Tag Archive for: Ilmu Komunikasi UII

IPC

Academic Skills Study (ACSS) 2024 is a welcome programme specially prepared for new International Program Communications students (IPC) students. Taking the theme Adapting & Thriving: Youth, Lead, Learn, and Grow this activity took place on 11 October and 13 October 2024 around the FPSB Building at UII.

Not only discussing the academic world that will be lived in approximately the next 4 years, new IPC students also get briefings related to how to adapt to a new social environment, to face challenges and opportunities.

Chairperson of the ACSS 2024 programme, Fatma Nuraini Zahra, S.Sos., MA revealed that the series of agendas that had been prepared were tailored to the needs of students. Professionals from Communication and Psychology experts were brought in to facilitate the new IPC 2024 students, all of whom are Gen Z.

“An essential programme to foster learning motivation and provide an overview of IPC programmes. This activity also increases students‘ ability to build resilience to help them adapt to learning activities in college that are different from high school,” She explained.

“In addition, this activity is also a space to create a familiar and harmonious atmosphere and hone the ability to collaborate between IPC students, especially new students and with the seniors because this event also actively involves IPC 2023 students as a part of the implementation team.” She added.

The first day of ACSS 2024, was filled with indoor materials starting from ‘Public Speaking and Presenting Using AI by Dr. Herman Felani, followed by Introduction to IPC by the IPC Programme Secretary, Ida Nuraini Dewi Kodrat Ningsih, S.I.Kom., M.A. The third material was by Wanadya Ayu Krishna Dewi, S.Psi., M.A. (FPSB Psychology Lecturer) who discussed “Adapting from Highschool to Higher Education and Preparing to the Global Citizenship”. Last but not least, a sharing session by Fiellah Muttaqiyah, IPC 2021 student.

The second day of the activity was carried out outdoors by exploring the environment around the campus.  Walid Jumlad, S.Psi, M.Psi, Psychologist was a facilitator in the Bonding, Outbound, and Character Building programme.

“All games have meaning, we can learn from the existing process starting from strengthening the relationship, forming groups and working together, as well as the process in games thathave organised and neat stages similar to the lecture process,” he concluded.

Lowongan magang

Informasi Lowongan magang atau internship, terbuka untuk mahasiswa Ilmu Komunikasi. Berikut informasi selengkapnya:

Sosmed Spesialist

Lowongan magang

Lowongan magang medsos spesialist

Creative Team

Lowongan magang

Lowongan magang creative team

International conference

Salah satu mahasiswa International Program (IP) Ilmu Komunikasi UII, Muhammad Fathurrahman Prima Sakti telah bergabung pada forum internasional bertajuk International Youth Inclusive Symposium and Leadership Camp (IYISLC) 2024, di Kuala Lumpur, Malaysia pada 29 Agustus hingga 1 September 2024.

Perhelatan IYISLC 2024 mengambil tema Space for All: Promoting Inclusive Youth Leadership, dalam kesempatan tersebut Sakti menyampaikan risetnya terkait gender dalam media di Indonesia ‘Analysis of Gender Equality in The Perspective of Javanese Culture at Kedaulatan Rakyat and Harian Jogja’.

Kesetaraan gender dan inklusi sosial di Indonesia dalam riset tersebut disuarakan agar mampu memberikan pemahaman yang lebih luas. Sementara hasil diskusi nantinya akan menghasilkan pemikiran bahkan kebijakan yang inovatif dalam mengentaskan persoalan-persoalan yang terjadi.

“Menuntaskan problem representasi merupakan perjalanan panjang yang perlu dilakukan dengan pendekatan interdisipliner yang holistik. Pendekatan ini diharapkan dapat memberikan pemahaman komprehensif terkait fenomena sosial yang kompleks, membantu proses identifikasi akar masalah, dan menghadirkan solusi yang inovatif. Dalam upaya ini, partisipasi intelektual muda amat diperlukan,” ujar Sakti.

Forum internasional tersebut diikuti oleh pemuda anggota ASEAN dengan segmentasi usia 15-25 tahun yang tertarik dalam bidang riset, pendidikan, pengabdian masyarakat, dan kebijakan publik.

Tak hanya mendiskusikan hasil risetnya, para delegasi mengikuti berbagai rangkaian kegiatan mulai dari coaching clinik, focus group discussion, hingga terjun langsung dalam kegiatan pengabdian masyarakat di Sekolah Lingkungan – Refugee Camp Kuala Lumpur.

Pengalamannya dalam forum internasional memberikan banyak insight, selain bertemu teman baru dan menjalin relasi dari berbagai negara, ia juga mendapat perspektif yang luas dan segar.

Sebagai pemuda Sakti juga memberikan pesan sederhana untuk teman-teman lainnya, terkait bagaimana mengtaskan tanggung jawab serta bagaimana mengambil peluang.

“Finished what you already started. So, start it right now and grab what you want,” pungkasnya.

Podcast

Podcast menjadi konten digital yang diminati anak muda di Indonesia. Pendengarnya didominasi oleh Gen Z dan Milenial. Selain isu yang dibicarakan menarik, podcast dapat diakses dan didengarkan sembari melakukan aktivitas secara multitasking. Paling sering podcast diakses ketika dalam perjalanan, saat bekerja, ataupun ketika menulis.

