Tag Archive for: AI

Plagiarisme

Menjadi bagian dari masyarakat digital tentu sangat dimudahkan dalam mengakses segala informasi hingga referensi berbagai materi. Saking mudahnya, kerap kali kita luput dari tindakan terlarang yakni plagiarisme.

Terlebih dalam institusi pendidikan, plagiarisme bisa jadi tak disadari oleh beberapa mahasiswa. Padahal, plagiarisme merupakan tindakan yang mengabaikan etika dan melanggar hukum.

Mengutip dari laman University of Oxford, plagiarisme merupakan tindakan mencuri atau menjiplak karya orang lain tanpa mencantumkan pencetus ide. Tindakan ini juga dianggap sebagai pelanggaran integritas akademik yang mencederai nilai kejujuran intelektual.

Meski tampak sepele dan jarang disadari, ternyata tindakan ini merupakan indikator bahwa pelaku dianggap gagal dalam menyelesaikan proses pembelajaran. Dalam komunitas mahasiswa di University of Oxford, meyakini sanksi sosial akan berlaku termasuk dalam masa depan karier.

Dalam laman resmi, pihaknya menyebut bahwa plagiarisme sama halnya dengan merendahkan standar institusi dan gelar yang dikeluarkan untuk pelaku.

Di Indonesia terdapat aturan yang jelas terkait plagiarisme. Berdasarkan peraturan yang dipublikasikan di laman BPK terkait Undang-undang (UU) No. 28 Tahun 2014 tentang Perlindungan Hak Cipta menyebut, perlindungan ini dilakukan dengan waktu yang relatif panjang sejalan dengan aturan yang berlaku di berbagai negara, dengan durasi tertentu selama pencipta masih hidup ditambah 70 tahun setelah pencipta meninggal dunia. Penyelesaian atas tindak plagiarisme dapat dilakukan melalui proses mediasi, arbitrase, serta penerapan delik aduan untuk tuntutan pidana. Mengenai peraturan tersebut selengkapnya dapat diakses melalui link berikut https://peraturan.bpk.go.id/Details/38690.

Jika kita mengintip laman resmi Direktori Putusan Mahkamah Agung, kasus plagiarisme dapat berujung pembayaran ganti rugi senilai ratusan juta bagi pelaku pelanggaran hak cipta.

Namun, di tengah-tengah percepatan digital dan pesatnya perkembangan Artificial Intelligence (AI) yang memfasilitasi pembuatan artikel, hingga karya tulis ilmiah di ruang lingkup akademik nampaknya akan sedikit sulit menemukan karya yang original. Benarkah plagiarisme akan sulit terdeteksi?

Bahkan ada berbagai sistem dan aplikasi AI yang mampu memproduksi artikel ilmiah lengkap dengan sumber referensi. Hal ini tentu “mempermudah” seseorang tak terdeteksi melakukan pelanggaran.

Budaya di Prodi Ilmu Komunikasi UII

Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII) telah menetapkan sistem yang cukup ketat bagi mahasiswa agar terhindar dari tindakan plagiat. Sebelum melakukan sidang pendadaran, mahasiswa wajib menyerahkan bukti lolos plagiarism checker yang dikelola oleh pihak Pusat Dokumentasi Media Alternatif (PDMA) Nadim.

Pengecekan dilakukan maksimal tiga kali dengan tingkat plagiarisme maksimal 20 persen. Jika melebihi batas yang ditetapkan, mahasiswa diminta untuk memperbaiki selama 1 bulan. Jika melebihi masa yang ditentukan, artinya skripsi yang telah digarap batal maju pendadaran dan ada kewajiban untuk mengulang.

“Maksimal 3 kali (cek plagiasi melalui sistem), maksimal tingkat plagiarisme 20 persen. Jika lebih dari ketentuan maka akan diberlakukan jeda selama satu bulan untuk melakukan perbaikan,” jelas Putri Asriyani selaku staf PDMA Nadim.

Meski demikian, Putri menyebut bahwa plagiarism checker belum mampu mendeteksi karya orisinal mahasiswa atau hasil dari AI karena cenderung rapi.

Namun, hal ini akan terindikasi oleh dosen penguji ketika melakukan sidang pendadaran. Hal ini diungkap oleh salah satu dosen Prodi Ilmu Komunikasi Puji Hariyanti, S.Sos., M.I.Kom,.

“Hal itu akan terdeteksi ketika langsung berhadapan, dari kata-kata dalam teks yang bagus dan rapi misalnya dalam membahas digital marketing begitu. Tapi ketika dia menjawab pertanyaan tak mampu menjelaskan dengan baik. Ya dosen akan tahu itu bukan hasil pekerjaanya,” tuturnya.

Ia juga menambahkan, keberadaan PDMA Nadim diharapkan mampu memberi ruang bagi mahasiswa dengan staf untuk saling berdiskusi. Staf sengaja dilibatkan dalam proses tersebut untuk mendukung tujuan menjaga integritas akademik.

“Fungsi PDMA Nadim juga memfasilitasi hal tersebut. Tak hanya itu, Nadim menjadi wadah dan tempat interaksi dan diskusi antara staf dan mahasiswa,” tambahnya.

Dampak Plagiarisme pada Individu dan Institusi

Akan ada konsekuensi bagi pelaku plagiarisme, berdasarkan artikel yang dimuat dalam media online Kumparan pada tahun 2018 dengan judul “4 Akademisi Tanah Air yang Terjerat Kasus Plagiarisme” disebutkan telah mencoreng nama institusi. Bahkan dalam artikel tersebut ada yang harus mundur dari jabatan akademisnya. Lantas apa dampak plagiarisme secara detail?

