Tag Archive for: english

Reading Time: 2 minutes

Does Indonesia have a historical legacy for iIndonesian public broadcasting? This question is important to raise. The question of the historical legacy of public broadcasting may be difficult to answer. Not to mention that the direction of writing the history of Indonesian broadcasting still faces various problems.

Masduki, Lecturer of Department of Communication Science at UII, said that various problems in writing the history of Indonesian broadcasting have made it difficult to trace the legacy of public broadcasting in Indonesia.

This doctoral graduate from the Institute of Communication Studies & Media Research (IfKW), University of Munich (LMU Munich), explains that this fact is different from some public broadcasting practices in Europe and America, for example.

“In the UK, the BBC, as a public broadcaster, was born to meet the needs of quality information for citizens. The BBC has long confirmed that it is in the form of public broadcasting. It is also protected by law,” he said in a discussion at the Amir Effendi Siregar Forum (AES Forum. ) which was held by the Department of Communication Science. on Saturday, August 8th, 2020.

The AES Forum Discussion which was broadcast live by the Department of Communication Science via its First Online TV at UII, Uniicoms TV, was attended by various participants from various campuses, institutions, and NGO. Starting from broadcasting activists, academics, NGO activists, students, the press, and also the citizens of Yogyakarta.

Various Problems in Writing History of Public Broadcasting

According to Masduki,  who is also a broadcasting expert, there are several problems in writing the history of Indonesian broadcasting. He succeeded in tracking down references from books, journals to other literature that talk about public broadcasting in Indonesia. From here, finally, he recited his questions about the history of public broadcasting in his dissertation.

The problems in writing the history of public broadcasting, for example, as He mentioned it, first, books and other references in Indonesia have only focused on actors. Second, if there is any trace of the history of the institution, it only contains single institutions, TVRI for example, and only in certain periods.

Third, the approach used is the pre-soeharto period oral history approach. “This is as we can see in the book ‘Sedjarah Radio’ (history of radio) published by the Ministry of Education in 1953.

The next problem, fourth, is that the writing of history in books is still centered on the strategy of music broadcast content in the colonial era. This is as written by Yampolsky, a writer who researches colonial era radio such as SRV, Nirom, etc.

Fifth, books on the history of public broadcasting are still compiled by several Indonesianist authors. Sixth, the history that is listed only focuses on the organization and dates such as in theses, theses, dissertations, “and tends to copy and paste from various histories which are haphazard and dry analysis,” said Masduki.

“Well, what is missing is the writing of a longitudinal, comparative, and critical pattern of public broadcasting,” he said while explaining the reason he wrote his dissertation which was published by Palgrave Macmillan Publisher, some time ago.

Reading Time: 2 minutes

Apakah Indonesia Punya Warisan Sejarah Soal Penyiaran Publik Indonesia? pertanyaan ini menjadi penting dikemukakan. Pertanyaan soal warisan sejarah penyiaran publik barangkali sulit untuk dijawab. Belum lagi arah penulisan sejarah penyiaran indonesia masih menemui beragam problem.

Masduki, Dosen Komunikasi UII, pakar penyiaran, mengatakan bahwa pelbagai persoalan dalam penulisan sejarah penyiaran indonesia menyebabkan sulitnya melacak warisan soal penyiaran publik di indonesia.

Doktor lulusan dari Institute of Communication Studies & Media Research (IfKW), University of Munich (LMU Munich), ini menjelaskan, fakta ini berbeda dengan beberapa praktik penyiaran publik di eropa dan amerika, misalnya. “Di Inggris, BBC, sebagai penyiaran publik, lahir untuk memenuhi kebutuhan informasi yang berkualitas bagi warga. BBC, memang sejak lama meneguhkan berbentuk penyiaran publik. Ia juga dilindungi oleh undang-undangnya,” katanya dalam diskusi di Forum Amir Effendi Siregar (Forum AES) yang dihelat Prodi Ilmu Komunikasi UII pada Sabtu, 8 Agustus 2020.

Diskusi Forum AES yang disiarkan langsung oleh Prodi Ilmu Komunikasi lewat TV Online Pertama di UII, Uniicoms TV ini, dihadiri beragam peserta dari beragam pihak. Dari kampus, lembaga, dan institusi. Mulai dari aktivis penyiaran, akademisi, aktivis NGO, mahasiswa, pers, dan juga masyarakat umum.

