Di semester akhir masa perkuliahan, mahasiswa diwajibkan untuk melakukan magang (internship). Mahasiswa bertanggungjawab untuk mencari perusahaan atau instansi tempatnya akan menimba ilmu sebelum siap kerja di dunia nyata pasca kelulusan. Magang ini penting untuk dilakukan oleh mahasiswa karena, dari berbagai pengalaman alumni sebelumnya, sangat menentukan dunia kerjanya di masa berikut.

Maulida Fitria Averoes, alumni ilmu komunikasi 2017, adalah satu dari mereka yang mengalaminya. Dalam acara Teatime, ngobrol santai yang rutin diadakan oleh International Program of Communication Department, Universitas Isam Indonesia (IPC UII), pada 7 Januari 2022. Fia, panggilan akrab Maulida, menceritakan bagaimana dia mempersiapkan diri untuk magang. Alumni, yang kini adalah User Success Executive di Sirclo, ini juga bercerita bagaimana ia menjalani pemagangan.

Listing perusahaan
Dalam acara ngobrol santai yang bertajuk ‘The Virtue of Internship in determining future career’ itu, Fia mengaku mulai mempersiapkan diri untuk magang jauh-jauh hari sebelum masa magang datang. “Aku mulai riset perusahan mana yang bakal aku apply. Perusahaan apa, bergerak di bidang apa base-nya di mana, dan visi-misinya apa,” katanya.

“Aku mulai listing company sudah dari bulan November,” kata Fia. Jika dihitung dari proses magang berarti itu masih 3-4 bulan sebelum masa magang dimulai. Fia juga banyak menyiapkan list perusahaan. Ia bahkan apply ke 10 perusahaan yang ia tuju. “Siapa tahu aku nggak masuk, aku masih punya cadangan lain,” kata Fia.

Tugas Kuliah, Gambaran Dunia Kerja

Sering sekali mahasiswa dihadapkan pada tugas yang setumpuk dan tak tahu apa gunanya. Hal ini juga sempat dialami oleh Fia. Dia ingat saat itu mendapat tugas untuk memetakan stakeholder saat di bangku kuliah. Dia sampai mengeluh, “buat apa sih tugas begini,” keluh Fia saat itu.

Sebaliknya kini, saat ia sudah di dunia kerja, ia justru bersyukur dulu pernah mendapatkan mata kuliah-mata kuliah tersebut. “Kalau banyak tugas , percayalah terpakai,” ungkap Fia.

Fia yang kini perkerjaannya banyak berhubungan dengan stakeholder, sangat bersyukur pernah mendapatkan mata kuliah memetakan stakeholder. “Aku lagi pegang client corporate bisnis bidang pertanian, stakeholder siapa aja, baik internal maupun eksternal. Lalu bagaimana kita harus komunikasi dengan mereka. Jadi nggak kaget waktu di dunia kerja.”

Obtaining a doctorate is an achievement, as well as an obligation. Achieving a doctorate is also a scientific journey that brings responsibilities simultaneously. This responsibility is the commitment of doctors to science and society. Commitment not only to spread but also to develop knowledge.

These kindness missions are one of the messages and reflections of new doctors in the Faculty of Psychology and Socio-Cultural Sciences (FPSB) UII on Friday, December 31, 2021. The Welcoming Ceremony for the New Doctorate of FPSB UII was held online and offline directly from the Studio IKONISIA TV, the Department of Communications Laboratory. Aside from being a form of appreciation, this event is also an effort of gratitude for returning an FPSB family who has been on a scientific odyssey starting from four to five years.

This morning’s event welcomed six new doctors from all majors at FPSB UII. Three doctors from the Department of Communications UII, one doctorate from Department of International Relations (HI) UII, one from Department of English Language Education (PBI) UII, and one from Department of Psychology UII. They are Puji Rahayu (PBI Department) from Australia, Susilo Wibisono (Psychology department) from Australia, Hasbi Aswar (International Relation Department) from Malaysia, and the last three are Herman Felani (Indonesia), Zaki Habibi (Sweden), and Iwan Awaluddin Yusuf (Australia) from the Department of Communications UII.

Three doctors from Communication UII shared their ups and downs in their academic journey and reflected on their doctoral degrees. Zaki Habibi, for example, reflects that a scientific journey is a responsibility. “That responsibility is now in our hands. Hopefully, we (the doctors) can encourage our commitment to science and knowledge improvement at every level and in various forms,” ​​said Zaki in his opening remarks to all attendees at Zoom and the studio. Zaki said that the journey of the academic doctorate study was also the journey of their families. They were also struggling for their husband or wife to finish their Ph.D. dissertation, said Zaki while showing the memorable text of his wife.

