Perempuan masih menjadi minoritas, sedikit sekali perempuan yang menempati posisi strategis di media. Padahal kehadiran perempuan di posisi strategis internal media dapat mengurangi objektifikasi perempuan oleh media. Baik media film, televisi, iklan, game, dan produk-produk jurnalistik.

Objektifikasi perempuan oleh media sering terjadi juga karena perempuan dianggap sebagai komoditas menarik di media. Baik sebagai dalam bentuk penggambaran perempuan yang sangat laki-laki dan bentuk pelecehan terhadap perempuan.

“Misalnya body shaming atau joke-joke seksis yang tidak sensitif gender hadir dalam konten media,” kata Iwan Awaluddin Yusuf, mahasiswa doktoral Monash University, Australia pada 30 Mei 2021 di Diskusi Publik LPM Jumpa Universitas Pasundan.

Lalu bagaimana peran media dalam objektifikasi perempuan?

Menurut Iwan, ada peran media yang paling buruk misalnya media mereproduksi ketidaksetaraan dan mengkomodifikasi perempuan. Selain itu media juga melanggengkan dan merayakan objektifikasi perempuan. Peran lain dari media juga masih pasif dalam mengedukasi publik.

Seharusnya, harap Iwan, media dapat mengedukasi publik. Media sebaiknya menjalankan fungsi pengawasan dan pencegahan. “Yang paljng ideal dan progresif adalah media yang memainkan peran menerapkan dan mengembangkan jurnalisme sensitif gender,” ungkap Iwan. “Misal dilakukan teman-teman jurnalis di Konde dan Magdalene. Mereka berkomitmen berserikat dan melakukan advokasi thdp hak-hak perempuan dan marginal,” kata Iwan menyontohkan. Hak-hak seperti cuti haid, hamil, ruang laktasi dan lain-lain kerap disuarakan di media-media yang disebut Iwan tersebut.

Lalu apa yang harus dilakukan media? Apa yg harus dihindari?

Pekerja media, termasuk di pers mahasiswa, sebisa mungkin menghindari victim blaming. “Dalam peliputan, hindari membela pelaku, hindari menggunakan elemen-elemen yang sensasional, sadis, dan bombastis. Elemen yang ini di dalam kode etik jurnalistik ini melanggar,” jelas Iwan, Dosen Komunikasi UII, yang menjadikan jurnalisme sensitif gender sebagai kajiannya selama di Monash University.

Media arusutama, media pers mahasiswa, dan media komunitas penting memahami jurnalisme sensitif gender. Menurut Iwan, utamanya media publik seperti RRI dan TVRI berpotensi mengedukasi publik. “Kalau ada yang perlu kita kritisi adalah RRI dan TVRI tidak menjadi alat pemerintah, harapan itu tidak boleh putus, media apapun, perlu bersinergi soal ini (sensitif gender), termasuk dari RRI dan TVRI,” sambung Iwan.

Media juga bisa menyeimbangkan porsi narasumber dalam liputan-liputannya. Hal yang paling mudah adalah menyeimbangan narasumber laki-laki dan perempuan. “Juga menyeimbangkan narsum yang punya perspektif gender,” jelasnya pada peserta yang kebanyakan adalah mahasiswa.

Media massa hari ini juga sebaiknya bisa mengadopsi Unesco Gender Sensitive Indicator for media yang dirilis Unesco pada 2012. Dengan indikator ini setidaknya media bisa menerapkannya hingga di level organisasi atau manajemen. Media bisa menjalankan kebijakan yang pro perempuan dengan membuat struktur dan rekrutmen yang seimbang antara pengelola, pimpinnan dan jurnalis perempuan dan laki-laki.

Upaya-upaya ini penting untuk menghindari objektifikasi perempuan dan kelompok marginal di media hari ini.

Tantangan Media Hari Ini

“Startup atau perusahaan over the top (OTT) seperti google, YT, FB, twitter, dll belum semua mau mengambil tanggungjawab jika ada konten dan aplikasi yang tidak sensitif gender,” sebut Iwan. Iwan memandang tantangan media hari ini tidak hanya di kalangan jurnalis, melainkan di lingkup perusahaan dan media digital.

Belum lagi, fakta bahwa selama ini belum ada kurikulum sensitif gender di lingkungan akademik. Padahal ini juga penting untuk menghasilkan jurnalis dan praktisi media yang sadar gender.