Menurut Masduki, ada beberapa problem penulisan sejarah penyiaran indonesia. Ia berhasil melacak referensi-referensi baik dari buku, jurnal hingga pustaka lainnya yang bicara soal penyiaran publik di Indonesia. Dari sinilah akhirnya, ia mendaraskan pertanyaannya soal sejarah penyiaran publik ini, dalam disertasinya.

Problem Penulisan Sejarah Penyiaran Publik

Problem-problem dalam penulisan sejarah penyiaran publik itu terbagi menjadi beberapa poin. Misalnya pertama, buku dan referensi lain di Indonesia selama ini hanya terpusat pada aktor. Kedua, pun jika ada melacak sejarah institusi, ia hanya memuat institusi, TVRI misalnya, dan hanya di periode tertentu.

Tak hanya itu, Ketiga, pendekatan yang dipakai adalah pendekatan sejarah lisan periode pra orde baru. “Ini seperti yang bisa kita lihat dalam buku ‘Sedjarah Radio” yang diterbitkan oleh Deppen pada 1953.

Problem selanjutnya, keempat, penulisan sejarah dalam buku masih terpusat pada strategi konten siaran musik di era kolonial. Ini seperti yang ditulis oleh Yampolsky, seorang penulis yang meneliti radio era kolonial seperti SRV, Nirom, dll.

Seterusnya, yang kelima, buku-buku tentang sejarah penyiaran publik masih bersifat kompilasi oleh beberapa penulis indonesianis. Keenam, sejarah yang tertera hanya fokus ke organisasi dan tanggal-tanggal seperti dalam skripsi, tesis, disertasi, “dan cenderung salin tempel dari berbagai sejarah yang serampangan dan kering analisis,” kata Masduki.

“Nah, yang belum ada adalah penulisan sejarah penyiaran publik berpola longitudinal, komparatif, sekaligus kritis,” katanya. Ia sekaligus menjelaskan alasan ia menulis disertasinya yang telah diterbitkan oleh Penerbit Palgrave Macmillan, beberapa waktu lalu.

Reading Time: 2 minutes

 

Pada tanggal 23 Juli 2020, Program Internasional Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII) dan Uniicoms TV mengundang Profesor Chen dan Dr. Masduki dalam The Annual Globalization Workshop (AGW) dengan tema “The Future Globalization.” Workshop ini merupakan program workshop perdana yang diselenggarakan oleh Program Studi Ilmu Komunikasi Internasional UII. Tulisan ini merupakan tulisan kedua Fitriana Ramadhany, mahasiswa magang kami, berdasarkan reportase-nya. Ini adalah artikel tindak lanjutnya.

 

Profesor Chen mengatakan bahwa Covid-19 memiliki lima dampak pada globalisasi. Ini memperlambat proses globalisasi, memperingatkan risiko ketergantungan, meningkatkan kesadaran akan kerapuhan globalisasi, memisahkan diri dari China, dan penurunan pendapatan bersih dari globalisasi. Covid-19 menempatkan penghalang baru bagi globalisasi dengan memperlambat proses dan memperlambat proses transportasi massal. Ia mencontohkan kelangkaan masker saat terjadi pandemi sebagai salah satu risiko ketergantungan produksi dari negara lain. Selain itu, kelompok masyarakat yang paling merasakan dampak Covid-19 adalah pedagang kecil. Hal ini membuat orang mulai berpikir tentang bagaimana mendistribusikan kekayaan mereka secara adil dalam komunitas lokal atau nasional.

