Sebuah kewajiban bagi dosen untuk tidak hanya melakukan aktifitas mengajar, melainkan juga meneliti, dan mengabdi. Proses diseminasi penelitian kepada khalayak global juga menjadi niscaya di era digital seperti saat ini. Maka dari itu dibutuhkan keterampilan khusus tidak hanya untuk dosen, tapi juga untuk editor pengelola Jurnal Komunikasi UII, untuk bisa menemukan jurnal internasional yang bereputasi dan memahami cara menulis dan mengirim artikel jurnal internasional.

Demi mewujudkan misi tersebut, Prodi Ilmu Komunikasi UII mengadakan workshop dan sharing session tips mencari jurnal dan menulis artikel untuk jurnal bereputasi internasional pada 8 Oktober 2021. Pesertanya adalah dosen dan pengelola jurnal Komunikasi UII yag berasal dari UGM, Undip, Universitas Halu Oleo, UPN Yogyakarta, dan juga UII.

Pada acara ini Abdul Rohman berbagi cerita dan pengalamannya menembus jurnal internasional. Selama ini artikelnya telah diterbitkan di beberapa penerbit Jurnal internasional seperti di International Journal of Communication, jurnal New Media & Society, dan jurnal Media, Culture & Society. Ia juga adalah pengajar di Jurusan Komunikasi, School of Communication & Design, RMIT University Vietnam, 

Menurut Abdul Rohman, patut dipahami proses menulis artikel untuk jurnal internasional tidak melulu mulus. Perlu ketekunan, semangat untuk terus bangkit menghadapi penolakan, hingga habit menulis yang ajeg. Abdul Rohman misalnya, ia terbiasa segera menulis gagasan dan ide menulis sehingga menjadi draf pertama tulisan. “Biasanya firts draft ini ya masih awal sekali. Apa yang terlintas segera ditulis. Apa saja,” kata Abdul Rohman. Ia sendiri terbiasa menulis dalam bahasa ibunya, jawa, ketimbang langsung berbahasa Inggris. Menurutnya setiap penulis memiliki kebiasaan dan kenyamanannya masing-masing yang harus ditemukan sebagai ritme dalam menulis. Barulah proses selanjutnya adalah menulis dan menata ulang draf awal tersebut.

Proses berikutnya, adalah meminta feedback atau masukan atas naskah kita. Masukan bisa berasal dari kolega, mentor, atau bahkan teman. Masukan ini sangat berarti sebagai kacamata pembaca yang lebih berjarak dibanding kita dengan naskah kita sendiri. Kemudian tahap selanjutnya adalah masuk tahapan editing dan rewriting. Pada tahap ini pulalah dilakukan proofreading. Di sinilah tahap kita harus memahami gaya atau selingkung target jurnal yang dituju. Jika selingkung jurnal sudah kita penuhi, segera lakukan submission naskah.

Selain Abdul Rohman, dilanjutkan pula sesi sharing bersama Masduki, Dosen Komunikasi UII yang artikelnya juga telah banyak terbit di jurnal level internasional. Masduki bercerita salah satunya soal alasan menulis di jurnal internasional dan trik memilih jurnal internasional bereputasi dan bukan abal-abal.

Lecturers must not only carry out teaching activities but also research and serve. Disseminating research to a global audience has also become necessary in the current digital era. Therefore, special skills are needed not only for lecturers but also for managing editors of the Jurnal Komunikasi UII to find reputable international journals and understand how to write and send international journal articles.

To realize this mission, UII Communication Studies Study Program held a workshop and sharing session on tips on finding journals and writing articles for journals of international repute on October 8, 2021. The participants were lecturers and managers of UII Communication journals from UGM, Diponegoro University, Halu Oleo University, UPN Yogyakarta. , and also Universitas Islam Indonesia/UII.

Abdul Rohman shared his stories and experiences through international journals in this event. So far, his articles have been published in several global journal publishers such as the International Journal of Communication, the New Media & Society journal, and the Media, Culture & Society journal. He is also a lecturer at the Department of Communication, School of Communication & Design, RMIT University Vietnam. 

