Reading Time: < 1 minute

Mengapa doa sering tidak terkabul? Bagaimana agar doa lebih mudah memiliki kemungkinan terkabul? Beberapa pertanyaan itu sering mengemuka dalam tiap upaya manusia memanjatkan doanya pada ilahi. Kadang manusia hanya tidak tahu kapan doanya terkabul, dan bagaimana bisa upaya dan ikhtiarnya berbuah hasil sesuai yang diharapkan.

Begitu pula yang diungkapkan oleh Imam Mujiono, penceramah dalam Pengajian Akbar FPSB UII dalam rangka Milad ke-27 FPSB UII. Acara yang diselenggarakan pada Sabtu 28 Mei 2022 ini menempati Mushola FPSB UII yang baru saja tiga hari selesai direnovasi. Acara pengajian ini dilaksanakan secara hybrid (daring via Zoom dan Youtube disiarkan langsung oleh TV Daring Komunikasi UII “Ikonisia TV” dan luring di Mushola).

“Ud’uuni astajib lakum (Almu’min: 60) dan Fal Yastajibuu lii wa Yu’min Billah (Al Baqarah: 186). Jika ingin doa didengar maka kuncinya ikuti ayat Allah ini,” kata Imam Mujiono yang juga adalah Dosen di Program Studi Pendidikan Agama Islam, FIAI UII.

Menurut Imam, seringkali manusia menginginkan sesuatu tetapi tidak paham mengapa doa tidak kunjung maqbul. “Padahal SOP nya di islam sudah jelas. Kalau ingin sesuatu, berdoalah padaku,” kata Imam. “Ku ini merujuk pada Allah. Bukan merujuk pada pesugihan, bukan pada dukun, bukan pada atasan, dll.”

Lalu yang berikutnya adalah melaksanakan perintah-perintah Allah. Setiap perintah itu, menurut Imam, berarti SOP (Standar Operational Procedure). “Ikuti SOP nya. Mau bikin warung laris, ya bikin SOP sehingga orang tertarik datang,” kata Imam. Warungnya bersih, pelayanan sopan, harganya murah, dan jangan lupa memohon pada Allah sang pemilik rejeki, bukan pada dukun pesugihan, kata Imam.

Lalu setelah itu, manusia diminta yakin dan beriman pada ketentuan Allah. “Jadi, berdoa itu Jangan ragu-ragu pada Allah, harus yakin tercapai,” tambahnya.

Tulisan lanjutan baca klik di sini

Reading Time: 3 minutes

Sebagai sebuah kajian, komunikasi dan islam sering kali dipandang sebagi entitas yang berdiri masing-masing. Jarang ditemukan studi atau kajian komunikasi yang diintegrasikan dengan perpektif islam di dalamnya. Adanya gap ini memicu dosen-dosen ilmu Komunikasi untuk memulai mencari kacamata baru untuk melihat kelindan antara komunikasi dan islam di ranah kajian dengan menulis buku “Islam dalam studi Komunikasi”

Buku “Islam dalam Studi Komunikasi” ini ditulis oleh dosen-dosen Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonedia (UII). Mereka adalah Holy Rafika Dhona, S.I.Kom., M.A.; Puji Rianto, S.I.P., M.A.; Anang Hermawan, S.Sos., M.A.; Dr. Subhan Afifi, S.Sos., M.Si.; Raden Narayana Mahendra Prastya, S.Sos., M.A.; Ida Nuraini Dewi Kodrat Ningsih, S.I.Kom., M.A.; Puji Hariyanti, S.Sos., M.I.Kom.; Anggi Arif Fudin Setiadi, S.I.Kom., M.I.Kom.; Sumekar Tanjung, S.Sos., M.A. Bedah uku ini merupakan rangkaian acara milad ke-27 Fakultas Psikologi dan Sosia Budaya (FPSB) UII pada 21 Mei 2022.

Acara launching buku tersebut dibedah oleh Dr. Basuki Agus Suparno, M.Si. Dari Program Studi Magister Ilmu Komunikasi UPN “Veteran” Yogyakarta dan Dr.rer.soc. Masduki, S.Ag., M.Si. Dosen Prodi Ilkom FPSB UII. “Dalam Buku ini kami masih dalam rangka mencari bentuk integrasi islam dalam studi komunikasi,” kata Holy, salah satu penuis dalam buku ini.

