Tag Archive for: Masduki

Reading Time: 2 minutes

Apakah Indonesia Punya Warisan Sejarah Soal Penyiaran Publik Indonesia? pertanyaan ini menjadi penting dikemukakan. Pertanyaan soal warisan sejarah penyiaran publik barangkali sulit untuk dijawab. Belum lagi arah penulisan sejarah penyiaran indonesia masih menemui beragam problem.

Masduki, Dosen Komunikasi UII, pakar penyiaran, mengatakan bahwa pelbagai persoalan dalam penulisan sejarah penyiaran indonesia menyebabkan sulitnya melacak warisan soal penyiaran publik di indonesia.

Doktor lulusan dari Institute of Communication Studies & Media Research (IfKW), University of Munich (LMU Munich), ini menjelaskan, fakta ini berbeda dengan beberapa praktik penyiaran publik di eropa dan amerika, misalnya. “Di Inggris, BBC, sebagai penyiaran publik, lahir untuk memenuhi kebutuhan informasi yang berkualitas bagi warga. BBC, memang sejak lama meneguhkan berbentuk penyiaran publik. Ia juga dilindungi oleh undang-undangnya,” katanya dalam diskusi di Forum Amir Effendi Siregar (Forum AES) yang dihelat Prodi Ilmu Komunikasi UII pada Sabtu, 8 Agustus 2020.

Diskusi Forum AES yang disiarkan langsung oleh Prodi Ilmu Komunikasi lewat TV Online Pertama di UII, Uniicoms TV ini, dihadiri beragam peserta dari beragam pihak. Dari kampus, lembaga, dan institusi. Mulai dari aktivis penyiaran, akademisi, aktivis NGO, mahasiswa, pers, dan juga masyarakat umum.

Menurut Masduki, ada beberapa problem penulisan sejarah penyiaran indonesia. Ia berhasil melacak referensi-referensi baik dari buku, jurnal hingga pustaka lainnya yang bicara soal penyiaran publik di Indonesia. Dari sinilah akhirnya, ia mendaraskan pertanyaannya soal sejarah penyiaran publik ini, dalam disertasinya.

Problem Penulisan Sejarah Penyiaran Publik

Problem-problem dalam penulisan sejarah penyiaran publik itu terbagi menjadi beberapa poin. Misalnya pertama, buku dan referensi lain di Indonesia selama ini hanya terpusat pada aktor. Kedua, pun jika ada melacak sejarah institusi, ia hanya memuat institusi, TVRI misalnya, dan hanya di periode tertentu.

Tak hanya itu, Ketiga, pendekatan yang dipakai adalah pendekatan sejarah lisan periode pra orde baru. “Ini seperti yang bisa kita lihat dalam buku ‘Sedjarah Radio” yang diterbitkan oleh Deppen pada 1953.

Problem selanjutnya, keempat, penulisan sejarah dalam buku masih terpusat pada strategi konten siaran musik di era kolonial. Ini seperti yang ditulis oleh Yampolsky, seorang penulis yang meneliti radio era kolonial seperti SRV, Nirom, dll.

Seterusnya, yang kelima, buku-buku tentang sejarah penyiaran publik masih bersifat kompilasi oleh beberapa penulis indonesianis. Keenam, sejarah yang tertera hanya fokus ke organisasi dan tanggal-tanggal seperti dalam skripsi, tesis, disertasi, “dan cenderung salin tempel dari berbagai sejarah yang serampangan dan kering analisis,” kata Masduki.

“Nah, yang belum ada adalah penulisan sejarah penyiaran publik berpola longitudinal, komparatif, sekaligus kritis,” katanya. Ia sekaligus menjelaskan alasan ia menulis disertasinya yang telah diterbitkan oleh Penerbit Palgrave Macmillan, beberapa waktu lalu.

Reading Time: < 1 minute

Kali ini kami akan terus mengunggah artikel opini Dosen Komunikasi UII yang dimuat media massa. Upaya ini adalah bagian dari pengelolaan pengetahuan (knowledge management) di dalam internal Program Studi Ilmu Komunikasi UII. Harapannya, diskursus soal media dan komunikasi ini berlanjut menjadi sebuah pengetahuan baru atau minimal mewujud dokumentasi pengetahuan yang kini terserak.

