Tag Archive for: Semiotik

The Silent Treatment: Why Not Speaking is Also Communication

“Saying nothing sometimes says the most,” wrote Emily Dickinson. In this statement, silence is portrayed not as emptiness, but as a powerful force. It can shape the world and express what words often cannot. While the silent treatment is commonly viewed as passive-aggressive or emotionally manipulative, from a communication and semiotic perspective, silence itself is a sign. This article explores how the silent treatment functions not simply as a breakdown in communication, but as a meaningful form of expression, rich with its own signs, codes, and cultural interpretations.

In semiotics, everything that conveys meaning is considered a sign, including silence. According to semiotic theory, a sign consists of two components: the signifier (the form the sign takes) and the signified (the concept it represents). When it comes to silence, the signifier might be the absence of speech, reflecting disapproval, anger, or anxiety.

The signified, in turn, could be the emotional response to someone’s actions, such as feeling hurt or upset. Silence doesn’t mean “nothing”; like spoken language, it is interpreted within a specific context, carrying layered meanings that can be just as powerful as words.

The cultural context of silence differs from one society to another, as it is shaped by previously learned social codes. In some cultures, silence can be a sign of respect, especially toward elders or authority figures. In others, it may be interpreted as avoidance, rejection, or even punishment. However, in the context of relationships—particularly intimate ones—silence is often seen as a form of emotional punishment or a means of self-protection. Its meaning shifts depending on the cultural and interpersonal framework in which it occurs.

 The Psychological Impact and Intent Behind the Silent Treatment

The silent treatment can have a significant impact, often more than people realize. While it does communicate a message, it frequently causes confusion, emotional distress, or even self-harm in the person on the receiving end. It places a heavy burden on the receiver, who is left to interpret the silence without context, often leading to anxiety or misunderstanding. Sometimes, the silent treatment is used as a defensive mechanism, but it may be perceived as an act of aggression. For this reason, open and direct communication is usually a healthier and more constructive alternative.

Silence may be wordless, but it is never meaningless. As seen through semiotics and cultural contexts, the silent treatment communicates powerful emotions and intentions. While it can serve as a form of expression, it often leads to misunderstanding and emotional harm. Choosing clear, direct communication is a more mindful path toward connection and understanding.

References

contributors, W. (2025, April 8). wikipedia. Retrieved from silent treatment : https://en.wikipedia.org/wiki/Silent_treatment

Golden, B. (2022, september 11). It’s not the same as healthy disengagement. Retrieved from Psychology Today: https://www.psychologytoday.com/us/blog/overcoming-destructive-anger/202209/why-the-silent-treatment-is-such-destructive-form-passive

 

Written by: Thrya Abdulraheem Motea Al-aqab

Edited by: Meigitaria Sanita

Visiting Professor

Workshop bertajuk Writing for International Semiotic Journals menjadi penanda dimulainya perjalanan Magister Ilmu Komunikasi (MIKOM) UII. Mengundang Prof. Kristian Bankov pada visiting professor perdana, workshop ini adalah rangkaian soft launching yang digelar pada 15 Februari 2025.

Dalam sesi ini Prof. Kristian Bankov membicarakan berbagai kiat-kiat dalam menulis riset yang ditujukan untuk publikasi di jurnal internasional. Topik riset yang dibahas fokus terhadap kajian semiotik sesuai kepakarannya.

Kristian Bankov tercatat sebagai profesor dari Southeast European Center for Semiotic Studies, New Bulgarian University. Ia menyebut jika memahami konteks secara menyeluruh menjadi hal utama yang mendukung pengembangan riset semiotik.

“Understanding the context the big turning point in the development of this large language model (your project) to discover this attention makes it easy in this is very semiotics project,” ungkap Prof. Bankov saat membuka workshop.

Kelihaian dalam menulis paper tidak bisa didapatkan secara instan, meski demikian menulis dan riset adalah hal fundamental bagi program master. Sehingga kolaborasi skala internasional bisa menjadi pendukung yang tepat.

Workshop

Visiting Professor Perdana di Program MIKOM UII. Foto: Lab Ilmu Komunikasi UII

Resume Workshop

  1. Penulisan akademis sangat penting bagi mahasiswa pascasarjana, dan pengalaman diperoleh melalui praktik, kolaborasi, dan keterlibatan kritis.
  2. Mengembangkan tesis yang jelas, menggunakan sumber-sumber yang dapat diandalkan, dan mempertahankan ketelitian akademis merupakan hal yang mendasar.
  3. Peran AI dalam meningkatkan kemampuan menulis, tetapi tidak menggantikan proses kreatif, diakui.
  4. Pentingnya memilih jurnal yang tepat berdasarkan profil dan fokusnya.