Lalu apakah dampak Covid-19 memperlambat globalisasi membuat seseorang refleks pada dirinya sendiri? Profesor Chen memberikan beberapa poin penjelasan tentang pertanyaan ini. Pertama, lebih memperhatikan biaya globalisasi daripada sekadar menyebarkan manfaatnya. Pada poin ini, dia menjelaskan bahwa biaya di sini lebih berkonsentrasi pada biaya pada kelompok tertentu dalam masyarakat seperti pekerjaan manufaktur, biaya keluarga, dan hak asasi pekerja migran. Kedua, dari pemikiran pengurangan biaya hingga pengurangan risiko. Dia menjelaskan bahwa dalam hal ini termasuk pengurangan risiko yang menyiratkan realisasi diri dan ucapan identitas budaya yang heterogen selama komunikasi lintas budaya. Ketiga, orang lain di antara atau tinggal bersama kita. Intinya adalah kita sekarang harus menghadapi dan mengetahui tentang budaya dan sebagaimana orang lain harus mengungkapkan keberadaan kita secara lokal dan global. Keempat dan terakhir, globalisasi akan berubah. Dia menjelaskan pada poin ini bahwa perubahan didorong oleh kombinasi perubahan sentimen populer, kebijakan pemerintah, dan praktik korporasi.

Sebelum menutup pemaparannya, ia menyampaikan harapannya mengenai masa depan globalisasi, “Menurut saya masa depan globalisasi bisa dilihat lebih beragam dan regional. Selain itu, kita memiliki arahan multilateral dan mitra multilateral untuk berdiskusi tentang arah globalisasi. Saya Menurutnya, kita bisa lebih fokus pada para pecundang dari era globalisasi sebelumnya. Sehingga kita bisa lebih memperhatikan satu sama lain, masyarakat lokal, dan menghasilkan teks-teks budaya yang bisa dipertukarkan dan dipahami satu sama lain. ”

Usai sesi presentasi, sesi selanjutnya diisi dengan sesi diskusi. Kemudian terakhir, kedua narasumber menutup workshop dengan menyampaikan pidato terakhirnya tentang bahaya ketergantungan itu sendiri. Hal ini menjadi poin penting tidak hanya bagi masyarakat, tetapi juga bagi pemerintahan di suatu negara. Kedua pembicara tersebut juga memberikan tanda-tanda terakhir bahwa globalisasi kembali berubah dan bertransformasi selama pandemi ini. Itu membuat masyarakat harus bisa melihat dengan cara lain untuk mengatasi situasi tersebut dan betapa pentingnya memikirkan apa yang harus dilakukan di masa depan.

 

Penulis dan Reporter: Fitriana Ramadhany, Mahasiswa magang Jurusan Ilmu Komunikasi UII.Angkatan 2016

Editor: A. Pambudi W

Reading Time: 2 minutes

On July 23, 2020, International Program of Communication Science Universitas Islam Indonesia (UII) and Uniicoms TV invited Professor Chen and Dr. Masduki in The Annual Globalization Workshop (AGW) with the theme “The Future Globalization.” This workshop is the inaugural workshop program organized by the International Program of Communication UII. This writing is the second writing of Fitriana Ramadhany, our intersnship student, based on her reportage. This is her follow-up article.

 

Professor Chen said that Covid-19 had five impacts on globalization. It is slowing the process of globalization, warning of the risk of dependence, raising awareness of the fragility of globalization, decoupling from China, and falling net income from globalization. Covid-19 puts a new barrier to globalization by slowing down the process and slowing down the process of mass transportation. She gave an example of the scarcity of masks during the pandemic as one of the risks of production dependence from other countries. In addition, the community groups that felt the most impact of Covid-19 were small traders. This makes people start thinking about how to distribute their wealth fairly within a local or national community.

Then does the impact of Covid-19 slow down globalization make a person reflex on himself? Professor Chen gave several points of explanation regarding this question. First, paying more attention to the costs of globalization rather than simply propagating the benefits of it. At this point, she explained that costs here concentrate more on costs on specific groups in societies such as manufacture jobs, family tolls, and human rights of migrant workers. Second, from cost-reduction thinking to risk-reduction. She explained that in this case included the risk-reduction of implying the self-realization and utterance of heterogeneous cultural identities during cross-cultural communication. Third, the others among or live with us. The point is that we now have to face and know about culture and as others have to utter our existences locally and globally. Fourth and the last, globalization will change. She explained at this point that change is driven by the combination of changes in popular sentiment, government policy, and corporate practices.

Before concluding her presentation, she expressed her hopes regarding the future of globalization, “I think the future of globalization can be seen as more diversified and regional. In addition, we have multilateral directions and multilaterals partners to discuss about the direction of globalization. I think we can focus more on the losers from the previous era of globalization. So that we can pay more attention to each other, the local community, and to produce cultural texts that can be exchanged and understand one another.”

