Literasi
Reading Time: 2 minutes

Data yang dirilis We Are Social menunjukkan jumlah pengguna media sosial di Indonesia mencapai 139 juta identitas per Januari 2024. Akses media sosial dan internet paling dominan melalui smartphone, sementara 36,99 persen pemiliknya adalah anak-anak berusia kurang dari 15 tahun (Data BPS 2023).

Lantas dengan usia anak-anak menuju remaja, apakah mereka sudah memahami pentingnya perlindungan identitas di dunia digital?

Salah satu dosen Prodi Ilmu Komunikasi, Puji Hariyanti berkesempatan melakukan pengabdian di MTSN 7 Pakem dengan memberikan literasi bertajuk “Lindungi Identitas Anak dengan Cakap Digital” kepada 160 siswa kelas 7. Tak dapat dipungkiri, jika hampir seluruh siswa jenjang menengah pertama memiliki smartphone pribadi. Selain berkomunikasi, smartphone juga menjadi media hiburan seperti bermain game online hingga bermedia sosial.

Literasi diawali dengan diskusi terkait kebiasaan para siswa dengan smartphone pribadinya, tak sedikit yang menyebut menggunakannya untuk bermain Mobile Legend, mengunggah konnten di TikTok dan Instagram, menonton anime serta kegiatan lainnya.

Menariknya, para siswa mengaku jika mereka tak benar-benar menggunakan identitas aslinya demi melancarkan akses terhadap aplikasi-aplikasi yang mamatok persyaratan usia di atas 17 tahun.

Mendapati hal ini, Puji Hariyanti menjelaskan risiko-risiko kebocoran identitas digital mulai dari risiko saat download aplikasi, saat upload konten, hingga bagaimana algoritma bekerja karena seluruh aktivitas online yang kita lakukan ternyata dipantau oleh platform global yang ada dalam smartphone.

“Algoritma itu mencatat apa yang kita cari di Google, kalau kalian mencari anime nanti ada rekomendasi anime juga entah di platform (media sosial) lainnya,” ujar Puji.

Sementara, beliau juga mengingatkan untuk menyimpan dengan aman data-data pribadi yang berkaitan dengan akun. Dan data apa saja yang tak boleh dibagikan di media sosial.

Diskusi semakin responsif, ketika para siswa penasaran dengan cara kerja algoritma di smartphone mereka. Sebagian dari mereka tertarik mendiskusikan bagaimana cara menghapus data yang telah mereka lakukan sebelumnya.

“Bagaimana menghapus jejak digital? Posting yang baik-baik, harus bijak apa yang kalian cari dan lakukan itu terekam,” tambahnya.

Di akhir sesi, risiko cyberbullying juga sempat dibahas. Cyberbullying adalah perilaku yang tidak baik di dunia digital, bagaimana seseorang sengaja menyakiti atau mengganggu orang lain.

“Jika identitas pribadimu bocor, mereka bisa memanfaatkannya dengan cara tidak baik misalnya mencoba melecehkan hingga melakukan penipuan,” ungkap Puji Hariyanti.

“Memanggil teman dengan kata kasar di game termasuk cyberbullying,” tambahnya.

Menutup sesi tersebut, beberapa pesan disampaikan agar para siswa aware dengan identitas pribadinya. Karena bahaya kerusakan identitas digital akan berpengaruh terhadap pendidikan dan masa depan.

“Kita hidup di dunia digital dan main HP, kalian harus hati-hati jangan mengunggah foto maupun video yang aneh-aneh (tak pantas),” tandasnya mengakhiri diskusi.

Nico Carpentier, Hubungan Media dengan Demokrasi hingga ‘Political Struggle’
Reading Time: 3 minutes

Nico Carpentier merupakan Extraordinary Professor dari Charles University yang ditunjuk menjadi keynote speaker dalam perhelatan The 7th Conference on Communication, Culture and Media Studies (CCCMS) 2024 dalam tema Hybrid pada 28 Agustus 2024 di Auditorium FPSB UII.

Pada kesempatan itu Nico menjelaskan bagaimana hubungan media dengan demokrasi yang menjadi perjuangan politik atau political strunggle. Materi tersebut dipaparkan sesuai dengan konteks hybrid pada 7th CCCMS 2024.

“What I wanted to talk about is very much in line with the main theme of the conference, hybridity. Although I might once in a while translate it as a discussion on contingency, which is for me, quite close to the logics of hybridity,” ujar Nico membuka presentasinya.

(“Apa yang ingin saya bicarakan sangat sesuai dengan tema utama konferensi ini, yaitu hibriditas. Meskipun sesekali saya mungkin akan menerjemahkannya sebagai diskusi tentang kontingensi, yang bagi saya cukup dekat dengan logika hibriditas,”)

Baginya, demokrasi dalam konteks hybrid merupakan kontruksi sosial yang selalu mengikuti kondisi politik dan budaya suatu negara. Sementara, media memiliki peran ganda. Mulai dari ruang untuk menegosiasikan hingga perdebatan bagi elit politik, kritik masyarakat dan media itu sendiri, namun juga menjadi kekuatan perjuangan politik.

“And I will come back to the 2011 book, rest assured, but this is important for me. But I will also start by talking a bit about the discursive material, because that theoretical model, that (ontology?) will allow me to put emphasis on the role of hybridity and contingency. It’s actually a main theoretical framework that I can use to emphasize the importance of hybridity and contingency, together with, and that’s also in the title, the notion of political struggle. Because I would like to emphasize that when we start thinking about the relationship of media and democracy, we need to think about this issue from the perspective of political struggle,” tambahnya.