According to Abdul Rohman, it should be understood that writing articles for international journals is not always smooth. It takes perseverance, enthusiasm to continue to rise to face rejection, to a steady writing habit. Abdul Rohman, for example, is accustomed to immediately writing ideas and writing ideas so that he becomes the first draft of writing. “Usually, the first draft is still very early. Anything that comes to mind is immediately written down. Anything,” said Abdul Rohman. He is used to writing in his mother tongue, Javanese, rather than directly speaking English. According to him, every writer has habits and comforts that must be found as a rhythm in writing. Then the following process is to write and rearrange the initial draft.

The next process is to ask for feedback or input on our manuscript. Feedback can come from colleagues, mentors, or even friends. This input is significant as the reader’s perspective is more distant than our manuscript. Then the next stage is to enter the editing and rewriting steps. At this stage, proofreading is also carried out. This is the stage where we must understand the style or environment of the intended journal target. If we have fulfilled the journal’s scope, immediately submit the manuscript.

Besides Abdul Rohman, there was also a sharing session with Masduki, a Communication Lecturer at UII whose articles have also been published in international journals. Masduki told one of the reasons for writing in international journals and the trick to choosing reputable international journals and not fake ones.

 

Investigative journalism is a must. It became a battering ram and revealed actors behind the tyranny of power. But it seems that many books on investigative journalism are only in the realm of theory. It only becomes a textbook or textbook in classrooms. There are political and psychological realities in the field that are also essential to be photographed to be used as learning and development of investigative journalism.

Masduki, Lecturer at Department of Communications of Universitas Islam Indonesia, said the book that can be used as a reference on Investigative Journalism nowadays is “investigative journalism” written by Dhandy Dwi Laksono. “Meanwhile, the other books are books written by former practitioners who are now academics,” said Masduki. Masduki is a speaker at the Book Review of “Stories of Investigative Journalism” on September 24, 2021, via Zoom meeting. “The downside is, books like this only reproduce textbooks and are more theoretical,” he added. 

The book review, organized by the Alliance of Independent Journalists (AJI) Yogyakarta, also featured the author of the book, Agoeng Wijaya (Managing Editor of Tempo Magazine). Yogi Zul Fadhli (Director of LBH Jogja) is also the speaker. The discussion are guided by Faried Cahyono (AJI Yogyakarta Member) as moderator.

This book, said Masduki, will add references to investigative journalism itself and be a lesson for journalists/practitioners, academics, aspiring journalists, and observers. “Thus, AJI Jogja has expanded its reach not only to journalists but also to their supporting institutions,” said Masduki.

According to Masduki, this also proves that journalists should be able to write news that offers information and become journalists who are also intellectuals. As a journalist and intellectual, they are a person who has the authority to write their views—both about their profession and things outside of themself.

This book is also proof that this book is a marker of the author’s concern for the generation to be more concerned with a more specific skill, namely investigation. “I also see that books on investigative journalism are still rare. Both in terms of quantity and quality,” he said.

For Masduki, who is also a doctor in media and public broadcasting, another drawback of textbooks is that they fail to capture the atmosphere. For example, said Masduki, the empirical atmosphere in the field, or journalists’ psychological and political pressure on the ground. Textbooks in college classes are also left behind in photographing the development of the work pattern of journalism itself. 

“Now is the digital and Digital journalism era. In the past, what was mentioned was the classic investigative journalism recipe. There are three recipes: the paper trail, the people trail, and the money trail,” Masduki explained. “That’s part of it now can be tracked using digital platforms. This is not discussed in digital journalism books, even journalism books in Indonesia.”

 

Jurnalisme investigasi adalah keharusan. Ia menjadi pendobrak dan penguak aktor di balik kezaliman kekuasaan. Namun tampaknya banyak buku tentang jurnalisme investigasi hanya berkutat di wilayah teori. Ia hanya menjadi textbook atau buku ajar di ruang-ruang kelas. Padahal ada realitas politis dan psikologis di lapangan yang juga penting dipotret sehingga dapat menjadi pembelajaran dan pengembangan jurnalisme investigasi.

Masduki, Dosen Ilmu Komunikasi UII mengatakan, buku yang bisa menjadi rujukan selama ini soal Jurnalisme Investigasi adalah buku jurnalisme investigasinya yang ditulis oleh Dhandy Dwi Laksono. “Sedangkan buku yang lain adalah buku yang ditulis mantan praktisi yang kini menjadi akademisi,” kata Masduki sebagai pembicara dalam Bedah Buku “Serba Serbi Jurnalisme Investigasi” pada 24 September 2021 via Zoom meeting. “Kelemahannya adalah, buku seperti ini hanya mereproduksi teksbook dan lebih teoritis,” imbuhnya. Bedah buku yang diselenggarakan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta, ini juga menghadirkan penulis buku, Agoeng Wijaya (Redaktur Pelaksana Majalah Tempo), Yogi Zul Fadhli (Direktur LBH Jogja), dan juga dipandu oleh Faried Cahyono (Anggota AJI Yogyakarta) sebagai moderator.