Mengutip dari The Law Dictionary, bagi mahasiswa yang melakukan plagiarisme biasanya akan mendapatkan peringatan, gagal mendapat nilai, hingga sanksi berat mengulang mata kuliah tersebut karena dianggap gagal. Bagi pelaku plagiarisme dengan kasus ekstrem bisa jadi akan diberhentikan oleh institusi.

Sementara bagi seorang profesional, yang dipertaruhkan jauh lebih tinggi mulai sanksi sosial hingga berakhirnya suatu karier. Hal ini akan menyulitkan pelaku untuk mendapat pekerjaan baru di bidang yang sama. Bahkan, kasus plagiarisme yang dilakukan profesional dapat dikenai tindakan hukum sesuai dengan undang-undang yang berlaku.

Itulah beberapa hal yang perlu diketahui oleh mahasiswa tentang plagiarism. Meski akses informasi sangat mudah dan AI cukup memudahkan untuk di-copy paste, ada dampak sosial yang akan diterima. Bagaimana menurutmu, Comms?

AI

Membahas Artificial Intelligence (AI) memang tak ada habisnya karena berbagai penelitian menyebutkan, setidaknya enam bulan sekali teknologi AI akan mengalami perubahan dan peningkatan. Perkembangan yang begitu cepat dan masif pada AI ternyata memunculkan banyak pro dan kontra.

Pada laman NPR, salah satu organisasi media independen dan non profit di Amerika Serikat, disebutkan bahwa para pemimpin teknologi mendesak jeda dalam perlombaan kecerdasan buatan yang tidak terkendali.

Untuk menyeimbangkan pola pikir dan kreativitas manusia dengan AI, sudah selayaknya kita terus menambah wawasan terkait AI. Tentu saja, AI bukan hanya penting bagi orang-orang yang mendalami bidang teknologi, melainkan juga seluruh lapisan masyarakat yang turut menjadi pengguna.

Dalam bidang Ilmu Komunikasi, AI menjadi salah satu materi yang selalu disampaikan sebagai wawasan dasar. Untuk memperdalam pengetahuan terkait AI, salah satu komunitas Diskusi Penelitian Ilmu Komunikasi UII (Dispensi) bersama Pusat Dokumentasi Media Alternatif Komunikasi UII (PDMA Nadim) menggelar diskusi bertajuk “AI dan Ilmu Komunikasi” pada 22 September 2023 menggandeng Iwan Awaluddin Yusuf, Ph.D yang tengah mendalami isu AI sebagai pembicara

Meski banyak membantu pekerjaan manusia, AI ternyata memiliki peluang yang perlu diantisipasi. Lantas bagaimana cara memanfaatkan AI serta prediksinya di masa depan?

Pentingnya AI dalam Ilmu Komunikasi

Dalam diskusi tersebut, Iwan menyebutkan berbagai alasan yang mendasari pentingnya mempelajari AI dalam konteks Ilmu Komunikasi, sikap yang perlu disiapkan, hingga kekhawatiran akibat dampat pesatnya AI terhadap dunia akademik.

Bahkan keseriusan Ilmu Komunikasi terhadap AI juga dituangkan dalam berbagai riset mendalam, salah satunya New Media and Society “Journal of Knowledge, Culture and Media”. Dalam riset tersebut dibahas pula AI yang mengubah dunia jurnalisme hingga keseharian manusia dipengaruhi AI.

“Posisi kita sebagai orang komunikasi membahas AI, kita adalah akademisi, ilmuwan Ilmu Komunikasi. Kita bukan data scientist bukan programmer. Sehingga ketika kita bicara AI dalam bahasa yang dipahami sebagai pembelajar komunikasi,” ujarnya membuka diskusi.

Selain itu, cabang AI sungguh sangat luas mulai dari konteks psikologi, bahasa, hingga komunikasi. Terbaru, AI yang sering menjadi dilema dalam lingkup akademik adalah ChatGPT yang dikembangkan oleh Open AI yang sering dimanfaatkan untuk menyelesaikan berbagai esai.

Sebenarnya tak hanya ChatGPT, AI telah mengubah banyak industri di dunia termasuk perfilman, public service, hingga ranah Ilmu Komunikasi lainnya. Artinya AI memang bisa menjadi solusi suatu masalah, namun ada etika yang perlu dipahami dalam pesatnya perkembangan AI.

Bagaimana AI di Masa Depan

Seperti diungkap berbagai media, kecepatan perkembangan AI ternyata memunculkan banyak desakan untuk memberi jeda karena alasan kekhawatiran. Ada sebuah pertanyaan besar yang sangat urgen, salah satunya apakah perusahaan-perusahaan teknologi yang mengembangkan AI dengan percepatan yang pesat akhirnya akan menggeser peran bahkan mengakali manusia.

Mengutip dari laman NPR, sekelompok ilmuwan komputer, tokoh-tokoh industri teknologi seperti Elon Musk hingga Steve Wozniak menyerukan jeda 6 bulan dalam pengembangan aplikasi AI serta risikonya.

Seruan itu direalisasikan melalui petisi dalam menanggapi rilisnya GPT-4 yang dikembangkan OpenAI.

“Kami menyerukan kepada semua laboratorium AI untuk segera menghentikan sementara pelatihan sistem AI yang lebih kuat dari GPT-4 selama setidaknya 6 bulan,” tulis surat tersebut.

“Jeda ini harus bersifat publik dan dapat diverifikasi, serta melibatkan semua aktor kunci. Jika jeda seperti itu tidak dapat diberlakukan dengan cepat, pemerintah harus turun tangan dan melembagakan moratorium.”

“Jeda adalah ide yang bagus, tetapi surat itu tidak jelas dan tidak menanggapi masalah regulasi dengan serius,” kata James Grimmelmann, profesor hukum digital dan informasi dari Cornell University.