Konten-konten yang ada pada podcast memiliki berbagai genre, dari politik hingga komedi. Hal ini membuat podcast menjadi konten alternatif yang digemari karena menyajikan diskusi dari berbagai sudut pandang yang ringan namun mendalam. Hal ini terbukti dari jumlah pendengarnya yang selalu meningkat.

Rincian terkait pendengar podcast di Indonesia yang dirilis oleh Databoks Katadata tahun 2021enyebut 22,1 persen pendengar berusia 15-19 tahun, 22,2 persen berusia 20-24 tahun, 19,9 persen usia 25-29 tahun, 15,7 persen berusia 30-34 tahun, usia 35-39 tahun sebanyak 11,8 persen, dan 40-44 tahun sekitar 8,4 persen. Dari data tersebut artinya semakin menurun seiring bertambahnya usia.

Lantas apa itu podcast? Podcast adalah produksi audio digital yang diunggah pada platform online (paling sering website) untuk dibagikan dengan orang lain. Audio tersebut dapat diakses langsung melalui smartphone maupun perangkat komputer lainnya. Istilah podcast berasal dari broadcasting dan ipod. Memahami podcasting tentu berkaitan dengan konten audio dan berbeda dari format video yang memperkenalkan istilah vodcasting. Meski demikian podcasting dapat merujuk pada audio dan video untuk pemahaman yang komprehensif. (Hutabarat, 2020)

Indonesia Masuk Sebagai 10 Negara yang Paling Banyak Mendengar Podcast

Salah satu platform audio lokal non musik, Noice termasuk yang populer di Indonesia. Melansir dari laman Antara, Noice telah digunakan lebih dari lima juta pengguna di Indonesia. Mengenai konten-konten yang diproduksi tak diragukan lagi, mulai dari kondisi perpolitikan di Indonesia, cerita horor, hingga cerita sehari-hari yang sangat relate dengan pendengar.

“Podcast audio berupaya untuk menghadirkan screenless moment yang menyenangkan bagi semua pendengar,” Ujar Niken Sasmaya CEO Noice pada Antara.

Produksi Podcast cukup menjanjikan, laporan dari We Are Social 2024, jumlah pengguna internet global yang mendengar podcast sebesar 20,6 persen. Dari jumlah tersebut Indonesia menempati posisi kedua yakni sebesar 38,2 persen, posisi teratas negara Brasil yakni 39,7 persen.

Tiga podcast yang paling populer di Indonesia antara laian Curhat Bang Denny Sumargo, Mata Najwa, dan Close the Door. (Databoks Katadata)

Tertarik Mendengarkan Podcast?

Tak sekedar hiburan, banyak informasi yang akan didapatkan pendengar ketika mengkses konten pada podcast. Riset menunjukkan podcast memiliki dampak yang besar pada dunia pendidikan. Pertama menjadi sumber pengajaran yang inovatif bagi pengajar, kedua mampu membantu proses pembelajaran baik di dalam maupun luar kelas, dan terakhir meningkatkan kesiapan dan persiapan calon pengajar.

Selain dalam segi pendidikan, podcast sangat menguntungkan bagi para pengiklan. Edison Research merilis The Podcast Consumer 2024 menyebut selama satu dekade jumlah pendengar podcast meningkat empat kali lipat. Pendengar podcast adalah audiens yang berpendidikan dan memiliki tingkat ekonomi menengah ke atas. 56 persen pendengar podcast bulanan memiliki pendapatan rumah tangga tahunan lebih dari $ 75 ribu, dibandingkan dengan 48 persen populasi AS, dan 49 persen pendengar podcast bulanan berpendidikan tinggi dibandingkan dengan 44 persen populasi AS.

Bagaimana menurutmu terkait fakta-fakta terkait podcast, tertarik untuk turut mendengar dan meramaikan produksi konten podcast Comms?

EMKP

Dosen Prodi Ilmu Komunikasi FPSB UII, Muzayin Nazaruddin, memperoleh grant riset untuk dua tahun (2024-2026) dari British Museum. Riset yang didanai sebagai bagian dari Projek Endangered Material Knowledge Program (EMKP) tersebut berjudul “Documenting the Endangered ‘Pet Uno’, ‘Canang Ceureukeh’, and ‘Alee Tunjang’ as Indigenous Forest and Farm Culture in Post-Conflict and Post-Tsunami Aceh, Indonesia”

Penelitian ini juga melibatkan dosen dan staf Prodi Ilmu Komunikasi antara lain Zaki Habibi, Risky Wahyudi, Marjito Iskandar Tri Gunawan, dan Anugrah Pambudi Wicaksono. Selain itu, projek ini juga berkolaborasi dengan peneliti dari Aceh, yaitu Ade Ikhsan Kamil (Prodi Antropologi Universitas Malikussaleh) dan Marzuki (peneliti independen, Aceh Selatan). Projek riset ini dilakukan dengan pendekatan etnografi visual, mengandalkan teknik wawancara mendalam semi-terstruktur, obrolan informal, observasi semi partisipan, serta perekaman foto dan video.

