Tag Archive for: Palestina

Ramadan in Palestina

Ramadan is a time of reflection, prayer, and gratitude—a month where families gather around the iftar table, breaking their fast with warmth and love. But in Gaza, Ramadan is totally different from what it should be . It is a month where the call to prayer is often drowned out by the sound of airstrikes, where families don’t know if they will live to see another sunset, and where the simple act of breaking fast is a struggle for survival.

On March 18, 2025, Israeli airstrikes struck Gaza, ending a two-month ceasefire that had given people a fragile hope for stability. The attacks claimed the lives of over 400 people, including children, turning it into a Ramadan that no human being deserves to go through.

A Ramadan of Loss and Fear

Imagine sitting with your family at suhoor, not knowing if this will be your last meal together. In Gaza, this fear is a daily reality. Families are torn apart in an instant, and the streets that once carried the laughter of children are now lined with grief. Children who should be spending Ramadan in the comfort of their homes are instead searching for shelter, their eyes reflecting a pain far beyond their years. Parents who should be providing for their loved ones are forced to beg for food, struggling to secure even a sip of clean water. The most necessities—food, water, medicine—have become luxuries.

Fasting on Empty Stomachs

For most of the world, fasting during Ramadan is a spiritual test, broken with a fulfilling meal at sunset. But for Palestinians in Gaza, fasting continues long after maghrib. There is no feast waiting for them—only scraps of whatever aid reaches them, if any at all. Some break their fast with nothing more than a sip of water, while others have nothing at all. This is not just hunger; this is forced starvation. The world watches as an entire population is denied the right to eat, to drink, to live.

Nowhere to Call Home

A home is more than just a shelter; it is a place of belonging, of safety, of love. But in Gaza, homes are destroyed as if they were never meant to exist. Families who once had a place to pray, to eat, to rest, now live in the open, exposed to the harsh cold of night and the unrelenting sun of the day.

What does Ramadan mean when there is no home to gather in? When there is no family left to sit beside? When every night could be the last?

Faith That Cannot Be Broken

Despite everything, the people of Gaza hold onto their faith with unshakable strength. Even as the world turns a blind eye, they continue to pray. Even as they lose everything, they hold onto hope. Their belief remains strong, their resilience unmatched.

These struggles is based on one of the experience and conditions of Palestinians, as shared by Esraa Abo Qamar on Aljazeera . Their pain is real, their struggles unimaginable ,yet their faith endures.

This Ramadan, while we sit in our homes, surrounded by family, with tables full of food, let us remember that what we have is a privilege. Let us not take for granted the things that millions in Gaza only dream of.We must speak up. We must pray. We must spread the truth. The people of Gaza do not need just our sympathy; they need action. They need the world to see their suffering, to demand justice, to ensure that no one has to endure another Ramadan like this.

To our brothers and sisters in Gaza: you are not forgotten. Your pain is seen, your voices are heard, and your strength is admired. May this Ramadan bring you ease, and may the world finally wake up to your struggle.

 

References:

https://www.aljazeera.com/opinions/2025/3/1/ramadan-in-gaza-ruins-and-unshakable-faith

https://www.middleeasteye.net/news/18-march-2025-day-183-children-gaza-were-massacred-israel

https://www.middleeasteye.net/news/west-bank-displaced-palestinians-face-ramadan-humiliation-and-uncertainty

Written by: Thrya Abdulraheem Motea Al-aqab

Edited by: Meigitaria Sanita

Palestina

Umat muslim di seluruh dunia tengah bersuka cita menyambut bulan suci Ramadan, banyak perayaan dilakukan hingga menulis daftar makanan yang akan disantap untuk membatalkan puasa saat adzan maghrib berkumandang. Namun bagaimana dengan kondisi masyarakat Palestina, selain menahan rasa lapar tentu mereka berada dalam bayang-bayang bom yang diledakkan tantara Israel secara tiba-tiba.

Pilunya Ramadan tak terjadi pada tahun 2024 saja, menurut data yang dihimpun oleh Kompas jumlah korban luka dan meninggal masyarakat Palestina saat bulan Ramadan dari tahun 2019 hingga 2023 mencapai 6.891 yang terdiri 31 korban meninggal dan sisanya luka-luka. (Lokasi mencakup Tepi Barat dan jalur Gaza)

Masyarakat Palestina telah memulai ibadah puasa Ramadan pada 11 Maret, namun gencatan senjata yang dilakukan Israel tak ada tanda-tanda untuk berhenti. Selain itu kelaparan menjadi kondisi yang tak terelakan.

Menurut dosen Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia, Dr. Herman Felani, S.S., M.A., menyebut kondisi darurat berdampak besar terhadap anak-anak dan bayi yang baru lahir.