Dalam buku ini, kata Holy, beberapa penulis mencoba menerjemahkan islam dalam fieldnya. Ada juga yang mentranslasi islam dalam etika komunikasi. Sehingga buku tersebut sangat beragam. Secara sistemaatika, empat  tulisan dalam buku adalah tulisan konseptual, dan tiga tulisan setelahnya tulisan berbasis riset. Buku ini juga tidak ditulis sebagai buku ajar yang nantinya akan diajarkan sebagai satu mata kuliah khusus ke mahasiswa. Tapi buku ini berusaha mencari bentuk baik dalam kerangka konspetual, etika, maupun diranah kerangka riset nantinya. “kami menegaskan bahwa integrasi islam di komunikasi masih belum selesai, dan masih banyak tugas kerja yang harus diselesaikan. Seperti kami tadi ceritakan, kami mencari ada yang menyebutkan, seperti saya, islam tidak dicitrakan menjadi etika normatif, sedangkan Pak Subhan, misalnya, salah satu penulis, telah menjadikan islam sebagai etika normatif.,” ujar Holy.

Masduki, sebagai pembedah, juga mengomentari tentang penerbitan buku ini. Ia berbagi cerita pengalamannya melakukan riset jurnalisme dengan beberapa profesor di luar negeri. Pada tahun 2017 Masduki pernah menulis, ada riset besar antara beberapa profesor besar di bidang journalism studies. Risetnya tentang ‘journalism and the islamic world view’ katanya. Riset ini melihat delapan negara muslim; afrika, timur tengah, asia tenggara, maupun selatan, dan middle east. “Kami lama sekali berdebatnya itu. Ada Thomas Hanitz, juga Prof. Basyouni Ibrahim Hamada dari Qatar, Ada juga Prof Nurhaya dari US, banyak mengargumen gunakan nilai-nilai jurnalisme amreika. Salah satu poin penting paper itu adalah, tentang bagaimana sih konsep normatif tentang jurnalisme itu dari kacamata subyektif jurnalis di negara muslim,” jelas Masduki yang juga adalah doktor di Bidang Regulasi dan Komunikasi.

Jurnalisme itu dipahami punya muatan kejujuran berdasar pada prinsip qulill haqqu walau kaana murron (Telling the truth). Lalu ada pula konsep kedua; pedagogy, dalam bahasa arab disebut tabligh dan amar maruf nahi munkar. Selanjutnya ada fungsi media mendidik. Ada juga konsep maslahah dalam quran. “Kemaslahatan itu public interest. Lalu juga konsep being moderator, jurnalisme yang wasatiyah. Konsep tabayyun. Di era disinformasi kini ada pentingnya the tabayyun journalism,” papar Masduki menceritakan dinamika temuan risetnya.

Masduki mengatakan, dalam riset tersebut terjadi dialog antara akademisi muslim dan barat. Ada sintesis dan dialog. “Jika merujuk Hassan Hanafi, pemikir dari Univerity Cairo dan ambil S3di paris, hasil perenungannya di buku kiri islam itu: muncul sebagai tawaran islam yang bisa menjawab situasi islam hari ini. Apa yang bisa kita sampaikan di sini seperti kata Hasan itu: apa yang perlu kita sampaikan integrasi islam dan sekuler, kita perlu kritik ilmu sekuler itu, dimulai dengan dewesternisasi,” kata Masduki berpendapat dengan melakukan refleksi meminjam pemikiran Hasan Hanafi.

Menurut Masduki, bukan integrasi, melainkan mempertanyakan apa yang problem dari western perspective communication. “Lalu kita mengkritik diri kita sendiri. Kita seirng menjadikan islam hanya sebagai bingkai. Islam hanya bingkai packaging, Komunikasinya tetap western. ini menjadi penyederhanaan,” kritik Masduki kemudian.

Reading Time: 2 minutes

Sering kita mendengar petuah untuk jangan terlalu lama berada di tentang comfort zone atau zona nyaman. Apalagi jika kita ingin sukses dan banyak pengalaman. Tapi bagaimana sih comfort zone dan bagimana cara keluar dari zona itu?

