Tag Archive for: Ilmu Komunikasi UII

IPC
Reading Time: 3 minutes

Cultural Night Festival atau Culnight Fest 2023 yang digagas oleh Internasional Program (IP) Prodi Ilmu Komunikasi UII berlangsung sangat meriah. Festival bertajuk Unity in Diversity ini melibatkan mahasiswa dari berbagai negara.

Tak hanya mahasiswa dari Indonesia, mahasiswa yang berasal dari Malaysia, Thailand, hingga Yaman menampilkan berbagai pertunjukan seni yang menakjubkan. Setidaknya ada lima performances yang disuguhkan oleh mahasiswa IP Ilmu Komunikasi pada 6 November 2023 di Gedung Kuliah Umum Sardjito UII.

Konsep Unity in Diversity merupakan acara yang mengusung kesatuan dan keberagaman dari berbagai suku yang ada di Indonesia hingga budaya dari berbagai negara. Nyatanya meski mahasiswa IPC berasal dari berbagai penjuru Indonesia bahkan negara, festival malam itu berlangsung sangat apik menampilkan sebuah keberagaman yang disatukan.

Ida Nuraini Dewi Kodrat Ningsih, S.I.Kom., M.A., Sekretaris IP Ilmu Komunikasi UII menyampaikan jika gelaran Culnight Fest 2023 untuk momen apresiasi dan penyambutan untuk mahasiswa-mahasiwa internasional selain memberikan pengalaman akademik juga budaya. Hal ini adalah tradisi di kampus UII untuk mengenalkan budaya Indonesia kepada mahasiswa internasional.

IPC

Cultural Night Festival 2023, performance dari IPC Batch 2021

“Selain sebagai momen kebersamaan menghargai, saling toleransi dari diversity di IPC memang konteksnya beragam dari Sabang sampai Merauke dan juga kita menerima mahasiswa-mahasiswa luar negeri. Ini juga bertepatan pelepasan program social cultural engagement untuk mahasiswa exchange programe. Ini sebenarnya tradisi UII ketika ada irisan program-program di UII dengan mahasiswa internasional kita tidak hanya membekali mereka dengan akademik tapi juga social cultural engagement. Harapannya merka juga belajar tradisi kita,” ujarnya.

Culnight Fest 2023 dibuka dengan penampilan Drama Roro Jonggrang dari IPC Batch 2021, selanjutnya Tari Zapin yang dibawakan oleh Affan dan Fahim mahasiswa Exchange dari SCIMPA UUM Malayasia, Fashion Show Pakaian Nusantara oleh IPC Batch 2022, Traditional Dance oleh IPC Batch 2023, Maumere Dance dari IPC Batch 2020. Setelah semua pertunjukan seni ditampilkan, perwakilan mahasiswa Thailand yakni Suwaibah Mahteaha menutupnya dengan dua lagu pop berbahasa Thailand dan mengajak semua penonton bernyanyi bersama.

Malam itu begitu hangat bagi para mahasiswa IPC, pasalnya seperti yang disampaikan oleh Sekretaris Prodi Ilmu Komunikasi, Ratna Permata Sari, S.I.Kom, M.A., yang menyebutkan jika Culnight Fest 2023 adalah rangkaian akhir dari exchange program yang menjadi momen perpisahan untuk Affan Azman dan Fahim Haziq dari SCIMPA UUM yang mengikuti exchange program di IPC UII, serta Suwaibah Mahteaha mahasiswa asal Thailand yang telah lulus pada Oktober lalu.

IPC

Affan dan Fahim mahasiswa dari SCIMPA UUM

“Special thank you to Prodi Ilmu Komunikasi, Miss Ida for invitation. Memorable night for us. We also gain more knowledge especially about Indonesian culture.  I’m really sorry because we didn’t prepare well. I hope that we can do events like this for UII n UUM,” ujar Affan Azman kepada pihak Prodi Ilmu Komunikasi UII.

Tak hanya itu, Suwaibah Mahteaha juga menyampaikan kesannya terkait pengalam belajar selama empat tahun di UII. Perpisahan ini akan sangat dirindukannya lantaran merasa jika Indonesia adalah rumah keduanya.

“Jika kita merasa nyaman waktu empat tahun terasa sangatlah singkat, terimakasih untuk semua pihak yang sangat baik kepada dosen, staf, dan teman-teman IPC,” ujar mahasiswa asal Thailand.

Culnight Fest 2023 ditutup dengan pemberian penghargaan kepada para penampil. Penghargaan diberikan dengan berbagai kategori grup maupun individu.

IPC

Pemberian penghargaan kepada para penampil di Cultural Night Festival

Itulah rangkaian Culnight Fest 2023 yang begitu menarik dan hangat. Perbedaan menjadi suatu perjumpaan yang saling mendekatkan. Bagaimana menurutmu Comms, seru bukan?

Kaliurang Festival Hub
Reading Time: 5 minutes

Film seolah menyuarakan berbagai fenomena yang terjadi pada manusia dan alamnya. Bahkan rumitnya konflik sosial mampu diuraikan dengan atau tanpa dialog yang ada dalam karya visual. Praktik ini dilakukan oleh deretan sineas yang tergabung dalam Aceh Documentary dan Aceh Film Festival.

Kehancuran Aceh atas bencana tsunami justru melahirkan berbagai skill baru, sekedar merekam dan menjahitnya menjadi sebuah tontonan yang bercerita sangat dalam. Gelaran Kaliurang Festival Hub edisi ketiga digelar pada 23 November 2023 berkesempatan untuk melakukan kolaborasi dengan Aceh Film Festival.

Edisi ketiga kali ini dibuka dengan pemutaran tiga film yang telah dikurasi oleh Aceh Film Festival, ketiganya adalah Puing Paling Sunyi, Gelombang Sinema di Ujung Sumatera, dan Surat Kaleng 1949.

Setelah pemutaran film, dilanjutkan dengan movie talk bertajuk “Sinema Pasca-Bencana” oleh Akbar Rafsanjani, Film Programmer & Film Curator Aceh Film Festival yang dipandu oleh Muzayin Nazaruddin Peneliti Komunikasi Lingkungan dan Kebencanaan dari Prodi Ilmu Komunikasi UII yang tengah menyelesaikan pendidikan doktoral di Tartu University, Estonia.

Bermula dari tsunami Aceh 2004 yang menelan korban 227.898 jiwa, LSM dan NGO di berbagai belahan dunia berbondong-bondong datang mengulurkan tangan. Tak hanya memberikan bantuan dan pertolongan, pemberi donor juga meminta bukti pelaporan. Sehingga para LSM dan NGO melaporkannya dalam dokumentasi tulis, foto, hingga video.

Menurut penuturan Akbar, sebagian masyarakat terlatih memegang dan mengoperasikan kamera berkat LSM dan NGO yang datang pasca tsunami.

“Film baru benar-benar hadir pasca tsunami, asumsi pertama kami muncul LSM dan NGO dari luar datang ke Aceh dengan berbagai tujuan untuk pelaporan kepada donor. Mereka memanfaatkan jurnalis lokal (jurnalis cetak). Temen-temen yang dilatih, kalau dulu jadi kontributor sekarang mereka punya skill baru (memproduksi video),” jelas Akbar membuka sesi Movie Talk.

Geliat Perfilman di Aceh Pasca Bencana di Tengah Keterbatasan Ruang

Pembuka yang disampaikan oleh Akbar menjadi momentum geliat film di Aceh mulai tumbuh. Pasca bencana yang seolah menjadi kiamat bagi masyarakat ternyata membawa Aceh bangkit dengan wajah baru.

Menilik ke belakang, riset-riset yang dilakukan oleh Akbar dan rekan-rekannya tak menemukan jika Aceh memiliki sejarah tentang perfilman, seni pada masa konflik berhenti pada pertunjukan panggung sandiwara. Artinya, sejarah bermulanya film di Aceh sangat muda.

“Kalo ditelusuri lebih lama kita mentok di seni panggung sandiwara pada masa konflik,” ujar Akbar.

Kaliurang Festival Hub

Akbar Rafsanjani bersama Muzayin Nazaruddin saat diskusi terkait geliat film di Aceh yang menjadi media untuk menyuarakan konflik sosial

Berangkat dari skill yang muncul pasca tsunami, geliat memproduksi film muncul. Hingga lahir beberapa komunitas salah satunya Aceh Documentary yang menjadi rumah bagi para sisneas muda di Aceh. Berbagai kelas, produksi film, hingga kompetisi dilakukan untuk melanjutkan mimpi.

Tak mudah membangun perfilman di Aceh, salah satu kendala nyata terkait dengan ruang. Aceh menjadi satu-satunya provinsi di Indonesia yang tak memiliki bioskop. Absennya ruang bisokop di Aceh lantaran dorongan berbagai kelompok yang berpendapat jika kehadiran bioskop bertentangan dengan syariat Islam.

“Aceh merupakan daerah khusus yang menjalankan syariat Islam secara kaffah (secara menyeluruh),” ujar Rijaluddin, Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) dilansir dari Kompas.com.