“Laporan UNICEF menunjukkan memang anak-anak Palestina terutama yang sangat terdampak dari agresi penjajah Israel. Lebih dari 13 ribu anak anak Palestina syahid karena agresi penjajah Israel dan 2 dari 3 anak Palestina mengalami malnutrisi dan kelaparan. Bahkan, bayi-bayi sudah tidak mampu lagi menangis karena tidak punya energi,” ujarnya.

Berdasarkan kondisi yang dilaporkan oleh AP News, salat dilakukan di tengah puing-puing bangunan yang hancur. Meski demikan ada perayaan yang cukup pilu, di tenda-tenda yang sesak Nampak lampu-lampu digantung sebagai dekorasi. Tak hanya itu Gedung sekolah yang menjadi penampungan disulap menjadi venue pertunjukan anak-anak untuk merayakan Ramadan, mereka menari dan menyemprotkan busa, sementara yang lainnya menyanyai.

Sebanyak 30.000 masyarakat Palestina meninggal selama lima bulan terakhir atas tragedi genosida ini. Sementara kondisi semkain sulit karena tidak tersedianya makanan. Bantuan makanan kaleng sangat sedikit, jika membeli harganya tak mampu dijangkau.

“Anda tidak melihat seorang pun dengan kegembiraan di mata mereka,” kata Sabah al-Hendi, yang berbelanja makanan pada Ahad di kota Rafah, bagian selatan. “Setiap keluarga sedih. Setiap keluarga memiliki seorang martir.” Ujarnya dikutip dari AP News.

Seorang martir adalah seseoramg yang sangat berani dan rela berjuang hingga mati demi membela iman kepercayaanya.

Dari upaya berbagai negara yang mendesak untuk menyudahi kejahatan manusia tersebut menjelang hari raya, Perdana Menteri Israel yakni Benjamin Netanyahu tetap bersumpah untuk melanjutkan serangan hingga mencapai kemenangan total. Bahkan pada awal Ramadan pemimpin Hamas telah dibunuh dan terus menargetkan pembunuhan lainnya.

“Tiga, dua, dan satu sedang dalam perjalanan. Mereka semua adalah orang yang sudah mati. Kami akan menjangkau mereka semua,” tambahnya.

Jika Ramadan Tidak Dibawah Genosida

Eman Alhaj Ali, seorang jurnalis yang tinggal di Gaza dalam laman Aljazeera menuliskan kisah Ramadan di Palestina. Jika kali ini ibadah dipenuhi rasa haru dan duka, mereka merindukan momen-momen hangat tanpa gencatan senjata.

Masyarakat Palestina akan menyambut bulan ramadan dengan belanja beberapa minggu sebelumnya. Tempat favorit adalah Kota Tua dan Al Zawiya sebuah pasar tradisional. Mereka akan membeli makanan khas Ramadan acar asam, kurma terbaik, buah zaitun yang lezat, rempah-rempah yang memenuhi udara dengan aromanya, timi, pasta aprikot kering untuk membuat minuman qamar al-din, buah-buahan kering, dan berbagai jenis jus, dengan khoroub (carob) yang paling populer.

Sama halnya dengan masyarakat Indonesia, Eman menyebut jika mereka akan membeli baju baru dan mukena yang tengah tren di pasaran. Di rumah-rumah akan ada dekorasi dengan tulisan “hallou ya hallou, Ramadan Kareem ya hallou” yang artinya “sayang, sayang, Ramadan Kareem, sayang”.

Malam-malam Ramadan akan begitu menyenangkan anak-anak ramai bermain di jalan setelah salat tarawih dan menyalakan kembang api. Sementara keluarga besar akan berkumpul di rumah untuk menonton tayangan spesial Ramadan. Mereka juga akan mengisi waktu dengan banyak beribadah di siang hari, anak-anak dan orang dewasa melakukan hafalan, kakek dan nenek menceritakan kisah nabi kepada anak cucunya, dan ramai-ramai ke masjid untuk membaca ayat Al’Quran.

Menjelang buka puasa, berbagai hidangan disajikan ada yang memasak maqlouba (hidangan daging dengan nasi dan sayuran), ada pula yang memasak musakhan (hidangan ayam), dan ada pula yang memasak mulukhiya (sup). Selanjutnya mereka akan saling berbagi makanan dengan para tetangga. Tak lupa para ibu menyiapkan qatayf, makanan penutup populer yang hanya dibuat selama bulan suci.

Tapi apa yang terjadi saat ini, masyarakat Palestina semakin terpuruk. Meski mereka tengah khidmat beribadah tak ada tanda penghentian genosida. Ditambah negara-negara besar tak berbuat banyak atas hal ini.

