Tag Archive for: english

Reading Time: 2 minutes

Sering kita mendengar petuah untuk jangan terlalu lama berada di tentang comfort zone atau zona nyaman. Apalagi jika kita ingin sukses dan banyak pengalaman. Tapi bagaimana sih comfort zone dan bagimana cara keluar dari zona itu?

Gelaran Teatime oleh IPC mengudang salah satu mahasiswa International Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia (IPC UII), Faradisa Djasmine Anderson, untuk mengobrol tentang dunianya dengan barbagai prestasi dan kegiatan yang padat. Teatime kali ini Jumat, 18 Mei 2022, bertajuk Life of a Student and Regional Ambassador yang akan berbincang santai dengan gadis yang akrab dipanggil Disa itu.

Tips Keluar dari Zona Nyaman

Kesibukan Disa di dunia pariwisata sebagai Duta Taruna Nusantara pariwisata Jawa Tengah 2022 diawali dengan kesukaannya di dunia modeling. Dunia yang ia geluti sejak remaja. Ia merasa dunianya menyenangkan sekaligus membosankan. “Aku merasa kok duniaku gini-gini aja. Aku merasa stuck,” ungkap Disa.

“Aku merasa harus mencoba sesuatu yang baru,” kata Disa menceritakan kisahnya saat itu. Disa lalu mencoba peruntungan dengan mendaftar Duta pariwisata Kebumen dan lolos. “Buat aku, mencoba hal baru itu seperti mendapat tantangan,” lanjutnya.

“Memilih mencoba hal baru bukan karena merasa aku berbakat, bukan karena aku bisa. Tapi karena aku merasa ini adalah hal yang belum pernah aku coba sebelumnya,” paparnya.

Menurut Disa, ketika mencoba hal baru, terus saja mencoba. Kita belum tentu akan tahu akan gagal atau berhasil. “Nggak usah dipikirin. Coba aja,” ajak Disa memotivasi orang-orang yang takut mencoba hal baru.

Pintar Bagi waktu

Disa memiliki jadwal padat. Dia bekerja dan kuliah secara bersamaan. Selain melakukan kegiatan edukasi dan mendedikasikan waktu dan pengatahuannya untuk kemjuan pariwisata Provinsi Jawa Tengah, Disa juga harus bejar sekaligus mengerjakan tugas kuliah yang tidak sedikit. “Aku selalu ada note to do list di hape. Aku harus perhitungkan kegiatan ini harus dikakukan kapan, kegiatan hari ini apa, dan besok apa.” Hal ini untuk menghindari membuang waktu sia-sia.

“Aku nggak mau membuang kesempatan hari ini. Selagi bisa harus aku kerjakan hari ini,” ucap Disa.

Reading Time: 2 minutes

Menulis dan membahas sebuah problematika umat bisa dipandang dari berbagai sudut pandang. Tak ada pengkotak-kotakan ilmu. Jika ada, sejatinya pengkotak-kotakan ilmu itu warisan imperialisme belanda. 

Bagus Riyono menceritakan, ulama-ulama Indonesia sebelum kemerdekaan itu ahli banyak hal. Walaupun yang dikenalkan hanya ilmu agamanya. Menurutnya, Di psikologi juga harusnya ada pembahasan menggunakan quran. “Lalu masuk ke psyche, itu kan jiwa dan karakter. Jadi tujuan pendidikan itu membangun peradaban, bukan hanya individu,” kata Bagus Riyono menambahkan.

“Jika ada pengkotak-kotakan ilmu itu disebut colonial mentality,” kata Bagus Riyono dalam Bedah buku Problematika Umat Kontemporer: Perspektif Islam dan Psikologi pada Sabtu 9 April 2022. Acara ini adalah Bedah Buku sesi pertama dalam Milad ke-27 FPSB UII. 

Penulis buku ini terdiri dari beragam ahli. mereka adalah Dr. Ahmad Rusdi, MA.Si., Nanum Sofia, S.Psi., S.Ant., M.A., Ali Mahmud Ashshiddiqi, S.Pd.I., M.A., Achmad Sholeh, S.Psi., dan juga menghadirkan pembedah yaitu Dr. Bagus Riyono (Ketua IAMP, dosen Psikologi UGM). 

Bagus Riyono, pembedah buku ini, mengatakan, agama islam adalah agama peradaban, jadi bukan agama suku dan ras tertentu. Risalah islam adalah risalah untuk membangun peradaban. Menciptakan manusia yang unggul pada zaman rasul.