Namun, kendala ini menjadi hal tak berarti bagi para pegiat film di Aceh. Mereka tetap melakukan screening film secara sederhana, mulai dari konsep berkeliling memutarnya di daerah-daerah, hingga pemutaran besar di sebuah ruang serba guna dengan memisah antara perempuan dan laki-laki yang tentu dengan pengawasan Polisi Wilayatul Hisbah.

Seperti yang disampaikan Akbar, tak pernah terjadi hal-hal pelanggaran selama pemutaran film dilakukan. Justru yang dilakukan oleh Polisi Wilayatul Hisbah adalah mengimbau penonton agar tak merekam film selama pemutaran.

“Jadi malah tak ada pelanggaran syariat Islam, mereka [Polisi Wilayatul Hisbah] justru akhirnya mengimbau penonton untuk tidak merekam, mendokumentasikan film selama pemutaran saja,” ujar Akbar.

Satu dekade sejak 2013, Aceh Documentary menjadi wajah baru yang mendorong perfilman terus bertumbuh. Hingga tahun 2015 dibentuklah Aceh Film Festival sebagai ajang penghargaan bagi sineas yang terus berjuang.

Untuk mempertahankan geliat perfilman di Aceh, ada strategi yang terus dilakukan yakni dengan menyesuaikan dengan kebiasaan dan jadwal menonton masyarakat Aceh.

“Masyarakat Aceh duduk di warung kopi, ada TV menonton sepak bola, film yang tayang tengah malam. Kami mengikuti jadwal menonton masyarakat untuk mempertontonkan film yang diproduksi (Aceh Film Festival, Aceh Documentary),” tambah Akbar.

Hingga kini perfilman di Aceh mulai diminati oleh generasi muda, mereka yang kuliah di Jawa akan kembali dengan bekal pengalaman dan melirik isu-isu sosial yang terjadi di tanah kelahirannya.

Film Media Mengurai Konflik Sosial di Aceh

Ada pertanyaan menarik dalam sesi Movie Talk “Sinema Pasca Bencana”, Muzayin Nazaruddin selaku moderator melontarkan kalimat cukup menarik “Kira-kira film di Aceh menjadi medium perubahan sosial atau hiburan?”

Seolah penuh konflik sosial, film ternyata mampu menjadi medium untuk mengurainya. Jauh sebelum bencana tsunami Aceh 2004, sekitar tiga puluh tahun Gerakan Aceh Merdeka (GAM) terus bergulir.

Selama periode 1976 hingga 2005 kisah pelik itu menjatuhkan 15.000 korban jiwa dan ribuan pelanggaran HAM terjadi. Dalam penelitian yang berjudul Konflik Vertikal Antara Gerakan Aceh Merdeka di Aceh dengan Pemerintah Pusat di Jakarta Tahun 1976-2005 yang dilakukan Kurnia Jayanti dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menyebut jumlah kasus pelanggaran HAM selama masa Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh sebagai berikut kasus tewas/terbunuh 1.321 kasus, 1.958 kasus hilang, 3.430 kasus penyiksaan, 128 kasus pemerkosaan, dan 597 kasus pembakaran.

Secara singkat konflik di Aceh terjadi lantaran kesenjangan sosial yang sangat mencolok antara Pemerintah pusat dan daerah, ketidakadilan selama puluhan tahun dirasa tidak terlalu diperhatikan. Kesejahteraan, pembagian sumber daya alam yang seharusnya dinikmati oleh masyarakat Aceh, hingga aspirasi terkait keistimewaan identitas dan etno religious syariat Islam yang tak diakomodasi menjadi faktor kekecewaan melalui gerakan separatis GAM.

Sementara kebijakan di masa orde baru yang sangat militeristik penuh kekerasan semakin membuat masyarakat Aceh terus mengalami penderitaan.

Meski pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid, rekonsiliasi dan dialog dilakukan nyatanya hingga tahun 2001 tak ada hasil yang berarti. Hingga tsunami datang di tahun 2004, NGO dan LSM internasional nyatanya malah membawa kompleksitas sendiri dalam proses Pembangunan perdamaian.

Konflik-konflik sosial ini mulai diurai dan disuarakan melalui film. Film yang diproduksi oleh pegiat di Aceh menjadi penanda the voice of voiceless. Film Puing Paling Sunyi menjadi gambaran penderitaan masyarakat Aceh akibat konflik. Meski menyingkap dan menyuarakan konflik, film ini tampak lembut tanpa memasukkan kata konflik, GAM, Pembunuhan, dan pelanggaran HAM lainnya.

“Film yang diproduksi adalah the voice of voiceless. Warga aceh biasa kehilangan suami, anak kehilangan bapak. Ada upaya melupakan itu secara sistematik, kesedihan yang panjang Puing Paling Sunyi adalah tubuh itu sendiri,” ujar Muzayin Nazaruddin.

“Tidak ada kosa kata GAM, Konflik, dan lainnya,” tambahnya.

Hadirnya Akbar dalam sesi Movie Talk menjadi validasi terkait konflik yang pernah terjadi namun tak ada upaya rekonsiliasi.

“Ada dua film (Puing Paling Sunyi, Surat Kaleng 1949) yang apabila tidak hadir disini konteksnya akan hilang,” jelas Akbar.

Puing Paling Sunyi disutradai oleh mahasiswa yang lahir tahun 2004, artinya ia adalah sosok yang tak mengalami langsung konflik di Aceh namun merasakan dampaknya.

“Sutradara orang Aceh, lahir 2004 dia bukan generasi konflik Aceh. Dia punya memori tentang ayahnya sperti ibu dalam film tersebut yang mengalami kekerasan, [pajak Nangroe] ketika tidak ada uang diancam tembak mati, sering takut, marah, menggigil,” tambahnya.

Perbedaan memori dan pengalaman antara sutradara dengan produser yakni Akbar Rafsanjani, sengaja tak diintervensi demi menghasilkan karya yang murni. Menurut Akbar, ada persepsi dan perbedaan dalam meromantisasi konflik di Aceh. Inilah yang menjadi perbedaan di setiap generasi.

Puing Paling Sunyi, sepakat untuk tidak mengintervensi. Penting diproduksi karena ada gap antar generasi, meromantisasi konflik, romantisasi kekerasan,” sebut Akbar.

Menututp, diskusi film-film yang diproduksi pasca bencana adalah upaya menyingkap pesan secara alegoris dengan mencari makna di balik visual dalam film.

“Sekejam apa sih sampai membuat ayahnya traumatik, riset tentang psikologi, memori yang tersimpan dalam tubuh, film ini sangat alegoris,” tutup Muzayin Nazaruddin.

 

Penulis: Meigitaria Sanita

Hybridity
Reading Time: 5 minutes

Deretan karya yang diproduksi oleh dosen dan staf Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII) akhirnya dipamerkan kepada publik untuk pertama kalinya. Presentasi karya yang mengusung isu lingkungan berhasil dikemas dengan unik dan mendapat apresiasi dari pengunjung.

Presentasi bertajuk “Hybridity” menampilkan tujuh belas karya berbentuk buku foto (photobooks), artikulasi atas stage photography, dan film dokumenter pendek dipamerkan pada 15-17 November 2023 di Cafe Sirkel de Koffie Yogyakarta.

Hybridity adalah pameran mini yang fokus pada topik lingkungan yang dieksplorasi dari beragam pendekatan artistik dan tematik. Menurut Dr. Zaki Habibi selaku koordinator sekaligus co currator dalam pameran tersebut menyebut jika konsep Hybridity berasal tiga dasar pemikiran.

Hybridity

Buku foto “Dokumentasi Visual Ekspresi Warga 2019” – kreator: Pusat Dokumentasi Media Alternatif (PSDMA) Nadim

“Tajuk “Hybridity” yang dipilih sebagai fokus tema kuratorial pameran ini berangkat dari tiga premis utama di balik seluruh karya terpilih. Ketiganya adalah hibriditas teknologi (analog-digital, daring-luring), hibriditas nilai dalam keseharian (privat-publik, arogan-toleran), dan hibriditas modalitas (visual, sensoris, pemanggungan dan ke-panggung-an/staging) yang disadari atau tidak telah menjadi bagian tidak terpisahkan dari keseharian hidup warga urban di berbagai sudut dunia,” ujarnya.

Hybridity

Prof. Masduki saat mengunjungi pameran Hybridity

Menariknya isu lingkungan menjadi ringan dinikmati oleh pengunjung yang mengaku jika karya-karya yang dipresentasikan begitu dekat dengan kehidupan sehari-hari.

Salah satu staf Prodi Ilmu Komunikasi UII yang turut menampilkan karya stage photography mengaku kesukaannya pada konser musik membuatnya mampu menyampaikan karya dengan emosi dan interaksi dalam bentuk fotografi.

Hybridity

Presentasi fotografi “Stage Photography” – Rizka Aulia Ramadhani

“Stage Photography, berawal dari kesukaan atau bisa dibilang saya hanya ’penikmat’ pertunjukan musik saja.  Tapi, setelah menyaksikan berbagai pertunjukan musik, ternyata makna panggung atau stage bisa berarti macam-macam buat saya. Itulah yang mendorong saya menyajikan foto-foto pertunjukan musik yang saya datangi menjadi sebuah wujud presentasi yang mencampur-campurkan elemen seperti ini, tak ubahnya bercampur-aduknya emosi dan juga pengalaman saat kita berinteraksi dengan musik dalam arti keutuhannyaujar Rizka Aulia Ramadhani.

