Tag Archive for: jurnalisme

Pidato pengukuhan
Reading Time: 4 minutes

Berbagai gagasan disampaikan oleh Prof. Dr. rer. soc. Masduki, S.Ag., M.Si., MA dalam rapat terbuka pengukuhan jabatan tertinggi “Profesor” pada 25 Juni 2024 di Auditorium Kahar Mudzakir UII, Yogyakarta. Pidatonya bertajuk Kebebasan Akademik dan Resiliensi Otoritarianisme di Indonesia mengungkap banyak fenomena tak ideal dalam dunia akademik.

Beliau merupakan profesor bidang Ilmu Media dan Jurnalisme yang telah menerima gelar Guru Besar pada September tahun lalu. Riset-risetnya soal jurnalisme, demokrasi, hingga kebijakan dikemas dalam pidato 30 menit.

Secara umum pidato pengukuhan profesor hari itu menjawab pertanyaan-pertanyaan terkait, mengapa perguruan tinggi absen dalam advokasi pelanggaran HAM? Siapa sejatinya akademisi? Serta apa makna perguruan tinggi dalam kehidupan sosial yang mengarah pada kerja-kerja kepublikan?

Toxic University

Kalimat toxic university menjadi bagian awal yang menggambarkan bentuk tak ideal dalam kerja dan fungsi perguruan tinggi di Indonesia. Kata tersebut mengindikasikan soal lingkungan tak sehat yang merugikan.

Toxic university terjadi karena fenomena resiliensi otoritarianisme, salah satu buku yang cukup provokatif ditulis oleh Mary Evans berjudul Killing Thingking, dilanjutkan penulis Peter Fleming yang menulis Dark Academia. Sementara yang cukup fenomenal adalah riset berjudul Educated acquiescence: how academia sustains authoritarianism in China.

“Bagaimana (pembahasan riset) sebetulnya para akdemisi yang harusnya menjadi agen pencerahan untuk pemberdayaan justru menjadi bagian yang melestarikan otoritarianisme politik,” ucap Prof. Masduki.

Salah satu contoh yang sangat eksplisit terjadi misalnya bagaimana konferensi komunikasi menjadi ruang ekonomi dan politik bukan kepentingan akademik. Studi-studi komunikasi di Indonesia mengalami dark academia, mengalami jalur kgelapan.

Contoh lain dari toxic university adalah persaingan melalui segi kuantitas terkait rangking hingga publikasi tertentu yang berdampak pada remunisasi dalam setiap kerjanya.

“Universitas mengalami toxic university orang-orang di dalamnya dan para pemimpinnya mengalami zombie leadership jadi fisiknya ada tapi jiwanya nyaris tidak ada. Jadi ada badan yang bergerak tanpa rasionalitas. Sementara para dosen digambarkan sebagai academic rockstar, jadi biasanya dipuja-puja karena punya ranking-ranking tertentu. sekarang ada perlombaan indeks scopusnya berapa kemudian remunisasi yang dilihat angka-angka membuat orang seperti rockstar penyanyi suara keras tapi menghibur saja tapi tidak punya makna-makna yang lebih relate dengan kehidupan sosial yang lebih holistic,” jelasnya.

Resiliensi Otoritarianisme dan Kondisi struktural

Indonesia sebagai negara yang sempat mengimani sistem otoriter telah menganut sistem demokrasi. Sayangnya praktinya tak cukup melegakan. Salah satu tuntutan bersikap netral kepada dosen-dosen berstatus PNS justru langkahnya dalam sosial advokasi terkungkung.

“Apalagi dosen yang pegawai negeri (Status PNS) harus memiliki kepatuhan punya netralitas tapi itu artinya bukan berada netral tapi menjaga jarak dengan penyintas atau korban-korban,” jelasnya.

Selain kondisi tersebut, beban administrasi yang dibebankan membuat para akademisi absen dari berbagai peran kemanusiaan.

“Perguruan tinggi academia boro-boro memperhatikan isu pelanggaran HAM justru kita mengalami penyibukan luar biasa untuk urusan-urusan domestic pelaporan-pelaporan sebagaianya,” tambahnya.