Gelaran Teatime oleh IPC mengudang salah satu mahasiswa International Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia (IPC UII), Faradisa Djasmine Anderson, untuk mengobrol tentang dunianya dengan barbagai prestasi dan kegiatan yang padat. Teatime kali ini Jumat, 18 Mei 2022, bertajuk Life of a Student and Regional Ambassador yang akan berbincang santai dengan gadis yang akrab dipanggil Disa itu.

Tips Keluar dari Zona Nyaman

Kesibukan Disa di dunia pariwisata sebagai Duta Taruna Nusantara pariwisata Jawa Tengah 2022 diawali dengan kesukaannya di dunia modeling. Dunia yang ia geluti sejak remaja. Ia merasa dunianya menyenangkan sekaligus membosankan. “Aku merasa kok duniaku gini-gini aja. Aku merasa stuck,” ungkap Disa.

“Aku merasa harus mencoba sesuatu yang baru,” kata Disa menceritakan kisahnya saat itu. Disa lalu mencoba peruntungan dengan mendaftar Duta pariwisata Kebumen dan lolos. “Buat aku, mencoba hal baru itu seperti mendapat tantangan,” lanjutnya.

“Memilih mencoba hal baru bukan karena merasa aku berbakat, bukan karena aku bisa. Tapi karena aku merasa ini adalah hal yang belum pernah aku coba sebelumnya,” paparnya.

Menurut Disa, ketika mencoba hal baru, terus saja mencoba. Kita belum tentu akan tahu akan gagal atau berhasil. “Nggak usah dipikirin. Coba aja,” ajak Disa memotivasi orang-orang yang takut mencoba hal baru.

Pintar Bagi waktu

Disa memiliki jadwal padat. Dia bekerja dan kuliah secara bersamaan. Selain melakukan kegiatan edukasi dan mendedikasikan waktu dan pengatahuannya untuk kemjuan pariwisata Provinsi Jawa Tengah, Disa juga harus bejar sekaligus mengerjakan tugas kuliah yang tidak sedikit. “Aku selalu ada note to do list di hape. Aku harus perhitungkan kegiatan ini harus dikakukan kapan, kegiatan hari ini apa, dan besok apa.” Hal ini untuk menghindari membuang waktu sia-sia.

“Aku nggak mau membuang kesempatan hari ini. Selagi bisa harus aku kerjakan hari ini,” ucap Disa.

Reading Time: 2 minutes

There are so many beautiful movies that we enjoy. Behind the beautiful films that we enjoy, it turns out that it takes a long process and often requires precision. One of the first vital processes is the creation of a script. Creating a script is not as easy as making and fantasizing and then pouring it into the form of a script.

In an expert or public lecture held by the Communication Department at the UII, Agni Tirta talked about how their community produces films. Agni Tirta is a documentary filmmaker and the head of the Jogja Filmmaker Society.

In the expert lecture on April 23, 2022, Agni told me how to make a film script. He can spend more than a month making a short movie alone. “Because the first week is already a draft. That’s the zero draft. Then another week is read and developed to draft 1, 2, and so on. It can be up to draft 10, 11, or 13. So writing a script can take months if it’s a short movie,” said Agni.

It’s Not Easy to Change the Storyline in a Movie Script

In addition to data, movie scripts are very much determined by imagination. Like imagination, storyline ideas can also wander and change wildly. But it will be difficult to change the storyline when the imagination has been poured into a script.

Such is the question of Sumekar Tanjung, a lecturer of Communication Studies UII, who wants to know how the trick or mechanism determines changes in the storyline of the character in the story. “For example, he wants to change from life path A to life path B,” said Tanjung.

It turns out that making this script should not be arbitrary. It is possible for the storyline to change. But a lot must be considered, such as the character’s nature and character, the environment, and even the character’s psychological atmosphere. “When I create characters, I imagine them to be alive,” Agni said.

Agni said that changing the script should not be haphazard, and one must be careful in making the story choices. “When we create a character with a complete character and lively atmosphere, such as age, nature, zodiac, what kind of environment he grew up in, his psychology too. The rest (of the story) will follow the character,” Agni explained.

“For me, it goes back to the log line or key sentence. There are many scenes that, when we write them, we doubt whether they will be used. When we are confused, we immediately go back to the log line. When the choice is opposite and does not support the main mission of the story, no matter how good the log-line is, it will not be used.”