Maka penting buku ini untuk selanjutnya melihat kolonialisme sebagai cara pandang melihat peristiwa hari ini. Melihat dari sudut pandang sejarah. “Nah inilah PR umat islam bagaimana menerjemahkan undang-undang dan UUD ke dalam pendidikan kita dan membentuk akhlak mulia,” katanya. “Supaya kita betul-betul kembali ke inti dari tujuan pendiri UII: menjadikan UII merdeka dari kolonialisme.

Menurut Bagus, tujuan pendidikan bukan untuk mencari popularitas, kekayaan, melainkan menuju akhlak. Tujuannya adalah kemaslahatan umat, dan akhirnya peradaban.

“Jadi ini harus dikembangkan, bukan parsialisasi sebagai contoh bentuk kolonialisme,” ujarnya. “Jangan alergi dengan buku yang disiplinnya berbeda. Ada buku membahas gunung jangan alergi, karena itu tidak terkait dengan psikologi, misalnya. Padahal sangat terkait,” katanya. 

Bagus Riyono menggarisbawahi, buku karya akademisi FPSB ini harus melihat konteks sejarah bagaimana pendidikan kolonialisme memecah keilmuan. “Salah satu peran pendidikan kolonial itu memutus sejarahnya. Karena kalau rakyat terhubung dengan sejarahnya nanti dia akan memberontak. Dia kan jadi tau dia tidak terjajah. Jadi rakyat terjajah dibuat seolah mereka memang tak pernah merdeka. Maka penjajah memutusnya,” papar Bagus panjang lebar. 

Menurut Bagus, hal ini sudah dirumuskan ibn khaldun, dan dicatat oleh ahli sejarah paling populer dan paling otoritatif Arnold Toynbee, “dia bilang ibn khaldun adalah perintis filsafat sejarah: sejarah bukan kenyataan, bahwa ia, sejarah, adalah representasi pemikiran si penulis. Maka kita perlu melihat (problematika umat) kondisi saat ini dari kacamata kolonialisme,” paparnya. 

Mengenai buku ini, menurutnya, kerangka buku ini sudah bagus adalah sejarah klasik dan kontemporer. “Hanya soal integrasinya harus dikaji lebih dalam dan jauh, dan dari sisi psikologisnya bukan hanya soal perilaku atau behaviour, tapi juga mendalam soal kejiwaan soal akhlak,” tambahnya.

Menurutnya, pendidikan harus terkoneksi dengan Allah SWT. “Dan setiap yang terkoneksi dengan Allah maka akan membuat hati menjadi lebih tenang. Dengan hati tenang, akan terwujud peradaban.”

Reading Time: 2 minutes

Writing and discussing a problem with people can be viewed from various perspectives. There is no division of knowledge. If there is, in fact, the division of knowledge is a Dutch imperialism heritage. 

Bagus Riyono said that the Indonesian religious leaders before independence were experts in many things. Although what is introduced is only religious knowledge. According to him, in psychology, there should also be a discussion using the Koran. “Then enter the psyche, it’s the soul and character. So the purpose of education is to build civilization, not just individuals,” said Bagus Riyono.

“If there is a division of knowledge, it is called colonial mentality,” said Bagus Riyono in the book Review of Contemporary People Problems: Islamic Perspectives and Psychology on Saturday, April 9, 2022. This event was the first session of Book Review in the 27th Milad of FPSB UII. 

The author of this book consists of various experts. they are Dr. Ahmad Rusdi, MA.Si., Nanum Sofia, S.Psi., S.Ant., MA, Ali Mahmud Ashshiddiqi, S.Pd.I., MA, Achmad Sholeh, S.Psi., and also presented a surgeon, Dr. . Bagus Riyono (Chairman of IAMP, UGM Psychology lecturer). 

The History of Colonialism Point of View

Bagus Riyono, the reviewer of this book, said that Islam is a religion of civilization, so it is not a religion of certain ethnicities and races. Islamic treatise is a treatise to build civilization. Creating superior humans at the time of the apostles.

Therefore, it is important for this book to look at colonialism as a way of looking at today’s events. Look at it from a historical point of view. “Well, this is the homework of Muslims on how to translate laws and the Constitution into our education and form noble character,” he said. “So that we really go back to the core of the goal of the founder of UII: to make UII independent from colonialism.

According to Bagus, the purpose of education is not to seek popularity or wealth, but towards morality. The goal is the benefit of the people, and ultimately civilization.