EMKP

Tim peneliti berpose bersama Utoh Amad, Aceh Utara

Pada proyek ini, Muzayin dan tim akan meneliti dan mendokumentasikan tradisi memanen madu hutan secara alami di Buloh Seuma, Aceh Selatan, yang terancam punah karena pembukaan hutan dan modernisasi. Ritual ini merupakan tradisi khas masyarakat Buloh Seuma, Aceh Selatan, yang biasa dilakukan pada malam hari dan tanpa bantuan penerangan apapun. Panen madu ini dilakukan di sarang lebah yang ada di pohon Rubek, dengan alat-alat tradisional yang dibuat dari kayu, bambu, dan bahan-bahan lainnya yang didapat dari hutan. Tradisi ini didahului dengan ritual tertentu yang menunjukkan bagaimana para pemanen berkomunikasi dengan meminta izin kepada pohon Rubek dan lebah untuk memanen madu.

Selain di Aceh Selatan, Muzayin dan tim juga akan bekerja di Aceh Utara untuk mendokumentasikan seni musik yang hampir punah di Aceh Utara, yaitu Canang Ceureukeh dan Alee Tunjang. Di lokasi ini, projek riset difokuskan di Desa Paya Teungoh, tempat tinggal Utoh Amad, seorang maestro pembuat alat musik tradisional Aceh seperti Canang Ceureukeh, Alee Tunjang, dan Rapai. Di masa lalu, Canang Ceureukeh dan Alee Tunjang merupakan alat musik pengisi waktu luang, khususnya selepas panen padi. Tradisi memainkan alat musik ini mulai tidak dilakukan ketika Aceh mengalami konflik panjang. Selepas konflik, tradisi ini tidak pernah dilakukan lagi karena para petani sudah menggunakan teknologi modern untuk proses penanaman dan pemanenan padi. Penggunaan teknologi modern ini berimbas pada hilangnya tradisi-tradisi lokal yang mengiringi proses budidaya padi, termasuk hilangnya tradisi memainkan Canang Ceureukeh dan Alee Tunjang.

Detail informasi terkait riset ini dapat diakses melalui link berikut:

https://www.emkp.org/documenting-the-endangered-pet-uno-canang-ceureukeh-and-alee-tunjang-as-indigenous-forest-and-agriculture-rituals-in-aceh-indonesia/.

CCCMS

Rangkaian agenda pada 7th Conference on Communication and Media Studies (CCCMS) menghadirkan beberapa workshop unik sebelum forum akademik itu berlangsung. Konferensi internasional yang diinisiasi oleh Prodi Ilmu Komunikasi UII menyuguhkan beberapa workshop gratis untuk para presenter.

Menariknya workshop-workshop itu tak melulu berbau akademik yang memusingkan, melainkan kegiatan unik yang memicu ide-ide baru. Ada empat workshop dalam program pre-konferensi antara lain Urban Walking, Photobook and Design Thingking, Environmental Communication, dan Writing Class for International Journal.

Semua workshop dilaksanakan di hari yang sama yakni 27 Agustus 2024. Peserta berhak memilih dan bergabung pada salah satu workshop dan bertemu dengan fasilitator professional.

Urban Walking

Tak sekedar jalan-jalan, Urban Walking yang difasilitatori olerh Dr. Zaki Habibi menekankan pada sensory method selama proses perjalanan melintasi jalanan utama Yogyakarta. Mengawali titik di Tugu Golong Gilig sekitar Tugu Yogyakarta pada pukul 08:00 WIB, perjalanan dilakukan dengan menyusuri situs UNESCO World Heritage: mulai dari jalan Margo Utomo, Mangkubumi, melewati rel kereta, kemudian berakhir di Jalan Malioboro. Perjalanan sepanjang 2,5 kilometer itu usai pukul 12.00 WIB.

Workshop ini diikuti oleh peserta dari berbagai negara mulai dari Indonesia, India, Cina, dan Taiwan. Dr. Zaki mengajak peserta untuk mengamati hal-hal yang dilalui selama perjalanan dari hasil pandangan mata, suara, bau, sentuhan, dan rasa. Peserta diminta untuk membuat sensory mapping yang mendokumentasikan perjalanan tersebut serta hal-hal apa saja yang menarik perhatian. Sesampainya di area Jalan Malioboro, Dr. Zaki meminta peserta menggambar situasi jalan sesuai dengan yang menjadi perhatian peserta misalnya kombinasi antara modernitas dan tradisionalitas di jalanan Yogyakarta.

Salah satu peserta asal Indonesia yakni Lutviah menyebut jika workshop ini memberinya wawasan soal metode baru yang mendukung pekerjaannya sebagai peneliti.

“Sebagai peneliti sosial, menurut saya workshop Urban Walking dan Sensory Method ini sangat menarik karena workshop ini menawarkan pendekatan baru dalam penelitian sosial. Workshop ini melatih saya untuk melakukan pengamatan mendalam tentang hal-hal yang terjadi di sekitar saya dengan menggunakan seluruh panca indera yang saya miliki. Dari proses tersebut, saya mampu menemukan hal-hal menarik yang sebelumnya tidak pernah saya perhatikan, misalnya perpaduan antara modernitas dan tradisionalitas di jalanan kota Yogyakarta. Kemampuan observasi mendalam seperti ini menurut saya penting untuk dapat menangkap fenomena-fenomena sosial, khususnya fenomena komunikasi, serta menganalisis implikasinya terhadap masyarakat,” ujar Lutvia salah satu peserta workshop.