Meanwhile, Iwan Awaluddin Yusuf, another doctorate from the Department of Communications, realized that today he had finished his doctoral studies, “and this is just the beginning. After this, maybe we can continue to learn, like the motto of my campus, Monash University in Australia: Ancora imparo! still learning,” said Iwan. According to Iwan, even though we are already doctors or professors, we will still continue to learn according to the Ancora imparo spirit.

In line with that, Herman also reflected, “Graduating a doctorate is not only an achievement but also an obligation. Hopefully, the knowledge we have can benefit many people,” said Herman via a zoom meeting. According to Herman, moments like this make doctors have to keep reflecting. Herman said that being a doctor builds good relationships and tries to be humble and not arrogant with a doctorate without benefits.

The Dean give the Merchandise and Gift to representatives of the new doctor. From left to right: Puji Rahayu, Fuad Nashori, Iwan Awaluddin, Hasbi Aswar.

The Number of Doctors of FPSB UII is Increasing

“The most important thing in the journey to a doctorate is (must have) the mentality of patience,” said Fuad Nashori, Dean of FPSB UII, in his speech. The return of these six doctors also adds to the percentage of the number of doctors at FPSB UII. “If it’s a percentage, now 26 percent of lecturers at FPSB have earned a doctorate. “If you add lecturers who are still working or are working with students when they return, then at FPSB, there are already 30 percent of doctors in FPSB UII,” said Fuad.

This number adds to the percentage. doctorate at UII. “This figure has exceeded the national and university figures, where at the national level it is 16 percent. Meanwhile, 16 students have the status of study for a doctorate. Hopefully, these 16 lecturers will also pass successfully,” said Fuad. Fuad said, if all of them pass, the doctorate percentage will be equal to 45.7 percent. Hopefully, these doctors will be able to reach professorships in not more than ten years,” he added. Fuad also hopes that these new doctors will eventually spread and develop their knowledge.

“I hope that when they return to UII, they will have a strong passion for building knowledge. Thus, doctors are allowed to answer various challenges on campus, UII, and outside,” hoped Fuad.

The participants were also busy sending prayers and appreciation. For example, the Puji Rahayu Family said, “Congratulations to all who have completed the doctoral studies. Hopefully, all the lecturers can apply the knowledge to enrich Indonesia,” he wrote in the Zoom chat column. The Deputy Dean of FPSB UII, Emi Zulaifah, also prayed for the doctors. “God willing, the blessings and benefits of knowledge will be abundant. Amen,” said Emi, also in the Chat column in the Zoom meeting conference application. The event was then closed with the giving of mementos by the Dean of FPSB UII to the doctoral representatives who were present at the IKONISIA TV Studio.

Ilmu adalah salah satu pilar penting dalam beragama. Tanpanya, beragama layaknya bangunan tanpa rangka. Berilmu pun harus disertai dengan semangat berbagi sebelum menjadi sukses. Kesuksesan yang kita bangun adalah kesuksesan bersama-sama.

“Jadi kita harus menjadi sukses dengan tak lupa membangun generasi,” kata Ridwan Hamidi, Ustad dan pembicara dalam Pengajian Bulanan Fakultas Psikologi & Ilmu Sosial Budaya UII pada 31 Desember 2021.

Maka dari itu, kata Ridwan, dalam mempelajari ilmu al-quran tak hanya sampai pada tahap belajar membacanya, tapi juga membentuk generasi rabbani dan masyarakat terbaik. Pada gilirannya tujuan terciptanya peradaban mulia bukan hal yang mustahil. Sukses berilmu, juga harus sukses membangun peradaban.

Secara prinsip, menuntuk ilmu agama bisa dipenuhi dengan memahami Tiga Prinsip dasar. Tiga hal yang wajib dipelajari umat muslim adalah pertama, rukun islam, rukun iman, lalu hal-hal yang dilarang dalam agama (dosa besar dan dosa kecil)

Lalu, kata Ridwan Hamidi, perlu juga diketahui 7T kewajiban penuntut ilmu terhadap al Quran. Pertama adalah Tahsin. “Tahsin bisa dimaknai memperbaiki bacaan sesuai kaidah tajwid,” kata Ridwan yang juga adalah pengajar di beberapa kampus di Yogyakarta, seperti UMY dan UII.