Buku ini, kata Masduki, akan menambah referensi tentang jurnalisme investigasi itu sendiri tapi juga menjadi pembelajaran bagi jurnalis/praktisi, akademisi, calon jurnalis dan para pengamat. “Dengan begitu, AJI Jogja sudah meluaskan jangkauannya pada tidak hahya jurnalis tapi juga pada institusi-institusi penunjangnya,” kata Masduki.

Menurut Masduki, Ini juga membuktikan bahwa jurnalis itu memang srharusnya tidak hanya mampu menulis berita yang menawarkan informasi tetapi juga menjadi jurnalis yang juga sebagai intelektual. Sebagai jurnalis dan intelektual, ia adalah insan yang punya otoritas untuk menulis pandangan-pandangannya. Baik tentang profesinya maupun hal-hal di luar dirihya.

Buku ini juga menjadi bukti bahwa buku ini sebagai penanda penulisnya memiliki kepedulian pada generasi agar lebih concern pada keterampilan yang lebih spesifik yakni investigasi. “Saya juga melihat buku tentang jurnalisme investigasi itu masih langka. Baik secara kuantitas maupun kualitas,” ujarnya.

Bagi Masduki, yang juga adalah doktor di bidang media dan penyiaran publik, kekurangan lainnya dari buku teksbook adalah ia luput dan tertinggal menangkap suasana. Misalnya, kata Masduki, suasana empiris di lapangan, atau tekanan psikologis maupun politik jurnalis di lapangan. Buku ajar di kelas kuliahan juga tertinggal memotret perkembangan pola kerja jurnalisme itu sendiri. “Sekarang kan eranya digital. Jurnalisme digital. Kalau dulu yang disebut tadi kan resep jurnalisme investigasi yang klasik itu, Itu kan ada tiga resep: paper trail, people trail, dan money trail,” jelas Masduki. “Itu kan sekarang sebagiannya bisa dilacak menggunakan platform digital. Ini tidak dibahas dalam buku jurnalisme digital, bahkan buku-buku jurnalisme di indonesia.”

Ketika banjir, gempa bumi, atau tsunami, atau bencana apa pun datang, apa yang harus kita lakukan? Karena kurangnya komunikasi pengetahuan bencana masa lalu, tidak ada generasi baru yang tahu bagaimana bencana terjadi di masa lalu. Oleh karena itu kita perlu mentransfer pengetahuan dari generasi masa lalu kepada generasi mendatang. Itulah ilustrasi sederhana dari apa yang kami sebut Komunikasi Risiko Bencana. Tapi apa sebenarnya pentingnya itu?

Alfi Rahman mengatakan bahwa salah satu yang penting hal itu adalah memberdayakan audiens untuk membuat pengambilan keputusan yang tepat. Jadi orang dapat membuat lebih banyak pilihan tentang risiko dalam bencana. Hal penting lainnya dari komunikasi risiko bencana adalah, “Meningkatkan kepercayaan pada lembaga manajemen risiko, masyarakat diberdayakan,” kata Alfi Rahman, peneliti di Tsunami and Disaster Mitigation Research Center (TDMRC) Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, Indonesia, pada Annual Report Workshop Globalisasi diselenggarakan oleh International Program of Communication Department UII (Universitas Islam Indonesia). Annual Workshop on Globalization dengan tema “Bencana, Media, dan Globalisasi” dilaksanakan pada tanggal 25 September 2021, online melalui Zoom Meeting.

Komunikasi Bencana dan Risiko juga membantu membangun pemahaman demi upaya mengelola risiko. Ini juga menyesuaikan komunikasi, termasuk mempertimbangkan Respon emosional terhadap kejadian tersebut. Alfi berpesan kepada seluruh mahasiswa sebagai peserta bahwa komunikasi berisiko. Ini juga mencegah Perilaku negatif dan Mendorong respons konstruktif terhadap krisis atau bahaya.