Photobook and Design Thingking: An Introduction

Workshop ini menggandeng Gueari Galeri yang merupakan publisher buku foto dari Indonesia. Bertajuk Photobook and Design Thinking: An Introduction workshop ini fokus dengan hasil jepretan peserta yang nantinya akan diubah menjadi buku foto.

Salah satu peserta yang aktif dalam menekuni hobi journaling, Sri Rahmawati tertarik untuk menerbitkan buku foto.

“Aku ingin bisa nerbitin buku foto archive, mungkin tentang academic journey-ku atau hal-hal simpel lain. Aku tuh suka ngumpulin kaya tiket kereta atau kalau aku makan sama orang yg spesial, aku bakal simpan nota-nya, mungkin hal-hal kaya gitu suatu hari bisa kujadikan buku foto,” pungkas Rahma.

Fasilitator dari Gueari Galeri, Caron Toshiko dan Andi Ari Setiadi, menyebutkan kegiatan ini merupakan pengantar kepada peserta untuk mengenal buku foto sebagai salah satu cara mengekspresikan diri.

“Kami melihat fotografi itu salah satu medium nonverbal yang bisa digunakan semua orang untuk menggali banyak hal dengan cara yang mudah dan menarik,” ujar Caron.

“Ada cerita, ada kegelisahan, atau ada kemarahan, bahkan dan foto bisa menjadi medium untuk mengeluarkan itu semua,” jelas Ari.

Environmental Communication

Tak sekedar workshop yang berhenti dalam waktu satu hari, program ini mengajak peserta untuk melakukan proyek panjang yang berkelanjutan.

Muzayin Nazaruddin, M.A selaku fasilitator workshop menginisiasi proyek tersebut untuk peserta  yang tertarik berkontribusi dalam sebuah buku yang disunting (dalam Bahasa Indonesia) tentang komunikasi lingkungan dan humaniora lingkungan. T

Topik-topik yang akan dibahas dalam buku ini meliputi risk and disaster communication, environmental crises, human-animal relations, nature-culture tensions, local ecological knowledge, environmental activism, dan tema-tema lain yang terkait.

Menyadari kompleksitas antara manusia, teknologi, dan alam saling berkontribusi dalam membentuk realitas dunia maka workshop ini tentu akan memunculkan banyak hal yang mengusik.

Workshop ini juga menghadirkan Achmad Choirudin dari Insist Press untuk membicarakan rencana penerbitan buku bertopik komunikasi lingkungan.

Writing Class for International Journal

Workshop Writing Class for International Journal yang difasilitatori oleh Prof. Masduki nampaknya menjadi program favorit. Puluhan akademisi dari berbagai negara antusias dan responsive selama workship berlangsung.

Peserta diajak untuk lebih mengenal area riset yang diminati dan mendapatkan tips-tips berharga mengenai pemilihan jurnal yang tepat serta teknik penulisan yang efektif. Nico Carpentier dari Charles University yang juga menjadi Keynote Speaker dalam konferensi ini turut bergabung dan memberikan feedback.

You have to start writing, create narrative about your publication and connect your journals to one line expertise.” ujarnya.

Melalui Writing Class ini, diharapkan para peserta dapat meningkatkan kualitas penulisan ilmiah dan memperluas jaringan kerjasama di bidang penelitian. Acara ini juga menjadi bukti bahwa CCCMS terus berkomitmen untuk mendorong pengembangan ilmu pengetahuan di bidang komunikasi.

Di akhir acara, Prof. Masduki menutup sesinya dengan kalimat yang pamungkas “Consistency! It is to make advance move for your academic journey!”

Kalfest Hub

Jepang menjadi salah satu negara yang memiliki memori tak terlupakan bagi masyarakat Indonesia. Sejarah kelam beserta jejak peninggalannya menjadi cerita-cerita yang tak akan terputus hingga kini dan seterusnya. Sebagai negara yang lebih maju, nampaknya cukup menarik menelisik perspektif masyarakat Jepang memandang kehidupan masyarakat di Asia Tenggara termasuk Indonesia.

Seri keenam Kaliurang Festival Hub yang digelar pada 5 September 2024 di Bioskop Sonobudoyo berkolaborasi dengan Visual Documentary Project (VDP) Kyoto menghadirkan Nishi Yoshimi selaku Dewan Pengurus dan Koordinator Kurator serta Sazkia Noor Anggraini, pengajar ISI Yogyakarta sekaligus peneliti dan pembuat film.

Berbeda dengan Kaliurang Festival Hub sebelumnya, pemutaran film dari kurasi VDP sengaja dilakukan di tengah kota Yogyakarta untuk menjaring penonton yang beragam. Diawali dengan pemutaran lima film, lalu dilanjutkan dengan diskusi.