Aturan Dasar untuk Menulis Paper Akademik yang Baik

  1. Tentukan pertanyaan penelitian atau pernyataan tesis
  2. Lakukan melalui penelitian
  3. Kembangkan struktur yang logis
  4. Menjaga ketelitian dan objektivitas akademik
  5. Gunakan kutipan dan referensi yang tepat

Tentukan Pertanyaan Penelitian atau Pernyataan Tesis

  1. Pilihlah topik yang jelas, terfokus, dan dapat diteliti
  2. Rumuskan pernyataan tesis yang kuat yang mengekspresikan argumen utama atau tujuan riset
  3. Pastikan pertanyaan penelitian orisinil, penting, dan dapat dijawab dengan ruang lingkup makalah

Menjaga Ketelitian dan Objektivitas Akademik

  1. Gunakan bahasa yang formal, jelas, dan tepat
  2. Hindari klaim yang terlalu subjektif kecuali secara eksplisit diperlukan
  3. Dukung argumen dengan bukti yang kredibel, bukan opini pribadi
  4. Mengakui argumen tandingan dan mengatasinya secara logis

Di sesi terakhir Prof. Kristian Bankov mengajak para peserta untuk berfikir realistis, tak masalah memiliki ide yang cemerlang namun mengelola ekspektasi perlu menjadi perhatian.

“I mean you think you discovered something great and this is very good. It’s the beginning but very often your enthusiasm meets the reality the real world is that there are so many writing about this topic or that you are not consistent enough in identifying the research potential of this topic lack of experience goes to the gap between expectations and how selfconfidence and reality,” tegasnya.

Workshop sekaligus soft launching MIKOM UII dihadiri oleh kolega dari berbagai universitas antara lain Universitas Gadjah Mada, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, UPN Veteran Yogyakarta, Universitas Muhamadiyah Yogyakarta, hingga Universitas Pakuan.

Sebelumnya, salah satu dosen MIKOM UII Muzayin Nazaruddin S.Sos., MA., Ph.D juga turut mengisi sesi workshop dengan berbagi topik-topik disertasi di Tartu University, Estonia yang mengambil kajian semiotic kebencanaan.

Lomba

Salah satu mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi UII, Nandita Faiza meraih juara 2 dalam kompetisi Qiroatus Syi’ir tingkat nasional pada bulan Juni 2024.

Mahasiswa International Programme (IP) angkatan 2022 tersebut berkesempatan mengikuti kompetisi bertajuk Gelanggang Kreasi Dunia Arab Berprestasi (GRADASI) yang dihelat oleh UIN Sunan Gunung Djati Bandung.

Kompetisi yang dihelat selama empat hari sejak 10 Juni hingga 13 Juni 2024 itu bertujuan untuk menggali, mengembangkan, dan mengapresiasi bakat dan kemampuan mahasiswa dalam berbagai bidang yang berkaitan dengan bahasa dan budaya Arab berskala nasional.

Qiroatus Syi’ir merupakan lomba puisi bahasa Arab yang masuk kategori seni dan sastra. Diikuti oleh 43 peserta dari berbagai provinsi membuat kompetisi semakin ketat. Meski awalnya sempat ragu, Nandita akhirnya mampu meraih juara 2.

“Lomba Qiroatus Syi’ir atau bisa dibilang Lomba Membaca Syi’ir Arab yang saya ikuti ini merupakan salah satu cabang lomba seni, meskipun begitu, kompetisi yang saya rasakan di sini amat terasa, terlihat dari semangat masing-masing peserta yang hadir dari berbagai daerah. Menurut saya, keberhasilan saya pada lomba ini tidak luput dari ilmu yang saya dapatkan sebagai mahasiswa Ilmu Komunikasi sekaligus santri dari Pondok Pesantren UII,” ujar Nandita.

Salah satu faktor paling penting dalam lomba Qiroatus Syi’ir ini adalah bagaimana menyampaikan makna dalam teks dengan ekspresi yang meyakinkan.

“Saya belajar bagaimana caranya supaya saya dapat menyampaikan makna yang terkandung dalam syi’ir melalui ekspresi, mimik, nada bicara dan gaya yang saya miliki sehingga berhasil menyentuh hati,” tambahnya.

Mahasiswa Ilmu Komunikasi Ikut Lomba Qiroatus Syi’ir?

Praktisnya, mahasiswa Ilmu Komunikasi memang fokus belajar soal media, jurnalisme, dan PR. Lantas apakah kompetisi ini relate dengan bidang ilmu yang dipelajari?

Nandita mengakui jika ini menjadi tantangan bagi dirinya, selain fokus dengan ekspresi dalam pembacaan teks ia menyadari bahwa itu bukanlah satu-satunya penentu keberhasilan.