“Meskipun PBB dan lembaga dunia lainnya mendesak Israel untuk melakukan gencatan senjata, Israel tetap akan melancarkan serangan ke Gaza dan bahkan ke wilayah Rafah yang merupakan kantong pengungsi sipil Palestina.  Negara-negara besar seperti Amerika dan Inggris bermain di dua kaki dengan mendorong gencatan senjata tapi juga menyediakan senjata untuk Israel. Harapan hanya ada jika semua negara betul-betul bersatu atas nama kemanusiaan memberi sanksi pada Israel secara politik, ekonomi dan diplomasi,” tandas Dr. Herman Felani, S.S., M.A.

 

Penulis: Meigitaria Sanita

Milad UII

Usia ke-81 Universitas Islam Indonesia (UII) dirayakan dengan euforia yang berbeda. Ada pita putih yang disematkan pada lengan kanan para anggota senat saat menghadiri Rapat Terbuka Senat. Pita putih adalah simbol kedukaan, keprihatinan, dan kesedihan.

Rektor UII, Prof. Fathul Wahid, ST., M.Sc., Ph.D., membukanya dengan laporan pencapaian dan prestasi sepanjang tahun 2023. Idealnya milad disambut dengan penuh kebahagiaan dan suka cita, namun dunia akademik tak boleh menutup mata terkait kondisi krisis yang tengah terjadi.

UII mengajak seluruh elemen untuk merespons duka demokrasi yang mengiringi Pemilu 2024. Prof. Fathul Wahid menyebut bahwa kondisi ini butuh respons dari berbagai pihak agar suara rakyat tak digantikan kepentingan kelompok.

“Perkembangan praktik berbangsa dan bernegara dalam beberapa saat terakhir perlu mendapatkan perhatian banyak elemen bangsa. Praktik tersebut telah secara perlahan meminggirkan suara rakyat dan digantikan kepentingan kelompok dan oligard tertentu. Itulah mengapa hari ini anggota senat menggunakan pita putih sebagai tanda duka. UII baik sendiri maupun bersama-sama perguruan tinggi lain juga menjaga sensitivitasnya terhadap masalah bangsa dan menyatakan sikapnya. Sepanjang 2023 UII mengeluarkan sejumlah pernyataan sikap yang diamplifikasi oleh banyak media masa,” jelasnya.

Tak hanya pita putih, pihaknya juga menunjukkan kepedulian terhadap masyarakat Palestina yang tengah menghadapi kejahatan manusia atas serangan Israel. Ada yang menarik, sejenak Prof. Fathul meminta izin kepada audiens untuk mengambil keffiyeh yang diidentikkan simbol perlawanan warga Palestina.

Ribuan nyawa melayang didominasi perempuan dan anak-anak atas agresi Israel. Melalui program UIIPeduli penggalangan dana terkumpul sebanyak Rp 515.439.544.

“UII juga mengawal inisiatif UIIPeduli yang memberikan bantuan kemanusiaan saat bencana melanda. Pada 7 November tahun lalu bantuan UIIPeduli sejumlah 500 juta untuk Palestina diberikan melalui Medical Emergency Rescue Comitee. Selama agresi Israel di Gaza sejak 7 Oktober 2023 sebanyak lebih dari 28 ribu nyawa melayang sebagian besar korban yang meninggal adalah anak-anak dan perempuan. Kita tidak tahu sampai kapan agresi ini berlangsung ketika dunia negara-negara besar menunjukkan hipokrisinya. Hari ini saya sengaja memakai keffiyeh Palestina untuk menunjukkan kepedulian kepada penduduk Gaza,” ujarnya lagi.

Makna Pita Putih dalam Konteks Politik di Indonesia

Lebih detail simbol pita putih dijelaskan oleh salah satu anggota senat sekaligus guru besar Ilmu Komunikasi UII yakni Prof. Dr. rer. soc. Masduki, S.Ag., M.Si., MA. Pita putih adalah bentuk dan upaya untuk melakukan kampanye damai di tengah pesta politik di Indonesia.

Sejatinya demokrasi dilakukan dengan ketulusan tanpa ada represi dan intervensi. Tentu hal ini mengarah dari berbagai fenomena yang mengiringi perjalanan Pemilu 2024 yang begitu serampangan.

“Putih bisa dimaknai dua hal. Pertama putih sebagai kampanye damai atau peace. Bagaimana kita menyampaikan pesan bahwa seharusnya pilpres atau demokrasi di Indonesia secara umum diwarnai dengan ketulusan kedamaian hati jiwa dan juga cara-cara yang damai tidak ada intervensi, tekanan represi, tidak ada upaya-upaya untuk manipulasi semua berangkat dari keinginan tulus bahwa kita ingin negara ini kokoh sebagai negara demokratis yang itu merupakan amanat Reformasi 98 jadi putih bisa bermakna demikian,” ujarnya.