T yang berikutnya adalag Tilawah. Tilawah artinya mewiridkan atau melafalkan bacaan alquran tiap hari. Orang berilmu tidak hanya belajar membaca atau memperbaiki bacaan, melainkan juga menghiasi harinya tanpa sedikitpun terlewat dari mendaras Quran.

Lalu T yang ketiga adalah Tahfizh atau menghafal quran. Tak hanya menghafal tapi juga kewajiban berikutnya adalah Tafsir dan Tadabbur. Tafsir berarti mrmahami quran dan tadabbur berarti merenungi dan mengambil pelajaran dari Quran.

Apakah sudah cukup?

Masih ada dua T berikutnya yaitu Tathbiiq dan ta’lim. Jika Tathbiiq bermakna mempratekkan dalam kehidupan sehari-hari, maka ta’lim berarti mengajarkan orang lain. Maka rangkaian kewajiban 7T ini bila diamalkan akan memudahkan penuntut ilmu meraih kesuksesan dan membangun peradaban dan generasi madani.

Meraih gelar doktor adalah suatu pencapaian, sekaligus kewajiban. Raihan gelar doktor juga adalah sebuah perjalanan keilmuan yang pada gilirannya membawa tanggung jawab sekaligus. Tanggung jawab ini adalah komitmen para doktor pada ilmu pengetahuan dan masyarakat. Komitmen untuk tidak hanya menyebarkan juga mengembangkan ilmu pengetahuan.

Misi-misi kebaikan ini adalah salah satu pesan dan refleksi para doktor baru di lingkungan Fakultas Psikologi dan ilmu Sosial Budaya (FPSB) UII pada Jum’at, 31 Desember 2021. Acara Penyambutan Doktor Baru FPSB UII ini diadakan secara daring dan luring langsung dari Studio Ikonisia TV yang juga adalah Laboratorium Ilmu Komunikasi UII. Selain sebagai bentuk apresiasi, acara ini juga adalah upaya syukur atas kembalinya keluarga yang telah melakukan pengembaraan keilmuan mulai empat hingga lima tahun.

Acara pagi ini menyambut enam doktor baru dari semua jurusan atau program studi di FPSB UII. Tiga doktor dari Ilmu Komunikasi UII, satu doktor dari Hubungan Internasional (HI) UII, satu dari Pendidikan Bahasa Inggris (PBI) UII, dan satu dari Psikologi UII. Mereka adalah Puji Rahayu (PBI) lulusan Australia,  Susilo Wibisono (Psikologi) lulusan Australia, Hasbi Aswar (HI) lulusan Malaysia, dan tiga terakhir adalah Herman Felani (Indonesia), Zaki Habibi (Swedia), dan Iwan Awaluddin Yusuf (Australia) dari Komunikasi UII.

Tiga doktor dari Komunikasi UII bercerita suka duka dalam perjalanan akademik, hingga melakukan refleksi atas gelar doktor yang diraih. Zaki Habibi misalnya, ia berefleksi bahwa sebuah perjalanan keilmuan adalah sebagai tanggung jawab. “Tanggung jawab itu sekarang ada di tangan kami masing-masing. Semoga kita (para doktor) bisa mendorong komitmen kita pada keilmuan pada setiap level, dan dalam berbagai bentuk,” kata Zaki dalam kesempatan sambutannya pada semua hadirin di zoom dan studio.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Sedangkan Iwan Awaluddin Yusuf, doktor lain dari Komunikasi UII, menyadari bahwa hari ini ia telah menyelesaikan studi doktoralnya, “dan ini baru awal sekali. Setelah ini mungkin kita bisa terus belajar, seperti motto kampus saya di Australia itu: ancora imparo! Artinya, saya masih belajar,” ungkap Iwan. Menurut Iwan, meski sudah doktor atau guru besar, kita akan masih terus belajar sesuai semangat ancora imparo itu.

Senada dengan itu, Herman juga melakukan refleksi, “lulus doktor bukan pencapaian saja tapi juga kewajiban. Mudah-mudahan ilmu yang kami miliki bisa memberi manfaat buat banyak orang,” kata Herman via zoom meeting. Menurut Herman, momen seperti inilah yang membuat para doktor harus terus berefleksi. Herman bilang, menjadi doktor pada dasarnya adalah soal membangun hubungan baik dan berusaha rendah hati, bukan sombong dengan gelarnya tanpa memberi manfaat.