Sementara, kreator lainnya yakni Desyatri Parawahyu Mayangsari yang memamerkan buku foto dari pengalaman pribadinya menyebut jika karyanya adalah media self healing untuk dirinya hingga penikmat karyanya.

Hybridity

Buku foto “mBrebeki” – Desyatri Parawahyu Mayangsari

“Buku foto ini memiliki semangat ‘sembuh untuk berkarya, dan berkarya untuk sembuh’, bukan hanya untuk diri sendiri, melainkan untuk semua orang yang melihat buku ini. ‘Sembuh’ dari ‘Luka’ tidak harus melalui hal yang tidak baik, bahkan banyak hal baik yang bisa dilahirkan dari sebuah ‘Luka’” Desyatri Parawahyu Mayangsari.

Karya-karya lain adalah beberapa film dokumenter yang mengangkat isu lingkungan dari Demak Jawa Tengah hingga Aceh.

Deretan karya yang dipresentasikan dapat ditengok di daftar di bawah ini:

Deretan Karya yang Dipresentasikan

  1. Buku foto “Dokumentasi Visual Ekspresi Warga 2019” – kreator: Pusat Dokumentasi Media Alternatif (PSDMA) Nadim
  2. Buku foto “Dokumentasi Visual Ekspresi Warga 2020” – PSDMA Nadim
  3. Buku foto “Dokumentasi Visual Ekspresi Warga 2021” – PSDMA Nadim
  4. Buku foto “Main di Alam dan Iman: a homeschooling life” – Sulistiyawati & A Pambudi W
  5. Buku foto “mBrebeki” – Desyatri Parawahyu Mayangsari
  6. Buku foto “Ikan Bilih, Danau Singkarak, dan Masyarakat di Pinggirannya” – Risky Wahyudi
  7. Buku foto “Inside” – Iven Sumardiyantoro
  8. Buku foto “Subtle Encounter” – Zaki Habibi dan Hayu Hamemayu
  9. Buku foto “Abandoned and Beyond” – Zaki Habibi
  10. Buku foto “SEBUTLAH NAMA tUHANMU SEBELUM TIDUR” – kurator: A Pambudi W, Risky Wahyudi, M.I.T. Gunawan
  11. Buku Foto “Messages in Silence” – M.I.T. Gunawan
  12. Presentasi fotografi “Stage Photography” – Rizka Aulia Ramadhani
  13. Film Dokumenter #1 “Panglima Laot” – sutradara: Muzayin Nazaruddin
  14. Film Dokumenter #2 “Sweat Dripping in the Ripples of the Rivers” – sutradara: Puji Hariyanti
  15. Film Dokumenter #3 “The Man of The Lake” – sutradara: M.I.T. Gunawan
  16. Film Dokumenter #4 “Songket” – sutradara: Herman Felani Tanjung
  17. Film Dokumenter #5 “The Independence Day, Between Tears and Laughter” – sutradara: M.I.T. Gunawan

Mereka yang Sempat Memberi Kesan

Keren sekali, berasa pulang ke rumah semua karyanya berasa dekat – ANP

Got my deep emotional here, thank you hybridity I love all the arts – Z

All of Them are creative – NN

Pamerannya keren banget walaupun rumah berisik, aku selalu ingin pulang – NN

Aesthetic in art is one great life – NN

This is pizza tastic – NN

Hybridity

Kesan dari pengunjung pameran Hybridity

Suka banget sama konsep pamerannya, next time adain lagi ya pameran kayak gini hehe – NN

Thank you untuk pembuat karya, amazing – NN

Pamerannya seru!! Buku konsep jurnalnya unik, jadi kepengen bikin jurnal dari cams roll. Terimakasih, karyanya lucu-lucu Pak Zaki – NN

It’s so warm to read the story behind these beautiful arts. I am wishing to see more in the next chance. See you again, Hybridity! – NN

Each of the story has it own means that can’t be finished in a glance. Jia You! – NN

Pamerannya keren banget!!! Sebelumnya aku ga pernah ke art exhibition. Turns out healing banget. Makasih Pak Zaki for showing art like this to your students – NN

Kece banget dan menyentuh. Hybridity – NN

Suka sama konsepnya apalagi boleh dibaca buku-bukunya keren – NN

DAEBAK. Super keren dan sangat menginspirasi – NN

Pamerannya super berkesan banget! Suka banget sama koleksi seni yang dipamerkan disini, terkesan sederhana tapi penuh dengan makna. Banyak pengalaman unik yang aku baca dari cerita dibalik bentuknya karena yang dihasilkan – NN

Lots of great works lots of great stories – NN

Sangat unik dan menarik pokoknya keren – Suci & Alya

Beberapa karya yang dipresentasikan, sebelumnya telah dipamerkan di beberapa negara salah satunya Malaysia, Singapura, Berlin hingga London. Teranyar, film dokumenter berjudul “The Independence Day, Between Tears and Laughter” telah masuk dalam nominasi film dokumenter pendek terbaik dalam Festival Film Indonesia.

Selain diinisiasi dan dikelola oleh para staf dan dosen di Prodi Ilmu Komunikasi, UII Yogyakarta, presentasi karya ini juga didukung oleh Café Sirkel de Koffie, CIRCLE Indonesia, dan Gueari Galeri Jakarta.

Reading Time: 4 minutes

Sebuah catatan menarik yang ditulis oleh Prof. Dr. rer. soc. Masduki, S.Ag., M.Si., salah satu dosen prodi Ilmu Komunikasi UII yang berkesempatan menjalani program visiting lecturer di School of Creative Management and Performing Arts (SCIMPA), University Utara Malaysia (UUM). Cerita mengalir terkait materi yang komprehensif hingga jelajah wisata kuliner di distrik Changlun.

Visiting lecturer merupakan program kerja sama yang disepakati oleh Prodi Ilmu Komunikasi UII dengan SCIMPA UUM. Berikut catatan yang juga diposting pada media sosial pribadinya.

Visiting Lecturer di UUM Malaysia

4-10 November 2023

Prof. Dr. rer. soc. Masduki, S.Ag., M.Si., saat mengajar di SCIMPA UUM, Foto: Doc pribadi

Fenomena mahasiswa memiliki akun FB lebih dari satu ternyata tidak hanya jamak terjadi di Indonesia, tetapi juga di Malaysia. Bagi para millenials, media sosial begitu penting, bukan semata soal etalase citra diri, tapi ia kini bertransformasi sebagai tool of business.

Merujuk artikel Jiayin Qi (2018), ada pergeseran dari motive presentation of self (Goffman) ke social capital (Bourdieu) dan juga ke shared world (Heidegger).

Kini motivasi membuka akun makin beragam, bangga punya beberapa akun sosmed sekaligus, makin kompleks, memicu perilaku ekonomi berbagi, yang berpola post-privacy di satu sisi, melahirkan ketergantungan pada platform, kolonialisasi platform disisi lain.

Masalahnya, apakah ada kesadaran yang tinggi atas tergerusnya ‘waktu luang’ personal dan hilangnya kedaulatan atas wilayah privasi, data pribadi ketika ber-medsos? Apakah ada kondisi resiprokal: aktivasi/engagement atas medsos dengan right/request to platform owners untuk moderasi konten? Relasi kuasa user dengan platform digital seperti Instagram dan TikTok yang sangat tidak imbang tampak tak dirasakan sebagai ‘masalah’, seolah-olah layanan gratis, tanpa batas.

Pertanyaan dan gugatan kecil ini saya kemukakan saat mengisi kelas selaku dosen tamu pada School of Creative Management and Performing Arts (SCIMPA), University Utara Malaysia (UUM) di Kedah pekan ini, 4-10 November 2023. Selama kurang lebih satu pekan, saya mendapat kehormatan untuk mengikuti budaya akademik, berdiskusi dengan para eksekutif SCIMPA terkait Dual Degree, dan ini yang menggairahkan: mengisi beberapa kelas mahasiswa tingkat bachelor (S1), mengupas the future of digital media, digital media regulation hingga AI journalism.

Menjalankan tugas visiting lecturer, ibarat menjadi ‘warga negara kehormatan’ di UUM. Saya bukan hanya mendapat akses masuk Kompleks kampus dengan area geografis terbesar di Malaysia 24 jam, tinggal di hotel kampus, tapi disediakan ruangan kerja, plus keramahan para academic staf saat ngobrol di pantri, ketemu di koridor menuju kelas, dll.

UUM berlokasi di kawasan Sintok, negara bagian Kedah, dekat perbatasan Thailand, daerah paling utara Malaysia. Dari total 30 ribu mahasiswa, sekitar satu ribu adalah mahasiswa asing dari Eropa dan Timur Tengah. Merujuk QS rating, UUM berada di kisaran 400-450 universitas terbaik di dunia.

Undangan resmi dari Rektor UUM mengikuti Faculty Exchange 2023 untuk berbagi ilmu dan pengalaman akademis terasa istimewa, meskipun durasi offline-nya pendek, satu pekan. Sisa waktu antara November 2023 hingga Februari 2024 agar genap satu semester, berpola online, termasuk mentoring mahasiswa semester 5-6, yang mengerjakan thesis writing, creative production, dll.