After the presentation session, the next session was filled with discussion sessions. Then finally, the two guest speakers closed the workshop by delivering their final remarks about the dangers of dependency itself. This becomes an important point not only for the community, but also for the government in a country. The two speakers also give final that globalization changed again and transformed during this pandemic. That makes the community must be able to see in other ways to overcome the situation and how important it is to think about what to do in the future.

—–

Author and Reporter: Fitriana Ramadhany, Student internship of Department of Communication Science, UII. Batch 2016

Editor: A. Pambudi W

Reading Time: 2 minutes

To Start Your Academic Writing, first to do is doing mapping of your idea. The idea or the topic should be clear and new. Clear and new means your idea is not ambiguous, have a clear goals, and see the problem precisely. What is the problem, what is the solution, and no one already write it before. Mapping and brainstorming the topic or issues is the key for academic writing. Understanding and interest of the subject are also the key, indeed. We will see a lot of difficulties when those keys are not ready on our mind.

Those tips are some of what have discussed at evening Teatime Talkshow on August, 7th, 2020. This talk show was aired on International Program Instagram TV (ip.communication.uii). Krisal Putra, Communication Science Student of UII batch 2016, have already shared those tricks on behalf his experience as presenter on international conference before. But, were those thins the only tips that he shared?

On this sixth edition talk show, as usual, Ida Nuraini, the secretary of International Program of Communication of UII, guided the talk show. She asked Krisal what else the tips for doing academic writing on international conference same as Krisal’s.

“Beside mapping the issues, the outline of the idea or research subject also important,” Krisal answered. He also said that we should do a lot of discussion, idea brainstorm, and also make writing often.

Krisal said lecturer on our campus have an critical roles to improve our academic writing too. “What is the specific role?” asked Ida.

Lecturers and professors should encourage student to engage with academic culture. When someone have engaged with academic culture, it will make them write academic writing easily. “You should have a clear title or subject to write,” said Krisal. A lecturer also should give an opportunity to students to have a good habit of writing like what IP Communication done before.

Krisal continued that we’d better not start from an empty idea.

Make sure you already have a good understanding with the research concept. You can not go into research writing without any research concept and idea. If you have no idea what to write, your Lecture will face a big difficult to guide you,” said Krisal.

Ida also shared what she got on everyday life of academic writing class. As a lecture of journalism subject, Ida always face the reality of students’ academic culture: have no idea to write. Both of Krisal and Ida agreed that student should start writing with what they are good at and like.

Like what Krisal have done before, He have an interest on environment issues. So He were start his academic writing that should present on international conference with environment issues. “From that issues, we can improve and develop it into many different academic writing format and style,” said He then.

Beside learn from Krisal’s experience, You also could learn to write with Lindstroom’s tips here. Lindstroom were speaking about tips to write academic writing on international journal. She spoke in front of a lot of participants of International Conference that held by UII Communication Science Department.

Reading Time: 2 minutes

 

Pada tanggal 23 Juli 2020, Program Internasional Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII) dan Uniicoms TV mengundang Profesor Chen dan Dr. Masduki dalam The Annual Globalization Workshop (AGW) dengan tema “The Future Globalization.” Workshop ini merupakan program workshop perdana yang diselenggarakan oleh Program Studi Ilmu Komunikasi Internasional UII. Tulisan ini merupakan tulisan kedua Fitriana Ramadhany, mahasiswa magang kami, berdasarkan reportase-nya. Ini adalah artikel lanjutannya.

Sesi selanjutnya dilanjutkan dengan presentasi yang dibawakan oleh Assoc. Prof. Dr. Huey Rong Chen. Presentasi Profesor Chen berjudul “Refleksivitas globalisasi: mencari transformasi dialogis setelah pandemi.” Ia memulai presentasinya dengan menjelaskan konsep globality yang dikemukakan oleh Roland Robertson, tentang konsep pemadatan dunia dan intensifikasi kesadaran masyarakat seluruh dunia. Untuk menjelaskan definisi globalisasi itu sendiri, ia mengacu pada Robertson yang memberikan definisi dasar globalisasi. Globalisasi itu adalah transportasi massal dan intensif orang, komoditas, dan informasi melintasi batas negara secara global. Kemudian dia menambahkan definisi globalisasi dari Anthony Giddens. Giddens mengatakan bahwa globalisasi adalah akibat langsung atau akibat modernisasi.