(“Dan saya akan kembali ke buku tahun 2011, yakinlah, tapi ini penting bagi saya. Tetapi saya juga akan memulai dengan berbicara sedikit tentang materi diskursif, karena model teoritis itu, (ontologi?) akan memungkinkan saya untuk menekankan peran hibriditas dan kontingensi. Itu sebenarnya adalah kerangka teori utama yang dapat saya gunakan untuk menekankan pentingnya hibriditas dan kontingensi, bersama dengan, dan itu juga ada di dalam judul, gagasan tentang perjuangan politik. Karena saya ingin menekankan bahwa ketika kita mulai berpikir tentang hubungan media dan demokrasi, kita perlu memikirkan masalah ini dari perspektif perjuangan politik,”)

Dalam perjuangan politik, peran berbagai pihak bisa jadi sangat besar, berbahaya, dan tak terduga. Jika elit politik bisa saja mengendalikan peran media, peran masyarakat juga demikian.

“In many cases, high level of democracy being more ethical, high citizen participation even high dangerous in some cases,” ungkapnya.

(“Dalam banyak kasus, tingkat demokrasi yang tinggi menjadi lebih etis, partisipasi warga yang tinggi bahkan berbahaya dalam beberapa kasus,”)

Fenomena tersebut kerap terjadi dalam dunia politik di Indonesia terutama, maka sudah selayaknya jurnalis bekerja atas dasar kebenaran. Bukan ikut turut sebagai buzzer politik untuk melanggengkan salah satu pihak yang ingn berkuasa.

“The journalists have power on it. But we have to point it that we ask them (journalists) not as journalist but deeply for community responsibilities,” tegasnya.

(“Para jurnalis memiliki kekuatan di dalamnya. Namun kami harus menekankan bahwa kami meminta mereka (jurnalis) bukan sebagai jurnalis, tetapi lebih kepada tanggung jawab kepada masyarakat,”)

Nico mengaku sangat bersyukur hadir dalam 7th CCCMS 2024 karena akan mendapatkan berbagai perspektif dan insight dari para presenter yang hadir dari berbagai negara.

“My pleasure to be able to listen to you. Because that’s obviously what conferences are about, is to create dialogues between many different voices. And it’s good to hear that people from many different countries have been, so thanks for making this possible,” ujaranya dalam sesi perkenalan.

(“Senang sekali bisa mendengarkan Anda. Karena memang itulah tujuan dari konferensi ini, yaitu untuk menciptakan dialog di antara banyak suara yang berbeda. Dan senang mendengar bahwa orang-orang dari berbagai negara telah hadir, jadi terima kasih karena telah membuat hal ini menjadi mungkin,”)

Penulis: Meigitaria Sanita

Communicating Space and Place in Cultural Hybridity
Reading Time: 2 minutes

Panel bertajuk Communicating Space and Place in Cultural Hybridity pada 7th CCCMS 2024 yang dipandu oleh Holy Rafika Dhona, salah satu dosen Prodi Ilmu Komunikasi UII, pada 28 Agustus 2024 menggali lebih dalam terkait bagaimana mengkomunikasikan ruang dalam budaya hybrid.

Salah satu paper menarik milik Natalia Grincheva dari LASALLE, University of Arts Singapore dengan judul “Smart & Creative Environments? Exploring the Role of Arts Data in Sustainability of Smart Cities” mengeksplorasi bagaimana data seni yang dihasilkan oleh organisasi budaya dapat diintegrasikan dalam tata kelola smart city secara berkelanjutan dengan pendekatan kultural.

Natalia membandingan konsep smart city yang diusung Singapura dengan beberapa negara seperti Melbourne, New York City, dan London. Hasilnya adalah Singapura dan Melbourne belum menemukan refensi secara eksplisit terkait kebijakan di dalamnya. Berbeda dengan NYC yang jelas fokus pada smart environment dan London yakni smart living.

Beberapa pertanyaan yang digali dalam riset tersebut berkisar soal kebijakan yang mempertanyakan apakah seni dan budaya memberikan kontribusi yang berarti pada pengembangan smart city. Bahkan keterlibatan pemerintah dalam memberikan insentif dan dukungan yang berarti serta organisasi budaya yang mungkin akan menawarkan meaningful space untuk masyarakat kota.

Presenter kedua ada Josephine Choi Hio Ian, dari Hong Kong dengan papernya yang berjudul “Cultural Space and Place in China’s Smart Cities”. Riset tersebut mengeksplorasi kebijakan dan praktik di wilayah Greater Bay Area terkait smart city dengan mengimplementasikan proyek-proyek budaya. Riset ini juga menggali teknologi pada smart infrastructure seperti proyek taman budaya OCT-LOFT Creative di Shenzhen dan Distrik Budaya Kowloon Barat di Hong Kong.

Sementara penemuan Josephin menyebut bahwa data tentang aplikasi pintar dalam industri budaya di Hong Kong dan Shenzhen dalam rencana wilayah Teluk masih belum tersedia. Dampak dari penggabungan budaya dan pengembangan Smart City di wilayah teluk yang lebih luas belum dieksplorasi. Terakhir soal kebijakan dan praktiknya belum dieksplorasi secara luas.

Selain dua presentasi terkait smart city dan budaya, ada dua presentasi lain yakni oleh Andrea Miconi, IULM University dengan judul “Values and Fears of the Europeans; A Media Theory Perspective”. Secara spesifik menjelaskan hasil proyek Horizon 2020 project EUMEPLAT – European Media Platforms yang menilai eksternalitas positif dan negatif untuk budaya Eropa.

Panelis terakhir adalah Martriana Ponimin Said, Universitas Pancasila Jakarta dengan papernya berjudul “Life is a Game: Scrabble Club Community in Inland Village”. Riset ini menunjukkan peran penting komunitas scrabble di desa pedalaman dalam meningkatkan kualitas diri masyarakatnya. Tantangannya adalah bagaimana lingkungan yang hibrida yang belajar bahasa asing namun tetap mempertahankan budaya tradisional. Studi ini berada di Kampoeng Inggris Borneo. []

 

Penulis: Meigitaria Sanita

Budaya pop dan fandom kpop serta film
Reading Time: < 1 minute

Budaya pop selalu memiliki tempat tersendiri dalam kehidupan masyarakat. Pada satu sisi masyarakat terpengaruh dengan berbagai produk budaya pop di sisi lain, budaya pop juga memengaruhi kehidupan masyarakat.