Berbeda dengan universitas pada umumnya di Indonesia, UUM adalah model universitas terintegrasi yang mirip ‘pondok pesantren’ di Indonesia. Seluruh mahasiswa wajib tinggal di dalam kampus, beraktifitas akademik dan sosial. Cik Amir dan Ruzinoor, dua dosen senior yang menjadi host mengajak keliling sport center, culinary dan health center, hingga mengajak menikmati menu makan siang di warung dekat perbatasan Thailand. UUM adalah visi besar Dr. Mahathir Muhammad, ‘golden boy’ of Kedah untuk membangun kampus yang paling luas dan lengkap, termasuk lapangan golf dan menembak.

Pada kelas mata kuliah regulasi dan etika untuk industri kreatif di lantai 3 SCIMPA, para mahasiswa yang notabene masih semester satu antusias menyimak penjelasan disrupsi dan kuasa digital yang merendahkan humanitas menjadi sekedar angka algoritma. Mereka sependapat, posisi etika dan regulasi menjadi penting sebagai bentuk pelibatan negara, bukan semata user dan platfom digital dalam kerja moderasi konten digital.

Pada kelas introduction to digital media dengan jumlah mahasiswa yang lebih kecil, mereka, termasuk satu mahasiswa asal dari Jepang antusias mengupas isu robotic journalism, alienasi teknologi atas dunia sosial yang genuine, dan ancaman krisis lapangan kerja fisik pasca disrupsi digital.

Model visiting lecturer yang dikemas hibrid: offline dan online dengan tetap berdurasi satu semester bisa menjadi jalan baru memperkuat budaya mobilitas akademik akademisi Indonesia-Malaysia, yang beyond conference dan publikasi. Ketika ajang konferensi semakin turistik, instant, maka visiting lecturer menyajikan hal sebaliknya: pertukaran ilmu, community engagement jangka panjang.

Tahun ini UUM mengemasnya dalam konsep exchange week (offline) yang memuat aktifitas mengajar, sharing pengalaman publikasi internasional, strategi dan arah kebijakan internasionalisasi, pola karir para akademisi, sharing pengalaman dan jaringan riset kolektif, showing latest campus facilities, dll.

Tinggal satu pekan di kawasan bebas macet Sintok sepertinya sangat pendek. Menikmati aroma dan rasa nasi lemak, nasi kandar, teh tarik, dll menjadi agenda harian tambahan, disertai diskusi dengan warga lokal distrik Sintok, Kedah. Secara kebetulan saya juga telah menjadi board editor Jurnal of Creative Industry and Sustainable Culture SCIMPA sehingga membuka ruang diskusi terkait tata kelola, indexing dan budaya publikasi. Kami mendiskusikan hal ini sambil makan nasi Briyani Ayam Tandoori di warung Islamabad, distrik Changlun, 10 kilo dari UUM.

Kembali ke fenomena sosmed di atas, visiting lecture bagi UUM bukan lagi soal presentation of selfism, lewat indeksasi jumlah pengajar- mahasiswa asing di satu kampus, tapi ruang ‘shared world’, sharing social capital atas nama ekualitas dunia akademik. Pada farewell high tea yang dihelat di resto hotel EDC Kamis sore, Dr Hisyam, Dekan SCIMPA School berbagi optimisme kolaborasi lanjutan terdekat: riset bersama tahun 2024 dengan sharing pendanaan, more exchange lecturer, dll.

Terimakasih SCIMPA UUM dan Program Studi Komunikasi UII atas pertukaran akademik singkat ini. Khususnya, untuk pengalaman kecil mengajar dengan kombinasi bahasa pengantar Inggris, Indonesia dan Melayu, suatu hybrida komunikasi yang unik, ada local wisdom.

Selebihnya, menghayati keramahan scholars negeri jiran, ‘on the spot’ mengingat lagu lagu legendaris tahun 1990-an, seperti Suci Dalam Debu, Isabella, atau lagu lagu gubahan P. Ramlee adalah sebuah kemewahan. Selain lagu-lagu slow rock, nasi lemak, nasi kandar dan teh tarik adalah cara lain memahami negeri jiran, yang makin progressif dalam kerja-kerja kolaborasi akademik global.

 

*Catatan ini telah terbit di Facebook pribadi pemilik

Kunjungan ke UUM
Reading Time: 3 minutes

Bertandang ke Malaysia selama tiga hari, Kaprodi Ilmu Komunikasi UII beserta jajarannya membawa kabar segar bagi kita semua. Pasalnya telah terjadi kesepakatan beberapa program antara Prodi Ilmu Komunikasi UII dengan School of Creative Industry Management and Performing Arts (SCIMPA) Universiti Utara Malaysia (UUM).

Kedua belah pihak intens melakukan berbagai kesepakatan dan kegiatan selama tiga hari yakni 4-6 November 2023. Ada dua hal utama yang menjadi kesepakatan dan realisasi kerja sama yakni Pendidikan dan Pengajaran serta Riset dan Publikasi.

Sebenarnya antara Prodi Ilmu Komunikasi UII dengan SCIMPA UUM kerap kali berkolaborasi dalam berbagai program internasional. Beberapa program yang telah berjalan adalah Exchange Program serta Passage to Asean atau sering dikenal dengan P2A.

Menurut Kaprodi Ilmu Komunikasi UII, Bapak Iwan Awaluddin Yusuf, Ph.D., kegiatan berlangsung dengan sangat lancar dan hangat. Kedatangan Prodi Ilmu Komunikasi UII disambut oleh Dekan, dosen, serta mahasiswa dari SCIMPA UUM.

“Rangkaian pertemuan dan pelaksanaan kerjasama Prodi kita dengan SCIMPA UUM berjalan lancar dan produktif. Sejak kedatangan di hari Sabtu malam, kami disambut hangat di Bandara langsung oleh Dekan, Wakil Dekan dan dosen-dosen, serta perwakilan lembaga mahasiswa di SCIMPA,” terangnya dalam pesan tertulis.

Selama diskusi suasana begitu cair, bahkan kedua pihak sempat berbalas pantun yang menjadi warisan budaya Melayu.

“Semua agenda pertemuan sangat hangat dan sempat berbalas pantun,” sebutnya lagi mendeskripsikan keseruan yang terjadi.

Beberapa program yang segera direalisasikan salah satunya adalah Dual Degree, lantas apa saja program lainnya?

Kunjungan ke UUM

Suasana di perpustakaan UUM, Foto: Dok Pribadi

Pendidikan dan Pengajaran

Dalam bidang Pendidikan dan Pengajaran, salah satu program yang sudah 100 persen disepakatai adalah Dual Degree. Diskusi terkait schedule, biaya, prosedur, kriteria, hingga kurikulum.

Kemungkinan pembukaan dan pelaksanaan program Dual Degree akan direalisasikan pada tahun 2024 mendatang.

“Alhamdulilah kita telah bersepakat akan menjalankan kerjasama program Dual Degree. Kemarin saya mewakili Prodi juga sudah presentasi yang dilanjutkan berdiskusi intensif tentang pembahasan teknis. Pembukaan dan pelaksanaan Dual Degree tahun depan,” jelas Kaprodi Ilmu Komunikasi UII.

Dual Degree adalah program perkuliahan untuk meraih dua gelar akademis sekaligus (gelar sarjana ganda) dalam satu periode studi. Biasanya Dual Degrree didapatkan dari universitas dalam negeri dan luar negeri yang menjalin kerja sama.

Dalam hal ini mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi UII yang bersedia mengikuti program Dual Degree akan mendapat gelar sarjana dari UII dan UUM.

“Beberapa hal teknis masih perlu disesuaikan karena perbedaan standar akademik. Namun demikian, Intinya kita telah 100% bersepakat secara resiprokal,” tegasnya lagi.

Selain Dual Degree, program lainnya adalah Visiting Lecturer baik secara online maupun offline. Salah satu dosen yang telah mengikuti program tersebut adalah Prof. Dr. rer. Masduki.

“Kita diundang menjadi Visiting Lectuter untuk dosen. Dari kita Pak Masduki yang mendaftar, dan diterima,” ungkapnya.

Ketiga adalah UUM International Faculty Exchange Week (IFEX @UUM) yang setiap tahun digelar. Tentu program internasional ini akan melibatkan dan mengundang mahasiswa dari prodi Ilmu Komunikasi UII

Kunjungan ke UUM

Rombongan Prodi Ilmu Komunikasi UII berkesempatan berkeliling di museum UUM, Foto: Dok Pribadi

Riset dan Publikasi

Kerja sama selanjutnya adalah bidang Riset dan Publikasi. Hasil penelitian dari UII berkesempatan terbit di Jurnal UUM, begitupun sebaliknya.

Menariknya ajakan publikasi ini akan membuat suatu proyek buku referensi terkait lansekap dua negara, Indonesia dan Malaysia.

“Jurnal mereka siap menerima artikel dari kita begitu pula sebaliknya. Yang menarik antara lain ajakan publikasi bersama untuk penulisan buku referensi dengan konteks lansekap dua negara.  SCIMPA UUM mengirimkan jurnal dan buku untuk kita,” terang Kaprodi Ilmu Komunikasi UII.