Ditambah kebijakan dan regulasi yang diterapkan cenderung berujung ketidakpastian. Demokrasi di Indonesia seolah menjadi bingkai hibrida neoliberal. Artinya pendidikan tinggi bermula dari kebijakan semi publik disertai kontrol birokrasi yang terpusat di Kementerian.

“Sebenarnya membonceng kebijakan-kebijakan neoliberalisasi perguruan tinggi belakangan ini. perubahan menjadi BHMN ada perubahan kontraktual menjadi dosen yang tadinya tetap menjadi musiman dan sekarang ini yang paling rumit tidak ada yang tahu kapan kita bisa menjadi guru besar, kapan kita bisa naik Lektor Kepala karena ada kondisi peraturan jabatan fungsional bisa berubah setiap dua tahun dan menimbulkan ketidakpastian terhadap karier akademik dosen (fenomena neoliberalisasi),” tambahnya.

Akibatnya penyeragaman terhadap budaya kerja dilakukan demi menjaga stabilitas politik penguasa. Dosen dipaksa melakukan tumpukan kerja domestik administratif.

“Dibalik ini semua ada politik otoriter yang tumbuh subur menjaga engineering stability. Menjaga stabilitas politik otoriter dengan menjadikan perguruan tingginya menganut pola kerja-kerja liberal. Rangkingnya tinggi, dosennya sibuk melakukan tugas-tugas domestik.” tambahnya.

Jika di Indonesia akademisi ruang geraknya terbatas, berbeda dengan akademisi di Amerika dan Eropa Utara. Belakangan akademisi di negara tersebut megkampanyekan pelanggaran HAM dan genosida di Palestina walaupun mereka direpresi secara digital tapi berani menyuarakan ini ada masalah human rights secara global.

“Akademisi Di Indonesia tidak ada yang memperhatikan ini karena kita disibukkan oleh persoalan domestik,” pungkasnya.

Kebebasan Akademik

Perguruan tinggi idealnya menjadi ruang yang otonom dan progresif untuk melawan sistem kekuasaan yang tidak sehat. Alih-alih mewujudkan hal tersebut, pemaknaan kebebasan akademik di Indonesia masih cukup rumit.

Setidaknya ada tiga pemaknaan akademik yang menimbulkan masalah. Pertama sciencetific freedom yakni dosen bebas mengajar, meneliti, dan publikasi kemudian melaporkan secara administratif.

“Dalam bahasa lain dosen adalah birokrat (mengerjakan tugas dan melaporkan),” ujarnya.

Makna kedua adalah kebebasan akademik dengan perspektif utilitarian pragmatic. Artinya dosen harus bebas mengajar, meneliti, namun harus fokus menyiapkan lulusan atau mahasiswa yang siap kerja.

Terakhir, sebagai perspektif kepublikan atau demokrasi, tugas akademisi sejatinya memfasilitasi persoalan sosial ekonomi politik. Akademisi dan universitas adalah rujukan moral warga negara.

“Yang menjadi problem adalah pemaknaan atas kebebasan akademik terutama di Indonesia berhenti di kategori satu dan dua. Direduksi menjadi kebebsan otonomi akademik dalam mengembangkan IPTEK dosen bebas tapi harus bertanggung jawab. Mayoritas memahami kebebasan akdemik sebagai kebebasan scientific bukan yang bervisi kepublikan, implikasinya ketika ada represi negara terhadap akademisi untuk berbicara diluar kewenangannya itu dianggap tidak masalah itu tidak masuk dalam kebebasan akademik,” ucap Prof. Masduki.

Sementara pada jurusan Ilmu Komunikasi di Indonesia justru fokus pada tingkat pemaknaan kedua, dan minim ilmu yang memberdayakan.

“Ilmu yang diarahkan murni scientific dan belakangan diarahkan ke utilitarian tapi tidak diarahkan sebagai ilmu yang memberdayakan alumninya memberikan otonomi alumninya. Aktivis kebebasn pers jarang dari lulusan Ilmu Komunikasi. Komunikasi selalu berhubungan dengan kuasa, era kolonialisme sebagai propaganda, era pembangunan Soeharto sama, sekarang Ilmu Komunikasi sebagai agen propaganda bisnis platform digital,” ujarnya lagi.