Jumlah Doktor FPSB UII Semakin Meningkat

“Yang paling pokok dari perjalanan menuju doktor itu (harus memiliki) mentalitas kesabaran,” kata Fuad Nashori, Dekan FPSB UII, dalam sambutannya. Kembalinya enam doktor ini sekaligus menambah prosentase jumlah doktor di FPSB UII. “Jika diprosentasekan, kini sudah mencapai 26 persen dosen di FPSB telah meraih gelar doktor. “Jika ditambah dosen yang kini masih atau sedang karya siswa jika kembali maka di FPSB sudah ada 30 persen doktor se FPSB UII,” kata Fuad.

Jumlah ini menambah prosentase doktor di UII. “Angka ini sudah melampaui angka nasional dan univ, dimana di nasional itu 16 persen. Sedangkan yang berstatus karya siswa ada 16 orang, semoga 16 orang ini juga lancar sukses lulus,” kata Fuad. Menurut Fuad, jika semuanya lulus maka prosentasenya sudah sama dengan 45,7 persen. “Semoga Allah membentangkan jalan lapangnya untuk mereka para dosen sehingga lancar. Semoga para doktor ini tidak sampai 10 tahun bisa mencapai guru besar,” tambahnya. Fuad juga berharap para doktor baru ini pada akhirnya setelah memiliki penguasaan ilmu lalu dapat menyebarkan dan mengembangkannya.

“Saya berharap para doktor itu ketika kembali ke UII memiliki gairah yang kuat untuk membangun keilmuan dan bukan mengalami pelapukan. Sehingga, para doktor diberi kesempatan untuk menjawab beragam tantangan di dalam kampus, UII, maupun di luar,” harap Fuad.

Para peserta juga ramai mengirim doa dan apresiasi. Misalnya, Keluarga Puji Rahayu, memberi ucapan, “Selamat kepada bapak dan ibu yang menyelesaikan studi S3. Semoga ilmunya dapat diaplikasikan untuk memajukan Indonesia,” tulisnya di koom chat Zoom. Wakil Dekan FPSB UII, Emi Zulaifah, juga mendoakan para doktor. “Insyaallah terlimpahi keberkahan dan kemanfaatan ilmu. Amin,” kata Emi juga di kolom Chat di aplikasi konferensi Zoom meeting. Acara kemudian ditutup dengan pemberian kenang-kenangan oleh Dekan FPSB UII pada perwakilan doktor yang hadir di Studio IKONISIA TV.

 

 

Knowledge is one of the essential pillars of religion. Without it, religion is like a building without a framework. Knowledge must also be accompanied by the spirit of sharing before it becomes successful. The success we build is success together.

“So we have to be successful by not forgetting to build a generation,” said Ridwan Hamidi, a Preacher and speaker at the Monthly Recitation of the Faculty of Psychology & Socio-Cultural Sciences UII on December 31, 2021.

Therefore, in studying the science of the Koran, Ridwan not only to the stage of learning to read it but also to form the best generation of Rabbani and society. In turn, the goal of creating a noble civilization is not impossible. Success in knowledge must also be successful in building civilization.

In principle, understanding the Three Basic Principles can fulfill the demand for religious knowledge. Three things that Muslims must learn are first, the pillars of Islam, the pillars of faith, then the things that are prohibited in religion (big sins and minor sins)

. First is Tahsin. “Tahsin can be interpreted to improve reading according to the rules of recitation,” said Ridwan, who is also a lecturer at several campuses in Yogyakarta, such as UMY and UII.

The next T is recitation. Tilawah means reciting the Quran every day. Knowledgeable people learn to read or improve their reading and decorate their day without missing the slightest from reciting the Quran.

Then the third T is Tahfizh, or memorizing the Quran. Not only memorizing but also the following obligation is Tafsir and Tadabbur. Tafsir means understanding the Quran, and tadabbur means contemplating and taking lessons from the Quran.

Is it enough?

There are still two next T, namely Tathbiiq and ta’lim. If Tathbiiq means practicing in everyday life, then ta’lim means teaching others. So this series of 7T obligations, when practiced, will make it easier for students of knowledge to achieve success and build civilization and a civilized generation.

Nowadays, lecturers in Indonesia have to write in Scopus indexed journals. Writing in English and indexed by Scopus allows the discourse of Indonesian academic thought to have a dialogue with a global academic audience. Moreover, this international article was written by the journal’s editors.