Hal tersebut membuat budaya pop menjadi satu topik yang menarik untuk didiskusikan secara akademik. Inilah yang menjadi spirit dalam salah satu diskusi panel dalam 7th CCCMS 2024 yang bertajuk “Pop Culture and Hybrid Media”.

Sesi tersebut berlangsung pada Rabu siang 28 Agustus 2024 dan dimoderatori oleh Khumaid Akhyat Sulkhan, dosen program studi Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Indonesia. Ada tiga presenter dalam forum tersebut, termasuk Sulkhan sendiri. Presenter pertama bernama Rina Sari Kusuma dari Universitas Muhammadiyah Surakarta dengan topik “Xkwavers as Third Space: Hybrid Identities of Hallyu-Muslim Community Fans”. Ia membicarakan fandom Korea muslim di Indonesia yang kemudian menggunakan konten-konten K-Pop sebagai sarana dakwah.

Presenter kedua bernama Dimas Ramadhiansyah dari Universitas Airlangga, Surabaya, dengan judul topik ““I had Post-Concert”: A Netnographic Study of Lucy Fans Community Dynamic in a WhatsApp Group Post LUCY We Are Lading Jakarta 2024 Concert”. Topik ini mendalami praktik konsumsi fandom salah satu grup musik Korea.

Kemudian, panel terakhir presentasi dari Sulkhan dengan topik presentasi berjudul “Understanding the Dark History of 1965 in Horror Films: A Study of Representation in the Film “Malam Para Jahanam””. Ia membahas tentang bagaimana sejarah tragedi 1965 diwacanakan dalam film horor.

Setelah semua presenter memaparkan topik masing-masing, acara dilanjutkan dengan tanya jawab. Tampak para peserta aktif memberikan pertanyaan dan masukkan kepada para presenter hingga sesi berakhir.

Penulis: Khumaid Akhyat Sulkhan

CCCMS 2024
Reading Time: 3 minutes

Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Fathul Wahid secara resmi membuka gelaran Conference on Communication, Culture, and media Studies (CCCMS) 2024 pada 28 Agustus 2024 di Ruang Auditorium Lantai 3 Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya.

Dalam pembukaan tersebut, Fathul Wahid menyampaikan argumennya terkait tema Hybrid yang diusung oleh Prodi Ilmu Komunikasi pada sesi 7th CCCMS 2024. Ia menyebut bahwa human are not totally independent. Pernyataan tersebut mengarah paada pemikiran Bruno Latour yang merupakan sosok filsuf, sosiolog, sekaligus antropolog asal Prancis.

Sesuai dengan Hybrid dalam tema 7th CCCMS 2024 yang fokus terhadap isu-isu dan tantangan kontemporer dalam ekosistem digital dan lingkungan, konsep yang dikemukakan Bruno Latour soal ekologi tidak hanya tentang ekosistem tetapi lebih dari itu yakni hubungan kompleks antara manusia, teknologi, dan alam.

“We are not shaping the context, but we are engaged in virtual shaping. And we as human are not totally independent because we to some extent or event to a real extent are dependent to other actors,” ujar Rektor UII.

(“Kita tidak membentuk konteks, tetapi kita terlibat dalam pembentukan virtual. Dan kita sebagai manusia tidak sepenuhnya independen karena kita dalam beberapa hal atau peristiwa bergantung pada aktor-aktor lain,”)

“When we are talking about the information system or information technology, so now we are discussing about the social materiality. So information technology is not always material only. But also social materiality we ca not detach information system or information technology from its independent existence, that to some extent will influence us. Because I do believe that material determinism is not the only way to see the reality, but we have to invite another perspective, we can call it as social determinism,”

(“Ketika kita berbicara mengenai sistem informasi atau teknologi informasi, maka sekarang kita membahas mengenai materialitas sosial. Jadi teknologi informasi tidak selalu bersifat material saja. Tapi juga materialitas sosial, kita tidak bisa melepaskan sistem informasi atau teknologi informasi dari keberadaannya yang independen, yang sedikit banyak akan mempengaruhi kita. Karena saya percaya bahwa determinisme material bukan satu-satunya cara untuk melihat realitas, tapi kita harus mengundang perspektif lain, yang kita sebut sebagai determinisme sosial,”)

Senada dengan pernyataan yang disampaikan oleh chair 7th CCCMS 2024, Muzayin Nazaruddin bahwa konferensi ini bertujuan untuk mengeksplorasi hubungan yang kompleks antara alam, budaya, hingga fenomena hibriditas budaya masyarakat pasca kolonial.

Rektor UII juga menyampaikan kegembiraannya terkait gelaran ketujuh konferensi internasional tersebut, ia menganggap bahwa pertemuan akademik ini menjadi komitmen dan dedikasi Progam Studi Ilmu Komunikasi terhadap kajian komunikasi, media, dan budaya.

“I am delighted to welcome you all in this conference that held by my fellow department of communication Universitas Islam Indonesia, this year is the 7th edition that indicate of many things. At least, indicate of dedication of department of communication,” ungkapnya lagi.

(“Saya sangat senang menyambut Anda semua dalam konferensi yang diadakan oleh rekan-rekan Departemen Komunikasi Universitas Islam Indonesia, tahun ini merupakan edisi ke-7 yang menandakan banyak hal. Setidaknya, ini menunjukkan dedikasi departemen komunikasi,”)

Hadir pula Kaprodi Ilmu Komunikasi, Iwan Awaluddin Yusuf, yang menyambut partisipan dari berbagai negara.

