mahasiswa Komunikasi UII, Angkatan 2015. Magang di PSDMA Nadim Komunikasi UII.

Penyunting: A. Pambudi W.

Reading Time: 2 minutes

Film production requires not only technical quality but also sensitivity to point-of-view and critical thinking. Perspective in seeing an issue is also crucial for filmmakers, especially women or gender, viewing topics and film production.

A filmmaker needs to understand women’s perspectives so that, in the end, a film is created that is sensitive to the interests of vulnerable groups such as women.

“The film method can be drawn on a very personal question: What if this incident happened to my sister. Or what if it happened to my mother, or a female member of my family,” said Kisno Ardi. He was a speaker at the screening and discussion of the film entitled ‘Whip in Aceh, the Veranda of Mecca’ on Friday, April 23, 2021.

This film screening and discussion resulted in the final project of director Nurhamid Budi Sutrisno, UII Student at Department of Communications, class 2017. This film raised the topic of the phenomenon and the other side of the caning punishment applied in Nanggroe Aceh Darussalam. This event is a routine discussion held by PSDMA Nadim UII at the Department of Communications.

Budi, Nurhamid’s nickname, said that he deliberately tried to take the point of view of social pressure experienced by people who were sentenced to caning. The social pressures ranged from being embarrassed in public to being ostracized and ostracized by society. “Supposedly if we used a woman’s perspective, we would not side with this exile. Imagine if our women’s families were in that position,” said Kisno, who is also a community activist cum documentary filmmaker.

So as a documentary filmmaker, Kisno said, filmmakers must present a new perspective on what we offer to society. So it is natural for documentary films to use one point of view.

“Unlike journalistic products, documentaries are not required to comply with journalistic rules, cover both sides, for example. However, journalism and documentary have something in common: factual,” said Kisno.

Kisno suggested to Budi that the filmmaker’s point of view and partisanship in the film should be seen. Even if necessary, the filmmaker must reflect events on themselves to make the filmmaker’s presence more accurate in understanding the film’s subject.

Therefore, it is crucial to understand and study the perspective of women as a form of siding with groups or community entities that are often disadvantaged. The filmmaker’s alignment with women and vulnerable groups is beneficial so that discrimination does not occur and repeat. Kisno hopes filmmakers should internalize this perspective because we have female family members and other vulnerable groups. Here is where the student’s filmmaker intelligence in working on the final project is tested.

 

Reading Time: < 1 minute

Informasi ini berlaku untuk mahasiswa Komunikasi UII yang telah memasuki masa magang. Anda, mahasiswa Komunikasi UII dapat mendaftar untuk mengikuti program magang mahassiswa di Kementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Perencanaan Nasional (ATR/BPN). Jika berminat bisa menilik informasi di: https://ppsdm.atrbpn.go.id/ dan Info gambar berikut: