Tag Archive for: forum AES

Reading Time: 2 minutes

Semiotika sebagi sebuah metode analisis teks visual sudah sering kita dengar. Nama seperti Roland Barthes, Pierce, atau Saussure pasti juga tak asing bagi teman-temen komunikasi. Semiotika sebagai pisau bedah analisis bahkan pernah menjadi trend analisis di sekitar tahun 2000an terlihat dari adanya beberapa mata kuliah wajib di beberapa kampus di Indonesia.

Tetapi, Muzayin Nazaruddin, salah sorang pengajar di Ilmu Komunikasi Universitas Islam yang juga secara serius mempelajari semiotika dengan master dan menempuh Ph. D di University of Tartu, ingin melihat dalam gambaran lebih besar kecenderungan penggunaan metode yang jamak di lakukan di Indonesia. Semiotika harus dijadikan sebagai paradigma, alih-alih sebuah alat analisis teks.

Dalam acara Forum Amir Effendi Siregar (AES) pada 26 September 2020, Muzayin menunjukkan kecenderungan penggunakan tradisi semiotik yang itu-itu saja. Seolah sudah menjadi contoh bagaimana mengoperasikan metode semiotika dalam mengalisas film atau gambar. “Itu tidak salah, tapi membosankan.”

Dalam kelaziman penelitan menggunakan semiotika, misal, ada juga kelaziman yang sia-sia. “Misal kita menganalisis sebuah foto perempuan berjilbab, analisis detil, kita analisis jilbabnya, latarnya, apa yang ia pakai, analisisnya rumit. Denotasi dan konotasinya seperti ini. Lalu di ujungnya, kesimpulan ini menyimpulkan bahwa perempuan ini muslim,” Muzayin menjelaskan contoh penelitian semiotika yang umum di indonesia.

“Kelihatannya seperti ini keren, tebal skripsinya, tetapi Ini menyedihkan, karena untuk mengatakan perempuan berjilbab ini muslim tidak usah menggunakan semiotik. Anak SMA pun tahu bahwa jilbab adalah penanda seorang muslim. Di sinilah saya sering melihat penelitian semiotika gagal,” papar Muzayin mencontohkan lebih detil. Ini kan akhirnya membuat kajian semiotika menjadi membosankan, stagnan, dan tidak mengatakan apa-apa dan tidak berkontribusi,” kata Muzayin lebih jauh.

Bagaimana sebenarnya sejarah studi semiotika di Indonesia?

Perkembangan studi Semiotika di Indonesia bisa dilihat misal di tahun 1990an. “Di awal dekade 1990an kelompok studi mahasiswa belajar semiotika bukan dari teks-teks kuliah justru. Kemudian menurut Emmanuel Subangun mengatakan bahwa pada 1992 telah berdiri Lingkaran Peminat Semiotik  di Jakarta,” kata Muzayin. Ini cukup menggembirakan, menurutnya.

Bagi semiotika, komunikasi adalah titik sentral untuk memahami kebudayaan (culture), kata Muzayin. “Ini khususnya bagi cultural semiotics,” jelas Muzayin.  Sedangkan bagi Biosemiotics, komunikasi adalah konsep mendasar untuk memahani nature. Muzayin melanjutkan, bahkan bagi ecosemiotics, komunikasi adalah sentral untuk memahami dinamika relasi culture-nature.

“Di level hewan dan tumbuhan, bahkan semiotik dipahami sebagai komunikasi antara keduanya untuk melihat proses semiosis,” kata Muzayin menambahkan. Ini adalah perspektif yang perlu kita pahami bersama.

Analisis semiotika dengan model mikro analisis yaitu melihat unit analisis dengan detail dalam film: memecah, lalu melihat tanda-tanda dalam scene tersebut, lalu menerjemahkan dalam konotasi denotasi, indeks, simbol, dll.

Sebenarnya ada cara lain, misalnya analsis secara makro dengan melihat film tersebut, dengan mengaitkan berbagai fenomena atau konteks film itu dibuat lalu dianalisis. “Bagaimana kita melihat film sebagai sebuah sign yang hadir dalam sebuah sign system tertentu lalu dimaknai sebagai suatu petanda,” jelas Muzayin.