Therefore, the Journal and Scientific Paper Publication Management Unit of FPSB UII held a follow-up session of the International Writing Workshop Volume 3 on Sunday, December 19, 2021, at the Hotel, Yogyakarta with Strict Health Protocols. This workshop continued the second Workshop Series on Saturday, November 20, 2021. According to Puji Rianto, as the Head of the Journal and Scientific Paper Publication Management Unit at FPSB UII, there will be a conducive writing climate so that writers and lecturers at FPSB can become good models at UII.

On the same occasion, the Dean of FPSB UII, Fuad Nashori, also provided motivation and encouragement to the journal editors as participants in this workshop. “What we start, we have to finish. The faculty at the beginning of next year will provide grants to support these editors so that they can submit to Scopus indexed and international journals,” he said. “Later, all workshop participants will be accompanied by a lecturer assistant at the FPSB who at least already has a Scopus H-Index of at least 2 or 3.”

“Earlier, it was mentioned how we would respond better to the grants given by the faculty. I am thrilled to welcome the grants that the dean has given. This can increase our recognition at the global level,” said Puji Rianto.

Puji Rianto invited the lecturers who are also editors of the Journal in the FPSB UII to coordinate with his team. This team will write and collaborate between writing study programs intensively. “Until finally in January, we can improve what we already have, and we can meet again in the same wave but at a different time,” said Puji Rianto later.

Three collaborative international journal manuscripts have emerged from those who have completed the draft, with assistance from Masduki, a Communications Lecturer at UII. For example, the three texts are about defamation, then a text about online learning discourse, and Public Relations discourse from the perspective of communication, psychology, and English language education. Masduki said that at least the first two paragraphs and the conclusion section could be written with a clear and precise formula about the findings and objectives of this international research. Masduki has 15 Scopus points in 2020 and an H-index of 2 in 2021. The H-Index is a measuring scale created by its inventor Hirsch, which shows how many articles an author has cited by other authors.

Kini adalah sebuah keniscayaan bagi dosen untuk menulis dalam jurnal terindeks scopus. Tulisan berbahasa inggris dan terindeks scopus memungkinkan wacana pemikiran akademisi Indonesia berdialog dengan khalayak akademisi global. Apalagi penulisan artikel internasional ini dilakukan oleh para editor jurnal.

Maka dari itu, Unit Pengelolaan Jurnal dan Publikasi Karya Ilmiah FPSB UII mengadakan sesi lanjutan Workshop Penulisan Internasional Jilid 3 pada Minggu, 19 Desember 2021 di Hotel Swisbel boutique dengan Protokol Kesehatan Ketat. Workshop ini adalah lanjutan dari Workshop Seri kedua pada hari Sabtu, 20 November 2021. Menurut Puji Rianto, ia sebagai Kepala Unit Pengelolaan Jurnal dan Publikasi Karya Ilmiah di FPSB UII, berharap ada iklim menulis yang kondusif, sehingga penulis dan dosen di FPSB bisa menjadi model yang bagus di UII.

Di kesempatan yang sama, Dekan FPSB UII, Fuad Nashori, juga memberikan motivasi dan dorongan pada para editor jurnal sebagai peserta workshop ini. “Apa yang kita mulai, harus kita tuntaskan. Fakultas di awal tahun depan akan memberikan hibah untuk mendukung editor-editor ini agar dapat submit ke jurnal terindeks scopus dan internasional,” katanya. “Nanti semua peserta workshop akan didampingi oleh pendamping dosen di FPSB yang setidaknya sudah memiliki H-Indeks Scopus minimal 2 atau 3.”

“Tadi sudah disebutkan bagaimana nanti kita baiknya merespon hibah yang diberikan fakultas. Saya senang sekali menyambut hibah yang telah diberikan oleh pak dekan ini. Ini bisa meningkatkan daya tembus kita di level global,” kata Puji Rianto.

Puji Rianto mempersilakan para dosen yang juga editor Jurnal di lingkungan FPSB UII berkoordinasi dengan timnya. Tim ini akan menulis dan berkolaborasi antar prodi menulis dengan intensif. “Hingga akhirnya Januari nanti kita dari yang sudah ada bisa kita perbaiki dan kita bisa ketemu kembali di gelombang yang sama tapi waktu yang berbeda,” harap Puji Rianto kemudian.