Dalam presentasinya, Associate Professor Chen lebih fokus pada definisi globalisasi menurut Robertson. Terutama dalam kesadaran yang disebutkan di sana. Dia menjelaskan lebih lanjut tentang kesadaran yang dia maksud. Itu terkait dengan organisasi global yang sering dipikirkan oleh banyak orang terkait globalisasi, seperti ASEAN dan G20. Ia menjelaskan, pada 1992 ketika Robertson mengajukan konsepnya, kondisi masyarakat saat itu masih terfokus pada pembangunan satu negara. Berbeda dengan kondisi saat ini di mana masyarakat tidak bisa hanya memikirkan membangun satu negara atau menciptakan negara adidaya. Ia menyebutkan bahwa saat ini masyarakat di suatu negara juga perlu memikirkan negara lain, bahkan spesies lain, sebagai wujud kesadaran dunia.

Berdasarkan definisi globalisasi menurut Giddens, Profesor Chen meyakini bahwa globalitas kurang tepat dikatakan sebagai perpanjangan tangan dari modernitas. Karena modernitas bukanlah sistem atau nilai yang dikembangkan dari ruang dan waktu tertentu. Ia mencontohkan banyak belahan dunia yang memiliki budaya dan bangsa yang beragam di daerahnya. Ia menjelaskan bahwa daerah yang memiliki budaya seperti itu juga mengalami perkembangan modernitas dan memiliki lintasan pada nilai-nilai modernitas. Jadi, globalitas bukan sekadar konsekuensi modernitas. Globalitas adalah kondisi umum yang memfasilitasi difusi modernitas umum, yang berarti kedua proses tersebut berlangsung pada waktu yang bersamaan.

Pada tahun 1995, Robertson menyebut istilah baru melalui bukunya tentang modernitas, yaitu istilah global modernity. Profesor Chen menjelaskan bahwa itu berarti modernitas global bukanlah fenomena tunggal atau sistem tunggal. Ia juga menjelaskan bahwa globalisasi telah menjadi sistem yang homogen. Karena ketika berbicara tentang globalisasi, orang akan terhubung dengan bagaimana menjangkau seluruh dunia untuk menjual produknya.

Profesor Chen memilih teknik atau konsep refleksivitas dalam presentasinya untuk dikaitkan dengan kesadaran yang telah dijelaskannya sebelumnya. Menggunakan definisi semiotik oleh Greimas & Courtes, dia menjelaskan bahwa refleksivitas adalah sebuah konsep semiotika diskursif, yang digunakan untuk menunjukkan sinkretisme dari beberapa peran aktansial ketika yang terakhir diinvestasikan dalam satu aktor. Peran aktual di sini adalah bagaimana seorang aktor memainkan perannya dalam sebuah cerita. Dia menjelaskan bahwa ini adalah teknik naratif yang digunakan untuk membantu memahami diri sendiri. Merujuk pada penjelasan selanjutnya, yang menyatakan bahwa seseorang dapat menggunakan dirinya sendiri sebagai badan untuk memahami dirinya sendiri melalui penyertaan yang lain, ia menjelaskan bahwa teknik di sini memiliki banyak cara yang berbeda. Penjelasan itu mengarah pada pertanyaan berikutnya tentang bagaimana memiliki kesadaran akan seluruh dunia melalui reflektifitas.

——————

Penulis dan Reporter: Fitriana Ramadhany, Mahasiswa magang Jurusan Ilmu Komunikasi UII.Batch 2016

Editor: A. Pambudi W

Reading Time: 3 minutes

On July 23, 2020, International Program of Communication Science Universitas Islam Indonesia (UII) and Uniicoms TV invited Professor Chen and Dr. Masduki in The Annual Globalization Workshop (AGW) with the theme “The Future Globalization.” This workshop is the inaugural workshop program organized by the International Program of Communication UII. This writing is the second writing of Fitriana Ramadhany, our intersnship student, based on her reportage. This is her follow-up article.