Reading Time: < 1 minute
0Days0Hours

Forum Amir Effendi Siregar – Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia menggelar

Serial Bincang Sejarah Komunikasi (Sesi 11)

Topik:

Stagnasi Riset Komunikasi: Belajar dari Sejarah Semiotika dalam Studi Komunikasi Indonesia

Pembicara:

Muzayin Nazaruddin

Dosen Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia. Memperoleh pendidikan semiotika di International Master Program of Semiotica, Department of Semiotics, University of Tartu, Estonia. Saat ini tengah menempuh PhD di almamater yang sama dengan topik riset Semiotika bencana, memadukan pendekatan cultural semiotics dan ecosemiotics.

 

Jadwal

Sabtu, 26 September 2020
Pukul 15:30 WIB
Via Zoom

atau

 

Registrasi:

Reading Time: 2 minutes

Music always accompanies our daily activities. Music has also existed since time immemorial. For the sake of study studies in Indonesia, this article will be shortened from the colonial and pre-independence era.

In a history talk held by the Amir Effendi Siregar (AES) Forum, Idham Resmadi, a Creative Industry Lecturer from Telkom University, shared the history of music studies into 4 phases of periodization. “Starting from the colonial and pre-independence era, paca independence, the music industry era and post-reformation,” said Idhar on September 19, 2020.

At the event held by PSDMA Nadim Communications UII, Idhar said that the first phase, namely in the colonial period appeared on a radio station namely Radio NIROM, where the Dutch always enjoyed music every day. Then came soeara NIROM (NIROM voice) in the form of a leaflet. The contents are the program schedule on the radio.

Over time there was struggle and cultural influences began to develop. “For example, between fans of traditional keroncong and keroncong which is somewhat westernized. The term will develop, the arena of cultural contestation, there is the term keroncong gado-gado (Mixed Keroncong) because there is an assumption that western influence has cultural influences and negative values,” explained Idhar.

The second phase is post-independence. In this era, music has not entered the era of commercialization, and there is still a struggle for influence between East and West. The aura of fighting for discourse on cultural values ​​is still strong, said Idhar. But in print media like Diskorina, debate and criticism are no longer as harsh as before. And they tend to contain light information like astrology, humorous stories, crossword puzzles, etc. “Back then, Western culture was easier for teenagers to accept.”

In the 65th century, music became a political propaganda tool for the New Order. In the past, ABRI (Kostrad) used music, even through musical performances. “Even the cultural strategy is for soldiers to have their own band,” he added.

After that, there was a struggle for the discourse “Kampungan vs Gaul” between fans of the music “Dangdut vs Rock” which was quite busy. This kind of opinion was brought by Aktuil magazine. Also in the magazine, fashion trends are also easily accepted and adapted by the Indonesian people.

In the 1970s-1980s music developed. And this year, music entered the world of industry. There are also many tabloids and music magazines that support the music industry from an economic perspective. The magazine is not far from entertainment, lifestyle, or gossip. “There is a symbiosis of mutualism between music and media. The media supports the promotion of music, and music becomes a commodity.”

 

Reading Time: 2 minutes

Musik selalu menemani aktifitas sehari-hari kita. Musik juga hadir sejak jaman dahulu. Demi kepentingan kajian studi di Indonesia, maka tulisan ini akan diperpendek mulai jaman kolonial dan pra kemerdekaan.

Dalam bincang sejarah yang diadakan Forum Amir Effendi Siregar (AES), Idham Resmadi, Dosen Industri Kreatif dari Telkom University, membagi sejarah kajian musik dalam 4 fase periodesasi. “Dimulai dari jaman kolonial dan pra kemerdekaan, paca kemerdekaan, masa industri musik dan pasca reformasi,” kata Idhar pada 19 September 2020.

Pada acara yang diadakan oleh PSDMA Nadim Komunikasi UII, ini Idhar mengatakan bahwa fase pertama yaitu di masa kolonial muncul Radio NIROM, dimana penjajah Belanda sehari hari selalu menikmati musik. Lalu muncul juga soeara NIROM yang berbentuk leaflet. Isinya adalah susunan acara di radio tersebut.

Lama-lama terjadi perebutan dan pengaruh budaya mulai berkembang. “Misalnya antara penggemar keroncong tradisional dengan keroncong yang agak kebarat-baratan. Bakal berkembang istilah, arena kontestasi budaya, ada istilah keroncong gado-gado karena ada anggapan pengaruh barat itu ada pengaruh kebudayaan dan nilai-nilai negatif,” jelas Idhar.

Fase kedua adalah pascakemerdekaan. Di jaman ini musik belum memasuki era komersialisasi, dan masih terjadi perebutan pengaruh antara Timur dan Barat. Aura perebutan wacana nilai budayanya masih kuat, kata Idhar. Tapi di media cetak seperti Diskorina, perdebatan dan kritik tak lagi keras seperti sebelumnya. Dan cenderung berisi informasi ringan seperti astrologi, cerita humor, teka teki silang, dll. “Saat itu, budaya Barat lebih mudah diterima oleh remaja.”

Di tahun sekitar 65an, musik menjadi alat propaganda politik orde Baru. Dulu musik dipakai oleh ABRI (kostrad), bahkan juga melalui pertunjukan musik. “Bahkan strategi budayanya itu tentara sampai punya grup band sendiri,” imbuhnya.

Setelah itu ada perebutan wacana “Kampungan vs Gaul” antara penggemar musik “Dangdut vs Rock” yang cukup ramai. Opini seperti ini dibawa oleh majalah Aktuil. Di majalah itu juga, trend busana juga mudah ditetima dan diadaptasi oleh masyarakat Indonesia.

Di tahun 1970an-1980an musik berkembang. Dan di tahun tahun ini musik memasuki dunia industri. Banyak juga berkembang tabloid dan majalah musik yang isinya menunjang industri musik dari aspek ekonomi. Majalah itu isinya tak jauh dari hiburan, gaya hidup, atau Gosip. “Terjadilah simbiosis mutualisme antara musik dan media. Media menjadi penunjang promosi musik, dan musik menjadi komoditas.”

Reading Time: < 1 minute
0Days0Hours

Forum Amir Effendi Siregar – Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia menggelar Serial Bincang Sejarah Komunikasi (Sesi 10)

Topik:

Membaca Ulang Media Musik Indonesia: Selera, Kelas, dan Warisannya

Pembicara:

Idhar Resmadi

Penulis dan dosen di Fakultas Industri Kreatif Telkom University. Lebih banyak menulis tentang musik dan budaya populer. Penerima hibah riset musik dari British Council 2019 dan hibah kebudayaan Fasilitasi Bidang Kebudayaan 2020 dari Kemendikbud. Bukunya antara lain Music Records Indie Label (2008), Based on A True Story Pure Saturday (2013), Jurnalime Musik dan Selingkar Wilayahnya (2018), dan beberapa buku antologi lainnya.

Jadwal:

Sabtu, 19 September 2020
Pukul 10:00 WIB
Via Zoom

dan

Registrasi:

 

 

Reading Time: 3 minutes

Sebuah slogan yang sarat spirit heroisme: Sekali Di Udara Tetap di Udara, menggema di media sosial dan saluran terestrial dalam bulan ini, menjelang perayaan tiga perempat abad kelahiran RRI (radio republik Indonesia), radio nasional tertua. Slogan ini lahir dalam masa revolusi kemerdekaan tahun 1948, ketika studio RRI Solo dibawah pimpinan R. Maladi, harus pindah ke Karanganyar menghindari aksi militer Belanda.

Slogan ini terus di rawat dalam benak dan disuarakan hingga 75 tahun kemudian, sebagai isyarat verbal bahwa RRI bertekad menjadi bagian dari proses ’revolusi udara’ pasca kemerdekaan. Meski lanskap sosial politik dan sistem media telah berubah. Merujuk buku Sedjarah Radio (1963), teks lengkap slogan itu sebetulnya didahului kalimat: Sekali Merdeka Tetap Merdeka, namun kalimat ini kerapkali tidak disertakan. Terinspirasi dari daya tahan slogan ini melewati berbagai periode politik dan sistem media, tulisan pendek ini menggali sejarah RRI dalam kerangka kebijakan penyiaran di Indonesia.