Catatan Rekomendasi

Setidaknya ada tiga catatan rekomendasi dalam menanggapi persoalan tersebut antara lain:

“Pertama perlu otoritas pendidikan, kemeterian baik institusi dibawahnya untuk berupaya keras mengembalikan Haluan pendidikan kita supaya sesuai dengan konstitusi agar mencerdaskan kehidupan bangsa bukan justru membodohkan.”

“Kedua, akademisi perlu menjaga kewarasan jangan sampai menjadi intelektual yang berkolaborasi tanpa kritik dengan pihak yang selama ini melakukan represi. Perguruan tinggi perlu segera meninjau berbagai standar penyelenggaraan kebebasn akademik. Banyak yang buat tapi tidak ada yang demokrasi.”

“Terakhir, kita perlu satu gerakan global (global movement) karena ada terminologi yang disebut the suistanibility of academic life. Perlu ada keberlanjutan kehidupan akademik yang sehat yang diawali kesadaran bahwa (foucalt) pengetahuan diciplinary power discourse bahwa pengetahuan akademi perguruan tinggi itu bukan sebagai alat untuk penundukan kritisisme politik. Dia bukan hanya homoeconomicus tapi homo ploticus yang kritis dan otonom.”

Hari Pers
Reading Time: 3 minutes

Peraturan presiden (perpres) tentang Publisher Rights telah disahkan oleh Presiden Joko Widodo, hal ini diumumkan pada peringatan Hari Pers Nasional, 20 Februari 2024. Secara umum Salinan Publisher Rights sebanyak 10 halaman itu berisikan regulasi bisnis pers dengan platform digital.

Perpres Nomor 32 Tahun 2024 tentang Tanggung Jawab Perusahaan Platform Digital untuk Mendukung  Jurnalisme Berkualitas atau Publisher Rights adalah regulasi yang mengatur platform digital dalam memberikan timbal balik secara berkeadilan terhadap konten berita dari media lokal maupun nasional.

Platform digital dalam hal ini mengacu pada Google, Instagram, Facebook, dan platform digital global lainnya. Presiden Jokowi menegaskan jika Publisher Rights bukanlah upaya pemerintah untuk membatasi kebebasan pers, pihaknya juga menyebut jika regulasi ini datang dari inisiatif insan pers.

“Perpres ini sama sekali tidak dimaksudkan untuk mengurangi kebebasan pers, saya tegaskan bahwa publisher rights lahir dari kenginan dan inisiatif insan pers, pemerintah tidak sedang mengatur konten pers. Pemerintah mengatur hubungan bisnis diantara perusahaan pers dengan platform digital. Dengan semangat untuk meningkatkan jurnalisme yang berkualitas,” ujar Presiden Jokowi dilansir dalam tayangan video di YouTube PWIOfficial.

Regulasi ini sebenarnya telah menjadi diskusi panjang beberapa tahun terahir, salah satu catatan Prof. Masduki, dosen Prodi Ilmu Komunikasi UII pada Harian Kompas edisi 16 Februari yang berjudul Menjamin Keberlanjutan Media dan Jurnalisme menyebutkan Publisher Rights telah jamak diberlakukan di sejumlah negara maju misalnya Jerman dan Australia.

Dalam artikel tersebut ada tiga diskursus mengapa Publisher Right sangat urgent di Indonesia pertama Platform digital mendominasi perolehan iklan, pola relasi keduanya tidak seimbang karena control algoritma berada di tangan korporasi digital. Kedua, terjadinya penurunan kualitas jurnalisme secara drastic karena mengacu logika click bait. Terakhir terkait disrupsi pola kerja jurnalisme pasca kebijakan Covid-19 yang membatasi mobilitas fisik.

Dalam Salinan yang telah disahkan Presiden Jokowi setidaknya beberapa pertimbangan utama Publisher Rights segera disahkan, pertama bahwa jurnalisme berkualitas adalah unsur penting dalam mewujudkan kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat yang demokratis perlu mendapat dukungan pemsahaan platform digital.

Kedua, perkembangan teknologi informasi mendorong perubahan besar dalam praktik jurnalisme berkualitas salah satunya dengan kehadiran perusahaan platform digital sehingga pemerintah perlu menata ekosistem perusahaan platform digital dalam hubungannya dengan perusahaan pers untuk mendukung jurnalisme berkualitas.