Pertanyaan serupa juga muncul pada peserta diskusi, seperti bagaimana AI di masa depan serta bagaimana AI mempengaruhi psikologis mahasiswa hingga menggantungkan tugasnya pada kreativitas AI.

Lantas apa jawaban terhadap berbagai keresahan tersebut?

Tonton selengkapnya melalui akun Instagram @nadimkomunikasiuii

Atau klik laman https://www.instagram.com/p/CxfZR-3LEaR/

 

 

Penulis: Meigitaria Sanita

AI

Artificial Intelligence (AI) telah membawa perubahan besar dalam kehidupan manusia. Berkat teknologi AI pekerjaan manusia mampu diselesaikan secara efisien. Bahkan fakta terbaru muncul terkait kreativitas AI yang mampu melampaui manusia. Benarkah fakta tersebut?

Berdasarkan laporan dari Future of Jobs Report 2023 yang diterbitkan oleh World Economic Forum (WEF), keterampilan paling penting bagi pekerja di tahun 2023 adalah keterampilan kognitif untuk berpikir secara analitis dan kreatif. Bahkan disebut-sebut pemikiran kreatif lebih penting jika dibandingkan dengan pemikiran analitis untuk memecahkan suatu masalah.

Fakta terkait kreativitas AI yang berhasil melampaui manusia ini diamini dari hasil riset yang dipublikasikan oleh University of Montana pada Juli 2023. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa AI khususnya GPT-4 terbukti menyamai 1% di atas kreativitas manusia.

Aplikasi AI ChatGPT yang dikembangkan dengan GPT-4 terbukti unggul dalam orisinalitas dengan alat ukur Torrance Test of Creative Thingking (TTCT), sebuah alat ukur yang telah diakui untuk menilai kreativitas.

“Untuk ChatGPT dan GPT-4, kami menunjukkan untuk pertama kalinya bahwa AI ini berada di posisi 1% teratas untuk orisinalitas. Hal ini merupakan sesuatu yang baru,” ungkap Erik Guzik, asisten profesor Klinis Fakultas Bisnis di University of Montana, dikutip dari laman resmi universitas.

Para peneliti mengirimkan delapan respons yang dihasilkan oleh ChatGPT dan mengumpulkan jawaban dari 24 mahasiswa University of Montana yang tergabung dalam kelas kewirausahaan dan keuangan. Selanjutnya dibandingkan dengan 2.700 mahasiswa (nasional) yang mengikuti TTCT pada tahun 2016.

Hasilnya AI ChatGPT yang dikembangkan GPT-4 berada pada urutan atas dalam hal menghasilkan ide dengan jumlah yang lebih besar, orisinalitas, serta ide-ide baru. Meski demikian AI tak unggul dalam hal fleksibilitas dan jenis atau kategori ide.

“Kami sangat berhati-hati dalam konferensi tersebut untuk tidak menginterpretasikan data secara berlebihan. Kami hanya mempresentasikan hasilnya. Namun kami membagikan bukti kuat bahwa AI tampaknya mengembangkan kemampuan kreatif yang setara atau bahkan melebihi kemampuan manusia,” tuturnya.

Terlepas dari keunggulan ChatGPT dalam tes kreativitas pada mahasiswa, peneliti tetap mengakui perlunya alat yang lebih canggih demi mencari tahu perbedaan antara ide yang diproduksi oleh AI dan manusia.

“ChatGPT memberi tahu kami bahwa kami mungkin tidak sepenuhnya memahami kreativitas manusia, dan saya yakin itu benar. Hal ini juga menunjukkan bahwa kita mungkin membutuhkan alat penilaian yang lebih canggih yang dapat membedakan antara ide yang dihasilkan oleh manusia dan AI,” pungkas Erik Guzik.

Mengutip dari Psychology Today, kelemahan kreativitas AI juga didukung dengan teori yang dikemukakan oleh Simone Grassini seorang Profesor di Department of Psychosocial Science, University of Bergen. Ia bersama rekan-rekannya menyebut bahwa model bahasa dan data adalah algoritma yang diadaptasi oleh AI yang diperoleh dari internet untuk menciptakan konten baru.

Model bahasa yang besar termasuk OpenAI Codex dan OpenAI LLM untuk chatbot AI ChatGPT (GPT-4 dan GPT-3), GPT-4 untuk chatbot AI Microsoft, Bing Chat, BLOOM oleh HuggingFace, Megatron-Turing Natural Language Generation 530B oleh NVIDIA dan Microsoft, Claude dari Anthropic (untuk chatbot AI Claude 2), LLaMA dari Meta, Salesforce Einstein GPT (Menggunakan OpenAI LLM), PaLM 2 yang mendukung Bard, chatbot AI Google, dan Titan dari Amazon.Psikolog Amerika J.P Guilford dalam teorinya structure of intellect menjabarkan kreativitas sebagai kemampuan pemecahan masalah dideskripsikan menjadi tiga hal yakni kefasihan (ideasional, asosiasional, dan ekspresif), dan fleksibilitas (spontan dan adaptif).

Berdasarkan hasil penelitian dari University of Montana yang menyebut kelemahan AI dalam bidang fleksibilitas, artinya dapat disimpulkan bahwa chatbot AI tidak memiliki konsistensi layaknya manusia.

Tak hanya itu, karya yang diciptakan AI dinilai tak memiliki kekhasan khusus. Hal ini diungkapkan oleh Wahyu Wijayanto salah satu alumni DKV ISI Yogyakarta yang menjalani profesi sebagai desain grafis lebih dari 10 tahun terakhir. Ia menyebut, ada “taste” yang tak bisa dimiliki oleh AI.

“Masih bisa (dibedakan karya AI dan manusia) untuk orang yang sudah tau, bedanya di taste,” ujar Wahyu Wijayanto.