Dari yang telah merampungkan draftnya, dengan pendampingan dari Masduki, Dosen Komunikasi UII, telah muncul 3 naskah jurnal internasional kolaboratif yang teerlihat. tiga naskah itu misalnya tentang defamasi, lalu naskah soal wacana pembelajaran daring, dan Public Relation discourse dari dari perspektif komunikasi, psikologi, dan pendidikan bahasa inggris. Masduki mengatakan, setidaknya dua paragraf awal dan bagian kesimpulan bisa ditulis dengan formula yang lugas dan terang tentang temuan dan tujuan penelitian internasioanal ini. Masduki yang kini telah memiliki 15 poin Scopus pada 2020 dan H-indeks 2 pada 2021. H-Indeks adalah skala ukur yang dibuat oleh penemunya Hirsch, yang menunjukkan seberapa banyak artikel penulis yang disitasi oleh penulis lain.

Pda 2008, Media Amerika bernama Fox pernah mewawancari media-media di Indonesia. Salah satunya Republika. Fox mewawancarai Republika terkait bagaimana media di Indonesia meliput isu-isu internasional. Banyak dugaan, banyak anggapan. Setiap media memiliki kebijakan redaksi masing-masing. Termasuk kebijakan redaksi ini sangat dipengaruhi oleh posisi politik di mana media itu berada. Indonesia sendiri memiliki keberpihakan tersendiri dalam melihat kasus-kasus internasional dan separatisme. Bagaimana media bersikap?

“Kebiasaan di republika sangat hati-hati memilih diksi, memilah-milah sumber informasi, terutama diksi,” Kata Yeyen Rostiyanti (redaktur Internasional Republika) pada Kuliah Pakar Mata Kuliah Komunikasi Politik pada Sabtu, 18 Desember 2021. Kuliah Pakar kali ini mengambil tema Kebijakan Redaksi Republika dalam Meliput Peristiwa Dunia Islam di Luar Negeri.

“Misalnya soal diksi ‘armed group hamas’ kami pilih Kelompok Hamas. Atau misal dalam invasi di gaza kita sebut Gugur. Sementara di media selain republika akan sebut itu tewas,” ungkap Yeyen menjelaskan dapur redaksi Republika. Menurut Yeyen, Itulah yang membedakan antara diksi yang tepat dan keliru. Diksi itu bisa mempengaruhi angle pula katanya. “Ini pelakunya yang mana nih yang sebetulnya juga bisa dilihat dari diksi,” papar Yeyen.

Selain bicara soal bagaimana meliput isu Palestian dan Israel, Yeyen juga menceritakan kasus-kasus peristiwa internasional di soal Uighur, Kashmir, Rohingya, Israel dan Palestina, dan soal yang tidak pernah selesai adalah soal Islamophobia (prancis, india, dll). Yeyen menceritakan bagaimana Republika lebih mengedepankan isu kemanusiaan dan HAM sebagai pijakan berpikir dan sikap politik dalam meliput. Isu HAM dan kemanusiaan lebih universal daripada memilih menilai kelompok-kelompok ini sebagai separatis atau pemberontak di suatu negara.

Yeyen mengatkaan, selama ini Republika juga berhati-hati memilih siumber berita yang dijadikan referensi penulisan berita internasional. Soal sumber berita ini sejauh ini Republika harus terbuka bahwa standar jurnalistik itu sebenarnya luar biasa bagus bersandar pada kode etik. Itulah mengapa wartawan menjadi salah satu profesi yang dilindungi oleh Konvensi Jenewa yang tidak boleh dibunuh saat perang. “Misalnya, saat melakukan liputan soal palestina kita harus memahami latar belakang isunya. Kalau kita paham isunya, kita bisa memilah dan memilh sumber berita mana yang kita pilih,” katanya. Pengemasan berita internasional sangat penting mempertimbangkan angle, diksi, sumber berita, dan penulisan (kutipan, penyebutan sumber, dll).

“Beberapa kali kami memilih sumber israel, media israel bernama Hareetz, ini media israel tapi ternyata mengangkat isu palestina dan kritik pada pemerintah mereka sendiri. Seperti ini nilainya akan menjadi lebih tinggi beritanya karena itu diangkat oleh media israel sendiri dibanding kalau kita memilih sumber berita dari timur tengah yang lain ketiak mengangkat soal invasi Israel ke Palestina tahun 2021 ini,” papar Yeyen. Jadi, tidak bisa kita menerjemahkan utuh mentah-mentah semua berita dari sumber.