Selanjutnya adalah makna duka dalam konteks demokrasi demi melanggengkan dinasti politik segala cara dikerahkan hingga memaksimalkan fasilitas negara sebagai pendukung untuk meyakinkan masyarakat. Fenomena saat ini, negarawan yang seharusnya memberikan sikap bijaksana justru semakin tak beretika.

“Yang kedua tentu simbolis kedukaan yang lebih utama dirasakan hari-hari ini. Biasanya kalau ada orang meninggal itu ada bendera putih, yang artinya kita kehilangan, kita sedang tidak berada dalam situasi yang normal kita sedang merefleksikan kondisi yang sangat menyedihkan. Kematian adalah sutu peristiwa yang menimbulkan duka mendalam yang digambarkan dengan warna putih itu. Terhadap apa? Terhadap proses-proses pemilu yang hari ini tidak menunjukkan etika publik terutama dari kepala negara presiden. Mungkin ini peristiwa yang hanya sekali terjadi dalam sejarah kita,” jelas Prof. Masduki.

UII sebagai institusi pendidikan memiliki tanggung jawab untuk membela rakyat dan melakukan perlawanan. Cara ini dilakukan melalui perlawanan damai, harapannya simbol ini mampu dicerna dandipahami oleh pemegang otoritas politik negeri ini.

“Apa makna lain yang dilakukan guru besar kemarin, dan anggota senat UII ketika ada acara puncak milad bahwa ini bentuk perlawanan secara damai. Perlawanan simbolis, dengan menggunakan pita putih di lengan kanan masing-masing anggota senat khususnya guru besar menunjukkan kita tidak happy, tidak seperti biasanya. Kita tidak merasa bahwa ini normal simbol putih itu satu perlawanan satu isyarat yang mudah-mudahan bisa dicerna oleh pemegang otoritas politik terutama kalau hatinya jernih. Dan ini juga pertama kali dilakukan di UII, ini kreativitas Pak Rektor kita yang perlu kita apresiasi,” pungkasnya.

 

Penulis: Meigitaria Sanita

 

Milad UII

Universitas Islam Indonesia (UII) sebagai universitas swasta tertua di Indonesia tahun ini memasuki usia ke-81 tepat pada 9 Februari 2024. Perayaan ini disampaikan pada Rapat Terbuka Senat UII Senin, 12 Februari 2024.

Pada kesempatan tersebut Rektor UII yakni Prof. Fathul Wahid, ST., M.Sc., Ph.D., menyampaikan berbagai laporan perkembangan UII sepanjang tahun 2023 serta mengumumkan momentum Milad ke-81 UII yang bertajuk Dedikasi untuk Negeri. Tema tersebut diambil sebagai pengingat dan komitmen bagi seluruh sivitas akademika UII untuk selalu berkomitmen kuat dalam menjalankan peran UII sebagai perguruan tinggi yang unggul untuk para cendekiawan dan calon pemimpin bangsa di masa depan.

Tak hanya capaian dan komitmennya, UII juga memberikan berbagai penghargaan kepada dosen, tenaga pendidik, serta Program Studi dan Jurusan pada puncak acara. Salah satu dosen Prodi Ilmu Komunikasi UII yakni Iwan Awaluddin Yusuf, S.IP., M.Si., Ph.D., meraih juara ke-2 dosen berprestasi bidang Sosial Humaniora.

Di tengah kesibukannya sebagai Kaprodi Ilmu Komunikasi UII, ia menyebut bahwa capaian ini menjadi motivasi untuk tetap produktif di tengah-tengah tumpukan pekerjaan administratif yang menjadi tanggung jawabnya.

“Tentang pencapaian saya sebagai dosen berprestasi kedua bidang sosial humaniora ini adalah bentuk pencapaian bersama untuk prodi Ilmu Komunikasi sekaligus saya berharap mudah-mudahan prestasi ini menjadikan saya lebih produktif dan meyakinkan banyak pihak bahwa di tengah jabatan dan amanat yang sangat sibuk ini kita tetap bisa produktif. Hal tidak mudah, Alhamdulillah bisa,” ungkap Kaprodi Ilmu Komunikasi UII.

Di tengah euforia Milad UII ke-81 tersebut ada sisi yang berbeda, usai menyampaikan rasa syukurnya Kaprodi Ilmu Komunikasi juga mengutarakan pelaksanaan Sidang Senat Terbuka UII yang memberikan respons terhadap situasi Indonesia dan dunia yang tak baik-baik saja.