Itulah beberapa kesepakatan dan kerja sama yang segera direalisasikam antara Prodi Ilmu Komunikasai UII dan SCIMPA UUM. Meski dua area program di atas telah disepakati 100 persen, masih ada kemungkinan kerja sama lainnya antara lain pengabdian masyarakat lima negara, riset dan mengajukan grant bersama ke BRIN.

Kunjungan ke UUM kali ini menjadi momen berharga dan penuh keseruan, rombongan dari Prodi Ilmu Komunikasi juga sempat diajak berkeliling mengunjungi Perpustakaan dan Museum di UUM.

 

Penulis: Meigitaria Sanita

Semangka
Reading Time: 4 minutes

Seruan membela Palestina atas tindak kejahatan kemanusiaan oleh Israel yang terjadi di sepanjang jalur Gaza terus menggema. Seruan ini diekspresikan lewat ilustrasi buah semangka yang menjadi simbol Palestina tak henti-hentinya menghiasi media sosial.

Media sosial menjadi ruang ekspresi dan advokasi yang dilakukan oleh berbagai pihak di Indonesia untuk mendukung pembebasan Palestina. Tak hanya itu, baru saja Aksi Damai Bela Palestina digelar di Monumen Nasional (Monas) pada Minggu, 5 November 2023.

Ilustrasi buah semangka menjadi properti yang melengkapi aksi damai dari pagi hingga siang. Mulai dari masyarakat, influencer, hingga publik figur turun ke jalan dengan mengibarkan poster ilustrasi buah semangka.

Deretan petinggi negeri turut hadir, seperti Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, hingga Muhadjir Effendi selaku Menko PMK turut hadir dalam gelaran aksi damai tersebut. Secara tegas Indonesia mendeklarasikan dukungan pembebasan Palestina.

“Atas nama pemerintah Indonesia, kami ingin menegaskan kembali dukungan Indonesia pada perjuangan bangsa Palestina,” ujar Menlu Retno Marsudi, dikutip pada laman Kompas.com.

Senada dengan Menlu, Yaqut Cholil Qoumas menegaskan jika membela Palestiana adalah bentuk membela kemanusiaan.

“Posisi Indonesia jelas. Kita akan berdiri bersama Palestina. Membela rakyat Palestina adalah membela kemanusiaan,” ujarnya dikutip dalam laman resmi Kemenag RI.

Sejak 7 Oktober 2023, Hamas atau Harrakat al-Muqawwamatul Islamiyah memulai gerakan sebagai tanda eskalasi antara Palestina dan Israel sejak keterlibatan perang pada tahun 2021 yang berlangsung selama 11 hari. Gerakan yang dilakukan Hamas merupakan bentuk respon atas kekejaman Israel selama beberapa tahun terakhir.

Berdasarkan update terkini (6 November 2023) dilansir dari laman Aljazeera, korban tewas di jalur Gaza terus meningkat setidaknya 9.770 warga Palestina meninggal dalam serangan Israel dan 1.400 orang Israel tewas atas serangan Hamas sejak 7 Oktober lalu.

Makna dan Sejarah Buah Semangka untuk Palestina

Mengulik sejarah tentang simbol buah semangka yang digunakan untuk menyerukan pembelaan terhadap Palestina dari tragedi kemanusiaan sebenarnya telah terjadi sejak 1967. Mengutip dari laman media Time, hal ini dilakukan perang enam hari pasca Israel menguasai jalur Gaza.

Di tahun 2023, kejadian berulang pada bulan Januari Menteri Keamanan Nasional Israel Itamar Ben-Gvir memberikan perintah kepada polisi untuk menyita bendera Palestina. Disusul pemungutan suara atas rancangan undang-undang yang melarang orang-orang mengibarkan bendera Palestina di kantor pemerintahan termasuk universitas pada bulan Juni lalu.

Berdasarkan penuturan dosen Prodi Ilmu Komunikasi UII, Muzayin Nazaruddin, S.Sos., MA yang mengkaji lebih dalam terkait ilmu semiotik dan komunikasi, buah semangka dipilih karena memiliki nilai historis. Tak hanya itu, pada tahun 1967 pihak Israel juga melarang pengibaran bendera Palestina. Mereka menganggap mengibarkan bendera Palestina di ruang publik adalah tindakan kriminal.

“Semangka (dan sendok) adalah simbol perlawanan Palestina. Tentu, keduanya punya kisah historis masing-masing mengapa menjadi simbol perlawanan Palestina. Semangka menjadi simbol perlawanan sejak 1960-an ketika Perang Enam Hari 1967 terjadi dan Israel melarang pengibaran bendera Palestina karena dikhawatirkan bisa mengobarkan semangat nasionalisme Arab-Palestina,” tuturnya.

Tak sekedar warna buah semangka yang mewakili bendera Palestina, buah ini ternyata juga berkaitan dengan aspek kedaulatan pangan. Semangka merupakan varietas yang tumbuh subur di Palestina. Mengutip dari Tempo, selama masa Intifada tahun 1987-1993, Israel melarang petani Palestina menanam semangka yang dikenal dengan Jadu’i. hal ini dilakukan demi menekan pemberontakan mengingat sumber perekonomian terbesar dari bidang pertanian.

“Semangka dipilih karena kesamaan warna dengan bendera Palestina. Tentu saja, pilihan itu historis dan kontekstual, warga Palestina memilih semangka karena memang buah itu tumbuh subur di negara mereka. Kebetulan semangka, ketika dibelah, memiliki paduan warna yang sama dengan bendera negara Palestina,” tambah Muzayin.

Kampanye Semangka di Media Sosial

Saat ini ilustrasi semangka telah menjadi bagian dari kampanye di berbagai media, termasuk media sosial hingga media masa. Beberapa laman berita online nasional seperti Republika dan Detik dengan lugas menyisipkan ilustrasi semangka pada logo portalnya.

Begitupun dengan para influencer di tanah air yang terus menerus menerus membagikan ilustrasi dan emoticon semangka di akun media sosialnya untuk sebagai bentuk advokasi pembebasan Palestina.

Meski di Indonesia sebenarnya tak ada larangan mengunggah bendera Palestina, simbol semangka digunakan untuk menghindari sensor dunia maya.

“Dalam invasi Israel di tahun 2023 ini, semangka kembali menjadi simbol yang populer karena bisa menghindari sensor ‘dunia maya’. Yang menarik adalah ketika penggunaan simbol semangka itu mengglobal, orang dari berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia, menggunakan semangka sebagai bentuk dukungan dan simpati mereka pada penduduk Palestina. Bukankah mereka, yang di luar Palestina, bisa dengan bebas mengibarkan bendera Palestina ketika berunjuk rasa? Mengapa mereka memilih semangka?,” ujarnya.

Secara umum, menyerukan aksi dengan mengibarkan bendera saat berdemonstrasi atau melakukan berbagai gerakan perlawanan adalah pilihan yang tampak gagah dan patriotik. Bendera dikibarkan dengan gagah, dengan semangat kuat membela bendera itu sendiri.

Namun, lebih dari itu semangka adalah pilihan yang berbeda. Jika bendera hanya menunjukkan perang antara negara, semangka adalah tentang kejahatan kemanusiaan.

“Sementara, pilihan semangka menunjukkan hal yang sangat berbeda. Yang terjadi bukanlah perang dua negara, “dua bendera”, yang sama-sama kuat, yang sama-sama mengibarkan bendera dengan gagah, yang memperjuangkan klaimnya masing-masing. Yang terjadi adalah “kejahatan kemanusiaan” dari satu negara yang mengibarkan bendera mereka dengan pongah, terhadap negara lain yang bahkan untuk mengibarkan bendera mereka pun tidak boleh,” jelasnya.

Dengan mengkampanyekan ilustrasi ini, masyarakat global diingatkan untuk terus membuka mata betapa pilu dan terkoyaknya kondisi Palestina saat ini.

“Semangka adalah simbol perlawanan yang ‘pilu’ dan ‘terkoyak’. Ketika masyarakat global memilih simbol itu, kita sebenarnya tengah mendefinisikan apa yang tengah terjadi, kemanusiaan yang tercabik dan kepiluan karena ketidakmampuan, bahkan warga global sekalipun, untuk segera menghentikan itu,” tandasnya.

Media sebagai ruang ekspresi dan advokasi pembebasan untuk Palestina. Secara tidak langsung masyarakat global yang memposting ilustrasi semangka di media sosial secara berulang telah melakukan propaganda untuk membela mereka yang tertindas.

Bagaimana dengan dirimu Comms, sudahkah turut mengkampanyekan semangka di media sosial sebagai bentuk aksi kemanusiaan?

 

Penulis: Meigitaria Sanita

Konferensi
Reading Time: 4 minutes

Dua pengajar dari Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII) bulan lalu berkesempatan mempresentasikan hasil risetnya di Sydney, Australia. Konferensi bertajuk “Indonesia Council Open Conference (ICOC) 2023” yang diselenggarakan oleh The Sydney Southeast Asia Centre at the University of Sydney and Humanitarian and Development Studies at Western Sydney University pada 25-27 September 2023.