Pesatnya perkembangan dan kreativitas AI baginya justru bukan lagi soal ancaman, melainkan kemudahan yang dapat dimanfaatkan. Namun ia juga menyebut terkadang karena terlalu kreatif AI tampak tak rasional dan mudah dikenali.

“Enggak menganggap sebagai ancaman, kita saja yang harus menyesuaikan. Justru dalam beberapa hal AI memang sangat membantu, tapi masih butuh kontrol dari manusia. Kalau kreativitas iya memang melebihi kemampuan manusia, tapi karena saking lebihnya justru itu gampang dikenali sebagi hasil dari AI. Itu untuk saat ini, gak tau untuk nanti,” pungkasnya.

Lantas bagaimana pendapatmu soal AI, Comms? Kira-kira mampukah AI melampaui pemikiran manusia mengingat teknologi akan selalu berkembang.

 

Penulis: Meigitaria Sanita

 

 

 

 

 

Society 5.0

Menghadapi era Society 5.0 tentu membutuhkan persiapan matang, mulai dari keterampilan hingga mental. Lantas bagaimana cara menghadapinya?

Society 5.0 yang digagas oleh Pemerintah Jepang menempatkan masyarakat yang berpusat pada manusia untuk menyeimbangkan kemajuan ekonomi dan penyelesaian masalah sosial dengan sistem yang saling berintegrasi antara ruang siber dan fisik.

Melansir dari laman resmi Japan Cabinett Office, Society 5.0 merupakan inovasi yang akan mewujudkan masyarakat berwawasan ke depan dan mendobrak stagnansi. Perubahan nyata yang saat ini tengah kita hadapi terkait dengan pesatnya perkembangan Artificial Intelligence (AI) dalam berbagai bidang.

Konsep Society 5.0 memiliki kaitan erat dengan AI. Besarnya informasi dari sensor di ruang fisik dihimpun di ruang siber selanjutnya dianalisis oleh AI dan hasil analisis tersebut akan dikirim kembali ke manusia dalam berbagai bentuk.

Membahas soal AI, Indonesia menjadi negara paling optimis akan penggunaan teknologi tersebut untuk kegiatan sehari-hari. Berdasarkan survei Ipsos pada Mei 2023, sebanyak 78% masyarakat Indonesia percaya AI membawa banyak manfaat dibandingkan dengan kerugiannya. Negara yang optimis selanjutnya adalah Thailand (74%), Meksiko (73%), Malaysia (69%), Peru (67%), Turki (67%), Korea Selatan (66%), Kolombia (65%), India (65%), dan Brasil (65%).

Kondisi ini juga didukung oleh Pemerintah Indonesia. Kemdikbud menyampaikan pernyataan resmi terkait penyiapan Pendidik Professional di Era Society 5.0 demi SDM unggul.

“Untuk menjawab tantangan Revolusi industri 4.0 dan Society 5.0 dalam dunia pendidikan diperlukan kecakapan hidup abad 21 atau lebih dikenal dengan istilah 4C (Creativity, Critical Thinking, Communication, Collaboration). Diharapkan guru menjadi pribadi yang kreatif, mampu mengajar, mendidik, menginspirasi serta menjadi suri teladan,” ujar Dwi Nurani, S.KM, M.Si, Analis Pelaksanaan Kurikulum Pendidikan Direktorat Sekolah Dasar yang dikutip pada laman Kemdikbud.

“Menghadapi era society 5.0 ini dibutuhkan kemampuan 6 literasi dasar seperti literasi data yaitu kemampuan untuk membaca, analisis, dan menggunakan informasi (big data) di dunia digital. Kemudian literasi teknologi, memahami cara kerja mesin, aplikasi teknologi (coding, artificial intelligence, machine learning, engineering principles, biotech). Dan terakhir adalah literasi manusia yaitu humanities, komunikasi, & desain,” tambahnya.

5 Tips Menghadapi Era Society 5.0

Mengutip dari laman Indonesia Baik, ada berbagai cara yang bisa Anda lakukan agar siap menghadapi Society 5.0. Apa saja?

  1. Keterampilan Digital

Pesatnya transformasi secara digital menuntut kita untuk memiliki keterampilan dalam mengikuti kemajuan teknologi. Dengan kemampuan ini, kita akan mampu beradaptasi dengan dinamika lingkungan kerja maupun masyarakat. Keterampilan digital ini melingkupi literasi teknologi, analisis data, inovasi digital, keterampilan komunikasi, keterampilan kewirausahaan, dan lainnya.

  1. Pemahaman Teknologi dan Inovasi

Untuk beradaptasi di era Society 5.0, selain memiliki pemikiran yang terbuka , kita juga harus memiliki pemahaman tren teknologi baru. Teknologi baru misalnya blockchain dan AI yang mampu membantu membuat keputusan lebih efektif dan efisien.

  1. Pendidikan yang Relevan

Demi mengejar era Society 5.0, dibutuhkan wawasan yang luas termasuk soal akses informasi. Untuk bersaing dalam era ini, dibutuhkan pendidikan yang relevan baik formal maupun nonformal. Ada baiknya kita menambah wawasan dengan mengikuti kursus online, seminar, workshop, ataupun pelatihan bersertifikat yang berkaitan dengan minat dan bidang pekerjaan yang kita jalani.

  1. Sikap Adaptif

Percepatan dalam dunia kerja dan masyarakat yang tak terduga dibutuhkan sikap adaptif dalam menghadapi kondisi tersebut. Sikap adaptif termasuk berpikir kreatif, memecahkan masalah, hingga team work. Selain itu kita perlu memiliki kemauan dalam mengembangkan keterampilan baru.