Dipandu oleh Khumaid Akhyat Sulkhan, Kaliurang Festival Hub #6 ini mengungkap banyak cerita dari kurasi film VDP dan perspektif masyarakat Jepang terkait masyarakat Asia Tenggara. Menurut Nishi Yoshimi, bahasa menjadi aspek paling disoroti dalam menampilkan film-film dokumenter Asia Tenggara.

Kalfest Hub

Sesi diskusi Kaliurang Festival Hub seri ke-enam bersama VDP, Foto: Lab Komunikasi UII

“Tayangan disini ada bahasa Inggris, cerita Kamboja, Thailand, Myanmar, Indonesia dan lainnya sudah jelas visual dan bahasa Inggris (subtitle) sudah benar. Tetapi maksudnya apa, konteksnya apa. Film itu ketika diputar di lokasi lain (bukan negara asal) audiens sudah berbeda perlu penjelasan tambahan agar konteksnya lebih mudah dipahami,” ujar Nishi Yoshimi.

Apalagi dalam film dokumenter ada pesan-pesan tersirat yang tak bisa ditelan mentah-mentah. Ada berbagai pesan yang ingin disampaikan dengan berbagai tujuan. Melalui adegan dan ekspresi tentu akan menyulitkan masyarakat Jepang yang berbeda kultur dengan masyarakat Asia Tenggara.

“Film dokumenter digunakan untuk merekam kenyataan bahkan yang disebut sinema pertama itu film dokumenter. Kemudian dokumenter berkembang menjadi bentuk propaganda misalnya,” ujar Sazkia Noor Anggraini.

Lantas film-film seperti apa yang dipertontonkan kepada masyarakat Jepang? Berikut 5 film hasil kurasi VDP yang dibagikan dalam Kaliurang Festival Hub #6.

Cerita dari Asia Tenggara

Saya di Sini, Kau di Sana (a Tale of the Crocodile’s Twin) merupakan garapan sutradara Indonesia Taufiqurrahman Kifu. Ketika menonton film ini penonton diajak untuk berjalan menyusuri memori-memori dongeng khas anak-anak. Namun ketahuilah bahwa cerita dalam film dokumenter tersebut ingin mengungkap bagaimana manusia sebagai makhluk hidup harus berbagi ruang dengan makhluk lain termasuk hewan. Dalam konteks tersebut adalah buaya.

Dongeng dari Sulawesi Tengah khususnya Kaili, mengangkat ruang hidup dan sungai-sungai. Dongeng yang bercerita tentang bangsawan Lasa Kumbili dengan saudara kembarannya Yale Bonto, sosok buaya menggambarkan prinsip hidup hubungan manusia dengan Tuhannya, manusia dengan manusia, serta manusia dengan alam. Bahkan di akhir cerita, kesaksian seorang korban tsunami mengaku ditolong oleh buaya. Kesaksian ini menjadi sebuah nilai-nilai lokal yang terus dipegang masyarakat Kaili.

Don’t Know Much About ABC, Kamboja, film garapan Norm Phanith and Sok Chanrado menampilkan ironisnya kehidupan di Phnom Penh. Menonton film ini akan menimbulkan kekhawatiran soal masa depan, ketakutan terjadi hal buruk, hingga ketidaksanggupan untuk bertahan hingga terabaikan.

Seorang ayah tunggal tunawisma sehari-hari bekerja sebagai pengumpul sampah dengan menghidupi putranya. Ron Dara berusaha keras demi pendidikan putranya. Ia bersikeras demi peluang dan meningkatkan kualitas hidup sang anak.

Unsilent Potato, Myanmar, film yang digarap Sein Lyan Tun mengangkat secara detail kisah perempuan muda disabilitas bernama Potato sebagai korban pemerkosaan oleh tetangganya yang sudah beristri. Potato merupakan perempuan etnis Karen yang tangguh memperjuangkan keadilan.

Yang menyedihkan adalah, kasus yang dialami Potato dianggap sebagai tindakan bujuk rayu. Ia ingin bangkit dari kesunyian, namun negara Myanmar adalah negara yang kurang kuat dalam hal supremasi hukum untuk menyelesaikan persoalan seperti itu.

Film keempat, My Grandpa’s Route has been Forever Blocked garapan sineas Thailand. Mungkin film ini menjadi sangat sulit dipahami dari film-film sebelumnya. Dua layar ditampilkan, layar kiri menampilkan bendungan kecil dari sumber sungai ke Bendungan Bhumibol. Sementara layar kanan adalah dokumentasi operator kapal pesiar di Sungai Ping (Bendungan Bhumibol) yang membuat hamparan hutan jati terendam untuk selamanya.

Film garapan Supaparinya Sutthirat membawa penonton menyusuri Sungai Ping yang merupakan jalur perdagangan. Tahun 1958 Bendungan Bhumibol dibangun hingga mengubah sungai masa kakeknya. Film ini sebenarnya mengajak penonton memahami masa lalu dan mengamati isu-isu masa kini.