Iwan juga merasa perlunya mendukung peningkatan kapasitas regulator media agar mampu mengidentifikasi berbagai bentuk objektifikasi perempuan. Regulator media, seperti KPI dan Dewan Pers, harus dapat melihat dan mengamati secara cermat wacana yang justru menghambat upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan yang muncul di media.

Pembicara lain, Nani Afrida, jurnalis di Anadolu Agency, mengatakan bahwa kebutuhan atas hadirnya media arusutama yang independen dan sensitif gender sangat dibutuhkan. “Posisi media ini sangat sulit independen karena dikooptasi oleh konglomerasi pemilik media. Posisi perempuan jadi sangat tidak terdengar,” katanya.

“Indonesia tak tersusun dari batas peta, tapi gerak dan peran besar kaum muda,”

Itu adalah kata-kata jurnalis terkemuka Indonesia: Najwa Shihab. Anak muda Indonesia sangat berperan penting dalam memajukan bangsa dan negara. Maka pada 2021, demi memajukan kaum muda, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) mengadakan program IISMA atau Indonesian International Student Mobility Awards melalui Kampus Merdeka.  Pemerintah mengirimkan 1000 mahasiswa untuk melakukan transfer kredit ke 500 kampus terkemuka di seluruh dunia.

Salah satu mahasiswa UII yang terpilih dalam Indonesian International Student Mobility Awards (IISMA) 2021 adalah Nadira Muthia Supadi. Gadis yang biasa dipanggil Nadira ini merupakan mahasiswi kelas internasional Ilmu Komunikasi UII angkatan 2018. Nadira diterima oleh University of Leeds di Inggris dan akan menetap selama satu semester.

Nadira dapat menghabiskan satu semester di universitas mitra luar negeri untuk belajar. Selain belajar, Nadira akan merasakan budaya negara tujuan dan melakukan aktivitas akademik untuk mengasah keterampilan. Tahun ini Nadira berhasil lolos bersama 1000 mahasiswa dari 2700 mahasiswa yang berpartisipasi.

Nadira mengatakan bahwa ia membutuhkan waktu persiapan selama dua pekan saat pendaftaran. Mulai menyusun dokumen hingga penyerahan berkas. Ia mengatakan sebanyak 100 orang mahasiswa UII yang ikut berpartisipasi dan hanya 24 orang yang terpilih. Nadira merasa bersyukur dapat memperoleh kesempatan tersebut.

Nadira mengatakan bahwa dalam program ini, ia dapat dengan bebas memilih kursus yang ditawarkan oleh University of Leeds. IISMA mengajak semua mahasiswa untuk bebas untuk mempelajari apapun yang sesuai dengan minat mahasiswa dan misi IISMA. Rencananya, Nadira akan berangkat pada awal September dan akan kembali Januari 2022 mendatang.

Respon UII Pada Program IISMA

Dr.rer.nat. Dian Sari Utami, S.Psi., M.A. selaku Direktur Direktorat Kemitraan/Kantor Urusan Internasional UII mengatakan bahwa UII merespon baik program IISMA ini. Setelah mendapatkan sosialisasi program dari penyelenggara, ia segera menyebarkan berita ini kepada program studi yang ada di UII. “Program studi lalu segera mengirimkan beberapa kandidat yang memiliki kriteria, antara lain mahasiswa/mahasiswi yang sedang berada di semester 4, memiliki IPK tidak kurang dari 3.00 dan nilai TOEFL minimal 500,” ujar Dian Sari Utami lewat Whatsapp, Selasa (31/08/2021).

Menurut Dian Sari Utami, ada 200 mahasiswa UII yang bergabung ke dalam groupchat Whatsapp. Namun hanya 72 anak saja yang melengkapi berkas. Dari 72 mahasiswa yang telah menjalani proses seleksi, hanya 24 mahasiswa yang terpilih. 24 mahasiswa tersebut berasal dari sembilan  program studi yang ada di UII dan akan melakukan transfer kredit ke 15 universitas ternama di dunia.

Ia pun menambahkan agar mahasiswa yang terpilih bisa memaksimalkan waktu selama belajar di luar negeri. Misalnya bisa sambil membangun koneksi dengan sivitas akademika di universitas terkait. Tujuannya agar perjalanan akademik ini bermanfaat ketika ingin mengambil studi lanjut atau bekerja di negara tersebut.

