Pada 10 Juli 2020, Zaki Habibi menjadi pembicara. Dia mengatakan Inti dari diskusi bahwa dalam Teatime # 3: Berpikir Kritis adalah Inti dari Pola Pikir Internasional. Dia adalah pembicara utama bincang-bincang Teatime tentang bagaimana pola pikir internasional penting bagi pengalaman akademik.
Mahasiswa harus belajar dan melatih pola pikir mereka untuk beradaptasi dengan dunia akademik global. Dalam acara Teatime ketiga ini, panitia memilih judul “Crash Landing on The Connected World – What Can We Benefit From Having International Mindset “. Ida Nuraini Dewi KN, sebagai tuan rumah, mencoba mewawancarai Zaki apa manfaat memiliki pola pikir internasional.
Pada malam itu, Zaki menyiarkan pembicaraannya langsung dari Lund, Swedia, dan Ida pembawa acara dari Jogja. Penontonnya sudah lebih dari 100 pemirsa. Inilah yang dikatakan Zaki dengan dunia yang terhubung. Kita masih bisa terhubung, berbicara, berdiskusi, dan ‘bertemu’ satu sama lain karena kita sudah terhubung dengan teknologi. Oleh karena itu, kita dapat membuat kolaborasi kreatif dan mendapatkan pola pikir internasional dengan mudah daripada sebelumnya.
Oleh karena itu, karena pentingnya memiliki pola pikir internasional ini, mahasiswa dari perguruan tinggi seperti universitas atau sekoalh tinggi sebaiknya memperkaya itu. Perkaya pola pikir dan berpikir dengan pola pikir internasional. Dengan mengetahui pola pikir internasional, kita dapat memecahkan masalah global, bahkan membantu orang lain, dan juga menemukan cara terbaik untuk menghadapi masalah hidup sehari-hari.
Berpikir Kritis adalah Inti dari Pola Pikir Internasional
Lalu, Apa Pola Pikir Internasional itu?
Zaki berkata, “Berpikir Kritis adalah Inti dari Pola Pikir Internasional.”
Ida, yang juga dosen spesialis jurnalisme dan studi media Komunikasi UII, bertanya kepadanya: apa yang anda maksud dengan berpikir kritis adalah kunci dari pola pikir internasional?
Berdasarkan pemikiran Zaki, studi di pendidikan tinggi juga tentang mencoba untuk memiliki pemahaman kritis tentang segalanya. “Apa yang kamu pelajari sebenarnya tentang ini,” kata Habibi. Habibi memberi tahu kita bahwa ada banyak masalah yang dihadapi dunia sekarang. “Masalah besar seperti kelangkaan pangan, perubahan iklim, rasisme dan sebagainya, bahkan dalam cara-cara positif, perkembangan baru kota-kota, perkembangan ekonomi baru dan sebagainya, jika kita memiliki sikap pemahaman kritis seperti ini,” jawab Habibi.
Itu sebenarnya menempatkan kita, sebagai mahasiswa di lembaga pendidikan tinggi, “untuk melihat semua yang terjadi di luar sebagai sesuatu yang tidak diterima begitu saja,” lanjut Zaki. Kedua, katanya, bahwa akan ada sesuatu yang memiliki konteks sejarah, konteks sosial, ekonomi, dan politik, dan lainnya. “Dan itu tidak selalu berarti sesuatu terjadi di satu tempatdan tidak terjadi di tempat lain, bisa saja probelm yang saa terjadi di tempat lain,” kata dia, yang juga kandidat PhD di Lund University, Swedia.
Apa yang ingin dikatakan Zaki adalah, sebagai seorang Mahasiswa, penting untuk memahami konteks sesuatu atau masalah. Jadi Anda dapat, “menemukan poinnya, mengapa solusi ini bekerja di sini, mengapa solusi ini menyelesaikan masalah tertentu ini,” kata Habibi.
Setiap Orang Berbeda, Jadi Pahami Perbedaannya
Habibi juga menceritakan kisahnya yang dia dapatkan sebelumnya ketika dia pergi ke luar negeri di Universitas Edith Cowan di Perth, Australia. Dia mengatakan, ketika dia mendapatkan gelar master di Australia, dia juga mendapat cerita yang berbeda.
“Orang-orang berbeda, dengan memahami perbedaannya, kita dapat memahami konteksnya, memahami mengapa mereka berperilaku seperti itu. Bagaimana kita harus bersikap, dan bagaimana kita harus bereaksi kembali,” katanya mengenang.
Meskipun, pola pikir internasional ini, kata Habibi, tidak perlu harus dibangun di lembaga-lembaga internasional formal. Misalnya, “Kamu dapat belajar di program apa saja, di mana saja, disiplin apa pun, tetapi pola pikir internasional ini semakin penting dengan situasi saat ini,” katanya.
Ida dan Habibi sepakat bahwa pola pikir internasional bukan hanya tentang menguasai bahasa. “Ini bukan tentang kamu dapat memahami bahasa Inggris dengan baik. Jika kamu dapat mengekspresikan bahasa Inggris dengan sangat baik seperti halnya penutur asli, itu tidak cukup,” kata Zaki. Zaki, yang juga seorang dosen Spesialis Komunikasi Budaya Visual, di Departemen Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia, mengatakan menguasai bahasa tidak cukup.
Zaki menekankan bahwa pola pikir Internasional lebih pada cara kita memahami perbedaan. “Pola pikir ini adalah cara kita memahami kemungkinan untuk memahami bahwa orang memiliki masalah mereka sendiri.” kata dia. “Definisi pola pikir internasional adalah menguasai pemahaman,” kata Habibi, “Dan cara kita bereaksi terhadap masalah global, seperti masalah kita sekarang atau di masa depan,” lanjutnya.