Dari pertimbangan tersebut maka perlu menetapkan Peraturan Presiden tentang Tanggung Jawab Perusahaan Platform Digital untuk mendukung jurnalisme berkualitas.

“Jurnalisme berkualitas dan keberlanjutan industri media konvensional menjadi perhatian pemerintah dan ini yang dinanti-nanti. Setelah sekian lama setelah melalui perdebatan panjang akhirnya kemarin saya menandatangani peraturan presiden tentang tanggung jawab platform digital untuk mendukung jurnalisme berkualitas atau yang kita kenal dengan Perpres Publisher Rights. Prosesnya memang sangat panjang dan banyak perbedaan pendapat dan saya tahu ini melelahkan bagi banyak pihak, sulit sekali menemukan titik temu dan sebelum menandatangani saya juga betul-bentul mendengar aspirasi dari rekan-rekan pers, aspirasinya tidak benar-benar bulat ada perbedaan aspirasi dengan media konvensional dengan platform digital,” jelas Presiden Jokowi.

Dalam konsep jurnalisme berkualitas mengarah pada konten yang jauh dari unsur-unsur negatif, hoaks, dan provokatif sehingga mampu mengedukasi masayarakat Indonesia.

“Kita ingin jurnalisme berkualitas, jurnalisme yang jauh dari konten-konten negatif, jurnalisme yang mengedukasi kemajuan Indonesia. Kita juga ingin memastikan kemajuan industri media nasional kita ingin lebih adail antara peruahaan pers dengan platform digital kita ingin memberikan kerangka umum yang jelas antara perusahaan pers dengan platform digital,” tambahnya.

Biasanya Hari Pers Nasional dirayakan setiap tanggal 9 Februari, namun tahun ini perayaan ditunda karena berdekatan dengan Pemilu. Dalam kesempatan tersebut Presiden Jokowi turut mengucapkan rasa terimakasihnya terhadap insan pers atas peran mendukung demokrasi.

“Saya juga mengucapkan terimakasih kepada insan pers yang secara konsisten menemani masyarakat dalam kehidupan berdemokrasi,” ungkapnya.

Dalam kesempatan itu Presiden Jokowi juga menyebut jika dirinya legowo dengan segala kritik yang ditujukan kepadanya. Hal ini menjadi bukti jika dirinya menghormati kebebasan pers dan demokrasi.

“Saya juga terimakasih kepada pers yang turut mengawal Pemilu 2024 yang baru saja kita jalani, saya juga sering dikritik tajam ada gambar wajah saya yang unik-unik yang aneh-aneh di sampul media, sampul majalah, di media sosial ramai sekali aneh-aneh tapi tidak apa-apa tidak ada masalah bagi saya tapi cucu saya ada yang complain “Mbah, manggil saya kan mbah, wqjah mbah kok Digambar jelek banget “ ya begitulah ini bagian dari penghormatan saya atas kebebasan pers, kebebaan berekspresi, dan kebebasan berpendapat,” tandasnya.

 

Penulis: Meigitaria Sanita

Reading Time: 2 minutes

The objectification of women in the media takes place in various forms and mediums. Starting from objectification in songs, films, advertisements, games, to journalistic content products. Women have always been objects and victims of media violence.

Iwan Awaluddin Yusuf said that something can be described as objectifying women if the content makes women objects, tools, and sexual commodities. “In addition, also check, are there any expressions, depictions, or dialogues that sound like harassment against women (body shaming, sexist jokes, etc.),” ​​said Iwan who is also a Communications Lecturer at UII, on May 30, 2021, at the Women in Media Perspectives a public discussion: Is it true that women are objectified by the media?

This discussion by the Student Press Institute/ LPM Meets Pasundan University, besides presenting Iwan as an academic, also presented from the perspective of women activists Poppy Dihardjo, and journalist Nani Afrida. Poppy is the initiator of Women Without Stigma at @pentasindonesia and Nani is a journalist at Anadolu Agency.

Iwan added that the full depiction of the Male Gaze (male perspective) must also be checked whether he is dominantly present in the visual or audio depiction produced by the media.

According to a doctoral student at Monash University, Australia, this media objectification is often also present by putting women as a form of the perpetuation of patriarchal values.