Yeyen sudah masuk di Republika sejak 1997. Beberapa kali ia mengikuti pelatihan jurnalistik internasional yang diadakan oleh Reuters dan juga pelatihan Global Journalism and Social media Course yang diadakan kedutaan Besar US. Yeyen juga berpengalaman melakukan interview dengan beberapa tokoh dunia. Misalnya ia pernah mewawancarai Presiden Pakistan Mamnoon Husein pada 2016 soal hubungan bilateral antara Indonesia dan Pakistan. Ia juga mewawancarai ketua palang merah internasional (ICRC/ International Committe of Red Cross) Peter Maurer tentnag harapannya pada indonesia.

“Kami melihat dari sejumlah literatur, republika yang cukup fokus tentang media islam, tak hanya soal politik. Bahkan Republika punya rubrik bernama ihram yang khusus bicara soal gaya hidup dari sudut pandang islam,” Kata Narayana Mahendra, Dosen pengampu Mata Kuliah Komunikasi Politik menjelaskan tujuannya mengundang Republika untuk mengisi kuliah pakar.

———————————————————————————————————————

Ralat:

Ralat Pertama 27 Desember 2021:
Sebelumnya tertulis:
“Misalnya soal diksi ‘armed group hamas’ kami pilih Militan Hamas. Atau misal dalam invasi di gaza kita sebut Gugur. Sementara di media selain republika akan sebut itu tewas,” Ungkap Yeyen

Atas Permintaan narasumber, Kami ralat menjadi:
“Misalnya soal diksi ‘armed group hamas’ kami pilih Kelompok Hamas. Atau misal dalam invasi di gaza kita sebut Gugur. Sementara di media selain republika akan sebut itu tewas,” Ungkap Yeyen

Mohon Maaf atas kekeliruan ini dan Terima Kasih atas masukannya. 

In 2008, an American media named Fox once interviewed media and newspapers in Indonesia. One of them is Republika. Fox interviewed Republika regarding how the press in Indonesia covers international issues. Lots of guesses, lots of assumptions. Each media has its editorial policy. Including the editorial policy is strongly influenced by the political position in which the media is located. Indonesia itself has its side in viewing international cases and separatism. How does the media behave?

“Journalists of Republika are cautious in choosing diction, sorting out sources of information, especially diction,” said Yeyen Rostiyanti (International editor of Republika Newspaper) as the Political Communications Expert Lecture on Saturday, December 18, 2021. This time the Expert Lecture took the theme Editorial Policy of Republika newspaper in Covering the Events of the Islamic World Abroad.

“For example, regarding the diction ‘armed group Hamas’, we choose Hamas Group. Or for example, in the invasion of Gaza, we call it Fall. Meanwhile, in the media other than Republika, we will call it dead,” said Yeyen explaining the editorial kitchen of Republika. According to Yeyen, that’s what distinguishes right and wrong diction. The diction can also affect the angle, She said. “This is the culprit, which can be seen from the diction,” said Yeyen.

In addition to covering Palestinian and Israeli issues, Yeyen also recounted cases of international events in the Uighur, Kashmir, Rohingya, Israel, and Palestine matters. The unresolved issue is Islamophobia (France, India, etc.). Yeyen told how Republika prioritized humanitarian and human rights issues as a basis for thinking and political attitudes in reporting. Human rights and humanitarian problems are more universal than judging these groups as separatists or rebels in a country.

Republika’s Editorial Policy

Yeyen said that all this time, Republika was also careful in choosing news sources that were used as references for international news writing. As far as news sources are concerned, Republika must be open that journalistic standards are excellent, relying on a code of ethics. That is why journalists are one of the professions protected by the Geneva Conventions that cannot be killed during the war. “For example, when we cover Palestine, we have to understand the background of the issue. If we understand the issue, we can sort and choose which news sources we choose,” She said. International news packaging is essential considering angle, diction, news sources, and writing (quotes, mention of references, etc.).

“Several times, we chose an Israeli source, the Israeli media named Hareetz, this is Israeli media, but it turns out to be raising the issue of Palestine and criticism of their government. Like this, the news value will be higher because the Israeli media itself pick it up than if we choose news sources from the Middle East when they bring up the issue of the Israeli invasion of Palestine in 2021,” Yeyen said. So, we can’t translate it ultimately. All news is raw from sources.

