Tag Archive for: forum AES

Reading Time: 2 minutes

Media life in Indonesia lost a lot after the departure of Amir Effendi Siregar (AES). This media thinker and guardian of media democratization in Indonesia is the cornerstone of media management studies and the forerunner of UII’s Communication Study Program. Many are inspired by and imitate the thoughts of AES. This is especially the case after the publication of Amir Effendi Siregar’s book “Against Capital Authoritarianism” in the Thought and Movement of the Democratization of the Media.

Iwan Awaluddin Yusuf, UII Communications Lecturer, student and successor of Amir in two institutions (UII Communications and PR2Media), noted the exemplary characteristics of AES’ thinking. He sees AES thinking always brings up four things. These four things are the characteristics that make AES’ thinking timeless. In addition, AES’s passion for science can also be seen from this characteristic.

First, AES’s thinking is always accompanied by a philosophical study. This is characteristic of studying things from the roots, from philosophy. “He always philosophically talks about big macros, then secondly, his thoughts always bring up data,” said Iwan, a doctoral graduate from Monash University, Australia, at the Book Discussion via Zoom, which was held on Saturday, July 10, 2021.

The involvement of the data for every AES’s writing shows that AES is always based on empirical data. It constantly updates and relates to the latest conditions.

In addition to philosophy and data, said Iwan, Bang Amir also did not forget to compare practices in other countries. “In fact, he often argues between data and data. Usually, for example, AES always emphasizes seeing India and other countries that are socially similar,” said Iwan recalling the time when AES was still alive and active in PR2Media.

The fourth characteristic, AES thinking, is always contextualised and refers to the constitution. This reference to the constitution makes AES’ thinking always worth considering in reviewing and updating regulations. This includes AES studies on media technology in the digital era.

“Where I study, Monash University no longer uses the word new media because new media is relative. So digital media is used,” said Iwan. “New media will become old media in time,” he added. No matter how advanced the development of technology and media is, the keyword remains the same, namely democracy, with a keyword that AES often mentions as diversity.

 

 

Reading Time: 2 minutes


Business and media management are studies that are not widely used as special courses or majors in communication campuses in Indonesia. Not many people focus on being both a reviewer and a practitioner at the same time. Amir Effendi Siregar (AES), the founder of the Department of Communications at UII, and PR2Media, is one who presents media management studies in a complete definition.

Media management dimensions based on the AES definition, said Iwan Awaluddin Yusuf, are mapped into six dimensions. Iwan extracts these six dimensions from the definition made by AES on media management. “The first is media management with management principles and processes. This dimension includes philosophical, methodological, and practical levels,” said Iwan Awaluddin Yusuf, a doctoral student at Monash University, Australia, on July 10, 2021.

Iwan spoke as one of the authors in a book entitled The Book Against Capital Authoritarianism. The book is a collection of AES Thought and Movement writings from AES students, friends, and associates. This book was reviewed and launched on July 10, 2021, collaborating with PR2Media, UII Communications, and SPS. This discussion was also held to commemorate the 17th Anniversary of UII Communications and PR2Media’s 11th Anniversary. Both institutions are institutions where AES is the founder and foundation.

Iwan said there is also a second dimension of Media Management which essentially examines the position of the media as an industry and the media as an institution. What is the character of the media as an industry, and the role of the media as a press institution, for example. 

It is also important for media managers, said Iwan quoting AES, to determine the direction of the media paradigm. “The market paradigm or the propaganda/missionary paradigm,” said Iwan. Defining this paradigm is the third dimension that AES often puts forward.

Furthermore, assessing media management must also pay attention to the environmental context as the fourth dimension. That is, how the existing media system in a region or country affects Media Management.

The media management study will also look at the fifth dimension, namely the development of technology in terms of impact and anticipating it. While the sixth dimension, AES also often explains that scholars must study media management based on its usefulness as a science. Especially benefits for those who study and society in general. 

Reading Time: 2 minutes

Bisnis dan Manajemen media adalah kajian yang tak banyak dijadikan mata kuliah khusus atau jurusan di kampus-kampus komunikasi di Indonesia. Tak banyak pula orang yang memfokuskan diri menjadi pengkaji sekaligus praktisi dalam satu waktu. Amir Effendi Siregar (AES), pendiri Komunikasi UII dan PR2Media, adalah salah satu yang menhadirkan kajian manajemen media dalam sebuah definisi yang komplit.