=================

Penulis/ Reporter: Erinna Zandra (Mahasiswa Komunikasi UII, Angkatan 2017, Mahasiswa Magang di International Program at Prodi Komunikasi UII)

Editor: A. P. Wicaksono

Methods are mere tools. It helps research achieve its goals. Therefore, the method as far as possible is mastered by all. Both qualitative and quantitative research methods. With quantitative methods, research can look at various statistical and numerical possibilities.

Kunto Adi Wibowo, Lecturer at Fikom Unpad, Bandung, received the message from his professor during his doctoral studies in the United States. Since then he has pursued various methods including studying quantitative methods to explore these methods in statistics and psychology. “My professor said that mastery over this (method) will make it easier for researchers to do research,” said Kunto at the Quantitative Research Methods Training on August 28, 2021.

The Journal and Publication Management Unit of FPSB UII held this activity so that there would be a method refresh. Journal managers within FPSB UII are expected to increase their capacity and, “assist editors in selecting quality quantitative manuscripts,” said Puji Rianto, Head of the Journal and Scientific Paper Publication Management Unit of FPSB UII, when contacted yesterday, August 30, 2021.

Types of Quantitative Research

Quantitative research, said Kunto, is divided into three types. The first is descriptive, correlational quantitative research, and the third is experimental quantitative research.

“Experimentality is a matter of causality. The characteristics are first because it must come first. Correlational is what matters,” said Kunto, who is also a reviewer of national and international journals. “Secondly, the cause must cause effect. Third, cause and effect cannot be just coincidence. It’s experimental. That’s why in the laboratory there are measurements,” he added.

To differentiate between experimental and correlational, “I usually use this. Correlation is not causation,” explained Kunto.

For Kunto, not everything whose hypothesis is wrong is a failed research. Instead, he falsified the theory. “Such research actually contributes to knowledge,” said Kunto. However, it also depends on whether the method is correct and valid.

By understanding quantitative methods in more detail, journal managers in FPSB UII are expected to be able to carefully determine incoming journal manuscripts using quality quantitative methods. In turn, the quality of the journal is expected to improve.

Feature memungkinkan kita menulis dengan penuh gaya. Tulisan berita kisah, atau biasa disebut feature, bisa bikin penulis eksplorasi gaya Bahasa, menginjeksi nilai-nilai, hingga bercerita seperti dongeng.

“Meski mirip bercerita atau dongeng, feature bukan imajinasi ya, hanya gayanya bercerita. Jadinya lebih luwes dan tidak kaku dibanding menulis berita hardnews,” kata A. P. Wicaksono, pembicara dari pengelola Web Komunikasi UII, dalam workshop produksi konten website Pondok Pesantren UII pada 22 Agustus 2021.

Menurut Wicaksono, menulis hardnews cukup memuat informasi 6w 2H. “Satu W tambahan adalah What next, dan satu H tambahan adalah How Much,” ujar Wicaksono menjelaskan tips yang tidak lagi sekadar 5W1H. Asalkan informasi paling penting dari narasumber pertama muncul di muka, selanjutnya bisa kita tambahkan informasi pelengkap dari narasumber lain, katanya.

Farikha, salah satu peserta juga mengamati, feature bisa membuat penulis menularkan nilai-nilai kemanusiaan dan kepedulian narasumber pada pembaca. Peserta pada pelatihan kali ini diminta membaca karya dari wartawan Kompas berjudul Om Batman, sebagai contoh sederhana.

Setelah membaca contoh tulisan Feature yang disampaikan pembicara, Asliha Latifa berpendapat ada nilai-nilai yang disampaikan dalam gaya tulisan feature. Ada pula penggunaan majas dan bunga kata dalam penulisan feature, seperti juga pendapat Khalida, peserta lain.

Namun intinya, dengan pelatihan menggunakan metode komparasi, para peserta telah dapat merasakan perbedaan gaya antara hardnews dan feature dengan gamblang. Pemahaman ini membuat peserta mudah menulis berita hardnews di sesi simulasi. Terkumpul 11 tulisan berita kegiatan karya peserta pelatihan produksi konten website kali ini.

Farchan, anggota Media Santri PP UII, berharap, setelah pelatihan ini, pada gilirannya tulisan-tulisan ini bisa menjadi modal punggawa media santri ke depan mengelola web pesantren UII. “Keseluruhan pengelola media santri sebanyak 18 orang nantinya akan mengelola lini media santri, mulai dari web hingga media sosial,” katanya.