“So this must be developed, not partial as an example of colonialism,” he said. “Don’t be allergic to books with different disciplines. There is a book discussing mountains don’t be allergic, because it’s not related to psychology, for example. In fact, they are very related,” he said. 

Bagus Riyono underlined this book of FPSB academics must look at the historical context of how colonialism education divided science. “One of the roles of colonial education is to break its history. Because if the people are connected to their history, then they will revolt. He knew that he was not colonized. So the colonized people are made as if they were never free. So the invaders decided,” Bagus explained at length. 

According to Bagus, Ibn Khaldun was formulated this thesis, and recorded by the most popular and most authoritative historian Arnold Toynbee, “he said ibn Khaldun was the pioneer of the philosophy of history: history is not reality, that he, history, is a representation of the author’s thoughts. So we need to look at the current condition (problems of the people) from the perspective of colonialism,” he explained. 

Regarding this book, according to him, the framework of this book is good, it is classical and contemporary history. not only a matter of behavior or behavior but also a deep psychological issue of morals,” he said.

According to him, education must be connected to Allah SWT. “And anything connected to Allah will make the heart calmer. With a calm heart, civilization will come true.”

Reading Time: 2 minutes

Imagine the excitement of watching festivals and concerts, which are always decorated with sparkling lights at some points and combined with dim, colorful lights at other angles. Unique ornaments add to the joy of gathering with friends in a busy atmosphere. Suddenly the covid outbreak hit, making all the excitement have to stop. Everyone must stay at home. Traveling is limited, let alone gathering with friends to enjoy concerts.

Presenting the excitement of concerts and the aura of festivals is a challenge that all event activists had never imagined before the outbreak of Covid19. In the Teatime talk show held by the International Program of Communication department, the Islamic University of Indonesia discussed how to organize events in the era of the co-19 pandemic. The event titled “How to do event management in the pandemic era” presents Ibnu Darmawan, Junior Lecture at the Department of Communication, Universitas Islam Indonesia, on April 1, 2022, live on the Instagram account ip.communication.uii.

“The ability to adapt and think creatively must be possessed in an era that is now going digital,” said Ibnu Darmawan. This challenge requires event activists to look for ideas to continue providing entertainment amid a pandemic without leaving the excitement and aura of concerts that have so far been held in open spaces or other public spaces.

Preparation What Needs to be done?

The question is, what must be done or what skills must be possessed to adapt to the pandemic era? Ibnu Darmawan provides tips and tricks to make the event more focused. According to Ibnu, following the basic regulations set by the ministry of tourism and creative economy (Kemenparekraf) in 2022, to hold events in a very limited manner and with a strict format.

This restriction can be an interesting format for hosting full or hybrid virtual events. The second tip is to use the SMART formula by organizing specific, measurable events, paying attention to your goals and resources, being relevant, and having a reasonable timetable.

In addition to the mentality that is always ready to face change, people who work to manage events must have excellent communication skills. “Adaptive to very dynamic events, event organizing is a field that depends on the environment. Previously there was offline to online. The challenges are very different,” Ibnu added.

Looking at the digital world that continues to open opportunities to connect with various parts of the world and completely different fields, Ibnu underlines communication and collaboration skills. “Communication skills are a must, how to negotiate with various parties, especially sponsorship-related. Another keyword is collaboration. The style of work now is more collaborative,” said Ibnu.

Reading Time: 2 minutes

Terbayang keseruan menonton festival maupun konser yang selalu dihias dengan lampu gemerlap di beberapa titik dan dipadu dengan lampu remang berwarna warni di sudut lain. Ornamen unik menambah keriangan berkumpul bersama teman  dalam keramaian suasana. Tiba-tiba wabah covid melanda, membuat semua kegembiraan harus berhenti. Semua orang harus tetap dirumah. Bepergian dibatasi apalagi berkumpul bersama teman-teman menikmati konser.

Menghadirkan keseruan konser dan aura festival menjadi tantangan yang tak pernah dibayangkan oleh semua pegiat event sebelum covid19 merebak. Dalam acara bincang Teatime yang diselenggrakan International Program of Communication department Universitas islam Indonesia membahas bagaimana menyelenggarakan event di era pandemic covid19. Acara bertajuk “How to do event management in the pandemic era” ini menghadirkan Ibnu Darmawan, Junior Lecture di Jurusan Ilmu Komunikasi, Universitas islam Indonesia, pada 1 April 2022 secara live di akun Instragram ip.communication.uii.