Dimensi Manajemen Media berdasarkan definisi AES, kata Iwan Awaluddin Yusuf, terpetakan menjadi enam dimensi. Enam dimensi ini disarikan oleh Iwan dari definisi yang dibuat oleh AES tentang manajemen media. “Pertama adalah pengelolaan media dengan prinsip-prinsip dan proses manajemen. Dimensi ini mencakup level filosofis, metodologis, dan praktis,” kata Iwan Awaluddin Yusuf, mahasiswa doktoral di Monash University, Australia, pada 10 Juli 2021.

Iwan bicara sebagai salah satu penulis dalam buku berjudul Buku Melawan Otoritarianisme Kapital. Buku itu adalah kumpulan tulisan Pemikiran dan Gerakan AES dari murid, teman, dan sahabat AES. Pembicara lain adalah Dr. Rahayu, wakil ketua PR2Media dan Editor buku ini. Buku ini dibedah dan diluncurkan pada 10 Juli 2021 atas kerjasama PR2Media, Komunikasi UII, dan SPS dan dipandu oleh Ignatius Haryanti sebagai moderator. Diskusi ini juga digelar sebagai peringatan Milad ke-17 Komunikasi UII dan Ulang Tahun ke 11 PR2Media. Kedua lembaga tersebut adalah lembaga dimana AES menjadi pendiri dan peletak dasarnya.

Iwan mengatakan ada pula dimensi kedua Manajemen Media yang intinya mengkaji posisi media sebagai industri dan media sebagai institusi. Apa karakter media sebagai industri, dan peran media sebagai institusi pers, misalnya.

Penting juga pengelola media, kata Iwan mengutip AES, menentukan arah paradigma medianya.

“Paradigmanya pasar atau paradigma propaganda/ misionaris,” kata Iwan. Menentukan paradigma ini menjadi dimensi ketiga yang sering dikemukakan AES.

Selanjutnya, mengkaji manajemen media juga harus memperhatikan konteks lingkungan sebagai dimensi keempat. Maksudnya, bagaimana sistem media yang ada dalam suatu kawasan atau negara mempengaruhi Manajemen Media.

Kajian manajemen media juga akan melihat dimensi kelima yaitu perkembangan teknologi dari sisi dampak dan bagaimana mengantisipasinya. Sedangkan dimensi keenam, AES juga sering menjelaskan bahwa manajemen media harus dikaji berdasarkan kegunaanya sebagai ilmu. Terutama manfaat bagi mereka yang mempelajari dan masyarakat pada umumnya.

 

Reading Time: 2 minutes

Kehidupan media di Indonesia kehilangan banyak setelah kepergian Amir Effendi Siregar (AES). Pemikir media dan pengawal demokratisasi media di Indonesia ini adalah soko guru kajian manajemen media dan cikal bakal Prodi Komunikasi UII. Banyak yang terinspirasi dan meneladani pemikiran AES. Terutama hal ini muncul setelah terbit buku Melawan Otoritarianisme Kapital, Amir Effendi Siregar dalam Pemikiran dan Gerakan Demokratisasi Media.

Iwan Awaluddin Yusuf, Dosen Komunikasi UII, murid dan penerus Amir di dua lembaga (Komunikasi UII dan PR2Media), mencatat ciri khas yang bisa diteladani dalam pemikiran AES. Ia melihat pemikiran AES selalu memunculkan empat hal. Empat hal ini adalah ciri yang membuat pemikiran AES tak lekang oleh jaman. Selain itu, semangat AES pada ilmu juga terlihat dari ciri khas ini.

Pertama, pemikiran AES selalu disertai dengan telaah filosofis. Ini ciri khas menelaah sesuati dari akar, dari filosofi. “Ia selalu filosofis berbicara soal makro yang besar, lalu kedua, pemikirannya selalu memunculkan data,” kata Iwan, doktor lulusan Monash University, Australia, pada Diskusi Buku tersebut via Zoom yang dilaksanakan Sabtu, 10 Juli 2021.

Pelibatan data ini menunjukkan bahwa AES selalu berdasar pada data empirik. Ia selalu memperbarui dan merelasikan dengan kondisi termutakhir.

Selain filosofi dan data, kata Iwan, Bang Amir juga tak lupa untuk memberi perbandingan dengan praktik di negara lain. “Bahkan ia seringkali melakukan pembantahan antara data dengan data. Biasanya misalnya AES selalu menekankan untuk melihat india dan negara lain yang secara sosial mirip,” papar Iwan mengenang masa ketika AES masih hidup dan berkiprah di PR2Media.