The next session continued with a presentation delivered by Assoc. Prof. Dr. Huey Rong Chen. Presentation by Professor Chen was entitled “Reflexivity of globalization: seeking dialogical transformation after the pandemic.” She began her presentation by explaining the concept of globality proposed by Roland Robertson, about the concept of the compression of the world and the intensification of the consciousness of the whole world. To explain the definition of globalization itself, she refers to Robertson who provided a basic definition of globalization. That globalization is the mass and intensified transportation of people, commodities, and information across national boarder globally. Then she added the definition of globalization from Anthony Giddens. Which says that globalization is a direct consequence or result of modernization.

In her presentation, Professor Chen focused more on the definition of globalization by Robertson. Especially in the consciousness mentioned there. She explained further about the consciousness her meant. That is related to global organizations that are often thought by many people related to globalization, such as ASEAN and G20. She explained that in 1992 when Robertson proposed his concept, the conditions of the community at that time were still focused on developing one country. It is different from the current condition where people cannot only think about developing one country or creating a superpower. She mentioned that today the people in a country also need to think of other countries, even other species, as a form of world consciousness.

Based on the definition of globalization by Giddens, Professor Chen believes that globality is not quite right when it is said to be an extension of modernity. Because modernity is not a system or value developed from a specific time and space. She gave an example that many parts of the world have various cultures and nations in their region. She explained that regions that have such cultures also have their development of the modernity and have their trajectory to the values of the modernity. Thus, globality is not simply the consequence of about modernity. Globality is the general condition which has facilitated the diffusion of the general modernity, which means the two processes going on at the same time.

In 1995, Robertson mentioned a new term through his book on modernity, the term global modernity which is an ‘s’ or plural modernity. Professor Chen explained that it means global modernity is not a singular phenomenon or singular system. She also explained that globalization had become a homogenized system. Because when talking about globalization, people will connect to how to reach out the whole world to sell their products.

Professor Chen chose the technique or concept of reflexivity in his presentation to be associated with the consciousness she had explained before. Using the semiotic definition by Greimas & Courtes, she explained that reflexivity is a concept of discursive semiotics, used to designated the syncretism of several actantial roles when the latter is invested in a single actor. Actantial roles here are how an actor plays his role in a story. She explained that this is a narrative technique used to help understand oneself. Referring to the next explanation, which states that one is able to use him / her / itself as the agency to understand him / her / itself through the inclusion of the other, she explains that the technique here has many different ways. That explanation leads to the next question about how to have consciousness of the whole world through reflectivity.

——————

Author and Reporter: Fitriana Ramadhany, Student internship of Department of Communication Science, UII. Batch 2016

Editor: A. Pambudi W

Reading Time: 2 minutes

 

Pada tanggal 23 Juli 2020, Program Internasional Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII) dan Uniicoms TV mengundang Profesor Chen dan Dr. Masduki dalam The Annual Globalization Workshop (AGW) dengan tema “The Future Globalization.” Workshop ini merupakan program workshop perdana yang diselenggarakan oleh Program Studi Ilmu Komunikasi Internasional UII. Tulisan ini merupakan tulisan kedua Fitriana Ramadhany, mahasiswa magang kami, berdasarkan reportase-nya. Ini adalah artikel lanjutannya.

“Tapi globalisasi bukan hanya masalah ekonomi,” ujarnya. Mengacu pada makalah dari Christian Fuchs, sosiolog muda dari Inggris, yang menulis tentang ‘kapitalisme virus korona’ sebagai istilah untuk kehidupan sehari-hari dan komunikasi selama pandemi. Masduki menjelaskan melalui makalah itu, Fuchs lebih banyak menulis tentang dampak besar Covid-19 daripada dampak ekonomi dan kesehatan. Dia mengatakan, dampak Covid-19 menurut Fuchs adalah mempertanyakan solidaritas global atau sosialisme di antara kita tanpa ada kepedulian terhadap identitas.

Globalisasi saat ini hadir dalam bentuk pola konsumsi seperti mengkonsumsi Coca Cola, Starbucks, dan McDonald’s. Menurut Dr. Masduki, pola konsumsi ini dikritik oleh Theodore Adorno. Adorno mengkritisi budaya yang terkomodifikasi dan masif menuju cita rasa produk global tunggal. Ini semacam massifikasi komunikasi dari AS ke seluruh dunia yang menunjukkan sejauh mana globalisasi telah berkembang.