“Kemampuan adaptasi dan berpikir kreatif harus dimiliki di era yang kini akan mengarah ke digital,” ujar Ibnu Darmawan. Tantangan ini menuntuk para pegiat event untuk mencari ide agar tetap menghadirkan hiburan di tengah pandemi tanpa meninggalkan keseruan dan aura konser yang selama ini dilakukan secara di ruang terbuka atau public space lainnya.

Persiapan Apa yang Perlu dilakukan?

Pertanyaannya, apa yang harus dilakukan dilakukan atau kamampuan apa yang harus dimiliki untuk beradaptasi di era pandemi.  Ibnu Darmawan memberikan tips dan trik untuk membuat event yang akan diselenggarakan menjadi lebih terarah. Menurut Ibnu, mengikuti peraturan dasar yang ditetapkan oleh kementrian pariwisata dan ekonomi kreatif (kemenparekraf) tahun 2022 untuk menyelenggrakan event dengan sangat terbatas dan dengan format yang ketat.

Pembatasan ini bisa menjadi format yang sangat menarik dengan menyelenggarakan event virtual penuh ataupun hybrid. Tips kedua adalah dengan menggunakan SMART formula dengan menyelenggarakan event dengan spesifik, terukur, memperhatikan tujuan dan sumberdaya yang dimiliki, relevan, dan memilki time table yang masuk akal.

Selain mental yang selalu siap menghadapi perubahan, orang yang bekerja untuk memgelola event harus memiliki keterampilan komunikasi yang unggul. “Adaptif dengan kejadian yang sangat dinamis, event organize adalah satu bidang yang tergantung lngkungan. Tadinya ada ofline ke online. Tantangannya sangat berbeda,” Ibnu menambahi.

Melihat dunia digital yang terus membuka peluang untuk terhubung dengan berbagai belahan dunia dan berbagai bidang yang sama sekali berbeda, Ibnu menggarisbawahi keterampilan komunikasi dan kolaborasi. “Skill komunikasi menjadi keharusan, bagaimana negosisiasi dengan berbagai pihak, terutama dengan terkait sponsorship. Kata kunci lainnya adalah kolaborasi. Gaya bekerja sekarang lebih ke arah kolaboratif,” papar Ibnu.

Reading Time: 2 minutes

Talking about the days of the final semester when you have to struggle with finishing and writing a thesis, days can seem very heavy. Discipline and a support system will help through that stressful day.

The discussion about the thesis days became the topic of the Teatime program, hosted by Arsila and Ola, students of the International Program in Communication at UII. The teatime entitled “Talking About Thesis Defense and Final Years Student Life in IPC UII” invited Muhammad Aditya Arvian, a student of the International Program of Communication Department, on Friday, March 25, 2022.

Muhammad Aditya Arvian, usually called Adit, recounted his days at the end of the semester. He said his day was not as many people imagine. “Don’t imagine me working on my thesis and waiting for the laptop day and night. Not really. There is also a lot of free time,“ said Adit.

But being too preoccupied with a lot of free time is also not beneficial. The time he has to work on the thesis is enough for him to complete it. Sometimes there is a hard time, and sometimes, there is a time to loose. One thing he underlined in carrying out his thesis days: “Don’t wait for a good mood,” said Adit. “If you’re in a bad mood, calm down first then remember again what goal is.”

Overcoming it is also sometimes challenging. It takes the ability to regulate self-will and reluctance. The word discipline is not enough to help get out of laziness. Setting targets and being consistent day after day is the key.

“I am committed to making progress every day, even if only by making one sentence or paragraph,” Adit said, remembering the process of writing his thesis. Adit noted that the process was often profitable. Because sometimes, there are days when you are very excited and can write several pages at once.

Apart from daily progress, Adit also provides self-rewards to trigger him to complete his thesis. He’ll have a lot of free time to spend on whatever he loves if he can finish before the deadline. “For example, next Wednesday, I have to finish Chapter 2, and I will have a personal deadline to finish on Sunday. If it’s finished before that day, I have a long free time,” said Adit.

In addition to the motivation built within himself, Adit admits that friends are a formidable support system in completing the thesis. “Friends are needed. Very supportive. Many have encouraged me when there is a fear of not finishing the thesis. Some friends can also be friends for discussion. Seeing the progress of other friends also triggers myself to be even more enthusiastic.”

Reading Time: 2 minutes

Berbincang tentang hari-hari semester akhir yang harus bergumul dengan penyelesaian dan penulisan tesis, hari-hari sepertinya bisa terasa sangat berat. Disiplin dan support system akan sangat membantu melalui hari yang penuh tekanan itu.

