Tag Archive for: AES

Reading Time: 2 minutes

Media life in Indonesia lost a lot after the departure of Amir Effendi Siregar (AES). This media thinker and guardian of media democratization in Indonesia is the cornerstone of media management studies and the forerunner of UII’s Communication Study Program. Many are inspired by and imitate the thoughts of AES. This is especially the case after the publication of Amir Effendi Siregar’s book “Against Capital Authoritarianism” in the Thought and Movement of the Democratization of the Media.

Iwan Awaluddin Yusuf, UII Communications Lecturer, student and successor of Amir in two institutions (UII Communications and PR2Media), noted the exemplary characteristics of AES’ thinking. He sees AES thinking always brings up four things. These four things are the characteristics that make AES’ thinking timeless. In addition, AES’s passion for science can also be seen from this characteristic.

First, AES’s thinking is always accompanied by a philosophical study. This is characteristic of studying things from the roots, from philosophy. “He always philosophically talks about big macros, then secondly, his thoughts always bring up data,” said Iwan, a doctoral graduate from Monash University, Australia, at the Book Discussion via Zoom, which was held on Saturday, July 10, 2021.

The involvement of the data for every AES’s writing shows that AES is always based on empirical data. It constantly updates and relates to the latest conditions.

In addition to philosophy and data, said Iwan, Bang Amir also did not forget to compare practices in other countries. “In fact, he often argues between data and data. Usually, for example, AES always emphasizes seeing India and other countries that are socially similar,” said Iwan recalling the time when AES was still alive and active in PR2Media.

The fourth characteristic, AES thinking, is always contextualised and refers to the constitution. This reference to the constitution makes AES’ thinking always worth considering in reviewing and updating regulations. This includes AES studies on media technology in the digital era.

“Where I study, Monash University no longer uses the word new media because new media is relative. So digital media is used,” said Iwan. “New media will become old media in time,” he added. No matter how advanced the development of technology and media is, the keyword remains the same, namely democracy, with a keyword that AES often mentions as diversity.

 

 

Reading Time: 2 minutes


Business and media management are studies that are not widely used as special courses or majors in communication campuses in Indonesia. Not many people focus on being both a reviewer and a practitioner at the same time. Amir Effendi Siregar (AES), the founder of the Department of Communications at UII, and PR2Media, is one who presents media management studies in a complete definition.

Media management dimensions based on the AES definition, said Iwan Awaluddin Yusuf, are mapped into six dimensions. Iwan extracts these six dimensions from the definition made by AES on media management. “The first is media management with management principles and processes. This dimension includes philosophical, methodological, and practical levels,” said Iwan Awaluddin Yusuf, a doctoral student at Monash University, Australia, on July 10, 2021.

Iwan spoke as one of the authors in a book entitled The Book Against Capital Authoritarianism. The book is a collection of AES Thought and Movement writings from AES students, friends, and associates. This book was reviewed and launched on July 10, 2021, collaborating with PR2Media, UII Communications, and SPS. This discussion was also held to commemorate the 17th Anniversary of UII Communications and PR2Media’s 11th Anniversary. Both institutions are institutions where AES is the founder and foundation.

Iwan said there is also a second dimension of Media Management which essentially examines the position of the media as an industry and the media as an institution. What is the character of the media as an industry, and the role of the media as a press institution, for example. 

It is also important for media managers, said Iwan quoting AES, to determine the direction of the media paradigm. “The market paradigm or the propaganda/missionary paradigm,” said Iwan. Defining this paradigm is the third dimension that AES often puts forward.

Furthermore, assessing media management must also pay attention to the environmental context as the fourth dimension. That is, how the existing media system in a region or country affects Media Management.

The media management study will also look at the fifth dimension, namely the development of technology in terms of impact and anticipating it. While the sixth dimension, AES also often explains that scholars must study media management based on its usefulness as a science. Especially benefits for those who study and society in general. 