The Fighter, Indonesia, merupakan film dokumenter yang mengambil latar di Kediri, Jawa Timur. Marjito Iskandar Tri Gunawan mencoba menangkap pertarungan bela diri Pencak Dor di atas ring. Salah satu narasumber bernama Yudi seorang petarung yang melatih para santri menegaskan jika pertarungan tersebut bukan ditujukan untuk memamerkan kekuatan diri melainkan menguji kekuatan keterampilan dalam bertarung.

Pencak Dor juga menjadi arena yang mempertemukan para petarung dari berbagai aliran, seperti gulat, tinju, Muay Thai, wushu, dan lain-lain. Pencak Dor menjadi ruang untuk menyalurkan orang-orang dan menjadi pengganti tawuran: dapat mengurangi potensi munculnya geng-geng anak muda di Jawa Timur, Indonesia. Pencak Dor tidak bisa dilepaskan dari nilai-nilai Islam yang berkembang di pesantren.

Penonton Jepang Menyaksikan Film Dokumenter Asia Tenggara

Secara umum reaksi yang diekspresikan penonton Jepang melihat fenomena yang terjadi di Asia Tenggara adalah merasa bersimpati.

“Reaksi paling dangkal adalah oh kasian juga ada kemiskinan, perkosaan, negaranya masih terbelakang. Karena posisi negara masih di belakang masalah-masalah seperti itu belum diselesaikan masih sedang berkembang masalah seperti itu,” ujar Nishi Yoshimi.

Namun, untuk membuat mereka paham konteks suatu film tentu tak sederhana. Selain histori yang tak semua tahu, pihak VDP secara aktif mengundang pengamat film dari negara masing-masing hingga penerjemah dari Jepang yang fasih dengan bahasa dalam film.

“Mengundang pengamat-pengamat film dari negara asal agar konteksnya lebih memahami mendalam. Kenapa masyarakat jepang bertanya begini, susah begini. Pengamat dari negara pembuat bisa menjembatani,” ungkap Nishi Yoshimi.

Para pengamat, penerjemah, dan penonton saling berdiskusi. Sebut saja soal film The Fighter dari Indonesia. Bagaimana sebuah kekerasan dipertontonkan, bentuk emosi yang harus dikendalikan dan sebagainya. Nishi menyebut jika akar kemunculan kekerasan dalam Pencak Dor tentu tak luput dari insiden 1965 di Indonesia. Jauh dari itu ada masa revolusi, penjajahan Jepang dan masa kolonial. Sehingga dapat ditarik Kesimpulan akar dan bibit kekerasan tersebut mengapa muncul.

“Semakin memahami juga kenapa ada masalah di belakang ada apa kaitannya dengan budaya lokal,” tambahnya.

Sementara, bagi Sazkia Noor Anggraini sebagai pembuat sekaligus peneliti film mengkonfirmasi bahwa diproduksinya film dokumenter terkadang mampu mengungkap Sesutu yang memang belum ditemukan sebelumnya.

“Bagian membangun kenyataan baru,” ujarnya.

“Di area studies menggunakan film sebagai proses mengenal, penelitian, menginterpretasi apa yang terjadi di masyarakat area yang diteliti,” tandasnya.

 

Penulis: Meigitaria Sanita

Literasi

Data yang dirilis We Are Social menunjukkan jumlah pengguna media sosial di Indonesia mencapai 139 juta identitas per Januari 2024. Akses media sosial dan internet paling dominan melalui smartphone, sementara 36,99 persen pemiliknya adalah anak-anak berusia kurang dari 15 tahun (Data BPS 2023).

Lantas dengan usia anak-anak menuju remaja, apakah mereka sudah memahami pentingnya perlindungan identitas di dunia digital?

Salah satu dosen Prodi Ilmu Komunikasi, Puji Hariyanti berkesempatan melakukan pengabdian di MTSN 7 Pakem dengan memberikan literasi bertajuk “Lindungi Identitas Anak dengan Cakap Digital” kepada 160 siswa kelas 7. Tak dapat dipungkiri, jika hampir seluruh siswa jenjang menengah pertama memiliki smartphone pribadi. Selain berkomunikasi, smartphone juga menjadi media hiburan seperti bermain game online hingga bermedia sosial.

Literasi diawali dengan diskusi terkait kebiasaan para siswa dengan smartphone pribadinya, tak sedikit yang menyebut menggunakannya untuk bermain Mobile Legend, mengunggah konnten di TikTok dan Instagram, menonton anime serta kegiatan lainnya.

Menariknya, para siswa mengaku jika mereka tak benar-benar menggunakan identitas aslinya demi melancarkan akses terhadap aplikasi-aplikasi yang mamatok persyaratan usia di atas 17 tahun.

Mendapati hal ini, Puji Hariyanti menjelaskan risiko-risiko kebocoran identitas digital mulai dari risiko saat download aplikasi, saat upload konten, hingga bagaimana algoritma bekerja karena seluruh aktivitas online yang kita lakukan ternyata dipantau oleh platform global yang ada dalam smartphone.

“Algoritma itu mencatat apa yang kita cari di Google, kalau kalian mencari anime nanti ada rekomendasi anime juga entah di platform (media sosial) lainnya,” ujar Puji.

Sementara, beliau juga mengingatkan untuk menyimpan dengan aman data-data pribadi yang berkaitan dengan akun. Dan data apa saja yang tak boleh dibagikan di media sosial.