“(Theme) Relevant as we navigate the evolving landscape of communication, culture, and media across a broad spectrum of challenges. From analog to digital, ecosystem, local and global environments, as well as natural and cultural practices. Today and tomorrow, we will have the privilege of engaging in a broad discussion, exploring cutting-edge research research, and exchanging ideas on a wide range of topics, spanning from a theoretical perspective on hybrid culture to empirical studies on artificial intelligence and so on,”

(“(Tema) Relevan ketika kita menavigasi lanskap komunikasi, budaya, dan media yang terus berkembang di berbagai spektrum tantangan. Dari analog ke digital, ekosistem, lingkungan lokal dan global, serta praktik-praktik alam dan budaya. Hari ini dan besok, kita akan memiliki hak istimewa untuk terlibat dalam diskusi yang luas, mengeksplorasi penelitian terkini, dan bertukar ide tentang berbagai topik, mulai dari perspektif teoretis tentang budaya hibrida hingga studi empiris tentang kecerdasan buatan dan sebagainya,”)

Konferensi internasional ini diikuti oleh akdemisi dari berbagai negara yakni Portugal, United Kingdom, Polandia, India, Taiwan, Brasil, Thailand, Jepang, Hong Kong, Italia, Pakistan, China, Malaysia, dan Singapura. Hal ini membuktikan bahwa isu-isu yang diangkat dalam konferensi ini sangat relevan dengan perkembangan zaman.

Penulis: Meigitaria Sanita

Enviromental Communication Workshop
Reading Time: 2 minutes

Enviromental Communication Workshop menjadi salah satu agenda sebelum perhelatan Conference on Communication, Culture and Media Studies (CCCMS) 2024 yang digelar oleh Prodi Ilmu Komunikasi UII pada 27 Agustus 2024.

Workshop ini menjadi salah satu inovasi pada 7th CCCMS 2024, pasalnya selain penggalian ide dari peserta, diskusi ini akan berakhir pada rencana proyek jangka panjang yang berkelanjutan.

Dipandu oleh Muzayin Nazaruddin, workshop ini dirancang untuk peserta yang tertarik untuk berkontribusi dalam sebuah buku yang disunting (dalam Bahasa Indonesia) tentang komunikasi lingkungan dan humaniora lingkungan. Topik-topik yang akan dibahas dalam buku ini meliputi risk and disaster communication, environmental crises, human-animal relations, nature-culture tensions, local ecological knowledge, environmental activism, dan tema-tema lain yang terkait.

Menyadari kompleksitas antara manusia, teknologi, dan alam saling berkontribusi dalam membentuk realitas dunia maka workshop ini tentu akan memunculkan banyak hal yang mengusik.

Dalam sesi diskusi, pernyataan dari salah satu peserta cukup menarik untuk ditelisik yakni bagaimana bencana alam merupakan bahasa yang diciptakan oleh manusia, sementara bagi alam, peristiwa ini adalah sebuah fase yang alamiah. Perbincangan lain juga cukup unik terdengar, seperti strategi-strategi yang akan disusun oleh para ilmuan dalam menghadapi kehancuran bumi, salah satunya pindah planet. Dan hal tersebut menjadi kajian yang serius.

“Alam dan eksistensi manusia menjadi satu diskursus yang bisa dieksplorasi menggunakan berbagai pendekatan. Namun, di Indonesia, perspektif yang dominan masih sangat teknokratis. Butuh perspektif yang humanis utk memperkaya wacana terkait persoalan lingkungan di Indonesia. Hal inilah yang menjadi salah satu sorotan dalam workshop enviromental communication,” ujar Khumaid Sulkhan salah satu peserta workshop tersebut.

Muzayin Nazaruddin mengatakan bahwa rencana pembuatan buku tersebut akan menjadi proyek jangka panjang. Ia mengumpulkan ide dari para akademisi dan aktivis yang berkumpul dalam workshop.

Workshop ini juga menghadirkan Achmad Choirudin dari Insist Press untuk membicarakan rencana penerbitan buku bertopik komunikasi lingkungan.

Acara kemudian diakhiri dengan para hadirin sepakat untuk menulis berbagai isu lingkungan, tetapi disatukan lewat benang merah yang sama. Kesamaan tersebut berupa topik besar maupun perspektif yang dielaborasi.

 

Penulis: Meigitaria Sanita

Menggali Resiliensi Lokal dalam Menghadapi Bencana
Reading Time: < 1 minute

Yogyakarta, 28 Agustus 2024 – Conference on Communication, Culture, and Media Studies (CCCMS) kembali digelar, menghadirkan beragam topik menarik yang membahas isu-isu terkini dalam bidang komunikasi dan sosial. Salah satu panel yang menarik perhatian adalah “Crisis, Risk, and Disaster in Hybrid Cultures”.

Panel ini menghadirkan empat judul abstrak yang membahas berbagai aspek bencana dan tanggapan masyarakat. Salah satu penelitian yang menarik adalah “An Understanding of the Informal Response, Culture, and Local Participation in Disaster Management in Indonesia from the 2018 Lombok Earthquake” yang dipresentasikan oleh Ikrom Mustofa dari Departemen Teknik Lingkungan, Universitas Islam Indonesia.

Ikrom dalam presentasinya mengungkapkan bahwa bencana gempa bumi Lombok tahun 2018 telah mengungkap konflik-konflik yang ada di dalam masyarakat lokal, terutama terkait alokasi sumber daya dan prioritas yang berbeda-beda di antara para pemangku kepentingan. Selain itu, budaya lokal dan kepercayaan agama juga memainkan peran penting dalam mitigasi dan respons bencana, mendorong solidaritas dan ketahanan masyarakat.

“Desa Tangguh Bencana, it is part of effort to localies regulation to improve the effect of the regulation. But the problem is still in the implementation to develop the regulation between internal stakeholders.” ujar Ikrom.

Penelitian ini juga menyoroti dampak psikologis yang serius pada penduduk lokal yang terkena dampak bencana. Trauma yang dialami oleh masyarakat memerlukan upaya penyembuhan trauma pasca bencana yang komprehensif untuk memulihkan kesejahteraan psikologis mereka.