Reading Time: 2 minutes

Bisnis dan Manajemen media adalah kajian yang tak banyak dijadikan mata kuliah khusus atau jurusan di kampus-kampus komunikasi di Indonesia. Tak banyak pula orang yang memfokuskan diri menjadi pengkaji sekaligus praktisi dalam satu waktu. Amir Effendi Siregar (AES), pendiri Komunikasi UII dan PR2Media, adalah salah satu yang menhadirkan kajian manajemen media dalam sebuah definisi yang komplit.

Dimensi Manajemen Media berdasarkan definisi AES, kata Iwan Awaluddin Yusuf, terpetakan menjadi enam dimensi. Enam dimensi ini disarikan oleh Iwan dari definisi yang dibuat oleh AES tentang manajemen media. “Pertama adalah pengelolaan media dengan prinsip-prinsip dan proses manajemen. Dimensi ini mencakup level filosofis, metodologis, dan praktis,” kata Iwan Awaluddin Yusuf, mahasiswa doktoral di Monash University, Australia, pada 10 Juli 2021.

Iwan bicara sebagai salah satu penulis dalam buku berjudul Buku Melawan Otoritarianisme Kapital. Buku itu adalah kumpulan tulisan Pemikiran dan Gerakan AES dari murid, teman, dan sahabat AES. Pembicara lain adalah Dr. Rahayu, wakil ketua PR2Media dan Editor buku ini. Buku ini dibedah dan diluncurkan pada 10 Juli 2021 atas kerjasama PR2Media, Komunikasi UII, dan SPS dan dipandu oleh Ignatius Haryanti sebagai moderator. Diskusi ini juga digelar sebagai peringatan Milad ke-17 Komunikasi UII dan Ulang Tahun ke 11 PR2Media. Kedua lembaga tersebut adalah lembaga dimana AES menjadi pendiri dan peletak dasarnya.

Iwan mengatakan ada pula dimensi kedua Manajemen Media yang intinya mengkaji posisi media sebagai industri dan media sebagai institusi. Apa karakter media sebagai industri, dan peran media sebagai institusi pers, misalnya.

Penting juga pengelola media, kata Iwan mengutip AES, menentukan arah paradigma medianya.

“Paradigmanya pasar atau paradigma propaganda/ misionaris,” kata Iwan. Menentukan paradigma ini menjadi dimensi ketiga yang sering dikemukakan AES.

Selanjutnya, mengkaji manajemen media juga harus memperhatikan konteks lingkungan sebagai dimensi keempat. Maksudnya, bagaimana sistem media yang ada dalam suatu kawasan atau negara mempengaruhi Manajemen Media.

Kajian manajemen media juga akan melihat dimensi kelima yaitu perkembangan teknologi dari sisi dampak dan bagaimana mengantisipasinya. Sedangkan dimensi keenam, AES juga sering menjelaskan bahwa manajemen media harus dikaji berdasarkan kegunaanya sebagai ilmu. Terutama manfaat bagi mereka yang mempelajari dan masyarakat pada umumnya.

 

Reading Time: 2 minutes

Kehidupan media di Indonesia kehilangan banyak setelah kepergian Amir Effendi Siregar (AES). Pemikir media dan pengawal demokratisasi media di Indonesia ini adalah soko guru kajian manajemen media dan cikal bakal Prodi Komunikasi UII. Banyak yang terinspirasi dan meneladani pemikiran AES. Terutama hal ini muncul setelah terbit buku Melawan Otoritarianisme Kapital, Amir Effendi Siregar dalam Pemikiran dan Gerakan Demokratisasi Media.

Iwan Awaluddin Yusuf, Dosen Komunikasi UII, murid dan penerus Amir di dua lembaga (Komunikasi UII dan PR2Media), mencatat ciri khas yang bisa diteladani dalam pemikiran AES. Ia melihat pemikiran AES selalu memunculkan empat hal. Empat hal ini adalah ciri yang membuat pemikiran AES tak lekang oleh jaman. Selain itu, semangat AES pada ilmu juga terlihat dari ciri khas ini.