Ciri keempat, pemikiran AES selalu dikontekskan dan merujuk pada konstitusi. Rujukan pada konstitusi ini membuat pemikiran AES selalu layak dipertimbangkan dalam mengkaji dan memperbaharui regulasi. Termasuk di antaranya kajian AES tentang teknologi media di era digital.

“Di tempat saya belajar, Monash University, sudah tidak menggunakan kata media baru karena media baru itu relatif. Maka digunakan digital media,” papar Iwan. “Media baru akan menjadi media lama pada waktunya,” tambahnya. Semaju apapun perkembangan tekonologi dan media, kata kuncinya tetap sama, yaitu demokrasi, dengan kata kunci yang sering disebut AES: diversity.

 

Reading Time: 2 minutes

Public broadcasting is a must. Public broadcasting is here to fulfill the public’s right to quality and high-quality information. From here, the public will become a civilized society because they are educated with information. With information, people can organize themselves and improve their quality of life and civilization. So, public broadcasting must be present as a counterweight. 

“In countries with advanced democracies, the existence of public broadcasting is very much needed for balance,” said Darmanto, Program Manager for the Change House of the Public Broadcasting Institution (RP LPP) in the Book Discussion Against Capital Authoritarianism Volume 2, on Saturday, July 3, 2021. the Department of Communications UII held this discussion with cooperation by PR2Media, and SPS to commemorate and perpetuate Amir Effendi Siregar’s thoughts. Amir Effendi Siregar (AES) is the founder of the Department of Communications and PR2Media, two key institutions in communication and Media studies in Indonesia. 

Darmanto is one of the authors of a book containing a collection of writings by AES students, friends, colleagues, and colleagues on democratization thinking and the media movement. According to Darmanto, one of AES’ most important thoughts is about publicity and public broadcasting. The existence of public broadcasting is important in a country with a democratic system. Public broadcasters in developed countries also tend to be strong, independent, and professional institutions. 

The reason for the existence of public broadcasting, said Darmanto, was to draw on the thoughts of AES to serve the public interest. “The raison d’etre of public broadcasting is for that, serving the public interest,” said Darmanto. Public broadcasting, therefore, must be an independent institution from various fields. Be independent in terms of human resources, editorial, to finance. 

According to AES, said Darmanto, in terms of independence, HR management at RRI TVRI is still a problem. Not to mention, because LPP fulfills the public interest, it needs special regulations or laws that provide an umbrella for public broadcasting to be more independent on all fronts. 

The discourse on public broadcasting has long shifted towards the term public service media (public service media). It relies not only on broadcast media but also on any media with a wider scope in the internet era. “Even in Scandinavian countries, in 2003, they released a book on public service media,” said M. Kabul Budiono, TVRI’s Supervisory Board, who was also a speaker on the occasion. 

Reading Time: 2 minutes

Penyiaran publik adalah keniscayaan. Ia hadir sebagai pemenuh hak publik akan informasi yang berkualitas dan bermutu tinggi. Dari sini, publik akan menjadi masyarakat yang beradab karena teredukasi dengan informasi. Dengan informasi, masyarakat dapat mengatur dirinya sendiri dan meningkatkan kualitas hidupnya dan peradabannya. Maka, penyiaran publik harus hadir menjadi penyeimbang.

“Di negara-negara yang demokrasinya maju, keberadaan penyiaran publik sangat dibutuhkan untuk penyeimbang,” kata Darmanto, Manajer Program Rumah Perubahan Lembaga Penyiaran Publik (RP LPP) dalam Diskusi Buku Melawan Otoritarianisme Kapital Jilid 2, pada Sabtu, 3 Juli 2021. Diskusi ini diadakan oleh Prodi Komunikasi UII, PR2Media, dan SPS untuk mengenang dan mengabadikan pemikiran Amir Effendi Siregar. Amir Effendi Siregar (AES) adalah pendiri Komunikasi UII dan PR2Media, dua lembaga kunci dalam kajian Komunikasi dan Media di Indonesia.

Darmanto adalah salah satu penulis dalam buku berisi kumpulan tulisan murid, sahabat, kolega, dan rekan AES tentang pemikiran demokratisasi dan gerakan media. Menurut Darmanto, salah satu pemikiran AES yang paling penting adalah soal kepublikan dan penyiaran publik. Eksistensi penyiaran publik penting hadir dalam negara dengan sistem demokrasi. Penyiaran publik di negara-negara maju juga cenderung menjadi lembaga yang kuat, independen, dan profesional.