Alfi juga menggambarkan bagaimana orang Menciptakan transfer pengetahuan untuk membuat komunikasi risiko bencana ke generasi berikutnya. Ia mencontohkan Kisah Smong Risiko Tsunami di Kepulauan Simeuleue, Aceh. Warga Simeulue Harus membuat pesan tentang bencana dan pengetahuan Melalui tindakan sebagai aspek kedua dari komunikasi risiko bencana.

Kisah-kisah Smong ini juga menjadi pelajaran dalam menyelamatkan nyawa saat tsunami Samudra Hindia 2004. Alfi memaparkan bahwa pada tahun 1907 ada 50% (ada yang mengatakan 70%) warga masyarakat Simeulue direnggut nyawanya oleh tsunami. Namun pada tahun 2004, tiga orang dilaporkan tewas, menunjukkan dampak positif dari Cerita Smong Sebagai sinyal peringatan.

Selain Alfi, Workshop juga mengundang Ruzinoor Che Mat selaku associate professor Universiti Utara Malaysia dan Herman Felani selaku Dosen Departemen Komunikasi UII. Sementara pidato Alfi tentang komunikasi risiko bencana, Ruzinoor berbicara tentang Simulasi Pemodelan 3D untuk Evakuasi Banjir, dan Herman berbicara tentang pandemi dan globalisasi.

When floods, earthquakes, or tsunami, or any disaster come, what should we do? Because of the lack of past disaster knowledge, None of the new generations will know how the disaster happens in the past. Therefore we need to transfer knowledge from the past generation to the future generation. That is a simple illustration of what we call Disaster Risk Communication. But what is precisely the importance of it?

Alfi Rahman said that One of the important is to Empower the audience to make informed decision-making. So people can make more choices about risk. Another essential thing of disaster risk communication is, “Increase trust In risk management institution, people empowered,” said Alfi Rahman, a researcher at the Tsunami and Disaster Mitigation Research Center (TDMRC) of Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, Indonesia, at Annual Workshop on Globalization held by International Program of Communication Department UII (Universitas Islam Indonesia). The Annual Workshop on Globalisation under the theme “Disaster, Media, and Globalization” was held on September 25, 2021, online by Zoom Meeting.

Disaster and Risk Communication also help build understanding For efforts to manage risks. It also tailors communication, so it considers emotional Response to the event. Alfi told all of the students as a participant that risk communication. It also prevents negative Behavior and Encourages constructive response to crisis or danger.

Alfi also illustrates how people Create a knowledge transfer to make a disaster risk communication into the next generation. He told the example of The Smong Story Of tsunami risk in Simeuleue Islands, Aceh. It should make a message about the disaster and a knowledge Through action as the second aspect of disaster risk communication.

These Smong stories have also been a lesson learned In saving lives during The 2004 Indian ocean tsunami. Alfi presents that in 1907 there were 50% (some said that 70%) That the tsunami killed the Simeuluean People. But in 2004, three people were reportedly killed, showing the positive impact of the Smong Story As a warning signal.

Besides Alfi, the Workshop also invited Ruzinoor Che Mat as associate professor of Universiti Utara Malaysia and Herman Felani as the Department of Communication UII. While Alfi’s speech is about disaster risk communication, Ruzinoor speaks about 3D Modelling Simulation for Flood Evacuation, and Herman talks about pandemics and globalization.

Banyak mahasiswa yang mengira Pusat Studi dan Dokumentasi Media Alternatif (PSDMA) Nadim adalah perpustakaan. Tak heran karena PSDMA Nadim sementara ini, secara fisik, dipenuhi dengan buku-buku. Sebenarnya, banyak hal yang Nadim lakukan. Seperti namanya, pusat studi dan dokumentasi, Nadim melakukan studi dan dokumentasi seperti diskusi, penelitian, dan juga pengumpulan media-media alternatif. Ia adalah Pusat Studi dan Pusat dokumentasi khusus media alternatif.

Perkenalan dengan PSDMA Nadim ini menjadi topik ngobrol santai teatime International Program Communication Department Universitas Islam Indonesia (UII). Teatime ini mengundang Ifa Zulkurnaini, seorang staf sekaligus peneliti di Nadim. Teatime kali ini dipandu oleh Lani Diana, mahasiswa IPC UII Angkatan 2018, pada Jumat, 24 September 2021.