Berikut ini adalah #kliping Opini Dosen Komunikasi UII. Kali ini kami memuat opini Dr. Rer. Soc. Masduki tentang Negara dan Pers. Tulisan ini telah dimuat di Harian Kedaulatan Rakyat, sebuah surat kabar lokal di DIY. Ini dimuat pada Rabu Pahing, 15 Juli 2020. Masduki membahas tentang pro dan kontra di Indonesia soal gagasan subsidi untuk media massa di Indonesia pada masa pandemi. Perlu diketahui, pandemi di Indonesia membuat beberapa perusahaan pers di Indonesia mengalami defisit. Ini bisa ditandai dari beberapa media di Indonesia melakukan pemutusan hubungan kerja di masa Maret-Juli 2020.

Selamat Membaca.

Terima Kasih atas Foto oleh Darmanto BPSDMP DIY

 

Reading Time: 3 minutes

Pandemi tidak membuat dosen Komunikasi UII berdiam diri. Ibarat pepatah lama, di mana ada kemauan, di situ ada jalan, pembatasan sosial sejak pandemi Covid-19 tak menyurutkan kreatifitas dan ide Masduki untuk terus berkarya.

Baru-baru ini, International Association for Media and Communicaton Research/ IAMCR, sebuah lembaga yang berisi peneliti isu media dan komunikasi dunia, dan Urban Communication Foundation/ UCF (yayasan Komunikasi Urban) menjatuhkan pilihan mendanai program riset Masduki, seorang doktor spesialis Regulasi, Kebijakan Komunikasi dan Penyiaran, dari Prodi Ilmu Komunikasi UII.

Masduki mengajukan proyek riset berbahasa inggris berjudul: From Street Art to Social Media: In Search of Alternative Public Service Media for Urban Javanese in the City of Yogyakarta, Indonesia. Proposal tersebut diajukan dalam Hibah Urban Communication Research Grant untuk didanai dalam proyek besar memetakan dan mendefinisikan Media Layanan Publik Alternatif.

Juri yang terdiri dari perwakilan Urban Communication Foundation dan 4 anggota IAMCR menilai proposal tersebut. “Perwakilan IAMCR dalam panitia adalah Nico Carpentier (Ketua), Cees Hamelink, Janet Wasko dan Olesya Venger. Perwakilan Yayasan Komunikasi Urban adalah Gary Gumpert dan Susan Drucker,” tulis pengumuman penerima hibah riset di laman IAMCR tersebut. Masduki, sebagai UCF/IAMCR Urban Communication Research Grant Award Winner for 2020, akan mendapat penyematan penghargaan tersebut secara resmi bertepatan dengan upacara pembukaan Konferensi Online Internasional IAMCR 2020 pada 12 Juli mendatang. Konferensi Online ini akan menghadirkan 28 (60 menit) sesi online hingga 17 Juli 2020.

Dua lembaga internasional ini mendanai hibah penelitian Masduki, sebagai peraih hibah penghargaan utama 2020, dan Preeti Raghunath (India), sebagai penghargaan kehormatan 2020 dengan total hibah sebesar $1.750. Urban Communicaton Foundation mengatkaan, dana hibah riset itu dapat digunakan untuk mendukung riset media dan komunikasi yang berorientasi memajukan pemahaman kita di tengah kompleksitas lingkungan perkotaan kini. Baik IAMCR maupun Urban Communication Forum memahami bahwa para sarjana komunikasi dapat mendukung dan berkontribusi lebih besar pada kondisi perkotaan kekinian.

Para juri memilih Masduki sebagai penerima hibah karena gagasan kunci yang dituangkan Masduki dalam proposal risetnya sangat bersesuaian dengan studi komunikasi dan perkotaan UCF. Gagasan besarnya adalah melacak urgensi penguatan dan masifikasi Media Layanan Publik (public service media) dan menghubungkan pembuat kebijakan di kota dengan kepentingan publik lewat seni jalanan dan kanal media sosialnya.

Kajian ini menjadi penting di tengah absennya Lembaga Penyiaran Publik yang ada (RRI dan TVRI) dalam mengadvokasi kepentingan publik. Masduki akan meneliti Anti Tank Project di Yogyakarta (individu aktivis pelaku aksi protes jalanan dengan street art), gerakan Yogya Berdaya, dan Watch Docs Documentary (production house) di Jakarta. Watch Doc, dengan film dokumenternya, menyuarakan ide-ide anti-tank dan Yogya Berdaya, menggunakan kanal media baru Youtube sebagai media komunikasi urban dan kendaraan advokasi sosial.