Alasan keberadaan penyiaran publik, kata Darmanto, mendedah pemikiran AES, adalah untuk melayani kepentingan publik. “Raison d’etre penyiaran publik adalah untuk itu, melayani kepentingan publik,” ungkap Darmanto. Penyiaran publik, karenanya, harus menjadi institusi yang merdeka dari beragam bidang. Baik itu merdeka dari sisi sumber daya manusia, redaksional, hingga keuangan.

Menurut AES, kata Darmanto, dari segi kemandirian, pengelolaan SDM di RRI TVRI masih menjadi problem. Belum lagi karena LPP adalah mutlak memenuhi kepentingan publik, maka perlu regulasi atau undang-undang khusus yang memayungi penyiaran publik agar ia lebih independen di segala lini.

Meski begitu, wacana soal penyiaran publik telah lama bergeser ke arah istilah public service media (media layanan publik). Ia bukan lagi hanya bersandar pada media penyiaran, tetapi media apapun yang cakupannya lebih luas di era internet. “Bahkan di negara skandinavia, pada 2003 mereka sudah merilis sebuah buku tentang public service media,” kata M. Kabul Budiono, Dewan Pengawas TVRI, yang ikut menjadi pembicara pada kesempatan tersebut.

 

Reading Time: < 1 minute

Memperingati 17 Tahun Prodi Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII) dan 11 tahun PR2Media (Pemantau Regulasi dan Regulator Media) dan untuk mengapresiasi jejak pemikiran sang pendiri, tokoh pers dan pendekar demokratisasi media di Indonesia Amir Effendi Siregar (AES), dua kegiatan sekaligus akan digelar besok Sabtu, 19 Juni 2021 jam 0900 pagi.

Pertama, peresmian perpustakaan publik yang didedikasikan untuk mengenang dan mewariskan gagasan tokoh pers Indonesia Amir Effendi Siregar (AES) terkait reformasi media di Indonesia, dikelola oleh Pusat Studi dan Dokumentasi Media Alternatif (PSDMA) Nadim Komunikasi UII. Namanya: AES CORNER. Lokasinya di lantai III Gedung Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia, Jl. Kaliurang Km 14,5 Sleman Yogyakarta.
cek laman digitalnya di https://communication.uii.ac.id/forum-aes/

Kedua, peluncuran terbatas buku berjudul: ‘Melawan Otoritarianisme Kapital: Amir Effendi Siregar dalam Pemikiran dan Gerakan Demokratisasi Media’ (2021), yang memuat tulisan para kolega, sahabat dan murid terkait kiprah dan gagasan Amir Effendi Siregar.  Editor: Puji Rianto, Nina Mutmainnah, Rahayu.

Reading Time: < 1 minute

Forum Amir Effendi Siregar – Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia menggelar Serial Bincang Sejarah Komunikasi (Sesi 16)

Topik:

Melacak Jejak Pemikiran Amir Effendi Siregar (AES): Dari Pers Mahasiswa Hingga Sosialisme Demokrasi Media

 

Pembicara:

Puji Rianto

Staf Pengajar di Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia, dan telah menjadi murid Amir Effendi Siregar (AES) sejak kuliah S1 di FISIPOL UGM hingga terlibat penuh dalam membantu AES mendirikan dan menggerakkan PR2Media. Lembaga nirlaba yang menaruh perhatian pada demokrasi media melalui penelitian, pendidikan, dan advokasi regulasi media, yang menjamin freedom dan keberagaman.

Jadwal

Sabtu, 7 November 2020
Pukul 09:30 WIB
Via Zoom

atau tonton di:

Registrasi:

 

 

View this post on Instagram

 

A post shared by PSDMA Nadim Komunikasi UII (@nadimkomunikasiuii) on

Reading Time: < 1 minute
0Days0Hours

Forum Amir Effendi Siregar – Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia menggelar:
Serial Bincang Sejarah Komunikasi (Sesi 15)

Topik:

Pisau Agenda Setting untuk Analisis Sejarah Opini Publik

Pembicara:

Kunto Adi Wibowo, Ph.D

Ph.D dari Wayne State University, Detroit, USA. Memiliki fokus penelitian tentang opini publik, misinformasi, dan efek algoritma pada opini dan sikap politik. Peneliti dan Direktur Lembaga Survey KedaiKOPI (Kelompok DIskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia). Penerima hibah penelitian dari WhatsApp untuk meneliti misinformasi pada Pemilu 2019.