Riset menjadi penting dalam produksi konten kreatif. Riset menentukan seberapa kuat konten podcast yang akan anda buat. Ide kreatif juga akan muncul dengan sendirinya ketika riset konten podcast dilakukan. Termasuk meneliti konten-konten podcast milik orang lain.

Setidaknya, ada lima tips dalam melakukan riset agar menjadikan konten podcast Anda unik dan menarik. “Pertama, tentukan dulu mau konten apa yang mau kamu sajikan dan narasumbernya siapa,” kata Tri Rizal Ghofur, Content Creative di Narasi pada 2018 – 2020, pada Selasa, 31 Agustus 2021.

Ghofur adalah pembicara dalam Webinar Series “Penting Nggak sih Riset dalam Podcast Interview?” Acara webinar bersama Ghofur ini adalah Rangkaian Acara Festival Konten Inspiratif (FKI) 2021. FKI tahun kedua ini digelar oleh Uniicoms TV, TV online pertama di UII, agar muncul konten-konten yang bermutu dan inspiratif di dunia maya.

Pria yang juga Producer di Lemonilo, ini mengatakan, selain menentukan narasumber, kita juga harus membaca semua artikel tentang calon narasumber yang akan diajak bicara dalam konten podcast. “Hal ini penting supaya konten kita menjadi konten yang nggak biasa,” kata Ghofur, panggilan akbra Tri Rizal Ghofur. Tips kedua, kata Ghofur, tonton semua video tentang si calon narasumber. Cara ini juga akan kita mendapatkan pencerahan dari narasumber.

Kemudian, tips keempat kata Ghofur, adalah, “ngobrol dengan orang terdekat narasumber.” Menurut Ghofur, dari obrolan dengan narasumber harapannya akan ditemukan ide dan kata-kata yang bisa dijadikan konten kemasa kreatif dengan si narasumber.

Perlu juga dicoba tips terakhir dari Ghofur. Misalnya menngikuti dan melacak konten media sosial si narasumber. Dari sini, bahan obrolan untuk podcast bisa menjadi lebih kaya dan tentu saja bahan untuk host agar tidak kehabisan isu obrolan.

Pungkasan, Ghofur memberi tips ringkas memulai hingga mememrtahankan konten podcast yang menarik. “Ceritakan saja tentang hal yang sangat dekat, dan tidak usah berpikir ingin menggunakan alat yang bagus, pakai HP saja,” kata Ghofur. Tentunya, topik yang ingin dibicarakan harus diriset dahulu. Lalu yang terakhir, dan terpenting, konsisten memproduksi konten.

Metode adalah semata alat. Ia membantu penelitian mencapai tujuannya. Oleh karenanya, metode sedapat mungkin dikuasai semuanya. Baik itu metode penelitian kualitatif maupun kuantitatif. Dengan metode kuantitatif, riset bisa melihat beragam kemungkinan statistik dan angka.

Kunto Adi Wibowo, Dosen di Fikom Unpad, Bandung, mendapatkan pesan itu dari profesornya selama ia studi doktoral di Amerika Serikat. Sejak itu ia menekuni beragam metode termasuk memelajari metode kuantitatif hingga menelusuri metode ini di bidang statistik dan psikologi. “Kata profesor saya, penguasaan atas ini (metode) akan memudahkan peneliti melakukan riset,” kata Kunto di Pelatihan Metode Penelitian Kuantitatif pada 28 Agustus 2021.

Unit Pengelolaan Jurnal dan Publikasi Karya Ilmiah FPSB UII, mengadakan kegiatan ini agar ada penyegaran metode. Para pengelola jurnal di lingkungan FPSB UII diharapkan dapat meningkat kapasitasnya dan, “membantu editor dalam menyeleksi naskah kuantitatif yang berkualitas,” kata Puji Rianto, Kepala Unit Pengelolaan Jurnal dan Publikasi Karya Ilmiah FPSB UII, saat dihubungi kemarin 30 Agustus 2021.

Jenis Penelitian Kuantitatif

Jenis penelitian kuantitatif, kata Kunto, dibagi menjadi tiga jenis. Pertama adalah penelitian kuantitatif deskriptif, korelasional, dan yang ketiga adalah penelitian kuantitatif jenis eksperimental.