Obrolan tentang hari-hari skripsi itu menjadi topik acara Teatime yang dipandu oleh Arsila dan Ola, keduanya adalah mahasiswa Program Internasional di Komunikasi UII. Teatime yang bertajuk “Talking About Thesis Defence and Final Years Life Student in IPC UII” itu mengundang Muhammad Aditya Arvian, salah satu mahasiswa International Program of Communication Department pada Jumat, 25 Maret 2022.

Muhammad Aditya Arvian yang biasa disapa Adit itu menceritakan hari-harinya di akhir semester. Dia bilang, harinya tidak seperti yang banyak orang banyangkan. “Jangan dibayangin aku ngerjain skripsi dan nungguin laptop siang malem. Nggak juga. Banyak juga waktu luang,” kata Adit.

Namun terlalu terlena dengan banyak waktu luang juga tidak menguntungkan. Waktu yang dimiliki untuk mengerjakan skripsi itu cukup untuknya untuk menyelesaikan. Kadang ada waktu yang berat, kadang ada waktunya untuk longgar. Satu hal yang dia garis bawahi dalam menjalani hari-hari skripsinya: “Don’t wait for good mood,” kata Adit. ”Kalau sedang  bad mood, tenangin diri dulu baru inget lagi apa goal kita.”

Untuk mengatasi itu juga kadang tak mudah. Butuh kemampuan mengatur keinginan dan keengganan diri. Kata disiplin, tidak cukup membantu keluar dari rasa malas. Menetapkan target dan selalu konsisiten hari demi hari adalah kuncinya.

“Aku berkomitmen untuk membuat progress setiap hari walaupun hanya dengan membuat satu kalimat,atau  satu paragraf,” ujar Adit mengingat prosesnya menulis skripsi. Adit menceritakan bahwa proses itu sering kali menguntungkan. Karena kadang ada hari yang sangat bersemangat, dan bisa menuliskan beberapa halaman sekaligus.

Selain progress harian, Adit juga memberikan self-reward untuk memicunya menyelesaikan skripsi. Ia akan punya banyak waktu luang yang dapat ia gunakan untuk apapun yang ia sukai jika ia bisa menyelesaikan sebelum waktu tenggatnya. “Misal rabu depan aku harus menyelesikan Bab 2, aku akan punya deadline pribadi yaitu menyelesaikan di hari minggu. Jika selesai sebelum hari tersebut kan aku punya free time yang panjang,” kata Adit.

Selain motivasi yang dibangun dalam diri, Adit juga mengakui bahwa teman seperjuangan dalam menyelesaikan skripsi merupakan support system yang tangguh. “Teman sangat dibutuhkan. Support banget. Saat ada rasa takut skripsinya takut nggak kelar, banyak yang udah semangatin. Ada teman bisa juga untuk teman diskusi. Melihat progress teman lain juga menjadi pemicu diri untuk lebih semangat lagi.”

Reading Time: 2 minutes

Being part of the IISMA (Indonesia International Student Mobility Award) Awardee is the dream of many Indonesian students nowadays. Listening to stories of the awardee’s journey and process while studying abroad will increase their enthusiasm to be part of IISMA. What Nadira’s journey was like when studying at Leeds University and how she got through has been much awaited by many students.

The theme for the teatime on 11 March 2022 reviews Nadira Muthia Supadi’s journey from preparation to the study process in the UK. Nadira is one of the students from the International Program of Communication Department at the Universitas Islam Indonesia (UII) who successfully passed the IISMA and studied at Leeds University in the United Kingdom.

Preparations to Avoid Culture Shock

Nadira talks about her preparations before she left for London, UK. Before leaving, she searched for articles about life in the UK (England). She did this so that later She would not be surprised by all the culture and way of life in the UK, which is very different from the way of life in Indonesia. She also prepared himself not to carry many things. “I only bring important things. Bring only a little stuff. Remember, I go there alone, and I have to bring all the stuff myself,” Nadira advised, remembering her previous trip preparations.

What she only know is how to behave in a place far from home. How to prepare to avoid all the culture shock. Prepare all of them in a simple way only. Conversely, what Nadira wants to say is don’t bother yourself. You are not in your hometown.

Nadira did not experience too many difficulties in the UK because she had prepared before departure. “I’m quite ready there. I’ve prepared a lot of tips for this and that. If you have to travel, how should you travel? So be more prepared for that.”

Even so, Nadira admitted that she still faced obstacles after arriving there. “I have to adapt again,” said Nadira.