Yeyen has been in Republika Newspaper since 1997. She has attended international journalism training held by Reuters and Global Journalism and Social media Course training held by the US Embassy. Yeyen also has experience in conducting interviews with several world leaders. For example, She once interviewed the President of Pakistan, Mamnoon Hussein, in 2016, a matter of bilateral relations between Indonesia and Pakistan. She also questioned the head of the international red cross (ICRC / international Committee of the Red Cross), Peter Maurer, about hopes on Indonesia.

“We see from several kinds of literature, Republika which quite focused on Islamic media, t I’m only about politics. Even Republika has a rubric called Ihram which specifically talks about lifestyle from an Islamic point of view,” said Narayana Mahendra, Lecturer in Political Communication Course, explaining his goal of inviting Republika Newspaper to fill an expert lecture.

Menulis itu harus mengasyikkan. Ada beberapa kunci Dalam menulis. Pertama adalah kecepatan responsif yang itu butuh latihan. Semakin banyak membaca, kita akan terampil menulis. Juga ada yang disebut ketepatan: ini butuh metode.

“Keyword terakhir, Menulis juga butuh variasi. Jika Ingin variasi maka butuh perspektif dan teori,” Kata Daniel Susilo, sebagai pembicara workshop Penulisan Jurnal yang diselenggarakan oleh Unit Jurnal dan Publikasi Karya Ilmiah FPSB UII pada 17 Desember 2021.

Workshop ini bertujuan meningkatkan kualitas artikel yang masuk pada Jurnal Komunikasi UII. Seluruh penulis yang dinyatakan lolos tahap pertama diundang pada kesempatan ini untuk meningkatkan kualitas naskahnya masing-masing.

“Menulis artikel jurnal ilmiah dengan kualitas yang bagus bukanlah perkara mudah. Ada beberapa faktor, di antaranya kurangnya waktu, bahan tulisan karena minimnya riset, dan mungkin juga karena kurang pahamnya strategi dalam menulis jurnal ilmiah,” kata Puji Rianto, Editor in Chief Jurnal Komunikasi UII sekaligus Kepala Unit Jurnal dan Publikasi Karya Ilmiah FPSB UII pada Jumat (17/12/2021).

Daniel, yang juga adalah Editor in Chief di Jurnal Studi Komunikasi terindeks SINTA 2, memberi beberapa strategi penyiapan naskah. Yang utama dan kesalahan banyak penulis jurnal adalah memindahkan hasil laporan penelitian begitu saja, mentah-mentah. “Celakanya, penulis itu memindah saja hasil laporan penelitian ke format jurnal. Harusnya ditulis ulang,” kata Daniel.

Strategi Penyiapan Naskah

Pertama, Pastikan abstrak terdiri dari poin-poin penting seperti berisi tujuan (This article aims), metode (This research use qualitative methods), hasil (it finds that), dan kesimpulan (This article reflects on). Kedua, abstrak berisi temuan-temuan penting yang tidak menyertakan sitasi dan menyalin tempel kata-kata dari badan artikel.

Ketiga, sebaiknya penulis menulis judul dengan sederhana, singkat, atraktif, akurat, dan unik. “Kalau bisa tidak lebih dari 12 kata,” kata Daniel, yang kemudian mencoba membuka konsultasi langsung dengan melakukan permak judul pada dua naskah penulis Jurnal Komunikasi UII. Contohnya, Salah satu penulis memiliki judul lebih dari 12 kata: “Perbandingan pola pencarian informasi kesehatan berbasis risk perception attitude framework dalam kasus covid-19, studi pada wilayah rural dan urban provinsi jawa timur.” Lalu oleh Daniel disarankan menjadi, “Komparasi Pencarian Informasi Kesehatan berbasis RPA pada penanganan COVID-19 di Jawa Timur,” ketik Daniel di chat box aplikasi zoom.

Sedangkan menurut Daniel, penulis harus membuat tulisan yang meyakinkan pada bagian pendahuluan. Pastikan pendahuluan berisi permasalahan, signifikansi kajian, peta keilmuan (state of the arts) dan kebaruan (novelty), dan sudut pandang permasalahan.

Daniel menyarankan, Jika artikel telah selesai dilakukan, baca kembali naskah anda. Saat membaca ulang, pastikan alur telah ditulis dengan mengalir. Jika Anda menulis dalam Bahasa Inggris, serahkan saja pada jasa proofreader untuk membantu Anda yang bahasa ibunya bukan Bahasa Inggris. Dosen Komunikasi UMN ini lalu juga meminta para penulis agar memerhatikan selingkung jurnal yang akan dituju. Jangan lupa juga cek kesamaan pada aplikasi Turnitin.