Pertama, pemikiran AES selalu disertai dengan telaah filosofis. Ini ciri khas menelaah sesuati dari akar, dari filosofi. “Ia selalu filosofis berbicara soal makro yang besar, lalu kedua, pemikirannya selalu memunculkan data,” kata Iwan, doktor lulusan Monash University, Australia, pada Diskusi Buku tersebut via Zoom yang dilaksanakan Sabtu, 10 Juli 2021.

Pelibatan data ini menunjukkan bahwa AES selalu berdasar pada data empirik. Ia selalu memperbarui dan merelasikan dengan kondisi termutakhir.

Selain filosofi dan data, kata Iwan, Bang Amir juga tak lupa untuk memberi perbandingan dengan praktik di negara lain. “Bahkan ia seringkali melakukan pembantahan antara data dengan data. Biasanya misalnya AES selalu menekankan untuk melihat india dan negara lain yang secara sosial mirip,” papar Iwan mengenang masa ketika AES masih hidup dan berkiprah di PR2Media.

Ciri keempat, pemikiran AES selalu dikontekskan dan merujuk pada konstitusi. Rujukan pada konstitusi ini membuat pemikiran AES selalu layak dipertimbangkan dalam mengkaji dan memperbaharui regulasi. Termasuk di antaranya kajian AES tentang teknologi media di era digital.

“Di tempat saya belajar, Monash University, sudah tidak menggunakan kata media baru karena media baru itu relatif. Maka digunakan digital media,” papar Iwan. “Media baru akan menjadi media lama pada waktunya,” tambahnya. Semaju apapun perkembangan tekonologi dan media, kata kuncinya tetap sama, yaitu demokrasi, dengan kata kunci yang sering disebut AES: diversity.

 

Reading Time: 2 minutes

Public broadcasting is a must. Public broadcasting is here to fulfill the public’s right to quality and high-quality information. From here, the public will become a civilized society because they are educated with information. With information, people can organize themselves and improve their quality of life and civilization. So, public broadcasting must be present as a counterweight. 

“In countries with advanced democracies, the existence of public broadcasting is very much needed for balance,” said Darmanto, Program Manager for the Change House of the Public Broadcasting Institution (RP LPP) in the Book Discussion Against Capital Authoritarianism Volume 2, on Saturday, July 3, 2021. the Department of Communications UII held this discussion with cooperation by PR2Media, and SPS to commemorate and perpetuate Amir Effendi Siregar’s thoughts. Amir Effendi Siregar (AES) is the founder of the Department of Communications and PR2Media, two key institutions in communication and Media studies in Indonesia. 

Darmanto is one of the authors of a book containing a collection of writings by AES students, friends, colleagues, and colleagues on democratization thinking and the media movement. According to Darmanto, one of AES’ most important thoughts is about publicity and public broadcasting. The existence of public broadcasting is important in a country with a democratic system. Public broadcasters in developed countries also tend to be strong, independent, and professional institutions. 

The reason for the existence of public broadcasting, said Darmanto, was to draw on the thoughts of AES to serve the public interest. “The raison d’etre of public broadcasting is for that, serving the public interest,” said Darmanto. Public broadcasting, therefore, must be an independent institution from various fields. Be independent in terms of human resources, editorial, to finance. 

According to AES, said Darmanto, in terms of independence, HR management at RRI TVRI is still a problem. Not to mention, because LPP fulfills the public interest, it needs special regulations or laws that provide an umbrella for public broadcasting to be more independent on all fronts. 

The discourse on public broadcasting has long shifted towards the term public service media (public service media). It relies not only on broadcast media but also on any media with a wider scope in the internet era. “Even in Scandinavian countries, in 2003, they released a book on public service media,” said M. Kabul Budiono, TVRI’s Supervisory Board, who was also a speaker on the occasion. 