Hal ini juga ditunjukkan dengan simbol pita putih di lengan kanan yang digunakan oleh seluruh anggota senat. Pita putih adalah simbol duka demokrasi Indonesia serta duka yang dialami dunia terutama kejahatan kemanusiaan yang terjadi di Palestina.

“Sidang Senat UII dalam rangka Milad ke-81, UII menunjukkan sisi yang berbeda dari biasanya karena ada ekspresi keprihatinan terkait beragam situasi yang pertama situasi politik di Indonesia yang tidak demokratis berkaitan dengan kondisi menjelang pemilu.

Respons ini penting dilakukan dan membutuhkan perhatian dari berbagai elemen bangsa. Duka demokrasi di Indonesia adalah praktik yang tak bisa dianggap sederhana karena perlahan telah meminggirkan suara rakyat.

Terkait kondisi agresi Israel di Gaza, melalui berbagai program tengah diupayakan oleh UII. Ini adalah bentuk respon, kepedulian, serta inistiatif mengajak semua pihak untuk tidak tutup mata atas situasi yang terjadi di sekitar kita.”

“Kemudian yang kedua keprihatinan juga atas kondisi saudara-saudara kita di Palestina ini yang menarik disampaikan oleh Pak Rektor sebagai bentuk keprihatinan jadi ini sekaligus menjadi penanda dunia akademik tidak boleh tutup mata terhadap berbagai situasi di sekitar kita sebagai kepedulian kaum akademik terhadap kondisi lingkungan baik lokal, nasional, maupun global,” tandasnya.

 

Penulis: Meigitaria Sanita

Kaliurang Festival Hub

Palestina digempur habis-habisan dengan tindak kejahatan kemanusiaan oleh Israel, informasi terkini yang dilansir dari laman Aljazeera setidaknya 15.000 warga Palestina tewas sejak tindakan Hamas 7 Oktober lalu. Kabar kematian tak pernah berhenti, setelah serangan berjam-jam di Jenin dua anak laki-laki berusia 15 dan 8 tahun tewas oleh pasukan Israel. (29 November 2023)

Berbagai upaya dilakukan untuk menghentikan penindasan. Salah satu cara yang tengah dilakukan sebagian masayarakat Indonesia melalui boikot produk yang terbukti mengalirkan dana untuk mendukung Israel.

Selain boikot produk, mendukung pembebasan Palestina juga bisa dilakukan lewat film, metode ini digagas oleh Madani Film Festival. Diskusi diperdalam pada gelaran Kaliurang Festival Hub pada 24 November 2023.

Diawali dengan pemutaran film R21 di Gedung RAV Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII), isu mengalir menjadi topik yang penuh simpati. Diskusi bertajuk “From the River to the See, Solidarity Screening for Palestine” itu dipandu Dian Dwi Anisa Dosen Ilmu Komunikasi UII menggaet Sugar Nadia Direktur Madani Film Festival serta Zaki Habibi seorang Peneliti Kajian Media & Budaya Visual UII.

Film berjudul R21 atau Restoring Solidarity (2022) adalah film dokumenter tentang Palestina yang dikumpulkan dari arsip 20 film oleh para aktivis Jepang yang mendukung pembebasan Palestina.

R21 berisi perlawanan, kehancuran, hingga jeritan hati masyarakat Palestina atas kejahatan kemanuasiaan yang dilakukan Israel. Bom yang sewaktu-waktu diledakkan meluluh lantahkan bangunan dan menewaskan warga Palestina. Tak hanya orang dewasa, anak-anak turut menjadi korban kejahatan ini.

Untuk membuka mata banyak pihak, film menjadi media menguak fakta atas keperihatinan yang dialami oleh masyarakat Palestina yang dibuktikan dengan arsip film sejak 1948.

Solidaritas untuk Pembebasan Palestina Melalui Film

Inisiatif Madani Film Festival mendukung Palestina melalui salah satu programnya yang diberi nama Fokus Palestina. Pihaknya telah melakukan komunikasi intens dengan sutradara film Palestina yakni Mohanad Yaqubi dan berhasil mengumpulkan film tentang Palestina.

“Kumpulan film Palestina sudah terkumpul, eskalasi konflik makin tinggi. Sulit menjangkau film Palestina,” ujar Sugar Nadia.

Dalam program tersebut ada lima film yang diputar yakni R21, Off Frame AKA Revolution Until Victory, Off Frame, No Exit (2014), dan 200 Meters.

Kaliurang Festival Hub

Film menjadi salah satu cara untuk menghentikan kejahatan kemanusiaan di Palestina

Film R21 dipilih menjadi pembuka karena memiliki kekuatan dalam rekontruksi sejarah berdasarkan ideologi. Melansir dari Tempo, R21 adalah arsip yang terkumpul sejak tahun 1948 hingga 1982. Arsip itu mempertontonkan jika keterpurukan Palestina bukanlah fenomena baru.