In front of more than a hundred participants, Iwan said, in the world of film, the practice of media objectification often occurs as well. “Many films with the title women (widows) create symbolic violence against women and widows,” said Iwan. Not only in movies, this also appears in song lyrics that use widow’s diction. There is symbolic violence that appears in the choices of song diction.

Seeing Gender and Media Issues through a Media Ecosystem Approach

Women’s representation in the media from the past until now is not far from placing women as commodity objects and not serious subjects. “In the past, women have never been shown (represented) in serious content. For example, news, why are women presenters and how are they arranged?” Iwan asked. “Say no to objectification. Towards women, towards men, towards you, towards us,” added Iwan.

Iwan provides a way to overcome gender issues in our media. “This has been an issue for a long time. This is actually a good way to build an egalitarian media. For example, women become media leaders, become directors, and enter the internal media ecosystem,” explained Iwan.

In the past, the public was the audience. Now it has changed. When the public is able to produce their own media which is eventually called prosumer, the public should also be able to remind and report the media to avoid objectification of women by the media.

Why is it important to avoid objectification? If the media objectifies women, then what Iwan calls double victimisation. “So women are not tried to be victims twice. Victims of sexual violence perpetrators, even victims by the media because the stories are published by the media that make women victims and media selling commodities,” explained Iwan.

Reading Time: 2 minutes

Objektifikasi perempuan dalam media berlaku dalam beragam bentuk dan medium. Mulai dari objektifikasi dalam lagu, film, iklan, game, hingga produk konten jurnalistik. Perempuan selalu menjadi objek dan korban kekerasan media.

Iwan Awaluddin Yusuf mengatakan sesuatu dapat digambarkan mengobjektifikasi perempuan jika konten menjadikan perempuan sebagai benda, alat, dan komoditas seksual. “Selain itu, cek juga, adakah ungkapan, penggambaran, atau dialog bernada pelecehan pada perempuan (body shaming, candaan seksis, dll),” kata Iwan yang juga adalah Dosen Komunikasi UII, pada 30 Mei 2021 di acara diskusi publik Perempuan dalam Kacamata Media: Benarkah Perempuan diobjektifikasi oleh Media.

Diskusi oleh Lembaga Pers Mahasiswa/ LPM Jumpa Universitas Pasundan ini selain menghadirkan Iwan sebagai akademisi, juga menghadirkan dari kacamata aktivis perempuan Poppy Dihardjo, dan Jurnalis, Nani Afrida. Poppy adalah penggagas Perempuan Tanpa Stigma di @pentasindonesia dan Nani jurnalis di Anadolu Agency.

Iwan menambahkan bahwa penggambaran penuh Male Gaze (perspektif laki-laki) juga harus dicek apakah ia dominan hadir dalam penggambaran visual atau audio yang diproduksi media. Menurut mahasiswa doktoral Monash University, Australia, ini objektifikasi media seringkali juga hadir dengan menomorduakan perempuan sebagai bentuk pelanggengan nilai-nilai patriarki.

Di depan lebih dari seratus partisipan, Iwan mengatakan, dalam dunia film, praktik objektifikasi media sering terjadi juga. “Banyak judul film dengan judul perempuan (janda) yang membuat kekerasan simbolik pada perempuan dan janda,” kata Iwan. Tak hanya film, hal ini juga muncul dalam lirik-lirik lagu yang menggunakan diksi janda. Ada kekerasan simbolik muncul dalam pilihan-pilihan diksi lagu.

Melihat Persoalan Gender dan Media melalui Pendekatan Ekosistem Media

Representasi perempuan di media dari dahulu hingga sekarang tidak jauh dari menampilkan perempuan sebagai objek komoditas dan bukan subyek yang serius. “Sejak dulu perempuan tidak pernah ditampilkan (representasi) dalam konten yang serius. Misal berita, kenapa perempuan presenter dan diatur sedemikian rupa?” Kata Iwan mempertanyakan. “Say no to objectification. Towards women, towards men, towards you, towards us,” imbuh Iwan.

Iwan memberi cara mengatasi persoalan gender di media kita. “Ini yang menjadi isu dari dulu. Ini sebenarnya cara yang baik untuk membangun media yang egaliter. Misalnya perempuan menjadi pemimpin media, menjadi sutradara, dan masuk ekosistem internal media,” kata Iwan menjelaskan.