Ikrom memberikan rekomendasi kepada pemerintah untuk mengintegrasikan regulasi nasional dengan regulasi lokal yang relevan terhadap konteks masalah. Hal ini dapat membantu meningkatkan efektivitas penanggulangan bencana dan memperkuat ketahanan masyarakat lokal.

Konferensi CCCMS ini memberikan kontribusi penting dalam memahami kompleksitas bencana dan tanggapan masyarakat. Melalui penelitian-penelitian seperti ini, diharapkan dapat diambil langkah-langkah yang lebih efektif untuk mengurangi dampak bencana dan membangun masyarakat yang lebih tangguh.

 

Penulis: Desmalinda

Dilema Fans K-Pop: Love vs. Principle
Reading Time: < 1 minute

Yogyakarta, 28 Agustus 2024 – Salah satu panel yang cukup menyita perhatian pada CCCMS ke 7 kali ini adalah “Social Activism through and in Hybrid Societies”. Panel ini menghadirkan sejumlah penelitian yang membahas bagaimana teknologi digital membentuk lanskap aktivisme sosial kontemporer.

Penelitian dengan judul “Love vs. Principle: K-Pop Fans’ Boycott of Idols and Controversial Products” yang dipresentasikan oleh Kusnul Fitriah dari Universitas Gadjah Mada menarik untuk dikupas lebih jauh. Penelitian ini membicarakan fenomena yang sempat trending di media sosial yakni mengenai penggemar K-Pop yang sering dihadapkan pada dilema moral ketika idolanya terlibat dalam promosi produk yang dianggap kontroversial, seperti produk yang terkait dengan Israel.

Konflik antara Palestina dan Israel telah memicu berbagai gerakan boikot di seluruh dunia. Fans K-Pop juga turut serta dalam gerakan ini. Namun, ketika idol yang mereka cintai menjadi brand ambassador produk yang diboikot, munculah dilema yang cukup rumit.

“The argument to support the idol fully did by the fans. The fans assume that the fault is in the agency not in the idol.” jelas Kusnul. Lebih lanjut Kusnul menyebutkan, ikatan emosional antara penggemar dan idol sangat kuat sehingga membuat penggemar sulit untuk mengambil keputusan yang rasional.

Kusnul menjelaskan bahwa penelitiannya menunjukkan adanya dilema yang signifikan bagi penggemar K-Pop. Mereka harus memilih antara cinta mereka terhadap idol atau prinsip dan nilai-nilai yang mereka yakini. “Relationship between fans and idol is so complicated. There are deep emotions involve to this relation.” tutupnya.

Penelitian ini memberikan gambaran menarik tentang bagaimana budaya populer seperti K-Pop dapat menjadi arena pertarungan antara identitas pribadi dan komitmen sosial. Fenomena ini menunjukkan bahwa aktivisme digital tidak hanya terjadi di kalangan kelompok tertentu, tetapi juga melibatkan seluruh netizen yang terlibat dalam budaya populer.

Penulis: Desmalinda

Dongi-Dongi
Reading Time: 8 minutes

Menjalankan misi kemanusiaan kali ini hanya menyingkap sekelumit fakta, meski demikian perjalanan menuju Dongi-Dongi patut untuk dijadikan pustaka demi sebuah asa.

Tercatat 54 relawan dari berbagai penjuru negeri berkumpul di Bandara Halim Perdanakusuma sejak sebelum subuh, 30 Juli 2024. Berbagai pengecekan dilakukan demi keamanan, hingga pukul 06:00 WIB kami semua diangkut oleh Super Hercules bernomor A-1340 menuju Bandara Mutiara Sis Aljufri. Penerbangan itu berlangsung lebih dari 3 jam.

Barangkali pengalaman menumpangi alutsista milik TNI AU ini adalah kesempatan yang sangat langka maka mengabadikan momen adalah kesempatan paling berharga. Selain cerita, foto berjejer akan menjadi artefak penuh makna nantinya. Kesempatan ini tentu tak lepas dari relasi-relasi yang dibangun oleh Yayasan Tunas Bakti Nusantara (YTBN) selama beberapa tahun terakhir.

YTBN

Foto bersama relawan YTBN sebelum pemberangkatan ke Poso, Foto: Rayhan Taruna

Menginap semalam di Mes Pemda Palu, esoknya perjalanan menuju Dongi-Dongi dimulai. Jalanan berliku diapit perbukitan bisa dibilang tak cukup mudah, beberapa titik bekas longsoran tanah dan batu berserakan memaksa pengendara untuk terus waspada. Meski demikian, mata relawan dimanjakan dengan pemandangan yang menawan, bisa dibayangkan betapa menyenangkan bervakansi menuju lokasi bernama Dongi-Dongi.

Dongi-Dongi merupakan desa percobaan yang terletak di Kecamatan Lore Utara, Kabupaten Poso Sulawesi Tengah. Secara administratif Dongi-Dongi berada di dua kabupaten yakni Sigi dan Poso. Setibanya di sana, kami disambut suka cita dan tarian khasnya. Mata-mata penuh binar begitu hangat dan lekat. Ingat ini bukan bervakansi, melainkan datang untuk saling berbagi.

Faktanya, Dongi-Dongi adalah daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar) ditambah statusnya sebagai desa percobaan dengan segudang tantangan yang rumit diselesaikan. Mulai dari akses pendidikan, kesehatan, pernikahan dini dan tidak stabilnya perekonomian. Tidak adanya akses internet dan aliran listrik yang memadai menjadikan Dongi-Dongi semakin pelik.

Akses Pendidikan Memang Tidak Memadai

Seharusnya tidak perlu kaget atas tidak idealnya pendidikan di daerah 3T, isu soal aksesnya yang sulit pasti sering kita dengar. Namun menjalaninya secara langsung tak semua orang bisa membayangkan betapa rumitnya kondisi serba terbatas ini.