Dua Periode Kritis

Memasuki usia 75 tahun bagi RRI berarti juga memasuki periode ketiga kebijakan penyiaran Indonesia. Kebijakan pertama berlaku sejak radio ini lahir tahun 1945 hingga tahun 1970. Corak dasarnya monopolistik, di mana otoritas politik Indonesia hanya memiliki satu jenis media, yaitu radio pemerintah, radio siaran di luar pemerintah dianggap illegal. Model monopolistik ini jamak terjadi di negara lain termasuk di Inggris di mana sejak berdiri tahun 1927 hingga 1970-an, BBC menjadi pemain tunggal. Perbedaannya, BBC sejak awal menjadi media publik berbasis kebudayaan publik, sedang RRI lahir dengan semangat menjadi radio politik, mendukung pemerintah pasca kemerdekaan, bukan kebudayaan.

Orientasi penyiaran yang bersifat politis ini dikoreksi pada periode antara tahun 1970-1995-an. Keluarnya PP No. 55/1970 yang mengakui radio swasta mengakhiri era dominasi tunggal RRI. Regulasi ini mempromosikan radio sebagai institusi budaya, berbasis kreatifitas masyarakat dengan tujuan sosial-komersial. Kompetisi menjadi kata kunci yang sejatinya bisa memperkuat posisi RRI sebagai media publik. Sayang, hasrat pemerintah mengkooptasi RRI masih kuat sehingga periode 1970-1985 bisa dianggap sebagai sejarah paling buruk bagi RRI sebagai institusi radio yang seharusnya melayani warga negara.

Masa Lalu atau Masa Depan?

Periode ketiga (1995-2020) adalah periode paling dinamis sistem penyiaran Indonesia termasuk RRI. UU Penyiaran No. 32/2002 mengkoreksi kebijakan dualisme: radio pemerintah dan radio swasta menjadi kebijakan pluralistik terbatas. Ditandai munculnya radio publik dan radio komunitas sebagai pemain baru. Pilihan RRI pada tahun 2000 untuk menjadi radio publik sudah benar, selaras semangat demokratisasi media. Namun, dalam perjalanan hingga tahun 2020, rupanya tampak sikap galau, dan semangat untuk menjaga aliansi mesra dengan otoritas politik, bukan beraliansi dengan publik. Para insan di radio terbesar di Indonesia ini masih bimbang: merawat masa lalu atau meraih masa depan.

Karakteristik budaya jurnalisme di Indonesia pada 15 tahun terakhir, ketika RRI sudah mengemban status sebagai lembaga penyiaran publik mirip dengan apa yang digambarkan Robert McChesney (1999) sebagai: rich media poor democracy (jumlah media yang banyak, informasi yang berhamburan, tetapi minim kualitas yang merawat demokrasi). Setelah berusia 15 tahun sebagai LPP, pengelola RRI tampak tenggelam kepada kejayaan masa lalu sebagai media pembangunan dan saluran budaya serta olah raga, dan melewatkan kesempatan untuk menjadi saluran informasi yang tajam dan berkualitas. Slogan “sekali di udara tetap di udara“ kian mengalami kemandegan makna dan spirit perubahan. Nah, jika ingin meraih masa depan yang cerah menuju satu abad (25 tahun ke depan), RRI harus segera berbenah memenuhi aspirasi publik, sebab hanya publik yang loyalitasnya tulus.

 

Penulis: Masduki, Dr.rer.soc.

Dosen Program Studi Ilmu Komunikasi UII

—–

Tulisan ini telah terbit sebelumnya di Harian Kedaulatan Rakyat di Yogyakarta pada edisi 11 September 2020 halaman 11. Gagasan dalam tulisan ini kembali kami terbitkan dalam laman ini demi menyemarakkan Bulan Penyiaran Publik. Kami meyakini, Semangat pembaruan Lembaga Penyiaran Publik yang tersirat dalam tulisan Dosen Program Studi kami ini layak digaungkan dan dikemasulang di laman-laman studi komunikasi sebagai bagian dari proses laku Pengelolaan Pengetahuan (Knowledge Management). Penulis adalah doktor dengan spesialisasi kajian Penyiaran Publik, Media Layanan Publik dalam klaster riset Regulasi dan Kebijakan Komunikasi.  Tulisan ini juga menjadi bagian komitmen kami pada rangkaian diskusi Sejarah Komunikasi dalam kajian Forum Amir Effendi Siregar.