Dahulu, publik sebagai audiens. Kini telah berubah. Saat ketika publik sudah bisa memproduksi media sendiri yang akhirnya disebut prosumen, maka publik juga seharusnya bisa mengingatkan dan melaporkan media untuk menghindari objektifikasi perempuan oleh media.

Mengapa penting menghindari objektifikasi? Jika media mengobjektifikasi perempuan, maka akan terjadi apa yang disebut Iwan sebagai double victimisation. “Jadi perempuan diupayakan tidak menjadi korban dua kali. Korban dari pelaku kekerasan seksual, bahkan juga korban oleh media karena ceritanya dipublish oleh media yang menjadikan perempuan korban dan komoditas jualan media,” jelas Iwan.

Reading Time: 3 minutes

During the pandemic, news gathering in various news websites must continue. If as journalists in their usual conditions they have to go out to find news and conduct interviews, then there is a slight difference during a pandemic. That’s the story of Retyan Sekar, a journalist, on the talk show ‘Teatime’ made by Department of Communication International Program (IP) Universitas Islam Indonesia (UII) on August 30, 2020.

For almost an hour, guided by Annisa Putri Jiany, Retyan shared stories about pursuing a career path as a journalist. Live Instagram Teatime’s theme “Study Life Impact to Carrier”, explores the experiences of this Communication Science’s alumni batch 2015.

Retyan, her nickname, said that working in online media must have a way to keep sources and finish news in all conditions. During a pandemic, interviews can be done online and some information can be searched through social media. In stark contrast to the pre-pandemic era.

Even though at first glance his career looks smooth, in fact his passion for journalism was not obtained in a short time. She has cultivated his experience in journalism since childhood.

Early Interest in Journalism

Since childhood, Retyan has always liked to participate in various competitions such as storytelling and poetry. This is what made her accustomed to writing and speaking in public. Retyan also loves to talk in front of the camera and has been familiar with broadcasting since she was nine years old. Until 2007, Retyan was invited to participate in making a documentary film and was selected as a young reporter.

When studying at the Universitas Islam Indonesia (UII), Retyan had joined the UII student press agency known as Himmah. Retyan said, through Himmah, he learned a lot about writing, the basics of journalism, teamwork, and sensitivity to internal issues. In addition, She also gained experience in dealing with the global world when She joined UII MUN and Jogja International Delegates.

Retyan’s interest in journalism led her to choose UII Communication Science Department. “From the beginning, I entered Communication Science already steadily entering specialization in Journalism. In my opinion, journalism is really fun. So we have like-minded friends to exchange ideas as well as be friends to play with. Because since I was little I often participated in competitions that were related to public speaking, without realizing it that shaped me,” said Retyan.

Reaching and Living The Dream Career Path

According to Retyan, who currently works at Kumparan online media, initially She just wanted to know how online media works. While at Kumparan, he was taught a lot on how to write and structure correctly. This made her determined to continue to improve writing patterns.

Despite having an internship at Kompas TV, since graduating Retyan has not been too confident about his writing skills. So She chose to look for work challenges that required her to develop her writing skills.

However, is it enough to achieve a dream career only with the support of enthusiasm or interest? Retyan advised that to achieve dreams, the key is to set goals. According to her, because by having a goal, the decisions made will feel more rational.

Even though the pandemic has hit and hindered his work, She advised to always be smart in seeing the positive side of all events. “Life is not a competition. These are tough times for everyone, and don’t beat yourself up for everything that happens in situations like this. Because the target that has been planned is chaotic does not mean you can blame yourself. Negative thinking is okay, but try to take the positive side. We can actually learn anything in the current situation, for example English, and so on,” She said.

——-

Writer: Fitriana Ramadhany (Student of Communication Major of UII, Internship at International Program of Communication Science Department UII)

Editor: A. Pambudi W

Reading Time: 2 minutes

Selama masa pandemi, kegiatan mencari berita di berbagai media tetap harus berjalan. Apabila sebagai jurnalis pada kondisi biasa mereka harus keluar untuk mencari berita dan melakukan wawancara, maka ada sedikit perbedaan di masa pandemi. Begitulah cerita pengalaman Retyan Sekar, seorang Jurnalis, di acara bincang-bincang ‘Teatime’ besutan Jurusan Komunikasi International Program (IP) UII pada 30 Agustus 2020.