Salah satu program yang tak pernah absen dari Bakti Nusantara YTBN adalah Inspirasi Nusantara (IN). Dengan fokus pendidikan, semua program IN berlangsung di Sekolah Satap Dongi-Dongi. Sekolah Satap adalah sebutan untuk sekolah satu atap, dalam satu lokasi ada jenjang TK, SD, dan SMP.

Salah satu fasilitator dalam program IN yakni Leonardus Devi Heryanto menangkap banyak cerita pilu. Anak-anak di Dongi-Dongi sebagian besar hanya menamatkan sekolah di jenjang SD dan SMP, melanjutkan ke jenjang SMA adalah kemewahan. Bahkan, hanya 70 persen siswa SD yang melanjutkan ke jenjang SMP. Kondisi ini terjadi karena berbagai faktor, kondisi ekonomi memaksa anak-anak turut bekerja membantu orang tua. Faktor lain adalah tidak tersedianya sekolah jenjang SMA di Dongi-Dongi. Untuk mengakses jenjang SMA mereka harus pergi ke Palu, artinya butuh biaya transportasi hingga biaya operasional lain yang tak sedikit.

Dongi-Dongi

Relawan bersama para siswa Sekolah Satap Dongi-Dongi, Foto: Desyatri Parawahyu Mayangsari

“Yang kami tangkap dari cerita teman-teman terkait bahwa banyak yang berhenti SD atau SMP saja, banyak faktor mungkin karena kerja di ladang dan lain, kedua karena di sini tidak ada SMA. Kalau kita lihat dari SD yang melanjutkan ke SMP hanya 70-80 persen. Sisanya tidak lanjut hanya sampai SD saja,” ujar fasilitator yang akrab disapa Leo.

Cerita-cerita di daerah 3T tentu akan banyak kita dengar, semua dilakukan semata-mata untuk memperbaiki kehidupan yang lebih layak. Salah satu kakak beradik di SD Dongi-Dongi misalnya, keduanya harus berjalan kaki dengan jarak tempuh satu jam untuk menuju sekolah. Suhu dingin, jalan terjal bukan lagi jadi persoalan sulit bagi mereka.

Dari hasil fasilitasi yang dilakukan Leo bersama tim, para orang tua di Dongi-Dongi sebenarnya memiliki mimpi yang tinggi untuk menyekolahkan anak-anaknya. Ketika mengisi sesi motivasi, ia mengungkap salah besar jika narasi-narasi terkait masyarakat 3T enggan meraih pendidikan. Mereka sebenarnya tak ingin mengalami kondisi rumit ini, namun luasnya Indonesia tak meratanya fasilitas adalah penyebab utama.

“Sebenarnya banyak orang tua yang sudah punya pemahaman bahwa sekolah itu penting maka ada orang tua yang semangat menyekolahkan anaknya setinggi mungkin meskipun dalam kekurangan,” tambahnya.

Dongi-Dongi

Potret siswa Sekolah Satap Dongi-Dongi, Foto Rizka Aulia Ramadhani

Bayangkan saja, dengan penghasilan yang fluktuatif, orang tua di Dongi-Dongi harus membayar Rp 500 ribu untuk satu setcel seragam pramuka. Ini mungkin menjadi pembelajaran bagi relawan untuk melakukan riset dan observasi lebih detail ketika merencanakan program. Salah satu program penutup adalah kemah perdamaian di Dongi-Dongi, dan pengalaman ini bisa jadi perdana bagi mereka. Antusiasme luar biasa, mirisnya tak semua siswa memiliki seragam pramuka, sedari awal memang tak mewajibkan hal ini. Namun, mereka benar-benar ingin melakukan yang terbaik alhasil para orang tua rela pergi jauh ke pasar demi mendapatkan seragam pandu itu.

Tuntutan Negara dan Akses Internet yang Tak Memadai

Claudya Mardiani, tim IN peningkatan kapasitas guru juga menyebutkan jika dua hari menjalankan programnya berbagai hambatan nyata dirasakan. Berkali-kali aliran listrik mati, soal internet tak perlu ditanyakan lagi. Sementara Kurikulum Merdeka memaksa semua guru adaptif dengan teknologi dan deretan aplikasi.

“Di sini guru-gurunya melakukan apa-apa sendiri, mereka manual. Tidak ada bantuan alat apapun untuk mengajar. Mereka tetap semangat dalam melakukan pengajaran sehari-hari bersama anak-anak,” ujarnya.

Dari pengamatannya para guru masih belum terampil dalam menerapkan Kurikulum Merdeka, ditambah kondisi yang serba terbatas.

“Di Kurikulum Merdeka para guru diharapkan bisa menentukan tujuan pembelajaran secara mandiri, dan ada beberapa hal yang harus dilakukan seperti upload ini dan itu kalau dibayangkan dari penjelasan tadi mengenai ketersediaan akses internet, ini menjadi hal sangat menyulitkan,” tambahnya.

Dongi-Dongi

Peningkatan kapasitas guru di wilayah Lore bersaudara, Foto: Rizka Aulia Ramadhani

Persoalan itu diamini oleh Arum Putri Suryandari, seorang guru sekaligus Bendahara PB PGRI yang turut menjadi fasilitator peningkatan kapasitas guru menyebut hal mendasar terkait Kurikulum Merdeka masih belum dipahami menyeluruh oleh para guru.

Peningkatan kapasitas guru yang dilaksanakan di Satap Dongi-Dongi mengundang antusiasme luar biasa. Para guru di sekitar kecamatan Lore Bersaudara rela datang dengan menempuh jarak hingga 3 jam perjalanan.

“Kendala pertama adalah informasi, mereka seperti ini karena internetnya agak sulit sehingga sulit mengakses informasi,” jelas Arum.

Terputusnya informasi terkait Kurikulum Merdeka membuat tenaga pendidik gagal paham dengan beberapa konsep dasar seperti Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5) hingga analisis capaian belajar.