Diskusi semakin responsif, ketika para siswa penasaran dengan cara kerja algoritma di smartphone mereka. Sebagian dari mereka tertarik mendiskusikan bagaimana cara menghapus data yang telah mereka lakukan sebelumnya.

“Bagaimana menghapus jejak digital? Posting yang baik-baik, harus bijak apa yang kalian cari dan lakukan itu terekam,” tambahnya.

Di akhir sesi, risiko cyberbullying juga sempat dibahas. Cyberbullying adalah perilaku yang tidak baik di dunia digital, bagaimana seseorang sengaja menyakiti atau mengganggu orang lain.

“Jika identitas pribadimu bocor, mereka bisa memanfaatkannya dengan cara tidak baik misalnya mencoba melecehkan hingga melakukan penipuan,” ungkap Puji Hariyanti.

“Memanggil teman dengan kata kasar di game termasuk cyberbullying,” tambahnya.

Menutup sesi tersebut, beberapa pesan disampaikan agar para siswa aware dengan identitas pribadinya. Karena bahaya kerusakan identitas digital akan berpengaruh terhadap pendidikan dan masa depan.

“Kita hidup di dunia digital dan main HP, kalian harus hati-hati jangan mengunggah foto maupun video yang aneh-aneh (tak pantas),” tandasnya mengakhiri diskusi.

CCCMS 2024: Masduki Sampaikan ‘Hybrid Media & Politics’ hingga Singgung Darurat Demokrasi Indonesia dalam Forum Internasional

Masduki berkesmpatan menjadi keynote speaker dalam forum internasional 7th Conference on Communication, Culture and Media Studies (CCCMS) pada 29 Agustus 2024 di gedung Auditorium FPSB UII. Bertemakan Hybrid, Masduki menyampaikan materi bertajuk Hybrid Media & Politics (Democracy) in Post-Authoritarian Indonesia.

Dalam pembukaan presentasinya, poster runtuhan gedung Mahkamah Konstitusi hingga Presiden Jokowi dengan mahkota yang dikelilingi kerabat dan keluarganya diharapkan mampu menggugah audiens dari beragai negara.

“Very provocative, right? Tell us about Jokowi. I’m sure everyone knows Jokowi, our president. Ten years president. We got him in the funniest way as Mulyono, we call him. So, Jokowi is the father of the family oriented,” ujar Masduki membuka diskusi.

(Sangat provokatif, bukan? Ceritakan tentang Jokowi. Saya yakin semua orang tahu Jokowi, presiden kita. Presiden sepuluh tahun. Kami menyebutnya dengan sebutan yang paling lucu, Mulyono, kami memanggilnya. Jadi, Jokowi adalah bapak yang berorientasi pada keluarga)

Pernyataan ini dilempar atas respon kondisi darurat demokrasi di Indonesia. Istilah Raja Jawa dan Dinasti menyeruak lantaran aturan batas usia calon wakil presiden diacak-acak demi memuluskan langkah putranya maju dalam kontetasi politik.

Beranjak dari fenomena tersebut, darurat demokrasi di Indonesia sebenarnya dialami oleh semua masyarakat. Dalam konteks Hybrid, Masduki memberikan contoh soal penggunaan internet dan media digital. Di Indonesia masyarakat sah-sah saja memiliki akun media sosial ganda.

Bahkan dengan perasaan yang tenang, pengguna menganggap internet adalah ruang kolaboratif yang transparan akibat provokasi yang yang selama ini dilanggengkan.

So why we discuss about public spare? This is an idea of (quotation?) of wider context Indonesia with other countries. If you read about this decription this tell us in positive ways that internet is forum for public, can share global ownership, everyone can have social media account, right?

Sementara, yang terjadi di Indonesia adalah ketika masyarakat menyerukan sebagai oposisi dan mengkritik pemerintah tak lama pihak kepolisian akan meringkusnya. “Let say, the index like the opposite site internet is mythology or reality?, ” (“Katakanlah, indeks seperti situs internet yang berlawanan adalah mitos atau kenyataan?”)

Sementara dalam aksi unjuk rasa secara langsung, masyarakat Indonesia tak serta merta bisa melakukannya begitu saja. Persoalan administratif perizinan, jika tidak para aparata akan datang dan menghentikan dengan alasan tak berizin.

Menanggapi fenomena tersebut, Nico Carpentier yang juga terlibat dalam diskusi tersebut menegaskan jika kondisi di Indonesia sangat bermasalah, ia meyakini jika hybridity dan demokrasi seharusnya tidak melanggar hak asasi manusia.

“We shouldn’t celebrate hybridity anymore, we should definitely like get the problematic part, and I think there celebration of hybridity like we have some really good things in our society and we found human rights at that time, I think that the probably the limits,” ungkap Nico Carpentier.

(“Kita seharusnya tidak merayakan hibriditas lagi, kita seharusnya mendapatkan bagian yang bermasalah, dan saya pikir perayaan hibriditas seperti kita memiliki beberapa hal yang sangat baik di masyarakat kita dan kita menemukan hak asasi manusia pada saat itu, saya pikir itu mungkin batasnya,”)

Atas darurat demokrasi di Indonesia, Masduki menyebut jika negara Indonesia lebih cocok disebut sebagai negara dengan paham monarki.