“Jika Anda melihat arsip semua film dari tahun 1982 atau film dari tahun 1976 atau bahkan 1946, Anda dapat melihat pada hari ini dari sudut pandang yang berbeda. Kehancuran yang terjadi saat ini bukanlah hal yang asing bagi kita,” ujar Mohanad Yaqubi dilansir dari Tempo.

Selain menayangkan film-film yang terkumpul dalam Fokus Palestina dalam Madani Film Festival 2023, pihaknya juga mengajak komunitas, kolektif, lembaga, dan individu dengan aksi nyata solidaritas pemutaran film dan penggalangan dana “From the River to the Sea”. Informasi selengkapnya dapat diakses melalui akun Instagram @madanifilmfest.

“Kita juga mengajak semua pihak untuk melakukan pemutaran dan menggalang dana untuk solidaritas pembebasan Palestina,” ajak Sugar Nadia.

Dengan program Fokus Palestina, film-film tersebut diputar sebagai kerangka ikatan solidaritas kemanusiaan. Dengan menyaksikannya, publik akan mengetahui “militansi sinematik sebagai media bagi para pembuat film Palestina untuk merebut kembali gambar dan narasi Palestina,” Madani Film Festival.

Selain itu film berjudul 200 Meters merupakan film drama fiksi yang menggambarkan keluarga Palestina dengan mengungkap isu-isu konkret sehari-hari yang dihadapi masyarakat Palestina.

Upaya dan solidaritas ini diharapkan mampu menghentikan perang, kejahatan kemanusiaan yang dialami oleh Palestina. Melalui film yang telah terkumpul tersebut mampu mengungkap realitas di tengah dominasi film Hollywood yang memenangkan pasar Indonesia.

“Sulit [penonton dan akses], di Indonesia didominasi Hollywood, Korea (infiltrasi budaya). Kalau saya enggak jalani Madani juga susah akses dari timur tengah,” tambah Sugar Nadia.

Sementara, Mohanad Yaqubi berharap film tentang Palestina dapat diakses oleh publik secara luas agar dunia tahu tentang penindasan yang telah terjadi selama ratusan tahun.

“Saya pikir itulah sebabnya kami sangat tertarik dengan arsip ini dari sudut pandang itu. Kami juga ingin menyimpan kenangan akan penindasan dan menyebarkan luaskan pada orang yang mengalami hal serupa untuk mengetahui bahwa mereka bukan satu-satunya dan orang pertama yang mengalami penindasan,” kata Mohanad Yaqubi dilansir dari Tempo.

“Anda memandang ibu dan ayah Anda dengan cara yang berbeda dan Anda akan berpikir tentang kakek-nenek Anda dengan cara yang berbeda pula. Pengalaman mereka akan membantu Anda bertahan hidup dengan baik dan itulah yang dibawa oleh arsip, arsip film, arsip musik, arsip budaya,” tambahnya lagi

Sulitnya Akses dan Penyebaran Film dari Palestina

Program Fokus Palestina yang diinisiasi Madani Film Festival seolah menjadi angin segar bagi aktivis yang pro Palestina. Pasalnya, film-film di Palestina sangat sulit diakses karena sempitnya ruang gerak.

Sugar Nadia menuturkan jika tak ada kebebasan berekspresi di Palestina, menyuarakan kebebasan hanya bisa dilakukan dengan cara yang tak terang-terangan misalnya dengan simbol buah semangka. Karena perang tak terkendali seniman bergerak hingga menyebarluaskan film secara gratis.

“Menggunakan gambar semangka ngomongin freedom, karena eskalasi makin besar seniman bergerak, menyebarkan film gratis, bebas tanpa screening fee dan izin,” tutur Sugar Nadia.

Meski disebarluaskan secara bebas dan gratis nyatanya film cukup sulit diakses, hal ini berkaitan dengan kondisi konflik dan perang yang terjadi di Palestina. Untuk memproduksinya dibutuhkan usaha yang begitu besar, bahkan para sineas harus bisa keluar dari Palestina, sementara hal itu sangat rumit dilakukan. Inilah alasan minimnya jumlah film dari Palestina

“Perjuangan menyebarluaskan film-film Palestina sungguh tak mudah. Kesulitan sineas di palestina jarang juga [film diproduksi], mereka sulit memproduksi film dalam kondisis konflik war, struggle beda,” tambah Sugar Nadia.

Bagi sineas Palestina jangankan untuk memproduksi film dan mengembangkan menjadi industri, bahkan negara pun mereka tak punya “We have no film industry, because we have no country” penuturan Zaki Habibi terkait perfilman di tanah konflik itu.