Ifa menjelaskan bahwa PSDMA Nadim digagas salah satunya oleh Muzayin Nazaruddin, Dosen Komunikasi UII (Dosen spesialis Media, Bencana, dan Semiotika) yang saat itu menjabat sebagai Kepala Laboratorium Ilmu Komunikasi UII. “Beliau ingin ada wadah buat mahasiswa yang ingin penelitian, pengabdian masyarakat, sharing pengetahuan, atau diskusi. Janggal kalau diwadahi di laboratorium, nggak nyambung. Jadi dibikinlah PSDMA Nadim ini di tahun 2008,” Jelas Ifa.

Mengenai koleksi di PSDMA Nadim, tidak hanya buku yang dimilki, PSDMA Nadim lebih mengedepankan media alternatif, artinya bukan media yang banyak umum ditemui. Nama NADIM sendiri diambil dari nama seorang bibliografer ribuan manusrkrip di Bagdad bernama Ibn Al Nadim yang hidup pada tahun 990an. Selain mengumpulkan, ia juga membaca dan mengkatalogisasinya. Begitupun PSDMA Nadim, tidak sebatas buku saja yang dimiliki, tapi juga film, pamfet, tabloid, majalah, dan jurnal. “Kalau teman-teman pengin nonton film-film lama, tapi nggak bisa ke bioskop, bisa pinjam di Nadim,” kata Ifa saat cerita tentang koleksi Nadim yang beberapa bisa dipinjam secara online.

Selain mengkoleksi beberapa media alternatif, nadim punya kegiatan yang bisa diikuti oleh siapapun baik mahasiswa ataupun umum yakni diskusi yang dilakukan satu hingga dua kali sebulan. “Tiap bulan diisi oleh mahasiswa atau dosen baik dari UII maupun universitas lain.”

Many students think that the Nadim Center for Alternative Media Studies and Documentation (PSDMA) is a library. It’s no wonder that Nadim’s PSDMA is physically filled with books. Many things Nadim did. As the name suggests, a center for studies and documentation, Nadim conducts studies and documentation such as discussions, research, and alternative media collection. It is a Center for Studies and Documentation Center specialized in alternative media.

This introduction to PSDMA Nadim became a topic of casual chat at the International Program Communication Department, Universitas Islam Indonesia (UII). This teatime invited Ifa Zulkurnaini, a staff member and researcher at Nadim. The teatime was hosted by Lani Diana, a 2018 IPC UII student, on Friday, September 24, 2021.

Ifa explained that the PSDMA Nadim was initiated by one of them by Muzayin Nazaruddin, a UII Communications Lecturer (Lecturer specialist in Media, Disasters, and Semiotics) who at that time served as Head of the UII Communication Science Laboratory. “He wants a forum for students who want to do research, community service, share knowledge, or discuss. It’s odd if it’s accommodated in the laboratory, it doesn’t connect. So PSDMA Nadim was made in 2008,” Ifa explained.

Regarding the collection at PSDMA Nadim, it is not only owned books; PSDMA Nadim prioritizes alternative media, meaning that it is not media that is commonly found. NADIM itself is taken from a bibliographer of thousands of manuscripts in Baghdad named Ibn Al Nadim, who lived in the 990s. Apart from collecting, he also reads and catalogs them. Likewise, PSDMA Nadim has books and films, pamphlets, tabloids, magazines, and journals. “If you want to watch old films, but you can’t go to the cinema, you can borrow them from Nadim,” said Ifa when telling stories about Nadim’s collection, some of which can be borrowed online.

In addition to collecting several alternative media, Nadim has activities that anyone can follow, whether students or the general public, namely discussions held once or twice a month. “Every month, students or lecturers from UII and other universities fill it.”

 

 

So far, there have been many misunderstandings in the practice of media analysis. For example, many students consider critical discourse analysis (CDA) to only analyze at the textual level. It is as if discourse analysis cannot read everything outside the text. However, many things affect the text.

CDA is not enough with textual dimension analysis. “So you have to also talk about conditions outside the text/producer/social action: conditions that affect producers (history of the text, etc.),” ​​said Holy Rafika Dhona, UII Communications Lecturer, who became an instructor in the Advanced Journalism Training/PJTL HIMMAH UII on 16 September 2021, noon. HIMMAH is a university-level Student Press Institution/LPM within the Indonesian Islamic University (UII).