“Para pendengar dan pemirsanya, termasuk dewan juri, panitia, dan juga semua hadirin yang ada di tempat yang bisa jadi tidak semua dari mereka memahami makna bahasa yang saya ucapkan,” ujarnya lagi.

Menjadi mahasiswa Ilmu Komunikasi, salah satu mata kuliah yang membawanya mengubah cara berfikir dalam membaca teks adalah tentang ilmu semiotik. Ilmu ini mempelajari mitos dan metafora termasuk tanda, kode, dan makna.

Sehingga hal-hal detail cukup menjadi perhatian bagi Nandita, termasuk kostum yang ia kenakan dalam kompetisi tersebut.

“Pada saat persiapan, saya fokus pada beberapa aspek mulai dari pelafalan, kelancaran, hingga pakaian yang saya gunakan nanti sehingga dapat menggambarkan apa yang terkandung dalam isi Syi’ir yang saya bawa, mungkin terlihat sepele tapi ternyata untuk sampai bisa memikirkan hal sedetail itu perlu yang namanya ilmu dan saya merasa bisa sampai di titik yang memikirkan hal itu setelah mempelajari ilmu semiotik yang saya dapatkan pelajarannya di Ilmu Komunikasi, yang kemudian mengubah pandangan saya dan membuat saya lebih kritis dalam memaknai setiap hal yang saya lihat,” tandasnya.

Semangka

Seruan membela Palestina atas tindak kejahatan kemanusiaan oleh Israel yang terjadi di sepanjang jalur Gaza terus menggema. Seruan ini diekspresikan lewat ilustrasi buah semangka yang menjadi simbol Palestina tak henti-hentinya menghiasi media sosial.

Media sosial menjadi ruang ekspresi dan advokasi yang dilakukan oleh berbagai pihak di Indonesia untuk mendukung pembebasan Palestina. Tak hanya itu, baru saja Aksi Damai Bela Palestina digelar di Monumen Nasional (Monas) pada Minggu, 5 November 2023.

Ilustrasi buah semangka menjadi properti yang melengkapi aksi damai dari pagi hingga siang. Mulai dari masyarakat, influencer, hingga publik figur turun ke jalan dengan mengibarkan poster ilustrasi buah semangka.

Deretan petinggi negeri turut hadir, seperti Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, hingga Muhadjir Effendi selaku Menko PMK turut hadir dalam gelaran aksi damai tersebut. Secara tegas Indonesia mendeklarasikan dukungan pembebasan Palestina.

“Atas nama pemerintah Indonesia, kami ingin menegaskan kembali dukungan Indonesia pada perjuangan bangsa Palestina,” ujar Menlu Retno Marsudi, dikutip pada laman Kompas.com.

Senada dengan Menlu, Yaqut Cholil Qoumas menegaskan jika membela Palestiana adalah bentuk membela kemanusiaan.

“Posisi Indonesia jelas. Kita akan berdiri bersama Palestina. Membela rakyat Palestina adalah membela kemanusiaan,” ujarnya dikutip dalam laman resmi Kemenag RI.

Sejak 7 Oktober 2023, Hamas atau Harrakat al-Muqawwamatul Islamiyah memulai gerakan sebagai tanda eskalasi antara Palestina dan Israel sejak keterlibatan perang pada tahun 2021 yang berlangsung selama 11 hari. Gerakan yang dilakukan Hamas merupakan bentuk respon atas kekejaman Israel selama beberapa tahun terakhir.

Berdasarkan update terkini (6 November 2023) dilansir dari laman Aljazeera, korban tewas di jalur Gaza terus meningkat setidaknya 9.770 warga Palestina meninggal dalam serangan Israel dan 1.400 orang Israel tewas atas serangan Hamas sejak 7 Oktober lalu.

Makna dan Sejarah Buah Semangka untuk Palestina

Mengulik sejarah tentang simbol buah semangka yang digunakan untuk menyerukan pembelaan terhadap Palestina dari tragedi kemanusiaan sebenarnya telah terjadi sejak 1967. Mengutip dari laman media Time, hal ini dilakukan perang enam hari pasca Israel menguasai jalur Gaza.

Di tahun 2023, kejadian berulang pada bulan Januari Menteri Keamanan Nasional Israel Itamar Ben-Gvir memberikan perintah kepada polisi untuk menyita bendera Palestina. Disusul pemungutan suara atas rancangan undang-undang yang melarang orang-orang mengibarkan bendera Palestina di kantor pemerintahan termasuk universitas pada bulan Juni lalu.

Berdasarkan penuturan dosen Prodi Ilmu Komunikasi UII, Muzayin Nazaruddin, S.Sos., MA yang mengkaji lebih dalam terkait ilmu semiotik dan komunikasi, buah semangka dipilih karena memiliki nilai historis. Tak hanya itu, pada tahun 1967 pihak Israel juga melarang pengibaran bendera Palestina. Mereka menganggap mengibarkan bendera Palestina di ruang publik adalah tindakan kriminal.