Hampir selama satu jam, dipandu Annisa Putri Jiany, ia berbagi kisah menekuni jalan karir sebagai jurnalis. Live Instagram ‘Teatime’ kali ini yang mengangkat tema “Study Life Impact to Carrier”, mengulik pengalaman alumni Jurusan Ilmu Komunikasi UII angkatan 2015 ini.

Retyan, sapaan akrabnya, mengatakan bekerja di media online pun harus punya cara untuk tetap mendapatkan narasumber dan menyelesaikan berita di segala kondisi. Pada masa pandemi wawancara dapat dilakukan secara daring dan beberapa informasi dapat dicari melalui media sosial. Berbeda sangat dengan masa sebelum pandemi.

Meski sekilas karirnya terlihat mulus, tetapi nyatanya kesukaannya pada dunia jurnalistik tak didapat dengan waktu yang pendek. Pengalamannya dalam jurnalisme sudah ia pupuk dari kecil.

Minat Jurnalisme Sedari Dini

Sejak kecil Retyan selalu suka mengikuti berbagai lomba story telling dan puisi. Hal inilah yang membuatnya terbiasa menulis dan berbicara di depan umum. Retyan juga sangat suka bicara di depan kamera dan telah mengenal dunia broadcasting sejak umur sembilan tahun. Hingga pada tahun 2007 Retyan diajak untuk ikut serta dalam pembuatan film dokumenter dan dipilih sebagai reporter cilik.

Ketika kuliah di Universitas Islam Indonesia (UII), Retyan sempat bergabung dalam lembaga pers mahasiswa UII yang dikenal dengan nama Himmah. Retyan mengatakan, melalui Himmah ia banyak belajar terkait kepenulisan, dasar-dasar Jurnalisme, kerjasama tim, dan kepekaan akan isu internal. Selain itu, ia juga mendapatkan pengalaman dalam menghadapi dunia global ketika bergabung di UII MUN dan Jogja International Delegates.

Ketertarikan Retyan pada jurnalisme membuatnya memilih Program Studi Ilmu Komunikasi UII. “Dari awal masuk Ilmu Komunikasi udah mantap masuk peminatan Jurnalisme. Menurutku, Jurnalisme itu seru banget. Kita jadi punya teman yang sepaham untuk bertukar pikiran sekaligus jadi teman main. Karena dari kecil sering ikut lomba yang berhubungan sama bicara di depan umum, tanpa sadar itu yang membentuk aku,” ujar Retyan.

Meraih dan Menapaki Jalan Karir Impian

Retyan yang saat ini bekerja di media online Kumparan, pada awalnya hanya ingin mengetahui bagaimana cara kerja media online. Ketika di Kumparan ia banyak diajarkan bagaimana penulisan dan struktur tulisan yang benar. Hal ini membuatnya bertekad untuk terus memperbaiki pola kepenulisan.

Meskipun memiliki pengalaman magang di Kompas TV, Retyan sejak lulus tidak terlalu percaya diri dengan kemampuannya menulis. Sehingga ia memilih untuk mencari tantangan kerja yang mengharuskannya mengembangkan kemampuan menulis.

Namun, apakah karir impian cukup diraih hanya dengan didukung oleh antusiasme atau ketertarikan? Retyan berpesan bahwa untuk dapat meraih impian, kuncinya adalah dengan menetapkan tujuan. Menurutnya, karena dengan memiliki tujuan, keputusan yang diambil akan terasa lebih rasional.

Meski pandemi mendera dan menghambat pekerjaannya, ia berpesan agar selalu cerdas melihat sisi positif dari segala peristiwa. “Hidup bukan kompetisi. Ini masa sulit bagi semua orang, dan jangan menyalahkan diri sendiri atas semua yang terjadi di situasi seperti ini. Karena target yang udah direncanakan kacau bukan berarti bisa menyalahkan diri sendiri. Berpikiran negatif boleh, tapi coba untuk mengambil sisi positifnya. Kita justru bisa belajar apapun di situasi sekarang, misalnya Bahasa Inggris, dan lain-lain,” ujarnya.

———–

Penulis: Fitriana Ramadhany (Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi UII – Magang Program Internasional Jurusan Ilmu Komunikasi UII)

Editor: A. Pambudi W