Masduki, seperti dalam gagasan proposalnya menulis, riset etnografinya ini juga akan memeriksa bagaimana media alternative seperti platform media sosial dan seni jalanan selain menjadi ‘suara publik’ juga, “memberikan ‘pengalaman’ kebebasan individu untuk aktivisme perkotaan di mana kaum muda mengubah batas-batas dan menciptakan ruang publik baru,” tulisnya.

Tips Mendulang Hibah Internasional

Berdasarkan pengalaman Masduki meraih hibah ini, ada dua tips yang bisa ia bagikan.

Pertama, kita harus memiliki sejenis roadmap besar riset pribadi yang menunjang kepakaran dan ingin dicapai dalam jangka tertentu. Roadmap ini kita buktikan dalam riset terdahulu dan publikasi yang sudah atau akan kita lakukan. Para pemberi hibah akan mempertimbangkan apakah proposal yang diajukan mendukung roadmap yang kita buat atau tidak.

Kedua, riset yang diajukan harus sejalan dengan tren pengembangan metode riset yang bersifat mixed, lintas pendekatan, kritikal. Alias keluar dari pakem metode tunggal. Sebuah topik atau isu yang kita pilih mungkin tidak terlalu baru, tapi dengan metode yang lebih segar, interdisiplin, data yang digali pasti akan lebih mendalam dan atraktif untuk komunitas akademik global.

Masduki, menjadi satu dari sekian Dosen Komunikasi UII yang berkarya sekaligus memberdaya publik. Sebelumnya Dosen Komunikasi UII lainnya, Mutia Dewi dan Ali Minanto, sempat dengan ide pemberdayaannya bersama UII, menggagas portal online belanja dari rumah Warungrakyat.uii.ac.id untuk mengatasi masalah kebutuhan jual beli antar warga yang terhenti sejak kebijakan #dirumahaja.

Reading Time: < 1 minute

Masduki juga bercerita soal sulitnya melakukan ibadah di Jerman ketimbang di Indonesia. Ini kaitannya dengan cuaca dan muslim yang memang jadi minoritas. Menurutnya, paling sulit itu melaksanakan rukun islam yang ketiga: Puasa dengan harinya panjang dan panasnya ekstrim, ”Puasa itu paling berat, karena di Jerman itu subuhnya jam 3 lebih sedikit dan buka puasanya jam 10 malam,” ungkap Masduki.

Soal ibadah haji yang dijalani Masduki berangkat langsung dari Jerman, memang muncul banyak pertanyaan dari kolega dan teman. Masduki menjelaskan, memang ibadah haji dari eropa lebih mudah, daftar tunggunya lebih cepat. “tapi memang agak lebih mahal,” katanya. Namun jangan dikira anda bisa sekadar travelling ke Jerman lalu bisa langsung berangkat haji. “Syaratnya harus punya visa tinggal minimal 1 tahun, dan itu tentu hanya mereka yang bekerja menetap atau studi lanjut,” cerita Masduki berdasar pengalamannya beberapa waktu lalu.

Bagi Masduki, pasti sulit juga mencari masjid. Masjid di Jerman tak seperti di Indonesia yang kalau azan berkumandang terdengar atau bisa dilihat dari kubahnya saja. Masjid tak tampak fisiknya dan hanya terlihat di Google Map. Tidak ada azan lewat pengeras suara. Bentuk fisiknya menyerupai gedung atau rumah biasa. Jika sudah membuka pintunya, barulah terhampar ruang seperti masjid. “Kalau di Inggris malah disamarkan menjadi Islamic Centre,” paparnya lagi.

Selain makanan yang pastinya tak semua halal, adapatasi dengan cuaca akstrim kini akibat perubahan iklim juga jadi masalah. Contohnya saat menjalani puasa tadi. Adaptasi dnegan lingkungan yang sama sekali baru macam ini memang perlu strategi dan daya tahan. Masduki banyak terbantu dengan misalnya workshop orientasi kota, berjejaring dengan Perhimpunan Pelajar Indonesia di luar negeri, dan juga banyak bertanya pada pembimbing. Meski begitu, ia juga banyak terbantu juga dengan orang-orang jerman yang ternyata lebih punya banyak perhatian pada indonesia, misal pada seninya, budayanya, dan lain- lain.

Tulisan pertama baca di sini