“Mari kita perjuangkan, Indonesia mostly Indonesian Hollywood movie, to get film middle east is difficult. Mayority muslim (Indonesia), kita muslim kenapa tidak mengenal muslim lain. Bagaimana kehidupan muslim, kalau misalnya dibandingkan festival lain, Madani lebih banyak bicara soal humanity, kisahnya akan banyak soal, sedih, perang,” tambahnya.

Zaki Habibi juga sepakat jika, gagasan soal Fokus Palestina menjadi prioritas yang tepat karena festival adalah ruang untuk menyaksikan film-film yang sulit untuk dijangkau. Dengan inisiasi ini, publik dapat mengetahui sejarah lebih dalam soal muslim dan Palestina.

“Kita pengen selalu, datang ke festival untuk menjangkau sesuatu yang sulit dijangkau. Festival menuju waktu momen perjumpaan dengan cerita-cerita lain. Banyak isu yang mengajak kita untuk refleksi, sejarah,” terang Zaki Habibi.

Dengan penuh keyakinan, Madani Film Festival hingga Mohanad Yaqubi selaku sineas yang memproduksi film seputar Palestina percaya jika film mampu menghentikan perang. Dengan arsip-arsip tersebut akan membantu publik memahami konteks konflik yang dialami Palestina.

 

Penulis: Meigitaria Sanita

Semangka

Seruan membela Palestina atas tindak kejahatan kemanusiaan oleh Israel yang terjadi di sepanjang jalur Gaza terus menggema. Seruan ini diekspresikan lewat ilustrasi buah semangka yang menjadi simbol Palestina tak henti-hentinya menghiasi media sosial.

Media sosial menjadi ruang ekspresi dan advokasi yang dilakukan oleh berbagai pihak di Indonesia untuk mendukung pembebasan Palestina. Tak hanya itu, baru saja Aksi Damai Bela Palestina digelar di Monumen Nasional (Monas) pada Minggu, 5 November 2023.

Ilustrasi buah semangka menjadi properti yang melengkapi aksi damai dari pagi hingga siang. Mulai dari masyarakat, influencer, hingga publik figur turun ke jalan dengan mengibarkan poster ilustrasi buah semangka.

Deretan petinggi negeri turut hadir, seperti Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, hingga Muhadjir Effendi selaku Menko PMK turut hadir dalam gelaran aksi damai tersebut. Secara tegas Indonesia mendeklarasikan dukungan pembebasan Palestina.

“Atas nama pemerintah Indonesia, kami ingin menegaskan kembali dukungan Indonesia pada perjuangan bangsa Palestina,” ujar Menlu Retno Marsudi, dikutip pada laman Kompas.com.

Senada dengan Menlu, Yaqut Cholil Qoumas menegaskan jika membela Palestiana adalah bentuk membela kemanusiaan.

“Posisi Indonesia jelas. Kita akan berdiri bersama Palestina. Membela rakyat Palestina adalah membela kemanusiaan,” ujarnya dikutip dalam laman resmi Kemenag RI.

Sejak 7 Oktober 2023, Hamas atau Harrakat al-Muqawwamatul Islamiyah memulai gerakan sebagai tanda eskalasi antara Palestina dan Israel sejak keterlibatan perang pada tahun 2021 yang berlangsung selama 11 hari. Gerakan yang dilakukan Hamas merupakan bentuk respon atas kekejaman Israel selama beberapa tahun terakhir.

Berdasarkan update terkini (6 November 2023) dilansir dari laman Aljazeera, korban tewas di jalur Gaza terus meningkat setidaknya 9.770 warga Palestina meninggal dalam serangan Israel dan 1.400 orang Israel tewas atas serangan Hamas sejak 7 Oktober lalu.

Makna dan Sejarah Buah Semangka untuk Palestina

Mengulik sejarah tentang simbol buah semangka yang digunakan untuk menyerukan pembelaan terhadap Palestina dari tragedi kemanusiaan sebenarnya telah terjadi sejak 1967. Mengutip dari laman media Time, hal ini dilakukan perang enam hari pasca Israel menguasai jalur Gaza.

Di tahun 2023, kejadian berulang pada bulan Januari Menteri Keamanan Nasional Israel Itamar Ben-Gvir memberikan perintah kepada polisi untuk menyita bendera Palestina. Disusul pemungutan suara atas rancangan undang-undang yang melarang orang-orang mengibarkan bendera Palestina di kantor pemerintahan termasuk universitas pada bulan Juni lalu.

Berdasarkan penuturan dosen Prodi Ilmu Komunikasi UII, Muzayin Nazaruddin, S.Sos., MA yang mengkaji lebih dalam terkait ilmu semiotik dan komunikasi, buah semangka dipilih karena memiliki nilai historis. Tak hanya itu, pada tahun 1967 pihak Israel juga melarang pengibaran bendera Palestina. Mereka menganggap mengibarkan bendera Palestina di ruang publik adalah tindakan kriminal.