Tema yang dipilih dalam ICOC 2023 adalah “Indonesia 25 Years On”, tema ini dipilih untuk menandai seperempat abad penolakan otoritarianisme di Indonesia setelah lengsernya Presiden Suharto pada Mei 1998.

Riset-riset yang dilakukan oleh para akademisi di berbagai disiplin ini diharapkan mampu menjawab kondisi Indonesia masa kini setelah jutaan orang turun ke jalan melakukan protes atas kekacauan ekonomi dan sosial masa itu.

Dua dosen yang berkesempatan mempresentasikan hasil risetnya adalah Dr. Herman Felani Tandjung, S.S., MA dan Dr. Subhan Afifi, S.Sos., M.Si.

Setidaknya ada tiga riset dari Prodi Ilmu Komunikasi UII yang dipresentasikan pada ICOC 2023, riset-riset tersebut antara lain “From Agriculture to Tourism: The Race of  Villages in the Magelang area to become tourist attractions”,Digital Health Communication in Indonesia: Opportunities and Challenges”, dan “Sousveillance and New Social Control in Digital Democracy in the Present Indonesia”.

  1. From Agriculture to Tourism

Artikel berjudul “From Agriculture to Tourism: The Race of Villages in the Magelang Area to Become Tourist Attractions” merupakan hasil riset yang dilakukan oleh Dr. Herman Felani Tandjung.

“Banyak desa di Magelang berlomba lomba untuk menjadi desa wisata yang justru menimbulkan masalah lingkungan dan benturan budaya beberapa warga lebih memilih bekerja di wisata dan meninggalkan dunia pertanian,” ungkap Dr. Herman saat menjelaskan hasil risetnya.

Konferensi

The Sydney Southeast Asia Centre at the University of Sydney and Humanitarian and Development Studies at Western Sydney University

Abstrak:

Dalam satu dekade terakhir, penggunaan media sosial yang masif telah mempengaruhi cara desa berinteraksi dengan dengan orang-orang dari daerah perkotaan. Banyak tempat yang dulunya terpencil dan kurang terpengaruh oleh masyarakat perkotaan, kini telah membuka diri terhadap orang luar, yang sering kali dibentuk oleh eksposur di media sosial. Desa-desa di Magelang, Jawa Tengah kini bertransformasi dari desa-desa pertanian menjadi ‘Desa Wisata’ untuk sebagai tempat wisata. Pergeseran ini didorong oleh pemerintah melalui kebijakan top down untuk meningkatkan ekonomi melalui ekonomi kreatif dan pariwisata. Namun, upaya untuk ikut berlomba mencapai status mencapai status ‘Desa Wisata’ tidak diimbangi dengan pembangunan manusia dan peningkatan pembangunan manusia dan perbaikan infrastruktur. Penelitian ini bertujuan untuk membahas perjuangan desa-desa di Magelang untuk menjadi wisata dan kesenjangan yang perlu diatasi.

“ICOC 2023 yang mempertemukan para akademisi dan peneliti dari berbagai disiplin ilmu yang mempunyai minat terhadap Indonesia. Tema ICOC 2023 adalah Indonesia 25 Years On. Dalam ICOC ini saya berkesempatan mempresentasikan hasil riset tersebut,” tambahnya.

  1. Digital Health Communication in Indonesia

Riset berjudul “Digital Health Communication in Indonesia: Opportunities and Challenges” merupakan riset kolaboratif yang dilakukan oleh Dr. Subhan Afifi bersama Puji Rianto, S.I.P, MA yang berhalangan hadir dalam konferensi tersebut.

Konferensi

The Sydney Southeast Asia Centre at the University of Sydney and Humanitarian and Development Studies at Western Sydney University

Abstrak:

Setelah reformasi 1998, pemerintah Indonesia telah menunjukkan komitmen untuk memanfaatkan teknologi informasi untuk meningkatkan kualitas layanan kesehatan. Kementerian Kesehatan telah membuat prioritas untuk merumuskan kebijakan dan strategi komunikasi kesehatan yang bertujuan untuk mempengaruhi perilaku kesehatan individu dan masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kebijakan, strategi, dan implementasi komunikasi kesehatan digital di Indonesia, dengan fokus pada identifikasi peluang dan tantangan. Untuk mencapai tujuan tersebut, studi ini mengumpulkan data melalui analisis dokumen dan media komunikasi kesehatan digital yang diproduksi oleh Kementerian Kesehatan, dan wawancara mendalam mendalam dengan para pemangku kepentingan komunikasi kesehatan di Indonesia. Secara khusus, studi ini mengidentifikasi kebijakan dan strategi komunikasi kesehatan yang dirumuskan, karakteristik media dan konten komunikasi media dan konten komunikasi digital yang dikembangkan, menilai tingkat partisipasi masyarakat dan menyoroti hambatan dalam mengimplementasikan strategi komunikasi kesehatan digital yang dikembangkan oleh pemerintah Indonesia.

  1. Sousveillance and New Social Control in Digita; Democracy in the Present Indonesia

Riset ini juga dilakukan oleh Dr. Subhan Afifi bersama Puji Rianto, S.I.P, MA. Fokus riset ini adalah ketidakpercayaan publik terhadap polisi dan melihat bentuk sousveillance dalam konteks demokrasi digital.

Abstrak:

Tagar #percumalaporpolisi, yang berarti “percuma melapor ke polisi” menjadi menjadi trending topic di media sosial baru-baru ini. Tagar ini telah menjadi simbol gerakan di kalangan netizen Indonesia dalam melawan institusi kepolisian yang korup. Penelitian ini bertujuan untuk melihat bentuk-bentuk sousveillance dalam konteks demokrasi digital di Indonesia dan untuk mengidentifikasi sejauh mana dalam mengoreksi pelanggaran hukum dan menegakkan hukum. Melalui penelitian kuantitatif, penelitian ini penelitian ini mencoba untuk mengajukan investigasi mendalam tentang praktik sousveillance dalam demokrasi digital di Indonesia. Penelitian ini menemukan bahwa tidak semua praktik tersebut berhasil membuat perubahan yang lebih baik. Namun, ada harapan yang berkembang untuk kontrol akar rumput dalam demokrasi Indonesia yang sedang mengalami kemerosotan. Studi ini juga menemukan beberapa faktor yang saling terkait yang menentukan efektivitas sousveillance seperti indikator media antar-agensi, kepentingan yang terlibat, aktor dan pihak yang berpengaruh dalam pengawasan.

“Alhamdulillah, melalui ICOC 2023 kami berkesempatan mempublikasikan hasil penelitian, sekaligus mengembangkan jejaring kerjasama dan kolaborasi riset secara internasional. Semoga memberikan kemanfaatan yang besar untuk semua. Terimakasih untuk Prodi Ilmu Komunikasi yang sudah memfasilitasi kegiatan ini. Jazakumullah khairan,” pungkas Dr. Subhan Afifi.

Esai
Reading Time: 3 minutes

Salah satu kemampuan yang wajib dimiliki mahasiswa adalah membuat artikel ilmiah hingga esai. Tak jarang beberapa mata kuliah khususnya bidang humaniora mewajibkan mahasiswa membuat esai dalam penilaian akhir.

Mengutip dari Merriam Webster Dictionary, esai merupakan komposisi sastra analitik atau interpretatif yang membahas topik tertentu dengan suduk pandnag terbatas.

Artinya dalam membuat esai poin penting yang wajib diketahui mahasiswa bukan hanya soal topik yang dijelaskan melainkan bagaimana cara menjelaskan suatu topik. Menjelaskan dengan argumentatif dan subjektif penulis.

Pengetahuan dan kemampuan menulis esai sangat dibutuhkan, mengingat dengan pesatnya perkembangan artificial intelligence (AI) yang banyak dimanfaatkan mahasiswa untuk berbuat sedikit nakal dalam menyelesaikannya.

Meski sering terlewat dalam sistem pendeteksi plagiasi, pembuatan esai menggunakan AI ternyata sangat mudah terdeteksi. Hal ini dapat dibaca dari karakter penulisan esai.

Salah satu dosen Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII), Dian Dwi Anisa, S.Pd., MA, menyebut tujuan membuat esai bagi mahasiswa adalah untuk mengukur kemampuan logic mahasiswa dalam menangkap suatu isu.

Dosen yang mengampu mata kuliah Penulisan Kreatif itu juga menyebut esai merupakan bentuk kerja individu yang dapat melatih kemampuan dasar dalam menulis pada mahasiswa seperti menempatkan dan membedakan struktur kalimat mulai dari subjek, objek, dan keterangan.

“Untuk mengetahui dan mengukur logika berpikir mahasiswa dalam merespon isu, serta melatih kemampuan dasar dalam menulis,” ujarnya.

Kultur menulis di Prodi Komunikasi UII sengaja dibentuk sejak awal semester agar terbiasa mengembangkan argumen dengan mengkombinasi data dan fakta. Tujuannya tentu untuk meminimalisir berbagai bentuk plagiarisme.