Reading Time: 2 minutes

Banyak sekali film-film indah yang kita nikmati. Di balik film-film indah yang kita nikmati itu ternyata membutuhkan proses panjang dan tak jarang memerlukan ketelitian. Salah satu proses awalnya yang vital adalah pembuatan naskah (script). Membuat naskah ini tidak semudah membuat dan mengkhayal lalu dituangkan dalam bentuk skrip.

Dalam kuliah pakar atau public lecture yang diadakah oleh Prodi Imu Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII), Agni Tirta bercerita tentang bagaimana gambaran komunitas mereka memproduksi film. Agni Tirta adalah seorang pembuat film dokumenter yang juga merupakan ketua Paguyuban Filmmaker Jogja.

Dalam kuliah pakar pada 23 April 2022 itu, Agni memnceritakan bagaimana prosenya membuat naskah sebuah film. Untuk membuat film pendek saja, ia bisa menghabiskan waktu lebih dari satu bulan. “Karena seminggu pertama itu sudah jadi draftnya. Itu draf nol. Lalu seminggu lagi dibaca lagi dan dikembangkan untuk jadi jadi draft 1, draft 2, dan seterusnya. Rata-rata bisa sampai draft 10, 11, hingga 13. Jadi menulis script itu bisa sebulanan kalau film pendek,” ujar Agni.

Tak Mudah Mengubah Jalan Cerita dalam Naskah Film

Selain data, Naskah Film memang sangat ditentuakan oleh imajinasi. Selayaknya imajinasi, ide jalan cerita pun bisa dengan liar mengembara dan berubah. Tetapi ketika imajinasi sudah tertuang menjadi naskah, akan sulit mengubah jalan cerita.

Seperti pertanyaan Sumekar Tanjung, seorang dosen Imu Komunikasi UII yang ingin mengetahui bagaimana trik atau mekanisme untuk menentukan perubahan jalan cerita si karakter tokoh dalam cerita. “Misalnya dia mau mengubah dari jalan hidup A ke jalan hidup B,” kata Tanjung.

Ternyata membuat naskah ini tidak boleh sembarangan. Bisa saja alur ceritanya berubah. Tapi harus banyak yang diperhatikan seperti sifat dan karakter tokoh, lingkungan, dan bahkan suasana psikologis si tokoh. “Ketika saya membuat tokoh, saya membayangkan tokoh-tokoh itu benar-benar hidup,” kata Agni.

Agni mengatakan bahwa mengganti naskah itu tidak boleh sembarangan dan harus berhati-hati menentukan pilihan ceritanya. “Ketika kita membuat tokoh yang sudah lengkap karakter dan suasana kehidupannya misalnya usia, sifat, zodiak, dia dibesarkan oleh lingkungan seperti apa, psikologisnya juga. Nanti kelanjutannya (cerita) akan mengikuti karakter si tokoh,” papar Agni.

“Kalau saya kembali ke log-line atau kalimat pengunci. Banyak adegan yang ketika kita menulis itu kita ragu bakal terpakai atau tidak. Ketika bingung itu, segera kembali lagi ke log-line. Ketika pilihannya berlawanan dan tidak mendukung misi utama cerita, ya log-line sebagus apapun tidak akan dipakai.”

Reading Time: < 1 minute

We are happy to invite early career scholars, PhD students, and researchers to participate in the Southeast Asian Frontiers (SEAF) Workshop Series #1: Highlands. The SEAF Workshop aims to host innovative discussions concerning historical and ongoing frontierization in Southeast Asia.

This year, the workshop is funded by the Regional Science Association International (RSAI) and Universitas Islam Indonesia. The Department of Communication, Universitas Islam Indonesia, will host the workshop in Yogyakarta from August 18th-20th, 2022—with a remote participation option available. We are honored to have Michael Eilenberg (Aarhus University), Tania Li (University of Toronto), and Timo Maran (University of Tartu) as keynote speakers for this workshop.

We invite your abstract submission by May 31st, 2022. The selected participants can apply for limited travel grants and compete for the best paper prize! The selected on-site participants also can enjoy the 4-nights free accommodation in Yogyakarta.

Please visit SEAF Website below for further information about SEAF.