“Itu sebenarnya dasar banget di Kurikulum Merdeka, karena untuk mereka meng-create sebuah pembelajaran dia harus ngerti dulu apa yang harus dia ajarkan, pada saat dia tidak ngerti capaian pembelajaran kemudian tujuan pembelajaran seperti apa, alur pembelajaran seperti apa bagaimana mau ngajarin,” keluhnya.

Selain dipusingkan dengan Kurikulum Merdeka, para pengajar di Dongi-Dongi juga harus bertaruh dengan kondisi siswa yang kerap absen. Hal biasa dalam seminggu mereka hanya mampu masuk kelas dua kali, lagi-lagi karena membantu pekerjaan orang tua di ladang, berdagang atau pekerjaan lainnya.

“Siswanya datang hari Senin nanti datang lagi hari Jumat. Karena diajak dagang diajak ini dan itu. Jadi itu tantangannya, bagaimana guru mau mengajar dengan baik, muridnya saja datang suka-suka. Sudah merencanakan pembelajaran dengan baik ternyata masuk muridnya tidak ada,” ujarnya lagi.

“Pak Nadiem harus tahu sih,” tandasnya.

Walau demikian masyarakat Dongi-Dongi masih bisa mensyukuri, Kepala Sekolah Satap bernama Dirman yang baru menjabat 24 hari adalah sosok penuh semangat. Pengakuan dari warga sekitar, ia bahkan selalu membersihkan sekolah seorang diri, mengajak masyarakat bergotong royong mengalirkan air ke sekolah. Mungkin terdengar sederhana, namun sebelumnya ini tak pernah dilakukan.

Fasilitas Kesehatan Tidak Memadai

Beranjak dari isu pendidikan yang belum menemui titik terang, persoalan fasilitas kesehatan di Dongi-Dongi tak kalah runyam. Data tahun 2018 jumlah masyarakat di sana mencapai 581, sementara hanya ada satu bidan yang bertugas. Martina Bonggadika adalah satu-satunya bidan tetap yang harus melayani seluruh masyarakat.

Sosok yang akrab disapa Bidan Sambo mengaku sudah hampir satu dekade ditugaskan di wilayah tersebut. Tak hanya berurusan dengan kesehatan kehamilan dan persalinan, Bidan Sambo melayani segala jenis penyakit yang dikeluhkan masyarakat Dongi-Dongi.

Beruntungnya kini Bidan Sambo mendapat bantuan tenaga dari petugas kesehatan Puskesmas Wuasa, Ellen Leomi Tengkow salah satunya. Sebagai Pengelola promosi Kesehatan Puskesmas Wuasa ia rutin menyambangi Dongi-Dongi untuk melakukan berbagai aktivitas kesehatan.

Isu kesehatan lingkungan hingga angka pernikahan dini belum tertangani dengan maksimal, Ellen bercerita soal kultur msayarakat Dongi-Dongi yang banyak melakukan MCK di sungai hingga menimbulkan masalah baru yakni pencemaran air.

“Jelas akan berdampak pada kesehatan (kegiatan MCK di sungai), sungai digunakan sebagai tempat BAB, airnya diambil untuk cuci piring, air dikonsumsi untuk minum. Biasanya ada kasus diare dampak dari penggunaan air yang tidak bersih,” jelas Ellen.

Banyak kasus diare setiap tahunnya, bahkan dalam sesi program Sehat Nusantara (SN) rumah sakit lapangan ada salah satu warga Dongi-Dongi yang menderita diare lebih dari dua tahun dan tak kunjung sembuh. Untuk alasan mengapa tak segera pulih tentu banyak faktor, kondisi ini benar-benar rumit.

Dari observasi yang penulis lakukan selama program Bakti Nusantara (BN) Poso 2024, masyarakat Dongi-Dongi mengeluhkan kondisi toilet umum yang tak memadai. Dari jumlahnya yang tak ideal dengan kebutuhan, pembangunan tak sesuai standar, hingga kerusakan-kerusakan yang tak dipertanggungjawabkan. Bahkan, kalimat-kalimat negatif bersahutan, kemana larinya dana-dana perbaikan?

Ellen mengakui bahwa kondisi toilet umum di Dongi-Dongi tidak terawat, masyarakat sebagai pengguna seolah tak memiliki rasa tanggung jawab untuk saling merawat fasilitas umum tersebut.

“Namanya toilet umum mereka tidak ada rasa memiliki sehingga tidak terlalu terawat. Masih layak digunakan tapi untuk kebersihan masih sangat kurang,” ujar Ellen terkait kondisi toilet umum.

Dari toilet umum yang tak memadai, kondisi kesehatan masyarakat juga miris untuk diceritakan. Sekali lagi, semua terbelenggu dalam keterbatasan. Bidan Sambo dan Ellen tentu sudah menahan getirnya memperjuangkan masyarakat Dongi-Dongi.

Raissa Liem, dokter spesialis obgyn dari Metropolitan nampak gusar kala memfasilitasi pemeriksaan kehamilan para ibu di Dongi-Dongi. Ada satu kasus yang serius, kekhawatiran memuncak ketika sang ibu ternyata juga tidak concern soal itu.

Ia menghadapi bagaimana kesadaran kesehatan sangat rendah. Namun, ini semua tak bisa diambil kesimpulan begitu saja. Para ibu di Dongi-Dongi tak bisa setiap bulan mengakses pemeriksaan USG, kontras jika dibandingkan dengan kondisi warga kota. Mereka dipaksa oleh keadaan yang serba tak ideal.

Dongi-Dongi

Pemeriksaan kesehatan ibu hamil oleh relawan YTBN, Foto: Rizka Aulia Ramadhani

“Mungkin kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan terutama kesehatan ibu hamil itu sangat rendah. Kemarin ada kasus bagaimana ibu hamil aterm 37 minggu ternyata pertumbuhan tulangnya tidak sesuai ukurannya 31-32 minggu. Namun ketika disampaikan kepada pasien, pasien tidak ada concern sama sekali mereka menganggap itu hal yang normal saja dan hanya peduli apa jenis kelamin bayinya saja,” jelas Raissa.