  1. Kesiapan Mental

Percepatan ini tentu membuat kita mudah stres. Maka dari itu, kesiapan mental menjadi hal penting demi menghadapi tekanan yang terjadi pada lingkungan kerja maupun sosial. Kemampuan mengelola emosi, mengatasi stres, dan menjaga kondisi fisik juga menjadi prioritas utama.

Demikian beberapa cara menghadapi era Society 5.0. Bagaimana menurutmu, Comms? Sudah siap menghadapi era ini?

 

Penulis: Meigitaria Sanita

AI

Artificial Intelligence (AI) menjadi sangat familiar sepanjang tahun 2023. Pasalnya AI menjadi alat bantu yang mempermudah pekerjaan manusia, bahkan tak sedikit yang berpendapat keberadaan AI membuat para pekerja semakin produktif.

AI merupakan kecerdasan buatan yang dirancang pada sistem komputer untuk meniru kemempuan intelektual manusia, mulai dari identifikasi pola, keputusan, dan menyelesaikan pekerjaan yang kompleks dengan efisien.

Dari publikasi Populix, disebutkan bahwa hampir 45% pengusaha di Indonesia menggunakan aplikasi AI dalam menyelesaikan pekerjaan. Survei yang dilakukan terhadap 530 responden menempatkan ChatGPT di urutan teratas dengan presentasi 52%.

ChatGPT atau Generative Pre-Training Transformer, merupakan situs pengolahan bahasa yang dikembangkan OpenAI.  ChatGPT dapat dimanfaatkan untuk membuat teks, menerjemahkan bahasa, hingga menjawab apa pun pertanyaan yang kita ajukan.

Di Indonesia deretan AI paling populer antara lain ChatGPT (52%), Copy.ai 29%, Luminar AI (18%), Oracle (15%), Dall-e (12%). Lalal.ai (12%), dan Outmach (11%).

Lantas apa saja AI yang paling populer di dunia? Pew Research Center pada Desember 2022 menerbitkan hasil riset dengan artikel berjudul “Public Awareness of Artificial Intelligence in Everyday Activities” menyebutkan lebih dari setengah orang Amerika telah menggunakan AI untuk kehidupan sehari-hari mereka.

Survei yang dilakukan terhadap 11.004 responden menunjukkan 27% orang Amerika menggunakan AI beberapa kali dalam sehari sementara 28% lainnya menggunakan AI sehari sekali, dan 44% tidak secara teratur menggunakan AI dalam menyelesaikan pekerjaan dan kegiatan sehari-hari.

Tak hanya itu, 15% responden mengaku bersemangat tanpa khawatir tentang meningkatnya penggunaan AI dalam kehidupan sehari-hari. Namun masih ada kekhawatiran pada 38% responden, dan 46% responden menyambutnya dengan rasa khawatir dan gembira.

Lantas AI apa saja yang cukup mencuri perhatian sepanjang tahun 2023? Berikur deretan AI teratas berdasarkan Technology Magazine.

  1. OpenAI

OpenAI didirikan pada tahun 2015 oleh research lab nirlaba milik Elon Musk. Tahun 2021, OpenAI meluncurkan Dall-e yang mampu menghasilkan gambar digital berdasarkan deskripsi bahasa yang kita perintahkan.

Selanjutnya November 2022, ChatGPT diluncurkan OpenAI dengan kemampuan menjawab berbagai pertanyaan, menerjemahkan, dan menghasilkan teks dengan improvisasi. Menariknya ChatGPT menjadi aplikasi AI paling populer dengan keuntungan sebesar US$200 juta pada tahun 2023.

  1. AI

Observe.AI berfungsi melacak percakapan suara dan teks. Dalam Intelligent Workforce Platformnya mengubah pusat kontak dengan menyisipkan AI dalam percakapan pelanggan, mengoptimalkan kinerja agen, optimasi berulang yang mampu mendorong pendapatan dan retensi.

Tujuan AI ini untuk meningkatkan kinerja pusat kontak untuk mendorong hasil bisnis lebih cepat. Tercatat pada Maret 2022, perusahaan ini meningkat 150% meningkat tiga kali lipat.

  1. Landing AI

Landing AI didirikan oleh Dr. Andrew Ng, Co-Founder Coursera dan Founding Lead Google Brain. Landing AI berfungsi untuk membantu bisnis, mulai dari membantu pelanggan dalam mewujudkan nilai bisnis hingga operasional.

AI paling populer yang dikembangkan Landing AI antara lain LandingLens, platform MLOps perusahaan yang menawarkan alur kerja menyeluruh untuk membangun, mengulang, dan mengoperasionalkan solusi inspeksi visual.

  1. Stability AI

Stability AI merupakan start up visual open source untuk membuat gambar berdasarkan input teks. Sejak 2021 setidaknya 200.000 kreator, pengembang, dan peneliti bergabung untuk mengembangkan perusahaan ini.

Saat ini Stability AI tengah mengembangkan AI terobosan yang diterapkan pada pencitraan, bahasa, kode, audio, video, konten 3D, desain, biotek, dan penelitian ilmiah lainnya. Pada Agustus 2022, diluncurkan Stable Diffusion model teks ke gambar yang terus dilakukan penyempurnaan.

  1. Databricks

Databricks yang didirikan pada tahun 2013, merupakan platform data warehouse pertama dan satu-satunya di dunia yang menggunakan cloud. Databricks mengombinasikan data warehouse dan data lake untuk menawarkan platform terbuka dan terpadu untuk data dan AI.

Tercatat Databricks melayani lebih dari 5.000 organisasi di seluruh dunia, termasuk ABN AMRO, Conde Nast, H&M Group, Regeneron, dan Shell. Perusahaan-perusahaan tersebut mengandalkan Databricks untuk memungkinkan rekayasa data berskala besar, ilmu data kolaboratif, pembelajaran mesin siklus penuh, dan analisis bisnis.