Dalam paparan selanjutnya, Dr. Masduki banyak mempertanyakan bagaimana globalisasi bekerja pada saat pandemi, periode normal baru, atau pasca pandemi. Ia pun menyinggung salah satu dampak Covid-19 tentang kebiasaan kuliner. Jika sebelum pandemi konsumsi masyarakat sudah pada kuliner bermerk internasional. Selama pandemi dan bekerja dari rumah, kebiasaan kuliner tidak berubah dan konsumerisme meningkat. Terutama konsumerisme merek global dan produk yang dikonsumsi masyarakat tinggal di rumah. Inilah yang disebutnya kondisi yang menempatkan masyarakat menjadi anggota lokal dengan tinggal di rumah, sekaligus memaksa masyarakat menjadi konsumen global.

“Kembali ke pertanyaan saya di slide pertama, dunia ditutup sementara, tapi bagaimana dengan globalisasi? Jadi, jawaban saya adalah bahwa globalisasi masih ada. Tapi dengan cara baru dan pendekatan baru,” ujarnya. Ia menjelaskan, secara tidak langsung pandemi tersebut telah memberdayakan brand ICT global yang sudah mapan seperti Google Meet, Zoom, dan Tik Tok. Lebih lanjut ia menyimpulkan bahwa Covid-19 hanya selingan soal masalah globalisasi dan globalisasi belum bisa dikatakan tuntas.

Di akhir pemaparannya, ia menjelaskan bahwa sisi buruk Covid-19 mengganggu masyarakat dan membahayakan kesehatan. Namun di sisi lain, Covid-19 juga memberikan pengingat yang baik untuk menghormati keluarga dan menghormati merek komunikasi lokal. Ia pun berpesan kepada audiens sebelum menutup presentasinya bahwa untuk menjadi orang yang kritis diperlukan berbagai inisiatif kecil yang berdampak besar. Seperti meminimalisir pengeluaran, dan meminimalisasi penggunaan produk bermerek global dengan lebih memperhatikan merek lokal.

———————-

Penulis dan Reporter: Fitriana Ramadhany, Mahasiswa magang Jurusan Ilmu Komunikasi UII.Angkatan 2016

Editor: A. Pambudi W

Reading Time: 2 minutes

On July 23, 2020, International Program of Communication Science Universitas Islam Indonesia (UII) and Uniicoms TV invited Professor Chen and Dr. Masduki in The Annual Globalization Workshop (AGW) with the theme “The Future Globalization.” This workshop is the inaugural workshop program organized by the International Program of Communication UII. This writing is the second writing of Fitriana Ramadhany, our intersnship student, based on her reportage. This is her follow-up article.

“But globalization is not only about economic issues,” he said. Refer to the paper from Christian Fuchs, a younger sociologist from the UK, who wrote about ‘corona virus capitalism’ as a term for daily life and communication during the pandemic. Masduki explained that through that paper, Fuchs wrote about the huge impact of Covid-19 more than the economic impact and the health impact. He said that Covid-19 impact according to Fuchs was about questioning global solidarity or socialism among us without any concern of identity.

Globalization at this time come in the form of consumption patterns such as consuming Coca Cola, Starbucks, and McDonald’s. Dr. Masduki said that this consumption pattern was criticized by Theodore Adorno who criticized the commodified and massive culture toward a single-global product-taste. This is a kind of communication massification from the US to the rest of the world which shows how far globalization has progressed.

In the next explanation, Dr. Masduki questions a lot about how globalization works during the pandemic, new normal period, or after the pandemic. He also mentioned one of the effects of Covid-19 about culinary habits. If before the pandemic public consumption was on international branded culinary. During the pandemic and work from home, culinary habits have not changed and consumerism has increased. Especially consumerism on global brands and products consumed by the public to stay at home. This is what he calls a condition that places people into local members by staying at home, while forcing people to become global consumers.

“Back to my question in the first slide, the world is temporary closed but how about globalization? So, my answer is that globalization still exist. But in the new way and new approach,” he said. He explained that indirectly the pandemic had empowered the established global ICT brands like Google Meet, Zoom, and Tik Tok. Furthermore, he concluded that Covid-19 was only a distraction about the problem of globalization and globalization cannot be considered complete.