Reading Time: 3 minutes

A slogan full of the spirit of heroism: Sekali di Udara, Tetap di Udara (Once in the Air Stay in the Air), echoing on social media and terrestrial channels this month, ahead of the three-quarter century anniversary of the birth of RRI (radio republic of Indonesia), the oldest national radio. This slogan was born during the independence revolution in 1948, when RRI Solo studio under the leadership of R. Maladi, had to move to Karanganyar to avoid Dutch military action.

This slogan was kept in mind and voiced up to 75 years later, as a verbal signal that RRI was determined to be part of the post-independence ‘air revolution’ process. Although the socio-political landscape and media system have changed. Referring to the book Sedjarah Radio (1963), the full text of the slogan is actually preceded by the sentence: Once Free, Stay Free, but this sentence is often not included. Inspired by the persistence of this slogan through various periods of politics and media systems, this short article explores the history of RRI within the framework of broadcasting policy in Indonesia.

Two Critical Periods

Entering the age of 75 for RRI means entering the third period of Indonesia’s broadcasting policy. The first policy was in effect since radio was born in 1945 to 1970. The basic pattern is monopolistic, in which the Indonesian political authority only has one type of media, namely state radio, broadcast radio outside the government is considered illegal. This monopolistic model is common in other countries, including Britain, where since its founding in 1927 to the 1970s, the BBC has been the sole player. The difference is that the BBC has been a public media based on public culture from the start, while RRI was born with the spirit to become a political radio, supporting the post-independence government, not culture.

This political orientation of broadcasting was corrected in the period between 1970-1995s. The issuance of PP No. 55/1970 which acknowledged that private radio ended the era of RRI’s single domination. This regulation promotes radio as a cultural institution, based on community creativity with socio-commercial objectives. Competition is a keyword that can actually strengthen RRI’s position as a public media. Unfortunately, the government’s desire to co-opt RRI is still strong so that the period 1970-1985 can be considered as the worst history for RRI as a radio institution that should serve citizens.

Past or Future?

The third period (1995-2020) was the most dynamic period for the Indonesian broadcasting system, including RRI. Broadcasting Law No. 32/2002 corrects the policy of dualism: state radio and private radio to a limited pluralistic policy. Marked by the emergence of public radio and community radio as a new player. RRI’s choice in 2000 to become a public radio station was correct, in line with the spirit of media democratization. However, on the way up to 2020, there seems to be a troubled attitude and enthusiasm to maintain an intimate alliance with political authorities, not alliance with the public. The people on the biggest radio in Indonesia are still uncertain: caring for the past or reaching for the future.

The characteristics of journalism culture in Indonesia in the last 15 years, when RRI has assumed its status as a public broadcasting institution is similar to what Robert McChesney (1999) described as: rich media, poor democracy (large amount of media, scattered information, but minimal quality of care. democracy). After turning 15 as an LPP, the RRI manager seems to be immersed in its past glory as a medium for development and a channel for culture and sports, and has missed the opportunity to become a channel for sharp and quality information. The slogan “once in the air, remains in the air” increasingly stagnates the meaning and spirit of change. So, if you want to achieve a bright future towards a century (the next 25 years), RRI must immediately clean up to meet the aspirations of the public, because only the public has genuine loyalty.

 

Author: Masduki, Dr.rer.soc.

Lecturer of the UII Communication Science Departmen of Universitas Islam Indonesia

—–

This article was previously published in the Kedaulatan Rakyat Daily in Yogyakarta on the 11 September 2020 edition page 11. We republish the ideas in this paper on this page to enliven the Month of Public Broadcasting. We believe the spirit of renewing the Public Broadcasting Institution, which is implied in the writings of our Communication Science Lecturer, deserves to be echoed and republished on communication study pages as part of the Knowledge Management process. The author is a doctorate specializing in Public Broadcasting, Public Service Media in the Communication Policy and Regulation research cluster. This paper is also part of our commitment to a series of discussions on the history of communication in the study of the Amir Effendi Siregar Forum.

