Apa Dampak Akuisisi Persebaya Terhadap Jawa Pos? — Comm on Media

Reading Time: 4 minutes

Dalam hal politik, kita sering mengkritisi surat kabar A, stasiun televisi B, media online C, terlalu berpihak pada kubu tertentu. Ini memunculkan anggapan bahwa perusaahaan pers atau media telah “terpenjara” dengan kepentingan lain.

Apakah hal tersebut juga bakal muncul, di mana kali ini “penjara” tersebut muncul akibat sepakbola?

Jawa Pos telah resmi menjadi pengelola Persebaya Surabaya, usai perusahaan tersebut mengakuisisi 70 persen saham klub. Proses ini juga diiringi dengan perubahan struktur di tubuh klub, di mana Azrul Ananda menjadi direktur utama.

Bagi pembaca setia Fandom ID, masuknya Jawa Pos mungkin bukan hal yang mengejutkan, karena sudah “diprediksi” oleh Sirajudin Hasbi dalam tulisan berjudul Menanti Kiprah Persebaya bersama Azrul Ananda, sebulan sebelumnya.

Tulisan tersebut berisi optimisme bahwa dengan rekam jejak prestasinya dalam manajemen, Azrul dapat menjadikan klub berjuluk Bajul Ijo tersebut menjadi lebih baik lagi.

Secara historis, Jawa Pos (dan anak perusahaannya) memang dikenal punya komitmen mendukung olahraga. Jawa Pos merupakan koran yang ikut meletakkan identitas bagi Persebaya dan suporternya.

Radar Jogja, sempat menjadi sponsor klub PSS Sleman di awal tahun 2000an. Di olahraga lain, PT Deteksi Basket Lintas (PT DBL) sukses menjadi operator kompetisi basket profesional NBL tahun 2010-2015. Selain itu PT DBL juga sukses mengemas kompetisi basket usia dini yakni DBL selayaknya kompetisi professional.

Di satu sisi, masuknya Jawa Pos sebagai salah satu pelaku olahraga di Indonesia adalah kabar baik mengingat mereka telah menunjukkan kualitas dalam pengelolaan olahraga. Bahkan, ini bisa menjadi benchmark bagi pengelola olahraga profesional lainnya.

Potensi benturan kepentingan

Tetapi dari sisi Jawa Pos sebagai perusahaan pers, tentu ada kekhawatiran. Sebagai perusahaan pers, tentu terikat dengan kode etik, aturan-aturan, undang-undang, yang berlaku dalam pers.

Tetapi di sisi lain, bakal ada pertanyaan, apakah serangkaian regulasi tersebut dapat berjalan 100 persen, di tengah potensi benturan kepentingan?

Sebuah tulisan menarik dari Awang Dharmawan (2013) yang mengkritisi pemberitaan Jawa Pos berkaitan dengan kompetisi basket DBL. Dharmawan berpendapat bahwa berita-berita DBL kemungkinan kurang memperhatikan prinsip independensi, akurasi, dan berimbang.

Analisis tersebut dibuat dengan berdasarkan tafsir isi dan pasal dalam Kode Etik Jurnalistik Pasal 1, di yang berbunyi : “wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk”

Dari pengamatan empiris saya selaku penulis artikel ini, ketika DBL tidak lagi menjadi operator kompetisi bola basket professional, seketika porsi berita tentang event tersebut hanya memperoleh porsi yang sangat sedikit di surat kabar Jawa Pos. Memang, sempat diberitakan dengan porsi yang cukup besar ketika CLS Knights Surabaya juara kompetisi IBL 2015-2016.

Di satu sisi, kita perlu berbaik sangka pada Jawa Pos, karena itu final, maka maklum jika porsi berita-nya besar. Tetapi di sisi lain, kita boleh berandai-andai: jika CLS Knights kalah di final, atau jika tidak ada tim dari Surabaya yang menjadi finalis IBL, apakah akan diberitakan dengan porsi besar oleh Jawa Pos yang, meminjam istilah dalam tulisan Max Wangkar (2013), merupakan “koran nasional yang terbit dari Surabaya?”

Berkaitan dengan kehadiran Jawa Pos sebagai pemilik saham mayoritas di Persebaya, menarik ditunggu bagaimana pemberitaan Jawa Pos, jika “Bajul Ijo” tengah mengalami rentetan kekalahan; andaikata dilanda konflik internal; bila di suatu kesempatan diputuskan bersalah oleh Komisi Disiplin PSSI karena melanggar aturan, dan upaya banding ditolak oleh Komisi Banding; seandainya ada permasalahan berkaitan dengan kontrak yang tidak jelas atau gaji yang tersendat?

Masihkah asas kemerdekaan pers (seperti terdapat pada Pasal 2 UU Pers No.40/1999) dipatuhi secara murni?