Tercatat dalam tiga tahun terakhir, ada dua karya dari Prodi Ilmu Komunikasi yang diplagiat oleh institusi pendidikan lain. Tentu hal ini sangat meresahkan bagi penulis utama. Hal ini disampaikan oleh dosen Prodi Ilmu Komunikasi yakni Narayana Mahendra Prastya, S.Sos., MA, beberapa waktu lalu.

Artikelnya yang berjudul “Pemanfaatan Situs Web Resmi Lembaga Pendidikan sebagai Sumber Berita oleh Wartawan Surat Kabar Lokal di Yogyakarta” dalam publikasi Jurnal The Messenger Volume 9, No.2, 2017 diplagiat oleh mahasiswa dari Universitas lain dengan judul “Pemanfaatan Web Resmi Perguruan Tinggi sebagai Sumber Berita oleh Wartawan Media Massa Lokal” yang dipublikasikan pada Jurnal Gunahumas, Vol 2, No 1, 2019.

Mengetahui karya dicuri, Narayana mengambil tindakan protes dan menyertakan bukti kepada penerbit.

“Saya mengirimkan email protes kepada pengeola jurnal Gunahumas dan penulis. Pada email itu saya lampirkan artikel saya dan artikel peniru,” ujarnya.

Atas protes tersebut ia mendapat balasan permintaan maaf dari pelaku, dan take down artikel kepada pihak penerbit. Artikel berhasil di take down pada Juli 2021.

Kasus terbaru juga menimpa Nadia Wasta Utami, S.I.Kom, MA, tugas akhir mahasiswa bimbingannya Vania Taufik Rahmani yang berjudul “Analisis E-Customer Relationship Manamgement BPJS Kesehatan Republik Indonesia pada Mada Pandemi Covid-19 dalam Menjaga Loyalitas Pelanggan”.

Karya tersebut diplagiat oleh AL dan MC dengan judul “Analisis E-Customer Relationship Manamgement BPJS Kesehatan Republik Indonesia pada Masa Pandemi Covid-19 dalam Menjaga Loyalitas Pelanggan” dan dipublikasikan di Jurnal ResPublica Vol.1, No 3, Maret 2023.

Kasus-kasus plagiarisme seperti di atas diharapkan tidak dilakukan oleh mahasiswa maupun civitas akademika di Prodi Ilmu Komunikasi UII. Untuk menghindari hal demikian perlu dibangun kultur kejujuran sejak dini. Salah satunya intensitas berlatih menulis esai. Namun banyak kendala yang dialami mahasiswa sehingga menganggap menulis esai sangat sulit.

Untuk memudahkan, berikut beberapa tips menulis esai yang dikutip dari laman resmi Students The University of Melbourne.

Tips Menulis Esai

  1. Analisis Topik untuk Memulai Awalan yang Menarik

Esai berisi argumen dan tanggapan, hal pertama yang wajib dilakukan adalah menganalisis topik. Pastikan mahasiswa mengetahui secara detail topik yang akan dijelaskan.

Cara menganalisis dengan cara riset kecil seperti membaca data, jurnal, dan berbagai referensi lainnya. Data dan hasil riset tersebut dapat disajikan menjadi fakta pembuka yang menggugah dan menarik di awal tulisan.

  1. Menentukan Argumen

Menentukan argumen artinya menjelaskan perspektif kita terhadap topik yang disajikan dalam menjawab pertanyaan. Argumen harus diimbangi dengan fakta empiris, sehingga dapat menyajikan dalam bentuk kalimat secara spesifik.

Pastikan sebelum menjawab dengan argumen masukkan konflik, contohnya topik darurat sampah di Yogyakarta. Uraikan secara menarik dan detail fenomena tersebut sehingga mudah menentukan argumen.

  1. Membuat Susunan Koheren

Hal ini menjadi hal dasar yang wajib diketahu, dalam esai terdiri dari pendahuluan, isi, dan kesimpulan. Pastikan untuk menyusun secara koheren.

Pendahuluan bersisi konteks esai, isi adalah pengembangan argumen serta uraian kasus dengan berbagai bukti, sementara kesimpulan biasanya berisi tawaran solusi.

  1. Menuliskan dengan Jelas

Tuliskan kalimat secara jelas dengan poin-poin yang tepat. Pastikan untuk membaca ulang atau editing cermat dan lakukan berulang agar tak ada kalimat yang ambigu.

  1. Megutip Sumber yang Kredibel

Cantumkan dan periksa sumber yang valid dan kredibel. Pastikan bahwa kutipan akurat dan lengkap. Penting bagi mahasiswa untuk membaca Teknik mengutip sumber referensi seperti jurnal, website, hingga buku.

Demikian beberapa tips menulis esai tanpa pusing harus bergantung dengan AI. Yuk, terapkan tips-tips tersebut ya Comms.

 

AWG
Reading Time: 4 minutes

Letak geografis negara Indonesia selama ini dianggap keuntungan luar biasa. Selalu dikagumi dan disanjung dengan kata-kata cantik, indah, dan menakjubkan karena laut dan gunungnya yang  menyimpan sumber daya dan selalu estetik dalam potret yang bertebaran di media.

Namun, ada hal yang luput tentang keindahan Indonesia. Seolah terbuai dengan keindahan, Indonesia ternyata negara rawan bencana mulai dari gempa bumi, tsunami, erupsi, hingga banjir.

Berdasarkan riset bertajuk World Risk Report 2022 yang dirilis oleh Bündnis Entwicklung Hilft bersama Institute for International Law of Peace and Armed Conflict (IFHV) of the Ruhr-University Bochum menyebut bahwa Indonesia merupakan negara paling berisiko terkena bencana kedua di dunia dengan skor World Risk Index (WRI) sebesar 43,50 poin.

Dalam laporan tersebut terdapat 193 negara berisiko terkena bencana di dunia, posisi pertama adalah Filipina dengan skor WRI 46,86 poin, disusul Indonesia. Selengkapnya dapat diakses melalui https://reliefweb.int/report/world/worldriskreport-2023-disaster-risk-and-diversity.

Setidaknya ada lima indikator mengapa Indonesia masuk dalam negara kedua paling rawan bencana di dunia yakni paparan (exposure), kerentanan (vulnerability), kerawanan (susceptibility), kurangnya kapasitas mengatasi masalah (lack of coping capacities), kurangnya kapsitas adaptasi (lack of adaptive capacities).

Peliknya persoalan bencana di Indonesia seolah tak banyak dilirik, terbukti dengan minimnya edukasi dan literasi kebencanaan di ranah pendidikan. Melihat keresahan ini, International Program Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII) menggelar workshop bertajuk “The 4th Annual Workshop on Globalization 2023: Media and Disaster Journalism, Comparing Indonesian and Japanese Experiences” pada 19 Oktober 2023 di Perpustakaan Pusat UII.

Annual Workshop on Globalization (AWG) ini merupakan workshop tahunan yang digelar oleh International Program Prodi Ilmu Komunikasi UII. Dalam diskusi yang dipandu oleh Dr. Zaki Habibi hadir tiga pembicara yakni Yoshimi Nishi, Professor and Researcher in The Center for Southeast Asian Studies (CSEAS), Kyoto University, Jepang. Pembicara kedua adalah Ahmad Arif, General Chairman of Disaster Journalist for Indonesia and Kompas Journalist. Ketiga, Muzayin Nazaruddin, Researcher on Disaster and Enviromental Communication, Universitas Islam Indonesia.

AWG

Annual Workshop Globalization, foto bersama pembicara dan mahasiswa
Foto: Rizka Aulia Ramadhani

Comparing Indonesian and Japanese Experiences

Membandingan Indonesia dan Jepang dalam segi pengalaman bencana menjadi inti pembahasan AWG kali ini. Jika Indonesia masih terperangkap dalam eksploitasi tangisan kehilangan akibat bencana di media, ternyata Jepang lebih memberikan edukasi cara bangkit hingga antisipasi bencana susulan dalam berita di media lokal dan nasional.

Yoshimi Nishi menyampaikan materi terkait “Collective Memory and Inheritance of Disaster Experience in Jepang”, ia menjelaskan konsep mitigasi bencana, komunikasi bencana yang dibangun pemerintah di Jepang, hingga Memorial Day yang terus disampaikan dalam sistem pendidikan di Jepang agar semua siswa dari generasi memahami negaranya adalah tempat rawan bencana sehingga mampu beradaptasi dan bangkit dari bencana.

Salah satu komunikasi dan edukasi dibangun melalui film dan drama series. Tahun 2016 ada Your Name atau dalam bahasa Jepang Kimi no Na Wa, Shin Godzilla (2016), Crimson Fat (1976), Oshin (1983-1984), dan banyak lainnya.

Film sengaja dijadikan media edukasi bagi masyarakat Jepang, bahkan mereka memiliki kalimat ampuh yakni “sonae” “kakugo” yang berarti kesiapsiagaan.

Disaster film is strategy disaster management. From costume to culture, sonae kakugo,” ucap Yoshimi Nishi.

Ia menjelaskan terkait cerita yang dibangun melalui berbagai cara dan upaya mampu membangkitkan kesiapsiagaan masyarakat di Jepang dalam menghadapi bencana besar seperti tsunami maupun gempa.

Your body moves without you even thinking abaout it, culture transmitted acrros generations. Stories can experience events you have never experienced before,” imbuhnya.