 

Reading Time: 3 minutes

Kasus kejahatan seksual bukan kasus kriminal biasa. Dalam pemberitaan, jurnalis berperan meluruskan pandangan itu kepada masyarakat.

Oleh MEDIANA

Tulisan ini pernah diterbitkan di Kompas 1 September 2020. Website kami menerbitkan ulang tulisan ini untuk kepentingan edukasi dan pengarusutamaan Jurnalisme Sensitif Gender. Terima kasih pada Kompas atas ringkasan yang baik untuk diskusi ini pada perhelatan rutin Forum Amir Effendi Siregar yang kami adakan pada 29 Agustus 2020 lalu.

Perspektif korban perlu selalu menjadi penekanan dalam pemberitaan kasus kejahatan seksual. Perspektif ini hingga sekarang tidak mudah dibangun oleh media. Pengurus Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bidang Jender, Anak, dan Kelompok Marjinal, Nani Afrida, Selasa (1/9/2020), di Jakarta mengatakan, framing media terhadap kasus kejahatan seksual dipengaruhi oleh berbagai faktor. Budaya patriarki selama ini masih menjadi faktor utama.

Untuk pemberitaan kejahatan seksual terhadap anak, misalnya, kebanyakan pemberitaan masih menempatkan mereka sebagai obyek. Semua identitas yang menempel dalam diri anak diungkap. Media tidak mewawancarai anak, tetapi mengungkap identitas anak melalui peliputan ke sekolah dan lingkungan
masyarakat.

Beberapa pemberitaan memuat detail-detail yang justru mengorbankan korban. Sebagai contoh, penulisan ”korban anak memakai pakaian tanpa lengan”, ”korban sukarela diajak pergi oleh pelaku”, dan ”korban sudah kenal dengan pelaku”.

Jurnalis dan organisasi media berdiri di tengah masyarakat yang masih dipenuhi stigma dari budaya patriarki. (Nani Afrida)

”Jurnalis dan organisasi media berdiri di tengah masyarakat yang masih
dipenuhi stigma dari budaya patriarki,” ujar Nani. Dengan selalu berpegang pada perspektif korban, media berarti memilih data fakta yang tidak menambah trauma korban. Menuliskan detail keadilan juga ditonjolkan, seperti penggunaan narasumber dari lembaga peduli hak asasi manusia dan kesetaraan jender.

Nani menyampaikan, AJI sudah mengembangkan kode etik meliput dan memberitakan kasus kejahatan seksual bagi anggotanya. Salah satu isinya, anggota AJI menyamarkan identitas semua korban dan pelaku kejahatan seksual yang berkaitan dengan anak. Kode etik ini bersifat menajamkan peliputan dan pemberitaan yang mengedepankan perspektif korban. ”Saya harap jurnalis dan media tidak terbebani peraturan ataupun kode etik. Kasus kekerasan dan eksploitasi seksual bukan kriminal biasa,” ucapnya.

Manajer Program Lembaga End Child Prostitution, Child Pornography & Trafficking Of Children For Sexual Purposes (ECPAT) Indonesia Andy Ardian berpendapat, dengan berperspektif dari sudut pandang korban, jurnalis ataupun organisasi media dapat berempati kepada korban. Ketika kasus kejahatan seksual melibatkan sosok terkenal, perspektif korban membuat jurnalis semestinya tidak gentar.
”Kerja jurnalis seperti investigator. Jurnalis tetap bisa menelusuri perkembangan penegakan hukum meskipun sejumlah laporan kasus sering kali dicabut oleh pengadilan. Peliputan tetap harus berjalan sehingga masyarakat bisa ikut memantau dan teredukasi,” katanya.

Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII), Iwan Awaluddin Yusuf, mengamati, pascareformasi 1998 terjadi peningkatan jumlah wartawan perempuan, perempuan pengambil kebijakan di media, media berbasis feminisme, serikat jurnalis untuk keberagaman, dan forum jurnalis perempuan.
Beberapa media massa nasional bahkan memiliki wartawan yang idealis terhadap pendekatan jurnalisme sensitif jender. Pendekatan ini kian masif diterapkan, terutama meliput dan memberitakan kasus kejahatan seksual.