CDA always connects the dimensions of the text, social action with context. CDA also combines the historical-power-ideological extent because it is based on the PHI (power-history-ideology) principle. Therefore, said Holy, CDA is not only done by conducting linguistic analysis.

What is an example?

“The discourse, for example, about the Breksi Cliff tourist spot, changed something that was originally just an ordinary cliff into a place for good photos. It was a process of changing discourse,” said Holy.

Holy added, according to Fairclough, discourse is the way people produce and interpret texts in social interactions, which are also influenced by the broader social environment, namely social institutions, and society. “That’s why Fairclough said that behind language is ideology or politics,” he added.

Media discourse, therefore, according to Norman Fairclough, CDA is not only text analysis but also connects context (production texts and consumption texts) and sociocultural practices (talking about history and others). . Because they are all intertwined.

This is where it is essential to understand what critical theory is. The critical theory includes three things according to Max Horkheimer (1937), namely: (1) theory that sees reality is never neutral, (2) theory that sees reality is always historical, (3) theory that does not separate praxis.

The value of a critique, said Holy, briefly is (1) Power of power: where there is power, there are the oppressed and oppressors, then the second is (2) dialectical, and (3) 3. Historical. Therefore, students must be able to understand critical thinking. The critical way of thinking is to see that something is not neutral and shaped by history.

Selama ini banyak kesalahpahaman dalam praktik analisis media. Misalnya, banyak pembelajar menganggap analisis wacana kritis (Critical Discourse Analysis/ CDA) hanya melakukan analisis pada tataran tekstual. Seakan-akan analisis wacana tidak dapat membaca semua yang di luar teks. Padahal banyak hal yang mempengaruhi teks.

CDA tidak cukup dengan analisis dimensi tekstual. “Maka anda harus juga ngomongin kondisi di luar teks/ produsen/ social action: kondisi yang mempengaruhi produsen (sejarah teks dll),” kata Holy Rafika Dhona, Dosen Komunikasi UII, yang menjadi instruktur dalam Pelatihan Jurnalistik Tingkat Lanjut/ PJTL HIMMAH UII pada 16 September 2021, siang. HIMMAH adalah Lembaga Pers Mahasiswa/LPM tingkat universitas di lingkungan Universitas Islam Indonesia (UII).

CDA selalu menghubungkan dimensi teks, tindakan sosial dengan konteks. CDA juga mengoneksikan dimensi sejarah-kuasa-ideologi karena berprinsip PHI (power -history -ideology). Oleh karenanya, kata Holy, CDA tidak hanya dilakukan dengan melakukan analisis linguistik.

Apa contohnya?
“Discourse itu misalnya soal tempat wisata Tebing Breksi itu mengubah sesuatu itu yang awalnya hanya tebing biasa menjadi tempat foto-foto yang bagus. Itu proses mengubah discourse/ wacana,” kata Holy.

Holy menambahkan, wacana menurut Fairclough adalah cara masyarakat memproduksi dan menginterpretasi teks dalam interaksi sosial juga dipengaruhi oleh lingkungan sosial yang lebih luas; yaitu institusi sosial dan masyarakat. “Makanya Fairclough bilang di balik bahasa adalah ideologi atau politik,” tambahnya

Media discourse karenanya, menurut Norman Fairclogh, CDA itu tidak hanya analisis teks aja, tapi Menghubungkan konteks (teks produksi dan teks konsumsi) dan praktik sosiokultutal (berbicara soal history dan lainnya). Karena mereka semua saling bertautan.

Di sini lah pentingnya memahami apa itu Teori kritis. Teori kritis itu mencakup tiga hal menurut Max Horkheimer (1937) yaitu: (1) teori yang melihat realitas tidak pernah netral, (2) Teori yang melihat realitas adalah selalu historis, (3) Teori yang tidak memisahkan praksis.

Nilai sebuah kritik, kata Holy, secara singkat adalah (1) Power kekuasaan: dimana ada kekuasan, ada yang ditindas dan menindas, lalu kedua (2) dialektis, dan (3) 3. Historis. Maka dari itu, mahasiswa harus bisa memahamin cara berfikir kritis. Cara berfikir kritis adalah melihat sesuatu itu tidak netral dan sesuatu itu dibentuk oleh sejarah.