  1. Deep 6 AI

Deep 6 AI adalah start up AI yang berfokus pada perawatan kesehatan dengan mengadopsi sistem kerja profesional paramedis dalam mendiagnosis dan merawat pasien. Algoritme Deep 6 AI mampu menganalisis data medis dalam jumlah besar dan membantu petugas medis membuat keputusan lebih tepat dalam pengobatan.

Perusahaan yang didirikan pada 2016 ini telah menyelamatkan nyawa banyak pasien lantaran mampu bekerja secara real time dan terstruktur.

  1. Shield AI

Didirikan pada 2015, Shield AI merupakan start up AI yang berfungsi untuk melindungi anggota militer serta warga sipil dengan sistem yang cerdas. Hivemind autonomy yang dikembangkan Perusahaan ini adalah Pilot AI otonom dan satu-satunya yang dikerahkan dalam pertempuran 2018.

Hivemind berperan sebagai tim pesawat cerdas dalam melakukan misi mulai dari pembersihan ruangan hingga pesawat tempur F-16. Didukung oleh dana VC Silicon Valley papan atas, Shield AI telah dinobatkan dalam daftar AI 50 dan Startup Terbaik versi Forbes, 100 Perusahaan AI Teratas versi CB Insights, dan Perusahaan Paling Inovatif versi Fast Company.

Itulah beberapa Perusahaan yang mengembangkan AI untuk membantu kehidupan manusia agar lebih produktif dan efisien. Kira-kira aplikasi mana yang telah kamu gunakan Comms?

 

Penulis: Meigitaria Sanita

Society 5.0

Society 5.0 atau masyarakat 5.0 kini menjadi topik perbincangan hangat di kalangan akademisi. Berbagai universitas di Indonesia telah menyampaikan gagasan Society 5.0 yang dikemas dalam berbagai kegiatan seperti kuliah umum, workshop, seminar, hingga riset.

Masyarakat super cerdas menjadi nama lain dari Society 5.0, yang mana pusat penyelesaian masalah sosial akan diselesaikan melalui integrasi ruang siber dan fisik. Lantas bagaimana peran Ilmu Komunikasi pada Society 5.0?

Tercatat, diskusi terkait Society 5.0 telah ramai sejak awal tahun 2017. Berdasarkan artikel yang diterbitkan oleh Tempo pada 9 Maret 2019 disebutkan bahwa hal ini merupakan proyek Pemerintah Jepang untuk memberi kesan sebagai bangsa yang besar dan disegani.

Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yakni Irin Oktafiani dan Ibnu Thufail sepakat bahwa Jepang memang jago dalam menciptakan label yang mengesankan bangsa-bangsa lain. Pernyataan tersebut diungkapkan pada diskusi “Jepang Society 5.0” di Jakarta pada 8 Maret 2019.

Konsep Society 5.0 pertama kali diumumkan secara terbuka oleh Perdana Menteri Shinzo Abe pada forum internasional konferensi CeBIT (Centrum der Buroautomation und Informationestechnologie und Telekommunikation) yang dihelat di Jerman tahun 2017 lalu.

Inti dalam pembahasan itu, Society 5.0 berbeda dengan Industry 4.0 yang digagas Jerman (2010) ataupun Singapore Smart Nation (2014). Ia menegaskan, penggunaan teknologi maju tidak hanya digunakan untuk mendukung industri infrastruktur perekonomian namun juga untuk mendukung kehidupan sehari-hari masyarakat Jepang.

Timeline selanjutnya di tahun 2019, Abe Shinjo kembali menyampaikan visi Society 5.0 pada Forum Ekonomi Dunia di Davos Swiss. Pada kesempatan itu, pihaknya menyebutkan sebuah masyarakat yang berpusat pada manusia dalam kemajuan ekonomi melalui penyelesaian masalah sosial melalui sistem yang saling terintegrasi baik maya maupun fisik.

Definisi Society 5.0

Dari background di atas, lantas apa definisi Society 5.0? Mengutip laman resmi Japan Cabinet Office, “A human-centered society that balances economic advancement with the resolution of social problems by a system that highly integrates cyberspace and physical space”.

Konsep Society 5.0 menempatkan masyarakat yang berpusat pada manusia demi menyeimbangkan kemajuan ekonomi melalui penyelesaian berbagai masalah sosial dengan sistem yang saling berintegrasi yakni ruang siber dan ruang fisik.

Urutannya sebagai berikut, Masyarakat 1.0 (berburu dan meramu), Masyarakat 2.2 (bercocok tanam), Masyarakat 3.0 (industri mesin), Masyarakat 4.0 (teknologi informasi), dan Masyarakat 5.0 (masyarakat super cerdas).

Berdasarkan penjelasan Japan Cabinet Office, Society 5.0 disebut sebagai masyarakat dengan tingkat konvergensi paling tinggi antara dunia maya dan ruang fisik. Jika pada Masyarakat 4.0 orang-orang mengakses layanan cloud di dunia maya melalui internet dan mencari, mengambil, dan menganalisis informasi atau data.

Sementara pada Society 5.0 hampir seluruh informasi sensor di ruang fisik terakumulasi di dunia maya. Di dunia maya, data besar ini nanti dianalisis oleh kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI), dan hasil analisis tersebut diumpankan kembali kepada manusia di ruang fisik dalam berbagai bentuk.

Peran Ilmu Komunikasi dalam Society 5.0

AI menjadi diskusi menarik akhir-akhir ini. Sederet artikel mempertanyakan kemungkinan AI menggeser peran manusia. Terlebih AI menjadi bagian utama pada Society 5.0. Akankah manusia benar-benar akan digantikan AI? Ternyata, manusia tak akan tergantikan karena AI justru membantu manusia untuk lebih produktif. Selengkapnya dapat dibaca pada artikel berikut https://communication.uii.ac.id/benarkah-pekerjaan-manusia-akan-digantikan-oleh-ai-chatgpt-tak-terkendali-hingga-nasib-lulusan-ilmu-komunikasi/.