Kolaborasi antarmedia untuk liputan berspektif jender juga mulai muncul, seperti #namabaikkampus yang baru-baru ini meraih penghargaan Public Service Journalism Award from the Society of Publishers in Asia. Contoh ini melengkapi perkembangan positif lainnya. Di tengah situasi itu, Iwan mengamati, kebanyakan editor dan reporter saat ini sudah memiliki pengetahuan tentang masalah dan pentingnya jurnalisme sensitif jender, tetapi tidak pada tingkat praktis.

”Pemahaman pendekatan jurnalisme sensitif jender juga belum merata lintas departemen,” ujar Iwan saat menghadiri Serial Bincang Sejarah Komunikasi yang diselenggarakan Forum Amir Effendi Siregar-Program Studi Ilmu Komunikasi UII, Sabtu (29/8/2020).

Prinsip-prinsip kesetaraan jender secara informal diperkenalkan jurnalis senior kepada yunior. Sisanya, wartawan mencari sendiri pengetahuan seputar pendekatan jurnalisme sensitif jender. Petunjuk umum peliputan kesetaraan jender sudah tersedia, tetapi tidak spesifik untuk jurnalisme sensitif jender. Hal ini tidak mengherankan karena jurnalis juga dihadapkan dengan isu menguatnya pasar bebas, oligarki media,
dan internet.

Tantangan lainnya adalah potensi kekerasan wartawan, orientasi pemberitaan ”page views”, pendanaan media, eksistensi klub laki-laki di internal, dan perusahaan aplikasi internet (OTT) yang enggan bertanggung jawab terhadap konten non-sensitif jender.

Iwan berpendapat, pemahaman dan keterampilan jurnalisme sensitif jender perlu dilatih. Jika diperlukan, pembekalan itu dilakukan melalui formal dan informal. ”Penerapan jurnalisme sensitif jender harus terus diperjuangkan. Hal yangharus diingat adalah perjuangan ini bukan eksklusif milik wartawan perempuan,” ujarnya.

Editor:ALOYSIUS BUDI KURNIAWAN

Reading Time: 2 minutes

Many say that the Japanese Population Age was a New Age, but it is also widely known as the Darkest Age of Colonialism. There are many stories of how the atrocities during the Japanese occupation were recorded in the oral history and the mass media published at that time.

On August 29, 2020, in the discussion of the Amir Effendi Siregar (AES) Forum, Iwan Awaluddin Yusuf, an UII Lecturer in Communication Science Department who has researched a lot about gender-sensitive journalism, shared his data findings on the Japanese colonization in Indonesia. This fact is widely published in the media reporting on women. How women are represented in Japanese media and journalistic techniques. Not only in newspaper coverage, but also in comics.

Afraid to be taken away

At that time Indonesian women were very afraid to look good. “They are afraid, so they will dress as badly as possible for fear of being taken away,” said Iwan. At that time women had to give their energy, thoughts, skills, and even possessions for the benefit of the Japanese colonizers.

So women who are good, beautiful, healthy, polite will be taken as jugun ianfu (comfort women who are actually prisoners for sex slaves during the Japanese occupation) or fujinkai (female soldiers who support Japan) who help the war to expand colonization in East Asia.

At that time, the media in Indonesia became a propaganda medium. In fact, not only journalistic media but also comics always portray women as beautiful, able to provide good and healthy meals for families, able to look after children.

Japan is also trying to drown out the narrative of American women. At that time, America wanted to show that women must have an equal position with men with various abilities and intelligence. Meanwhile, Japan, with advertisements in its media, depicts a good woman as being gentle and capable of taking care of  the household.

This is also confirmed by Galuh Ambar, who researched the construction of Indonesian women in the Japanese era. She, through the IVAA grant program, quoted the magazine Pandji Poestaka, which described the construction of new women’s ideas in the household. Pandji Poestaka, for example, wrote, “Now we are facing a new world, a new order, heading for greater east Asia under the leadership of old brother Nippon. Mothers are not the least of our obligations in achieving that noble ideal. Our first duty is to completely eliminate all bad western influences, to clean the household from the smell of the west. ”

At that time the comics became a propaganda tool. You can see the comic Sembadra and Srikandi. In the comic, the Suprapti-Sutarti brothers are depicted in different characters. Suprapti is a girl from home, while Sutarti is a girl who likes marching training, is brave, and manly. Two girls like that who would help Japan realize its dream of becoming Asian leaders at that time.