At the end of his presentation, he explained that the bad side of Covid-19 was distract society and endangers health. But on the other hand, Covid-19 also sends a good massage to respect the family and to respect a local brand of communication. He also gave advice to audiences before closing his presentation that to be a critical person needed a variety of small initiatives that had a big impact. Such as minimizing expenditure, and minimizing the use of global branded products by paying more attention to local brands.

———————-

Author and Reporter: Fitriana Ramadhany, Student internship of Department of Communication Science, UII. Batch 2016

Editor: A. Pambudi W

Reading Time: 2 minutes

Pada tanggal 23 Juli 2020, Program Internasional Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII) dan Uniicoms TV mengundang Profesor Chen dan Dr. Rer. Soc. Masduki dalam The Annual Globalization Workshop (AGW) dengan tema “The Future Globalization.” Workshop ini merupakan program workshop perdana yang diselenggarakan oleh Program Studi Ilmu Komunikasi UII Program Internasional. Tema yang diangkat dalam workshop perdana ini adalah mempersiapkan mahasiswa untuk menghadapi era globalisasi pasca pandemi covid-19 yang melanda seluruh belahan dunia. Workshop tahunan yang digelar secara langsung melalui google meet ini diikuti oleh sejumlah dosen dan mahasiswa IP Ilmu Komunikasi UII. Workshop tersebut juga dihadiri oleh mahasiswa dari berbagai negara seperti mahasiswa dari Universiti Utara Malaysia.

Assoc. Prof. Dr. Huey Rong Chen sebagai tamu pertama adalah seorang associate professor di Department of Journalism, Chinese Culture University, Taiwan. Dan Dr. rer soc. Masduki, M.Si., MA sebagai tamu kedua merupakan dosen senior di UII. Kedua pembicara akan menyampaikan topik tentang globalisasi dan reflektifitas globalisasi dalam mengupayakan transformasi dialogis pasca pandemi. Workshop juga dipandu oleh Herman Felani dari Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia.

Pada satu jam pertama, workshop diisi dengan penjelasan pandemi Covid-19 vs globalisasi yang disampaikan oleh Dr. rer soc. Masduki, M.Si., MA Mengawali presentasinya dengan menyampaikan pertanyaan tentang bagaimana globalisasi pada masa pandemi ini ketika dunia tertutup sementara. Sebagai pengamat komunikasi, ia menjelaskan Covid-19 memiliki banyak kode selain masalah kesehatan. Ketika kita membicarakan Covid-19 di Indonesia selama tiga bulan terakhir, dia yakin setidaknya ada empat topik yang berbeda. Politik blunder komunikasi, kontestasi pemulihan ekonomi, terganggunya gaya hidup sebagai ujung mobilitas, dan peninjauan kembali gagasan ‘globalisasi’ sebagai cara hidup.

Lebih dari itu, menurutnya, globalisasi seharusnya bicara tentang transmisi nilai dan makna gagasan ke seluruh dunia.

Melalui penjelasan tersebut, ia mencoba menghubungkan Covid-19 dengan blunder politik komunikasi dan kontestasi pemulihan ekonomi. Ia juga memperhatikan terganggunya gaya hidup sebagai ujung dari mobilitas antara Indonesia dengan negara lain, atau antara provinsi tertentu di Indonesia dengan provinsi lain. Mengacu pada perkataan Jan Blommaert, sosiolog yang mengatakan bahwa Covid-19 adalah contoh yang baik dari proses globalisasi.

Masduki setuju bahwa Covid-19 adalah topik yang menantang untuk menjelaskan bagaimana globalisasi menjadi gaya hidup. Ia menjelaskan dari perspektif ekonomi, bahwa secara ringkas, globalisasi juga dapat diselamatkan oleh pergerakan dunia melalui komunikasi keuangan ekonomi dan ancaman integrasi. Lebih dari itu, menurutnya, globalisasi seharusnya bicara tentang transmisi nilai dan makna gagasan ke seluruh dunia. Dan dalam beberapa kasus, juga tentang kemunduran bangsa seperti identitas umat beragama Islam.

——————–

Penulis dan Reporter: Fitriana Ramadhany, Mahasiswa magang Jurusan Ilmu Komunikasi UII. Angkatan 2016

Editor: A. Pambudi W