Dalam Serial Diskoma #8 yang digelar oleh magister Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada diskusi tentang “Artificial Intelligence dalam Industri Komunikasi” muncul pendapat bahwa selamanya AI tak akan menggantikan manusia karena pengetahuan merupakan modal utama yang dimiliki oleh manusia. Sementara informasi yang diakses dengan berbagai platform adalah komoditas. Artinya manusia yang lihai menggunakan AI yang menjadi unggul.

Peran Ilmu Komunikasi cukup besar dalam hal ini, terlebih dalam produksi informasi di tengah-tengah transformasi digital. Lulusan Ilmu Komunikasi menjadi aktor utama dalam produksi informasi.

Transformasi digital merupakan perubahan mendasar terkait cara organisasi beroperasi. Dilansir dari McKinsey & Company, transformasi digital bertujuan untuk membangun keunggulan secara kompetitif dengan teknologi dalam skala besar sehingga mampu meningkatkan pengalaman pelanggan dan menurunkan biaya.

Dalam hal inilah peran Ilmu Komunikasi menjadi penting. Agar tim IT sukses menyempurnakan peran AI dalam transformasi digital perlu ada pemahaman komunikasi yang efektif. Komunikasi menjadi pendorong kesuksesan suatu proyek atau bisnis.

Komunikasi disebut-sebut sebagai kunci kesuksesan ini karena lulusannya dianggap memiliki skill dalam menyelesaikan berbagai masalah mulai dari menjangkau semua karyawan dengan pendekatan multi-saluran, menciptakan budaya perusahaan yang kuat dengan meningkatkan keterlibatan, menciptakan sistem pencatatan yang otoritatif untuk komunikasi, mengoptimalkan seluruh perangkat teknologi komunikasi, menyederhanakan kampanye komunikasi dengan efisien, hingga mengumpulkan analitik kritis untuk menginformasikan strategi.

Terlepas dari prasangka Society 5.0 adalah proyek Pemerintah Jepang, Ilmu Komunikasi adalah pengetahuan yang dinamis dan mampu beradaptasi dalam berbagai kondisi. Bagaimana pendapatmu tentang ini, Comms?

 

Penulis: Meigitaria Sanita

Pekerjan yang dapat digantikan AI

Ramai terdengar pembahasan yang membuat panik berbagai pihak lantaran beberapa pekerjaan akan tergantikan oleh artificial intellegence (AI). Benarkan pendapat tersebut? Simak beberapa data berikut ini tentang AI yang dianggap sebagai perkembangan teknologi menyeramkan. 

AI atau kecerdasan buatan adalah suatu sistem komputer atau perangkat mesin dengan mengadopsi karakter otak manusia. Artinya AI bekerja dengan meniru aktivitas kognitif manusia mulai dari leraning, reasoning, decision making, hingga self correction. 

Pekerjaan yang mampu dilakukan oleh AI mulai dari kendali, robotika, mekanisme kontrol, komputasi, penjadwalan, hingga data mining. Secara umum AI diciptakan untuk optimalisasi pekerjaan. 

Sebagai contoh sederhana untuk memahami kinerja AI dapat kita lihat dari pola kebiasaan kita ketika hendak mencari barang di E-Commerce. Saat kita mengetik “sepatu docmart wanita” di mesin pencarian E-Commerce maka barang tersebut akan muncul, kita dapat memilih sesuai dengan kriteria yang diinginkan.  

Selanjutnya kita akan menemukan produk rekomendasi di hari yang sama hingga hari berikutnya. Rekomendasi tersebut merupakan hasil kerja AI yang didapat dari data produk-produk yang pernah kita beli. 

Lantas benarkah pekerjaan kita dapat diambil alih oleh AI karena memiliki sistem yang lebih optimal dibandingkan kinerja manusia. Bagaimana nasib lulusan Ilmu Komunikasi? 

Salah satu AI yang tengah menjadi perdebatan di dunia akademis dan industri adalah asisten virtual bernama ChatGPT, merupakan situs pengolahan bahasa atau Generative Pre-Training Transformer yang dikembangkan OpenAI.  

Dengan menggunakan ChatGPT kita dapat memerintahnya untuk membuat teks, menerjemahkan bahasa, hingga menjawab apa pun pertanyaan yang kita ajukan. Sontak hal ini membuat ketar-ketir para pekerja di bidang penulisan seperti content writer, jurnalis, pekerja media, hingga pekerja kreatif lainnya. 

Kekhawatiran itu muncul berkaitan dengan teknik plagiarisme yang dapat mengancam integritas akademik. Bahkan ketika kita mengetikkan perintah “puisi senja” maka ChatGPT akan memberikan enam bait puisi tentang senja yang menarik dan puitis. Kecanggihan ini tentu membuat sebagian orang cemas karena AI dapat menggantikan keahlian manusia. 

Berdasarkan data yang dipublikasikan oleh Similiarweb jumlah kunjungan ke ChatGPT mencapai 1,8 miliar peningkatan terjadi sejak awal tahun 2023. Artinya banyak orang yang menggunakan  ChatGPT untuk memudahkan dan menyelesaikan pekerjaannya.  

Negara yang paling banyak menggunakan ChatGPT di antaranya Amerika Serikat dengan presentase 15,22 persen, India 6,32 persen, Jepang 4,01 persen, Kolombia 3,3 persen, Kanada 2,75 persen, serta 68,4 persen tersebar di seluruh dunia kecuali yang disebutkan tadi. 