“Eksperimental itu soal hubungan sebab akibat. Cirinya yaitu pertama, Sebab harus lebih duluan. Kalo korelasional itu yg penting korelatif,” kata Kunto yang juga adalah reviewer jurnal nasional dan internasional. “Yang kedua, sebab harus mengakibatkan akibat. Ketiga, sebab dan akibat tidak boleh kebetulan semata hubungannya. Itu eksperimental. Makanya itu di laboratorium ada pengukuran-pengukuran,” tambahnya.

Untuk membedakan eksperimental dan korelasional, “Biasanya saya pake ini. Correlation is not causation,” jelas Kunto membedakan.

Bagi Kunto, Tidak semua yang hipotesisnya hasilnya keliru adalah penelitian gagal. Justru ia memfalsifikasi teori. “Penelitian seperti itu malah memberi sumbangan pada pengetahuan,” kata Kunto. Namun itu juga tergantung apakah metodenya benar dan valid.

Dengan memahami metode kuantitatif lebih detil, pengelola jurnal di lingkungan FPSB UII diharapkan dapat jeli menentukan naskah-naskah jurnal yang masuk dengan menggunakan metode kuantitatif yang berkualitas. Pada gilirannya, kualitas jurnal diharapkan akan meningkat.

Features allow us to write in style. Writing news stories, or commonly called features, can make writers explore language styles, inject values, and tell stories like fairy tales.

“Although it looks like a story or a fairy tale, the feature is not an imagination, it’s just a storytelling style. It’s more flexible and less rigid than writing hard news stories,” said AP Wicaksono, a speaker from UII of the Department of Communications Web manager, in a content production workshop for the UII Islamic Boarding School website on August 22. 2021.

According to Wicaksono, writing hardnews is enough with 6W and 2H information. “One additional W is What next, and one additional H is How Much,” said Wicaksono explaining tips that are no longer just 5W1H. “As long as the most important information from the first informant appears in advance, then we can add complementary information from other sources,” he said.

Farikha, one of the participants, also observed that features can make writers transmit human values ​​and concern for speakers to readers. Participants in this training were asked to read the work of a Kompas journalist entitled Om Batman, as a simple example.

After reading the example of feature writing delivered by the speaker, Asliha Latifa believes that there are values ​​conveyed in the feature writing style. There is also the use of figures of speech and figurative language in feature writing, as is the opinion of Khalida, another participant.

But the point is, with training using the comparative method, the participants have been able to clearly feel the difference in style between hard news and features. This understanding makes it easy for participants to write hard news in the simulation session. Collected 11 news articles on the activities of the participants in the website content production training this time. 

Farchan, the member of Media Santri, hopes that after this training, in turn, these writings can become the capital for the santri media retainer to manage the UII pesantren web in the future. “A total of 18 santri media managers will later manage the santri media lines, ranging from the web to social media,” he said.

If you review research journal manuscripts with quantitative methods, be sure to do an empathetic review. Submission of criticism is good, but still must be constructive.

As a manuscript reviewer, make sure that you do not have a conflict of interest with the content of the manuscript. “Immediately inform the editor if you have a conflict of interest,” said Kunto Adi Wibowo, Fikom Unpad lecturer, at the Quantitative Research Methods Training on August 28, 2021.

“I, for example, will refuse to review a manuscript where he criticizes my research. Although I can, I avoid bias in the review,” added this doctoral graduate from Wayne State University, United States.

The first step in reviewing quantitative research is to do a preliminary reading. Check what the main objective is and whether it is relevant and interesting. Ensure the originality of the topic and, “Newness of both theoretical perspectives, methods, and results,” said Kunto. This includes checking whether the methods and interpretations are convincing.

The next step is to examine the introduction section. In addition to reading the objectives, arguments accompanied by state of art, it is also necessary to check the literature review section. Kunto said, “Literature review is not cherry-picking. If the researcher is serious, we can see that the researcher understands the context and not the origin of the paste.”

The study of the methods section is also important as the next step. In the method section, check whether the information is detailed enough about the measurement, “if possible there is a questionnaire attached,” said Kunto in his presentation. In his presentation page, Kunto does not contain a theory/definition of the method, but a description of what has been done and the arguments for doing it.

Next is the step of review and discussion in the results and discussion section: does statistical analysis have a solid foundation? The reviewer also reads whether the data description is explained in a simple way.

In the closing section, according to Kunto, the author should write a conclusion briefly and based on the results of his research. He also doesn’t use much self-citation in the reference section.