Even though she has good English skills and is used to speaking foreign languages, Nadira still has to get used to speaking with English people whose words are sometimes difficult for her to understand. “In the beginning, sometimes I didn’t understand what they were talking about. It’s not clear,” Nadira said when she faced several people whose accents and vocabulary pronunciations weren’t very familiar.

Reading Time: 2 minutes

Menjadi bagian dari IISMA (Indonesia International Student Mobility Award) Awardee adalah impian banyak mahasiswa Indonesia. Mendengarkan cerita perjalanan dan proses awardee saat kuliah di negeri orang akan meningkatkan gairah mereka untuk menjadi bagian dari IISMA. Seperti apa perjalanannya Nadira saat Kuliah di Leeds University dan bagaimana dia bisa menembus sudah banyak ditunggu oleh banyak mahasiswa.

Tema teatime pada 11 Maret 2022 ini mengulas perjalanan Nadira Muthia Supadi dari persiapan hingga proses belajar di UK. Nadira adalah salah satu mahasiswa International Program of Communication Department Universitas Islam Indonesia (UII) yang berhasil lolos untuk mengikuti IISMA ke Leeds University of United Kingdom.

Persiapan Menghindari Culture Shock

Nadira bercerita tentang persiapannya sebelum ia berangkat ke London UK. Sebelum berangkat ia banyak mencari artikel tentang kehidupan di UK (Inggris). Hal ini ia lakukan agara ia nantinya tidak kaget dengan semua kultur dan cara hidup di UK yang berbeda jauh dengan cara hidupnya di Indonesia. Ia juga mempersiapkan diri untuk tidak membawa barang banyak, “aku sih bawa barang yang penting aja. Jangan bawa barang banyak. Ingat, kalau aku kesana sendiri dan semua barang harus aku bawa sendiri,” pesan Nadira mengingat persiapan perjalanannya dulu.

Tantangan

Nadira tidak terlalu banyak mengalami kesulitasn ketika di UK karena ia sudah persiapkan sebelum keberangkatan. “Aku sih sudah agak siap di sana. Aku sudah banyak persiapan tentang beberapa tips untuk harus begini dan begitu. Kalau perjalanan harus bagaimana, kalau bepergian harus bagaimana. Jadi lebih siap gitu.”

Meskipun begitu, Nadira mengakui setelah sampai di sana ia masih menghadapi kendala. “Aku harus adaptasi lagi,” kata Nadira.

Meskipun memiliki kamampuan Bahasa Inggris yang bagus dan sudah terbiasa bertutur dengan Bahasa asing itu, Nadira masih harus membiasakan diri berbicara dengan orang Inggris yang kadang kata-katanya sulit ia pahami. “Ketika awal-awal kadang aku nggak ngerti mereka biacara apa. Enggak jelas,” Nadira bercerita saat ia menghadapi beberapa orang yang aksen dan pelafalan kosakatanya tidak begitu familiar.

Reading Time: 2 minutes

The Indonesia International Student Mobility Award (IISMA) seeks future young leaders and students who are competent and able to be part of global change. Their real contribution is the key point to getting into this prestigious scholarship.

In a relaxed talk show, an event held regularly by the International Program of Communication Department, Universitas Islam Indonesia (UII), discussing IISMA issues by inviting Dr. rer. nat. Dian sari Utami. He is the Director of the Partnership of International Affairs. The teatime entitled “Lest Find out IISMA” was held on March 5, 2022.

The Indonesian International Student Mobility Award (IISMA) is a program from the Ministry of Education, Culture, Research, and Technology of the Republic of Indonesia. In collaboration with the Education Fund Management Institution (LPDP), this program is part of the Merdeka Campus program, namely Merdeka Belajar. This scholarship is given specifically for Indonesian students, “only for Indonesian students, not for foreign students studying in Indonesia, but specifically for Indonesian students,” said Dian.

Dian divulged a little about what kind of students are sought at IISMA. Apart from meeting the minimum requirements such as completeness of files, English language skills, and student GPA, one more thing that students at IISMA most want.

In the interview test, an important point is always asked, which influences the contribution to society and Indonesia after attending IISMA. “In the interview test, you will definitely be asked something like, ‘We have paid for this course. So, what will your contribution be?’” Dian said, imitating the interviewer.

“On average those who have been accepted can tell a lot about their current activities, more about the social work they do outside the campus. They will also study there, and take courses that support their current activities. Well, later they will come back and develop their social work. So it’s relatable and sustainable.” added Dian.