Jika di Jepang masyarakat telah siap dan beradaptasi dengan bencana, lain halnya dengan Indonesia. Ahmad Arif yang telah malang melintang di dunia media menyampaikan materi terkait “Lesson from Aceh Tsunami 2004 in Japan 2011: Disaster Similiarities, Differences in Media Responses” menyebut bahwa media di Indonesia masih terperangkap dalam eksploitasi kesedihan bencana.

Dari pengalaman meliput kedua bencana, Ahmad Arif membuka materi dengan membandingkan data kedua bencana yang berkekuatan sama, gempa tsunami di Aceh berkekuatan Mw 9,1 memakan korban 126.915 orang meninggal, 37.063 dinyatakan hilang. Sementara di Sendai, Japan dengan kekuatan gempa tsunami Mw 9,1 dengan korban meninggal 15.883 meninggal dan 2.681 korban hilang.

Angka-angka itu menjadi fakta bahwa Indonesia masih minim kapasitas dalam mengatasi dan adaptasi bencana. Banyak faktor yang membuat Indonesia tertinggal jauh dalam menghadapi bencana karena budaya dan kebiasaan masyarakat.

“Indonesia tertinggal dari Jepang, agak susah meniru karena berbagai faktor mulai dari budaya, antropologi, dan sejarah,” terang Ahmad Arif.

Minimnya pengetahuan mitigasi bencana semakin diperparah dengan karakter media di Indonesia. Dari riset yang dilakukan oleh Ahmad Arif ada perbedaan mencolok dalam segi peliputan. Bencana tsunami Aceh 2004 seolah terputus karena akses dan informasi terputus sehingga foto kejadian itu diketahui di hari kedua. Sementara pada tsunami Sendai 2011, informasi langsung diketahui di hari yang sama karena media di Jepang telah mengantisipasi peristiwa yang akan terjadi.

“Foto tsunami Aceh baru diketahui di hari kedua, foto yang dicantumkan pada hari pertama itu tsunami di India. Berbeda dengan di media Jepang yakni Yomiuri Shimbun, media di sana sudah mengantisipasi peristiwa ini (bencana) akan terjadi,” jelasnya.

Ditambah fokus media di Indonesia adalah fokus memotret tragedi dengan konten yang sama dengan gambar kerusakan, orang menangis, dan gambar korban. Sementara di Jepang lebih fokus pada proses recovery.

Terakhir materi terkait “Media and Disasters: Indonesian Experiences (Some Early Reflections)” yang disampaikan oleh Muzayin Nazaruddin yang telah aktif mendalami kajian komunikasi bencana.

Pada awal penyampaian materi, ia melempar pertanyaan terkait bencana tsunami Aceh kepada audiens. Ia menanyakan apakah para mahasiswa yang lahir pada tahun sekitar tahun 2004 tahu informasi terkait bencana tersebut. Menariknya, mahasiswa menjawab mereka mengetahui dari media dan cerita orang tua namun tidak dari sekolah atau institusi pendidikan. Hal ini menegaskan bahwa minim edukasi mitigasi bencana di bangku sekolah.

Akibat eksploitasi media Indonesia terhadap tragedi bencana, berdampak pada korban bencana yang mudah mendapat informasi hoaks.

The media landscape has dramatically changed more effective for risk communication, its mean more hoax, more rumors,” pungkas Muzayin Nazarudin.

Muzayin memberikan lima tawaran untuk menghadapi dan merespons bencana di Indonesia antara lain mengintegrasikan kebijakan redaksi dengan kebijakan pengurangan risiko bencana yang lebih komprehensif dengan kebijakan pengurangan risiko bencana.

Kedua, transformasi dari “bencana sebagai peristiwa media” menjadi “jurnalisme pengurangan risiko bencana” lebih “pengurangan risiko bencana” komitmen yang lebih besar terhadap PRB, terkait komunikasi risiko, peringatan dini, dan pendidikan bencana.

Ketiga, peningkatan keterampilan jurnalis secara terus menerus terkait dengan isu-isu risiko dan terkait dengan isu-isu risiko dan bencana.

Keempat, media arus utama media lama harus  menjadi sumber yang berwibawa dan terpercaya, mengklarifikasi rumor, dan menyajikan berita yang akurat.

Terakhir, mengedukasi masyarakat tentang keterampilan pengecekan fakta keterampilan literasi media, terutama dalam isu risiko dan bencana kolaborasi dengan pemangku kepentingan yang relevan.

Itulah catatan terkait perbandingan pengalaman mengatasi bencana antara Indonesia dan Jepang. Bagaimana Indonesia ke depan ya Comms? Apakah media di Indonesia akan berhenti menyoroti tragedi dan beralih pada proses recovery seperti media di Jepang?

Perpus
Reading Time: 2 minutes

Jika menilik data dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), secara umum jenjang sarjana didominasi oleh Gen Z. Hal ini didasarkan pada rentang usia Gen Z di tahun 2023 yakni 11 hingga 26 tahun.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa aktivitas Gen Z saat ini paling banyak adalah menempuh pendidikan hingga menyiapkan karier. Namun, bagi Gen Z yang menjadi mahasiswa semester akhir tentu kesibukan utamanya adalah menyusun skripsi.

Kira-kira topik apa yang menarik digali oleh Gen Z sebagai bahan penelitian skripsi atau tugas akhir? Salah satu caranya adalah dengan mencari isu yang tepat dan menarik bagi Gen Z dan tentu harus relate dengan kehidupan yang tengah dijalani.

Social issues atau isu-isu sosial menjadi sangat menarik digali oleh Gen Z mengingat karakternya yang cukup unik.

Melansir dari laman Oxford Royale, terdapat tujuh karakter unik yang dimiliki oleh Gen Z. Ciri khas tersebut antara lain Gen Z adalah penduduk asli digital, Gen Z merasa dunia yang ditinggali tidak aman, Gen Z cenderung menerima, Gen Z sangat aware dengan kesehatan, Gen Z menghargai privasi, Gen Z juga memiliki jiwa entrepreneur karena khawatir akan masa depan, hingga mampu menempatkan diri setelah menjadi dewasa.

Jika dikaitkan dengan karakter unik tersebut, berikut beberapa social issues yang berkaitan dengan Gen Z dilansir dari laman The Annie E. Casey Foundation (AECF), salah satu lembaga sosial di Amerika Serikat yang fokus menangani isu keluarga, ekonomi, dan anak.

5 Social Issues yang Relate untuk Skripsi Gen Z

  1. Isu Health Care

Health care atau perawatan kesehatan termasuk menjadi masalah utama bagi Gen Z. Riset-riset yang dapat digali antara lain terkait rencana asuransi, efisiensi layanan kesehatan, dan banyak isu lainnya.

Selain itu tren menggunakan layanan kesehatan online ternyata menjadi habit bagi Gen Z. Perusahaan Fierce Healthcare di Amerika menyebut, Gen Z lebih nyaman berbagi informasi pribadi secara virtual.

  1. Mental Health

Data dari American Psycological Association menunjukkan 35 persen Gen Z yang disurvei melaporkan kondisi kesehatan mental memburuk selama pandemi Covid-19. Kesehatan mental Gen Z yang memburuk terjadi karena beberapa alasan termasuk karena berita-berita buruk di dunia. Tentu isu ini dapat digali dalam perspektif kajian Ilmu Komunikasi

  1. Pendidikan Tinggi

Gen Z juga sangat memperhatikan isu pendidikan tinggi. Tak hanya berpendidikan tinggi, Gen Z juga harus memperoleh keterampilan karier. Tumbuh di era digital, wajib bagi gen Z untuk bekerja secara kreatif, praktis, dan melek teknologi. Untuk itu duduk diam mendengarkan dosen dalam kelas saja tampaknya tak akan cukup. Isu ini juga berkaitan dengan ekonomi dan masa depan karier. Isu ini cukup menarik jika dikaji dengan perspektif Ilmu Komunikasi.

  1. Racial Equality

Racial Equality atau kesetaraan ras menjadi masalah sosial utama bagi Gen Z. Tak heran jika Gen Z sangat menyadari kesenjangan antar ras dan etnis. Mereka lebih positif memandang keberagaman dibanding dengan generasi sebelumnya. Melihat keberagaman di Indonesia, tentu isu ini sangat menarik untuk dikaji lebih dalam dengan berbagai perspektif ilmu, termasuk kajian Komunikasi.

  1. Lingkungan

Gen Z sangat peduli dengan lingkungan. Ancaman perubahan iklim adalah bahaya bencana yang akan berdampak besar dalam kehidupan.

Menurut survei First Insight, Inc., platform analisis prediktif ini menemukan bahwa 73 persen responden Gen Z tidak keberatan membayar lebih mahal untuk produk yang berkelanjutan. Tak hanya itu, akhir-akhir ini kajian Komunikasi lingkungan juga menjadi isu yang diseriusi oleh prodi Ilmu Komunikasi UII, bahkan ada beberapa dosen yang fokus dengan riset tersebut.

Itulah beberapa social issues yang relate dengan kehidupan Gen Z dan cocok menjadi bahan skripsi. Bagaimana menurutmu Comms, tertarik dengan isu apa?

 

Penulis: Meigitaria Sanita