Membaca data tersebut apakah ChatGPT memang efektif dan dapat dipercaya di dunia akademis? Menurut salah satu dosen di Prodi Ilmu Komunikasi UII Narayana Mahendra Prastya, S.Sos., MA. ketakutan bukan hanya soal plagiarisme di kalangan mahasiswa melainkan pengaplikasiannya yang cenderung tidak sinkron. 

“Ketakutannya (menggunakan ChatGPT) tentang konteks yang tidak match. Ketika mahasiswa mengutip untuk memperkuat gagasan malah hasilnya tidak nyambung. Misalnya ketika meminta ChatGPT rangkuman jurnal tentang media sosial kita sebagai pengguna yang harusnya merangkai sendiri poin-poin dan mengaitkan,” ujarnya.  

Terkait soal plagiarisme di kalangan mahasiswa Narayana menyebut jika belum pernah mendeteksi apakah itu benar-benar dikerjakan dengan memindahkan dari ChatGPT. Kecurigaan tentu muncul ketika penulisan dalam proposal  

“Belum pernah terdeteksi apakah menggunakan ChatGPT atau bukan, ketika mahasiswa menuliskan tinjauan pustaka sangat jago dan rapi, tapi melihat interview guide dan lainnya kedodoran,” tandasnya. 

Pekerjaan yang kemungkinan digantikan AI 

Ketakutan kita soal pekerjaan yang akan digantikan oleh AI nampaknya memang wajar, bagaimana tidak sejak dirilis pada bulan November tahun lalu ChatGPT telah digunakan untuk membuat surat lamaran, membuat buku anak, hingga membantu siswa mencontek saat ujian. 

Sejak dirilis pada bulan November tahun lalu, ChatGPT dari OpenAI telah digunakan untuk menulis surat lamaran, membuat buku anak-anak, dan bahkan membantu siswa menyontek dalam ujian.  

Dilansir dari laman Business Insider, chatbot pada ChatGPT sangat hebat lebih dari yang dibayangkan, karyawan Amazon yang menguji ChatGPT menyebut jika chatbot ini melakukan “pekerjaan yang sangat baik” dalam menjawab pertanyaan dukungan pelanggan, “hebat” dalam membuat dokumen pelatihan, dan “sangat kuat” dalam menjawab pertanyaan seputar strategi perusahaan.  

Meski demikian ChatGPT juga bisa saja salah, seperti disebutkan oleh pengguna ChatGPT pernah menemukan informasi yang salah menjawab masalah pengkodean, dan menghasilkan kesalahan dalam matematika dasar. 

Dalam artikel tersebut menyatakan jika riset yang dipublikasikan oleh University of Oxford di tahun 2013 menyebutkan 47 persen di Amerika Serikat dapat digantikan oleh AI dalam rentang waktu 20 tahun ke depan. 

Namun, riset itu dibantah oleh Anu Madgavkar seorang mitra di McKinsey Global Institute yang mengatakan jika AI tak serta merta dapat menggantikan posisi manusia. Penilaian manusia perlu diterapkan pada teknologi untuk menghindari kesalahan dan bias. 

“Kita harus memikirkan hal-hal ini sebagai alat untuk meningkatkan produktivitas, bukan sebagai pengganti,” ujar Madgavkar dalam wawancaranya dengan Business Insider.  

Itu artinya AI tidak dapat menggantikan keberadaan manusia melainkan membantu agar pekerjaan semakin optimal. Berikut beberapa pekerjaan yang akan berkaitan dan dapat dikerjakan AI yang dioperasikan manusia. 

  1. Tech jobs (Coders, computer programmers, software engineers, data analysts) 
  2. Media jobs (advertising, content creation, technical writing, journalism) 
  3. Legal industry jobs (paralegals, legal assistants) 
  4. Market research analysts 
  5. Teachers 
  6. Finance jobs (Financial analysts, personal financial advisors) 
  7. Traders 
  8. Graphic designers 
  9. Accountants 
  10. Customer service agents 

Nasib lulusan Ilmu Komunikasi bersaing dengan AI? 

AI yang berkembang pesat ternyata tidak benar-benar mengancam manusia, justru ada sisi positif dengan kecanggihan yang terus dikembangkan hal ini disampaikan oleh Dr. Ir. Lukas, MAI, CISA, IPM dosen Teknik Elektro Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya,sekaligus Ketua Indonesia Artificial Intelligence Society (IAIS) melalui kanal YouTube The Conversation. 

“Tentu saja AI dapat menggantikan pekerjaan manusia khususnya yang selama ini yang dikerjakan secara otomatis, pekerjaan yang sifatnya repetitif, dan teknis, pekerjaan yang kotor, yang membosankan, dan berbahaya sudah selayaknya bisa kita alihkan ke komputer karena AI bisa mengerjakan itu jauh lebih bagus daripada manusia dan justru itu untuk menyelamatkan manusia,” ungkapnya. 

Perlu diketahui bahwa nasib lulusan Ilmu Komunikasi tidak akan terpinggirkan oleh AI. Karena menurut keterangan Dr. Lukas kreativitas manusia tidak dapat ditiru oleh AI. 

“Sebetulnya kita masih dapat merasakan bahwa tulisan ChatGPT adalah tulisan robot. Misalkan saya sebagai dosen tahu polanya, ngomongnya ChatGPT ini. ChatGPT dalam beberapa hal mungkin mencoba lebih kreatif dengan melakukan ekstrapolasi kadangkala semakin dia kreatif justru semakin ngawur dan terjebak pada sesuatu yang tidak masuk akal,” tandasnya. 

Itu artinya kekhawatiran kita terhadap AI terlalu berlebihan karena pada dasarnya AI diciptakan untuk membantu bukan menggantikan manusia. 

 

Penulis: Meigitaria Sanita