See the full poster here,

SEAF Workshop Team

CLICK HERE for SEAF Workshop Website

Reading Time: < 1 minute
Pengumuman Wisuda UII Bulan Mei 2022

Kepada Yth.,

Mahasiwa/Wahasiswi Program Studi Ilmu Komunikasi FPSB UII

Assalamu’alaikum wr.wb

Dengan ini kami memberitahukan Wisuda Periode 5 Tahun akademik 2021/2022 akan dilaksanakan pada tanggal 25 Mei 2022 Informasi lebih lanjut bisa klik link berikut:

Download

Terimakasih

Wassalamu’alaikum wr.wb

Prosedur bebas pustaka
Reading Time: < 1 minute

Kepada Yth.
Mahasiswa/Mahasiswi
Program Studi Ilmu Komunikasi

di Tempat

Assalamu’alaikum wr.wb.

Diberitahukan kepada Mahasiswa/Mahasiswi Prodi Ilmu Komunikasi Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia yang sudah menyelesaikan skripsi dan kkk (magang), Mengingat Libur Hari Raya Idhul Fitri mulai pada 27 April 2022, dan Jadwal Pelaksanaan yudisium sebelumnya tanggal 25 April 2022, dengan Program Studi Ilmu Komunikasi FPSB UII akan melaksanakan yudisium kelulusan dengan detil klik tautan berikut:

Prodil Ilmu Komunikasi UII Yudisium April 2022 docx

Wassalamu’alikum wr.wb

Reading Time: 2 minutes

Menulis dan membahas sebuah problematika umat bisa dipandang dari berbagai sudut pandang. Tak ada pengkotak-kotakan ilmu. Jika ada, sejatinya pengkotak-kotakan ilmu itu warisan imperialisme belanda. 

Bagus Riyono menceritakan, ulama-ulama Indonesia sebelum kemerdekaan itu ahli banyak hal. Walaupun yang dikenalkan hanya ilmu agamanya. Menurutnya, Di psikologi juga harusnya ada pembahasan menggunakan quran. “Lalu masuk ke psyche, itu kan jiwa dan karakter. Jadi tujuan pendidikan itu membangun peradaban, bukan hanya individu,” kata Bagus Riyono menambahkan.

“Jika ada pengkotak-kotakan ilmu itu disebut colonial mentality,” kata Bagus Riyono dalam Bedah buku Problematika Umat Kontemporer: Perspektif Islam dan Psikologi pada Sabtu 9 April 2022. Acara ini adalah Bedah Buku sesi pertama dalam Milad ke-27 FPSB UII. 

Penulis buku ini terdiri dari beragam ahli. mereka adalah Dr. Ahmad Rusdi, MA.Si., Nanum Sofia, S.Psi., S.Ant., M.A., Ali Mahmud Ashshiddiqi, S.Pd.I., M.A., Achmad Sholeh, S.Psi., dan juga menghadirkan pembedah yaitu Dr. Bagus Riyono (Ketua IAMP, dosen Psikologi UGM). 

Bagus Riyono, pembedah buku ini, mengatakan, agama islam adalah agama peradaban, jadi bukan agama suku dan ras tertentu. Risalah islam adalah risalah untuk membangun peradaban. Menciptakan manusia yang unggul pada zaman rasul.

Maka penting buku ini untuk selanjutnya melihat kolonialisme sebagai cara pandang melihat peristiwa hari ini. Melihat dari sudut pandang sejarah. “Nah inilah PR umat islam bagaimana menerjemahkan undang-undang dan UUD ke dalam pendidikan kita dan membentuk akhlak mulia,” katanya. “Supaya kita betul-betul kembali ke inti dari tujuan pendiri UII: menjadikan UII merdeka dari kolonialisme.

Menurut Bagus, tujuan pendidikan bukan untuk mencari popularitas, kekayaan, melainkan menuju akhlak. Tujuannya adalah kemaslahatan umat, dan akhirnya peradaban.

“Jadi ini harus dikembangkan, bukan parsialisasi sebagai contoh bentuk kolonialisme,” ujarnya. “Jangan alergi dengan buku yang disiplinnya berbeda. Ada buku membahas gunung jangan alergi, karena itu tidak terkait dengan psikologi, misalnya. Padahal sangat terkait,” katanya. 

Bagus Riyono menggarisbawahi, buku karya akademisi FPSB ini harus melihat konteks sejarah bagaimana pendidikan kolonialisme memecah keilmuan. “Salah satu peran pendidikan kolonial itu memutus sejarahnya. Karena kalau rakyat terhubung dengan sejarahnya nanti dia akan memberontak. Dia kan jadi tau dia tidak terjajah. Jadi rakyat terjajah dibuat seolah mereka memang tak pernah merdeka. Maka penjajah memutusnya,” papar Bagus panjang lebar. 