Tekanan tinggi dalam bisnis media

Jawa Pos di paruh awal tulisan ini saya gunakan sebagai gambaran contoh kasus ikatan kerjasama antara olahraga dan media (baca : perusahaan pers). Jawa Pos saya pilih karena kejadiannya masih hangat, masih aktual dan terkini. Jadi tulisan ini tidak bermaksud membahas Jawa Pos secara khusus.

Secara normatif perusahaan pers memang harus bersikap netral, independen, cover both side dalam liputan, dan tidak berpihak. Tetapi dalam prakteknya di lapangan, hal tersebut hampir mustahil dapat berlangsung murni 100 persen.

Pasalnya, perusahaan pers merupakan jenis usaha yang harus berhadapan dengan tekanan dari berbagai kalangan di lingkungan sosial. Ini merupakan keniscayaan, karena perusahaan pers selain berfungsi sebagai media informasi, pendidikan, kontrol sosial, hiburan, juga sebagai lembaga ekonomi alias lembaga bisnis (UU Pers No 40/1999 Pasal 3).

Denis McQuail (2010: 281) menyebut bahwa dalam struktur organisasi media terdapat tiga unit utama yakni : (1) pekerja media/wartawan, (2) manajemen, dan (3) teknis pendukung. Masing-masing unit memiliki kode etik, aturan, target, tujuan, tugas, dan fungsi sendiri-sendiri.

Pekerja media dalam bertugas terikat dengan kode etik wartawan. Manajemen yang berfungsi untuk mengelola sumber daya media (misalkan finansial, teknologi, dll) memiliki target sendiri, pun begitu dengan teknis pendukung.

Masing-masing unit, menghadapi tekanan tersendiri. Pekerja media menghadapi tekanan untuk memenuhi keinginan pembaca, kepentingan dan tuntutan dari profesi tersebut, dan juga saluran untuk menyampaikan informasi.

Bagian manajemen menghadapi tekanan ekonomi yang hadir dari pesaing, pengiklan, dan pemilik media. Bagian teknis menghadapi tekanan yang bersifat politis, legal formal, dan institusi sosial lainnya.

Itu membuat bukan tidak mungkin masing-masing unit berbenturan dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Misalkan ketika unit pekerja media ingin menjaga independensi, termasuk ketika memberitakan kejadian negatif tentang perusahaan yang rajin pasang iklan; hal tersebut dihalang-halangi oleh bagian manajemen.

Manajemen khawatir, jika berita negatif itu muncul, maka perusahaan tersebut tidak mau lagi beriklan. Artinya, satu pintu rezeki telah tertutup.

Tak hanya terjadi pada Jawa Pos

Tulisan ini merupakan amatan awal yang saya susun dari sudut pandang ilmu komunikasi, dan dibangun dari serangkaian literatur. Di luar negeri pun, ikatan antara perusahaan pers juga sudah terjadi (baik itu secara resmi mau pun tidak).

Bahkan ada beberapa perusahaan pers yang cenderung pro dengan klub tertentu, misalkan di Italia Tuttosport identik pro dengan Juventus, atau Marca (Spanyol) yang cenderung memihak Real Madrid.

Memilih berpihak, atau bertahan menjaga idealisme dengan bersikap netral dan independen, itu bukanlah semata keputusan dari para pekerja media, pekerja pers. Bisnis pers merupakan bisnis yang sarat tekanan baik dari luar mau pun dalam. Artinya, apa pun pilihannya, pilihan tersebut hadir melalui sebuah proses yang cukup panjang.

Andai nantinya, setelah menjadi pengelola Persebaya, Jawa Pos menjadi sangat pro dengan Green Force, maka kita perlu memaklumi sebagai keniscayaan. Namun jika yang terjadi adalah sebaliknya, tetap independen dan tetap netral, maka itu adalah hal yang luar biasa dan patut mendapat apresiasi.

Apakah sepakbola akan menjadikan media (baca perusahaan pers) terpenjara? Sekali lagi, itu adalah opsi, adalah pilihan.

 

Rujukan:

  • Dharmawan, A (2013) “Komodifikasi Ruang Publik Pemuda: Tenggelamnya Generasi Muda dalam Bingkai DBL di Koran Jawa Pos”, dalam Ekonomi Politik Media: Sebuah Kajian Kritis (Editor : Filosa Gita Sukmono). Yogyakarta: Lingkar Media
  • McQuail, D (2010) McQuail’s Mass Communication Theory. Los Angeles : SAGE
  • Wangkar, M (2013) “Jawa Pos Adalah Dahlan Iskan” dalam Dapur Media: Antologi Liputan Media di Indonesia (Editor : Basil Triharyanto dan Fahri Salam). Jakarta: Pantau

========================

Artikel ini terbit pertama kali di Fandom.id. Baca artikel sumber. Artikel ini dimuat kembali untuk kepentingan edukasi dalam bingkai Rubrik Communication on Media: Prodi Ilmu Komunikasi UII dalam sebaran konten Media Massa.