 

Jadwal
Sabtu, 24 Oktober 2020
Pukul 09:30 WIB
Via Zoom

Registrasi:

Reading Time: 2 minutes

Diskusi dalam Forum Amir Effendi Siregar (Forum AES) #14 pada 17 Oktober 2020 mulai mengerucut pada diskusi sejarah mikro. Forum yang diinisiasi oleh PSDMA NADIM Komunikasi Universitas Islam Indonesia, ini mencoba melihat bagaimana sejarah menggunakan koran untuk melihat realitas sosial.

Diskusi kali ini masih berkaitan dengan diskusi sebelumnya yang diutarakan oleh Rianne Subijanto tentang perkembangan kajian sejarah. Rianne berkata pada tahun 1970-1980an para sejarawan mengkritik kajian yang melulu melihat sejarah dari orang besar atau tragedi-tragedi besar. Peran orang kecil (baca: orang biasa) dan peristiwa harian tidak pernah diperhitungkan.

Pusat Studi dan Dokumentasi Media Alternatif (PSDMA) NADIM Prodi Ilmu Komunikasi UII menggandeng Eunike Gloria Setiadarma untuk memaparkan risetnya yang mengunakan perspektif orang biasa untuk musuk melihat dinamika sejarah dan realitas sosial politik di masa itu. Tepatnya Eunike menggunakan tulisan Kwee Thiam Tjing (KTT) dan istrinya (Nie Hiang Nio) di berbagai koran yang terbit pada pada masa pra dan pascakemerdekaan. Pendekatan sejarah yang ia pakai adalah pendekatan sejarah mikro yakni pendekatan sejarah yang menarasikan sejarah dngan kacamata orang biasa.

“KTT ini cukup misterius karena Ben Anderson butuh waktu 40 tahun untuk mencari tahu siapa Tjamboek Berdoeri yang menulis ‘Indonesia dalem Api dan Bara’ sebagai buku,” kata Eunike. Dengan berbagai upaya, Ben akhirnya bisa menemukan dan menuliskan buku yang mengulas siapa itu KTT. Ben mencitrakan bahwa KTT adalah seorang jurnalis, ia memiliki wawasan tentang kebangsaan yang tinggi.

Ia sering mengkritik pribumi maupun orang Tionghoa yang menindas pribumi. Tulisan KTT sering kali ditulis gaya lisan tentang dunia kesehariannya. “Kadang KTT juga menuliskan tentang istrinya bahkan tetangganya, atau menyebut nama entah siapa,” ujar Eunike.

Tetapi dalam kajian kali ini, Eunike tidak ingin melihat sosok KTT sebagai seorang jurnalis dan aktivis politik yang kritis, berwawasann kebangsaan yang kerap menulis dunia sosial politik dari kalangan lokal. Eunike menarik sosok KTT dari seorang Jurnalis dan aktivis dalam konteks lokal. KTT yang berwawasan luas menjadi orang biasa. Ia KTT yang seorang suami, seorang bapak, dan manusia biasa di tengah masyarakat berumah tangga yang berwawasan kebangsaan dan kesadaran kritis.

Melihat tulisan KTT dan Istrinya (Nie Hiang Nio) dari yang sering menceritakan tentang anak-nak dan dapur menjadi wilayah aktifitas dominan Istri, dikritisi cara berpakaian, merasa senang jika dibelikan baju, marah ketika suami tidak membantunya di dapur. Semua itu tidak hendak melihat KTT mejadi sosok patriarki.”Itu tidak menarik bagi saya,” ujar Eunike.

Dari riset ini, Eunike melihat bahwa rumah menjadi cerminan kontestasi sebuah bangsa dan komunitas berikut soal kompleksitas kehidupan yang mewarnainya. “Saya menamainya sebagai nation at home,” kata Uenike. Beberapa poin yang digaris bawahi Eunike adalah pertama, perempuan menjadi wujud kecemasan laki-laki antara ingin mempertahankan atau membuang sisi tradisional dan usang dengan tidak kehilangan identitas modernitas ‘barat’.

Kedua, hubungan suami-istri-anak menjadi kesadaran realitas sosial komunitas dan proyeksi kemajuan sosial. Ketiga, dinamika rasa dan emosi menjadi bagian penting untuk komunitas dalam mempertahankan dirinya.