Menurut Bagus, hal ini sudah dirumuskan ibn khaldun, dan dicatat oleh ahli sejarah paling populer dan paling otoritatif Arnold Toynbee, “dia bilang ibn khaldun adalah perintis filsafat sejarah: sejarah bukan kenyataan, bahwa ia, sejarah, adalah representasi pemikiran si penulis. Maka kita perlu melihat (problematika umat) kondisi saat ini dari kacamata kolonialisme,” paparnya. 

Mengenai buku ini, menurutnya, kerangka buku ini sudah bagus adalah sejarah klasik dan kontemporer. “Hanya soal integrasinya harus dikaji lebih dalam dan jauh, dan dari sisi psikologisnya bukan hanya soal perilaku atau behaviour, tapi juga mendalam soal kejiwaan soal akhlak,” tambahnya.

Menurutnya, pendidikan harus terkoneksi dengan Allah SWT. “Dan setiap yang terkoneksi dengan Allah maka akan membuat hati menjadi lebih tenang. Dengan hati tenang, akan terwujud peradaban.”

Reading Time: 2 minutes

Writing and discussing a problem with people can be viewed from various perspectives. There is no division of knowledge. If there is, in fact, the division of knowledge is a Dutch imperialism heritage. 

Bagus Riyono said that the Indonesian religious leaders before independence were experts in many things. Although what is introduced is only religious knowledge. According to him, in psychology, there should also be a discussion using the Koran. “Then enter the psyche, it’s the soul and character. So the purpose of education is to build civilization, not just individuals,” said Bagus Riyono.

“If there is a division of knowledge, it is called colonial mentality,” said Bagus Riyono in the book Review of Contemporary People Problems: Islamic Perspectives and Psychology on Saturday, April 9, 2022. This event was the first session of Book Review in the 27th Milad of FPSB UII. 

The author of this book consists of various experts. they are Dr. Ahmad Rusdi, MA.Si., Nanum Sofia, S.Psi., S.Ant., MA, Ali Mahmud Ashshiddiqi, S.Pd.I., MA, Achmad Sholeh, S.Psi., and also presented a surgeon, Dr. . Bagus Riyono (Chairman of IAMP, UGM Psychology lecturer). 

The History of Colonialism Point of View

Bagus Riyono, the reviewer of this book, said that Islam is a religion of civilization, so it is not a religion of certain ethnicities and races. Islamic treatise is a treatise to build civilization. Creating superior humans at the time of the apostles.

Therefore, it is important for this book to look at colonialism as a way of looking at today’s events. Look at it from a historical point of view. “Well, this is the homework of Muslims on how to translate laws and the Constitution into our education and form noble character,” he said. “So that we really go back to the core of the goal of the founder of UII: to make UII independent from colonialism.

According to Bagus, the purpose of education is not to seek popularity or wealth, but towards morality. The goal is the benefit of the people, and ultimately civilization.

“So this must be developed, not partial as an example of colonialism,” he said. “Don’t be allergic to books with different disciplines. There is a book discussing mountains don’t be allergic, because it’s not related to psychology, for example. In fact, they are very related,” he said. 

Bagus Riyono underlined this book of FPSB academics must look at the historical context of how colonialism education divided science. “One of the roles of colonial education is to break its history. Because if the people are connected to their history, then they will revolt. He knew that he was not colonized. So the colonized people are made as if they were never free. So the invaders decided,” Bagus explained at length. 

According to Bagus, Ibn Khaldun was formulated this thesis, and recorded by the most popular and most authoritative historian Arnold Toynbee, “he said ibn Khaldun was the pioneer of the philosophy of history: history is not reality, that he, history, is a representation of the author’s thoughts. So we need to look at the current condition (problems of the people) from the perspective of colonialism,” he explained. 

Regarding this book, according to him, the framework of this book is good, it is classical and contemporary history. not only a matter of behavior or behavior but also a deep psychological issue of morals,” he said.

According to him, education must be connected to Allah SWT. “And anything connected to Allah will make the heart calmer. With a calm heart, civilization will come true.”