“Semangka (dan sendok) adalah simbol perlawanan Palestina. Tentu, keduanya punya kisah historis masing-masing mengapa menjadi simbol perlawanan Palestina. Semangka menjadi simbol perlawanan sejak 1960-an ketika Perang Enam Hari 1967 terjadi dan Israel melarang pengibaran bendera Palestina karena dikhawatirkan bisa mengobarkan semangat nasionalisme Arab-Palestina,” tuturnya.

Tak sekedar warna buah semangka yang mewakili bendera Palestina, buah ini ternyata juga berkaitan dengan aspek kedaulatan pangan. Semangka merupakan varietas yang tumbuh subur di Palestina. Mengutip dari Tempo, selama masa Intifada tahun 1987-1993, Israel melarang petani Palestina menanam semangka yang dikenal dengan Jadu’i. hal ini dilakukan demi menekan pemberontakan mengingat sumber perekonomian terbesar dari bidang pertanian.

“Semangka dipilih karena kesamaan warna dengan bendera Palestina. Tentu saja, pilihan itu historis dan kontekstual, warga Palestina memilih semangka karena memang buah itu tumbuh subur di negara mereka. Kebetulan semangka, ketika dibelah, memiliki paduan warna yang sama dengan bendera negara Palestina,” tambah Muzayin.

Kampanye Semangka di Media Sosial

Saat ini ilustrasi semangka telah menjadi bagian dari kampanye di berbagai media, termasuk media sosial hingga media masa. Beberapa laman berita online nasional seperti Republika dan Detik dengan lugas menyisipkan ilustrasi semangka pada logo portalnya.

Begitupun dengan para influencer di tanah air yang terus menerus menerus membagikan ilustrasi dan emoticon semangka di akun media sosialnya untuk sebagai bentuk advokasi pembebasan Palestina.

Meski di Indonesia sebenarnya tak ada larangan mengunggah bendera Palestina, simbol semangka digunakan untuk menghindari sensor dunia maya.

“Dalam invasi Israel di tahun 2023 ini, semangka kembali menjadi simbol yang populer karena bisa menghindari sensor ‘dunia maya’. Yang menarik adalah ketika penggunaan simbol semangka itu mengglobal, orang dari berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia, menggunakan semangka sebagai bentuk dukungan dan simpati mereka pada penduduk Palestina. Bukankah mereka, yang di luar Palestina, bisa dengan bebas mengibarkan bendera Palestina ketika berunjuk rasa? Mengapa mereka memilih semangka?,” ujarnya.

Secara umum, menyerukan aksi dengan mengibarkan bendera saat berdemonstrasi atau melakukan berbagai gerakan perlawanan adalah pilihan yang tampak gagah dan patriotik. Bendera dikibarkan dengan gagah, dengan semangat kuat membela bendera itu sendiri.

Namun, lebih dari itu semangka adalah pilihan yang berbeda. Jika bendera hanya menunjukkan perang antara negara, semangka adalah tentang kejahatan kemanusiaan.

“Sementara, pilihan semangka menunjukkan hal yang sangat berbeda. Yang terjadi bukanlah perang dua negara, “dua bendera”, yang sama-sama kuat, yang sama-sama mengibarkan bendera dengan gagah, yang memperjuangkan klaimnya masing-masing. Yang terjadi adalah “kejahatan kemanusiaan” dari satu negara yang mengibarkan bendera mereka dengan pongah, terhadap negara lain yang bahkan untuk mengibarkan bendera mereka pun tidak boleh,” jelasnya.

Dengan mengkampanyekan ilustrasi ini, masyarakat global diingatkan untuk terus membuka mata betapa pilu dan terkoyaknya kondisi Palestina saat ini.

“Semangka adalah simbol perlawanan yang ‘pilu’ dan ‘terkoyak’. Ketika masyarakat global memilih simbol itu, kita sebenarnya tengah mendefinisikan apa yang tengah terjadi, kemanusiaan yang tercabik dan kepiluan karena ketidakmampuan, bahkan warga global sekalipun, untuk segera menghentikan itu,” tandasnya.

Media sebagai ruang ekspresi dan advokasi pembebasan untuk Palestina. Secara tidak langsung masyarakat global yang memposting ilustrasi semangka di media sosial secara berulang telah melakukan propaganda untuk membela mereka yang tertindas.

Bagaimana dengan dirimu Comms, sudahkah turut mengkampanyekan semangka di media sosial sebagai bentuk aksi kemanusiaan?

 

Penulis: Meigitaria Sanita