 

Reading Time: 2 minutes

Isu Sensitif Gender sudah ramai dibicarakan sejak mendekati milenium kedua.  Diawali oleh buku yang ditulis oleh Mukhotib di tahun 1998 berjudul Jurnalisme sensitif Gender diterbitkan oleh PMII. Tapi jika melihat lika liku sejarahnya, jurnalisme sensitif gender ini sudah dimulai jauh di jaman kolonial Belanda.

Iwan Awaluddin Yusuf, salah seorang dosen Ilmu Komunikasi UII yang sedang studi doktoral di Monash University, banyak memaparkan data yang begitu kaya dalam diskusi di Forum Amir Effendi Siregar (AES) pada  29 Agustus 2020.

Dalam diskusi itu ia banyak menceritakan konteks jurnalisme sensitif Gender, literatur, sejarah dan dinamika Jurnalisme sensitif gender serta beberapa kajian riset. Ia juga melihat jurnalisme sensitif gender ini tak sebatas di pemberitaan media, tapi juga terjadi dalam praktik keseharian yg melingkupi dunia jurnalistik.

Misalnya upah karyawan perempuan yang lebih rendah, tidak adanya perlindungan jurnalis perempuan, syarat rekrutmen, tidak adanya ruang laktasi, dan, “tidak adanya toleransi libur untuk perempuan dalam masa menstruasi,” kata Iwan mencontohkan.

Iwan berpendapat, wartawan perempuan dari sisi jumlah meningkat pascareformasi. Peran perempuan dan medianya mulai beragam. Mulai dari media dengan perspektif feminis bermunculan, lalu jurnalis perempuan yang menjadi pemimpin redaksi dan tentu saja bisa menentu kebijakan redaksi. “Tercatat ada 12 Perempuan yang menjadi pemimpin redaksi,” kata Iwan. Muncul juga perkumpulan jurnalis latar belakang perempuan dalam Forum Jurnalis Perempuan Indonesia yang diketuai Uni Lubis, dan Serikat sindikasi.

Ditambah lagi, Iwan juga mengatakan bahwa beberapa media arusutama berbasis di Jakarta bahkan punya jurnalis yang spesialisasi dan idealismenya kuat pada  jurnalisme sensitif gender. “Tak hanya idealisme, tapi juga memiliki pengetahuan dan keterampilan,” imbuhnya.  Merebaknya kasus kekerasan dan pelecehan seksual membuat pendekatan ini menjadi kian masif digunakan.

Perkembangan jurnalisme ini juga membaik. Muncul beragam liputan-liputan bagus menungkap kekerasa seksual sepertu liputan kolaboratif #namabaikkampus. Muncul komunitas yang menjadi media watch dalam peliputan yang sensitif gender. Misalnya remotivi, KNRP, dan mafindo.

Iwan juga mengamati, pada tataran praksis, jurnalis dan jajaran manajemen masih kesulitan dan kedodoran menerapkan jurnalisme ini. Meski pemahaman dan perspektif gender telah banyak dipahami. ”Di lintas departemen, perspektif jurnalisme sensitif gender tak sepenuhnya merata dipahami,” ungkapnya. Tidak ada pelatihan khusus dan kontrol rutin soal pengetahuan jurnalisme sensitif gender.

Dilihat dari babakan sejarah, secara periodisasi, Iwan memberikan bànyak data dan cerita yang melimpah tentang peran perempuan atau data sejarah yang didasarkan pada jurnalisme sensitif gender. Sebagai catatan bahwa Jurnalisme sensitif gender tidak melulu membicarakan perempuan, tetapi juga melihat konteks bagaimana gender dinarasikan dalam masa tertentu.

Dalam membagi sejarah perkembangan jurnalisme sensitif gender, Iwan membagi dalam lima periodisasi milestone Jurnalisme Sensitif Gender. Pertama Era kolonial, era social marxis di bawah Presiden Soekarno,  Era suharto, era transisi reformasi dan era paska reformasi hingga kini.