“Semangka (dan sendok) adalah simbol perlawanan Palestina. Tentu, keduanya punya kisah historis masing-masing mengapa menjadi simbol perlawanan Palestina. Semangka menjadi simbol perlawanan sejak 1960-an ketika Perang Enam Hari 1967 terjadi dan Israel melarang pengibaran bendera Palestina karena dikhawatirkan bisa mengobarkan semangat nasionalisme Arab-Palestina,” tuturnya.

Tak sekedar warna buah semangka yang mewakili bendera Palestina, buah ini ternyata juga berkaitan dengan aspek kedaulatan pangan. Semangka merupakan varietas yang tumbuh subur di Palestina. Mengutip dari Tempo, selama masa Intifada tahun 1987-1993, Israel melarang petani Palestina menanam semangka yang dikenal dengan Jadu’i. hal ini dilakukan demi menekan pemberontakan mengingat sumber perekonomian terbesar dari bidang pertanian.

“Semangka dipilih karena kesamaan warna dengan bendera Palestina. Tentu saja, pilihan itu historis dan kontekstual, warga Palestina memilih semangka karena memang buah itu tumbuh subur di negara mereka. Kebetulan semangka, ketika dibelah, memiliki paduan warna yang sama dengan bendera negara Palestina,” tambah Muzayin.

Kampanye Semangka di Media Sosial

Saat ini ilustrasi semangka telah menjadi bagian dari kampanye di berbagai media, termasuk media sosial hingga media masa. Beberapa laman berita online nasional seperti Republika dan Detik dengan lugas menyisipkan ilustrasi semangka pada logo portalnya.

Begitupun dengan para influencer di tanah air yang terus menerus menerus membagikan ilustrasi dan emoticon semangka di akun media sosialnya untuk sebagai bentuk advokasi pembebasan Palestina.

Meski di Indonesia sebenarnya tak ada larangan mengunggah bendera Palestina, simbol semangka digunakan untuk menghindari sensor dunia maya.

“Dalam invasi Israel di tahun 2023 ini, semangka kembali menjadi simbol yang populer karena bisa menghindari sensor ‘dunia maya’. Yang menarik adalah ketika penggunaan simbol semangka itu mengglobal, orang dari berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia, menggunakan semangka sebagai bentuk dukungan dan simpati mereka pada penduduk Palestina. Bukankah mereka, yang di luar Palestina, bisa dengan bebas mengibarkan bendera Palestina ketika berunjuk rasa? Mengapa mereka memilih semangka?,” ujarnya.

Secara umum, menyerukan aksi dengan mengibarkan bendera saat berdemonstrasi atau melakukan berbagai gerakan perlawanan adalah pilihan yang tampak gagah dan patriotik. Bendera dikibarkan dengan gagah, dengan semangat kuat membela bendera itu sendiri.

Namun, lebih dari itu semangka adalah pilihan yang berbeda. Jika bendera hanya menunjukkan perang antara negara, semangka adalah tentang kejahatan kemanusiaan.

“Sementara, pilihan semangka menunjukkan hal yang sangat berbeda. Yang terjadi bukanlah perang dua negara, “dua bendera”, yang sama-sama kuat, yang sama-sama mengibarkan bendera dengan gagah, yang memperjuangkan klaimnya masing-masing. Yang terjadi adalah “kejahatan kemanusiaan” dari satu negara yang mengibarkan bendera mereka dengan pongah, terhadap negara lain yang bahkan untuk mengibarkan bendera mereka pun tidak boleh,” jelasnya.

Dengan mengkampanyekan ilustrasi ini, masyarakat global diingatkan untuk terus membuka mata betapa pilu dan terkoyaknya kondisi Palestina saat ini.

“Semangka adalah simbol perlawanan yang ‘pilu’ dan ‘terkoyak’. Ketika masyarakat global memilih simbol itu, kita sebenarnya tengah mendefinisikan apa yang tengah terjadi, kemanusiaan yang tercabik dan kepiluan karena ketidakmampuan, bahkan warga global sekalipun, untuk segera menghentikan itu,” tandasnya.

Media sebagai ruang ekspresi dan advokasi pembebasan untuk Palestina. Secara tidak langsung masyarakat global yang memposting ilustrasi semangka di media sosial secara berulang telah melakukan propaganda untuk membela mereka yang tertindas.

Bagaimana dengan dirimu Comms, sudahkah turut mengkampanyekan semangka di media sosial sebagai bentuk aksi kemanusiaan?

 

Penulis: Meigitaria Sanita