“I do agree with many critical scholars that say Indonesia is not really republic, but this is monarchy,” tandasnya.

(“Saya setuju dengan banyak sarjana kritis yang mengatakan bahwa Indonesia tidak benar-benar republik, tetapi ini adalah monarki,”)

Nico Carpentier, Hubungan Media dengan Demokrasi hingga ‘Political Struggle’

Nico Carpentier merupakan Extraordinary Professor dari Charles University yang ditunjuk menjadi keynote speaker dalam perhelatan The 7th Conference on Communication, Culture and Media Studies (CCCMS) 2024 dalam tema Hybrid pada 28 Agustus 2024 di Auditorium FPSB UII.

Pada kesempatan itu Nico menjelaskan bagaimana hubungan media dengan demokrasi yang menjadi perjuangan politik atau political strunggle. Materi tersebut dipaparkan sesuai dengan konteks hybrid pada 7th CCCMS 2024.

“What I wanted to talk about is very much in line with the main theme of the conference, hybridity. Although I might once in a while translate it as a discussion on contingency, which is for me, quite close to the logics of hybridity,” ujar Nico membuka presentasinya.

(“Apa yang ingin saya bicarakan sangat sesuai dengan tema utama konferensi ini, yaitu hibriditas. Meskipun sesekali saya mungkin akan menerjemahkannya sebagai diskusi tentang kontingensi, yang bagi saya cukup dekat dengan logika hibriditas,”)

Baginya, demokrasi dalam konteks hybrid merupakan kontruksi sosial yang selalu mengikuti kondisi politik dan budaya suatu negara. Sementara, media memiliki peran ganda. Mulai dari ruang untuk menegosiasikan hingga perdebatan bagi elit politik, kritik masyarakat dan media itu sendiri, namun juga menjadi kekuatan perjuangan politik.

“And I will come back to the 2011 book, rest assured, but this is important for me. But I will also start by talking a bit about the discursive material, because that theoretical model, that (ontology?) will allow me to put emphasis on the role of hybridity and contingency. It’s actually a main theoretical framework that I can use to emphasize the importance of hybridity and contingency, together with, and that’s also in the title, the notion of political struggle. Because I would like to emphasize that when we start thinking about the relationship of media and democracy, we need to think about this issue from the perspective of political struggle,” tambahnya.

(“Dan saya akan kembali ke buku tahun 2011, yakinlah, tapi ini penting bagi saya. Tetapi saya juga akan memulai dengan berbicara sedikit tentang materi diskursif, karena model teoritis itu, (ontologi?) akan memungkinkan saya untuk menekankan peran hibriditas dan kontingensi. Itu sebenarnya adalah kerangka teori utama yang dapat saya gunakan untuk menekankan pentingnya hibriditas dan kontingensi, bersama dengan, dan itu juga ada di dalam judul, gagasan tentang perjuangan politik. Karena saya ingin menekankan bahwa ketika kita mulai berpikir tentang hubungan media dan demokrasi, kita perlu memikirkan masalah ini dari perspektif perjuangan politik,”)

Dalam perjuangan politik, peran berbagai pihak bisa jadi sangat besar, berbahaya, dan tak terduga. Jika elit politik bisa saja mengendalikan peran media, peran masyarakat juga demikian.

“In many cases, high level of democracy being more ethical, high citizen participation even high dangerous in some cases,” ungkapnya.

(“Dalam banyak kasus, tingkat demokrasi yang tinggi menjadi lebih etis, partisipasi warga yang tinggi bahkan berbahaya dalam beberapa kasus,”)

Fenomena tersebut kerap terjadi dalam dunia politik di Indonesia terutama, maka sudah selayaknya jurnalis bekerja atas dasar kebenaran. Bukan ikut turut sebagai buzzer politik untuk melanggengkan salah satu pihak yang ingn berkuasa.

“The journalists have power on it. But we have to point it that we ask them (journalists) not as journalist but deeply for community responsibilities,” tegasnya.

(“Para jurnalis memiliki kekuatan di dalamnya. Namun kami harus menekankan bahwa kami meminta mereka (jurnalis) bukan sebagai jurnalis, tetapi lebih kepada tanggung jawab kepada masyarakat,”)

Nico mengaku sangat bersyukur hadir dalam 7th CCCMS 2024 karena akan mendapatkan berbagai perspektif dan insight dari para presenter yang hadir dari berbagai negara.

“My pleasure to be able to listen to you. Because that’s obviously what conferences are about, is to create dialogues between many different voices. And it’s good to hear that people from many different countries have been, so thanks for making this possible,” ujaranya dalam sesi perkenalan.

(“Senang sekali bisa mendengarkan Anda. Karena memang itulah tujuan dari konferensi ini, yaitu untuk menciptakan dialog di antara banyak suara yang berbeda. Dan senang mendengar bahwa orang-orang dari berbagai negara telah hadir, jadi terima kasih karena telah membuat hal ini menjadi mungkin,”)

Penulis: Meigitaria Sanita