“Apa yang saya tangkap kesadaran dari masyarakat rendah, mereka mungkin tidak punya akses terhadap vitamin atau terhadap gizi yang baik atau mungkin pendidikan mereka masih tergolong rendah sehingga mereka tidak tahu apa itu pentingnya bayi yang sehat berpengaruh terhadap anak yang pintar, mereka belum ditahap itu,” tambahnya lagi.

Akses pendidikan yang tak memadai disinyalir menjadi pemicu-pemicu kondisi ini. Tak sedikit anak-anak melakukan pernikahan dini. Cerita yang dituturkan siswa-siswi sekolah Satap Dongi-Dongi banyak dari keluarga dan para tetangga yang menikah di usia dini, 14 tahun adalah usia yang sangat belia.

Dalam program SN lain yang fokus terhadap penyuluhan gizi tampak dua perempuan berusia belasan. Ketika berbincang, mereka mengaku akan melangsungkan pernikahan dengan laki-laki pilihannya beberapa bulan ke depan. Penyuluhan gizi yang mereka ikuti harapannya mampu memberi bekal ketika mereka berumah tangga nanti, bagaimana menyiapkan makanan pendampin asi untuk buah hatinya kelak.

Meski demikian, Dongi-Dongi adalah bagian dari Indonesia. Anak-anak di Sekolah Satap berhak meraih mimpinya. Beberapa dari mereka menyimpan semangat luar biasa. Mencoba mengurai rumitnya Dongi-Dongi, YTBN bersama banyak pihak membangun Puskesmas Pembantu atau Pustu Plus untuk memfasilitasi para masyarakat.

Semua pihak berhak mendapat fasilitas yang layak dan pendidikan yang memadai.

Dongi-Dongi

Kegiatan Inspirasi Nusantara di Sekolah Stap, Foto: Desyatri Parawahyu Mayangsari

“Nama saya Alif, cita-cita ingin menjadi tantara. Saya ingin melanjutkan SMA di Palu karena di sana lebih bagus. Ada kakak sepupu melanjutkan di sana”

“Saya Novita, kelas 7. Cita-cita ingin menjadi TNI, ingin melanjutkan sekolah di daerah Parigi Palu. Di keluarga saya ada yang menikah usia dini kakak sepupu, ada yang lulus SMP ada yang lulus SMP”

“Saya Kayra, cita-cita ingin menjadi dokter, Mudah-mudahan nanti bisa sekolah di Palu. Saya sedih kakak sepupu menikah dini lulus SD”

Dongi-Dongi, untuk tiba di sana memang sangat berliku.

 

 

Penulis: Meigitaria Sanita

BPPTKG
Reading Time: 2 minutes

Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) Yogyakarta lakukan penjajakan kerja sama dengan Prodi Ilmu Komunikasi pada 25 Juli 2024. Diskusi mengerucut pada potensi-potensi kolaborasi yang bisa dilakukan kedua belah pihak.

Kepala BPPTKG Yogyakarta, Agus Budi Santoso memaparkan bahwa jumlah masyarakat di sekitar lereng Gunung Merapi mencapai 75.410 jiwa. Tingginya risiko erupsi pada Merapi membuat pihaknya harus terus melakukan adaptasi dalam hal mengkomunikasikan intruksi kepada masyarakat.

Tercatat erupsi Merapi tahun 2010 menyebabkan 386 korban meninggal termasuk juru kunci yakni Mbah Maridjan. Letusan dimulai 26 Oktober dan puncaknya tanggal 4 hingga 5 November 2010 itu adalah erupsi paling dahsyat dengan skala 4 dan luncuran awan panas mencapai 15 km.

“Butuh peran akademisi untuk mengidentifikasi apakah selama ini tahap yang dilakukan untuk mendorong adaptasi masyarakat itu sudah tepat. Sehingga masyarakat bisa merespon setiap intruksi dengan baik dan tidak terulang lagi kejadian masyarakat tidak mau di evakuasi,” ujarnya.

Niat baik tersebut disambut terbuka oleh Prodi Ilmu Komunikasi UII, beberapa dosen telah aktif dalam riset kebencanaan sehingga hal ini memungkinkan untuk dilakukan.

“Sudah ada dosen-dosen yang biasa melakukan program terkait kebencanaan, sehingga mungkin akan lebih relevan untuk kerjasama. Penelitian dan kajian Pak Muzayin dan Pak Anang sudah melakukan penelitian di Merapi,” ujar Kaprodi Ilmu Komunikasi UII, Iwan Awaluddin Yusuf.

Beberapa tawaran yang telah didiskusikan dalam momen tersebut antara lain pemagangan mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi UII dalam bidang media di BPPTKG, projek tugas akhir terkait dokumentasi pembuatan film, hingga kolaborasi konten dalam YouTube IkonisiaTV.

Potensi-potensi dari Prodi Ilmu Komunikasi UII memberikan angin segar pada BPPTKG Yogyakarta, pihaknya sangat berharap upaya-upaya tersebut mampu mengoptimalkan mitigasi bencana sehingga meminimalis risiko korban jiwa.

“Kerja sama ini diharapkan mampu menjadi pendukung pelaksanaan tugas fungsional dari BPPTKG sebagai pelaksanaan mitigasi bencana,” tandas Kepala BPPTKG Yogyakarta.

Dalam penjajakan kerja sama tersebut hadir pula Nor Cholik dan Kebak Alam Setiyawan dari pihak BPPTKG Yogyakarta, sementara dari Prodi Ilmu Komunikasi UII yakni Anang Hermawan dan Muzayin Nazarudin keduanya adalah dosen yang intens dalam riset kebencanaan.