 

Writing is not an easy matter. Moreover, writing so that many people buy and are interested in the products we sell. Writing for advertising content especially, can’t be too long, let alone convoluted. Advertising content must persuade people to at least stop viewing our products.

The key to reaching consumers is to write-copywriting eye catching, simple, and not long. It’s rare to start writing for an ad that can’t be arbitrary. “The main thing is research. We have to research first before writing for advertising,” said Nasuha Ali, copywriter at Zenius Education, on Friday (27/8/2021) on the talk show belonging to the International Program, Teatime, .

Nasuha Ali is currently working at edutech zenius. He is used to writing for the benefit of Zenius ad copywriting. Nasuha said that many of his creative and writing abilities were formed since college. “The crisis course is used once. IMC is also the key for me to work in the creative and marketing world. Academic writing is primarily the foundation for determining the structure of writing,” he said.

Are there steps to do copywriting?

“First, it depends on the brief. Copywriters and content writers are different. If a copywriter works in creative for ad text. It depends on the brief, graphic design, creative, and others,” said Nasuha. Especially the main step is research. Competitor research, reader segment research, then language determination and message research.

“Then we need to adjust what key message we want to highlight in the creative ad content,” explained Nasuha, who is also an alumni of UII at the Department of Communications. “The division of tasks in advertising production includes copywriters, graphic designers, or from the campaign section, as well as marketing,” Nasuha said, this team also considers brand voice, key messages, and aesthetic elements. “The point is teamwork,” he said.

Zenius, said Nasuha, is a technology-based education company. Online tutoring. “We provide a platform outside of school hours. Now, the teacher is there, you can live, you can immediately do practice questions until you try out,” he said, explaining Zenius’ profile.

A copywriter is a person who writes digital advertising content. The output provides an eye-catching, simple, and appropriate advertisement for the key message. “The difference is that if the content writer or SEO writer outputs long writing, more than 300 words, what if people see it, they immediately buy or click. Help sales (sales).”

This is very important for a copywriter, said Nasuha. “People nowadays rarely like to read long, so copywriters are important to write to reach more consumers in a short and digital way.”

Jika anda melakukan review (mengulas) naskah jurnal penelitian dengan metode kuantitatif, pastikan lakukan penelaahan secara empatik. Penyampaian kritik itu baik, tetapi tetap harus konstruktif.

Sebagai reviewer naskah, pastikan juga anda tidak memiliki konflik kepentingan dengan konten naskah. “Segera informasikan pada editor jika anda memiliki conflict of interest,” kata Kunto Adi Wibowo, dosen Fikom Unpad, di Pelatihan Metode Penelitian Kuantitatif pada 28 Agustus 2021.

“Saya, misalnya, akan menolak mengulas naskah yang dia mengkritik penelitian saya. Meskipun saya bisa, tapi saya menghindari bias dalam review,” imbuh doktor lulusan Wayne State University, Amerika Serikat, ini.

Langkah pertama mengulas penelitian kuantitatif adalah melakukan pembacaan awal. Cek apa tujuan utama dan apakah relevan dan menarik. Pastikan orisinitas topik dan, “Kebaruan baik perspektif teoretis, metode, maupun hasil,” kata Kunto. Termasuk cek apakah metode dan interpretasi meyakinkan.

Langkah berikutnya adalah menelaah pada bagian introduksi. Selain membaca tujuan, argumen yang disertai state of the art, perlu pula dicek bagian literature review. Kunto mengatakan, “Literature review tidak cherry picking. Kalau peneliti serius, kita bisa melihat peneliti memahami konteks dan bukan asal tempel.”

Penelaahan bagian metode juga penting sebagai tahap berikutnya. Pada bagian metode, cek apakah Informasi cukup detil tentang pengukuran, “jika memungkinkan ada lampiran kuesioner,” kata Kunto dalam presentasinya. Dalam laman presentasinya, Kunto Bukan berisi teori/definisi tentang metode namun deskripsi apa yang telah dilakukan serta argument mengapa melakukan hal tersebut.

Selanjutnya, langkah penelaahan dan pembahasan pada bagian hasil dan diskusi: apakah analisis statistik memiliki landasan yang kuat? Pengulas juga membaca apakah deskripsi data dijelaskan dengan cara yang sederhana.

Pada bagian penutup, menurut Kunto, penulis harus menulis simpulan dengan singkat dan berdasar hasil risetnya. Ia juga tidak banyak menggunakan self citation pada bagian referensi.