Reading Time: 2 minutes

Penyiaran publik adalah keniscayaan. Ia hadir sebagai pemenuh hak publik akan informasi yang berkualitas dan bermutu tinggi. Dari sini, publik akan menjadi masyarakat yang beradab karena teredukasi dengan informasi. Dengan informasi, masyarakat dapat mengatur dirinya sendiri dan meningkatkan kualitas hidupnya dan peradabannya. Maka, penyiaran publik harus hadir menjadi penyeimbang.

“Di negara-negara yang demokrasinya maju, keberadaan penyiaran publik sangat dibutuhkan untuk penyeimbang,” kata Darmanto, Manajer Program Rumah Perubahan Lembaga Penyiaran Publik (RP LPP) dalam Diskusi Buku Melawan Otoritarianisme Kapital Jilid 2, pada Sabtu, 3 Juli 2021. Diskusi ini diadakan oleh Prodi Komunikasi UII, PR2Media, dan SPS untuk mengenang dan mengabadikan pemikiran Amir Effendi Siregar. Amir Effendi Siregar (AES) adalah pendiri Komunikasi UII dan PR2Media, dua lembaga kunci dalam kajian Komunikasi dan Media di Indonesia.

Darmanto adalah salah satu penulis dalam buku berisi kumpulan tulisan murid, sahabat, kolega, dan rekan AES tentang pemikiran demokratisasi dan gerakan media. Menurut Darmanto, salah satu pemikiran AES yang paling penting adalah soal kepublikan dan penyiaran publik. Eksistensi penyiaran publik penting hadir dalam negara dengan sistem demokrasi. Penyiaran publik di negara-negara maju juga cenderung menjadi lembaga yang kuat, independen, dan profesional.

Alasan keberadaan penyiaran publik, kata Darmanto, mendedah pemikiran AES, adalah untuk melayani kepentingan publik. “Raison d’etre penyiaran publik adalah untuk itu, melayani kepentingan publik,” ungkap Darmanto. Penyiaran publik, karenanya, harus menjadi institusi yang merdeka dari beragam bidang. Baik itu merdeka dari sisi sumber daya manusia, redaksional, hingga keuangan.

Menurut AES, kata Darmanto, dari segi kemandirian, pengelolaan SDM di RRI TVRI masih menjadi problem. Belum lagi karena LPP adalah mutlak memenuhi kepentingan publik, maka perlu regulasi atau undang-undang khusus yang memayungi penyiaran publik agar ia lebih independen di segala lini.

Meski begitu, wacana soal penyiaran publik telah lama bergeser ke arah istilah public service media (media layanan publik). Ia bukan lagi hanya bersandar pada media penyiaran, tetapi media apapun yang cakupannya lebih luas di era internet. “Bahkan di negara skandinavia, pada 2003 mereka sudah merilis sebuah buku tentang public service media,” kata M. Kabul Budiono, Dewan Pengawas TVRI, yang ikut menjadi pembicara pada kesempatan tersebut.

 

Reading Time: 3 minutes

Amir Effendi Siregar is not only a thinker, he is also the initiator of many media movements and activists, as well as an ideologue of broadcasting democracy. This is not easy to find nowadays. AES thinking is broad and diverse. This can be a valuable lesson for future generations, especially in UII of Department of Communications.

Kristiawan said AES’s thinking spans from political economy, regulation, broadcasting and includes the press and media regulators. According to Kristiawan, AES is also the driving force behind KIDP (Independent Coalition for Broadcasting Democratization).

“There are two praxis of Bang AES that I think are unique from the typology of Bang AES, the first is advocacy practice,” said Kristiawan in a book discussion Against Capital Authoritarianism, Amir Effendi Siregar in Media Democratization Thoughts and Movements, the first volume, at the Zoom Meeting Saturday , June 26, 2021.

“To be honest, Bang Amir said, it’s because of you, Wan. I’ve been living quietly; you pulled me here. That was around 2009. At that time, I was still at the Tifa foundation. A new actor in broadcasting democracy,” Kristiawan said. “If we go back to those years, the democratization movement for broadcasting was almost zero. At that time, Maksi (Indonesian communication and information society) started before KIDP. Then we created KIDP,” said Kristiawan.

According to Kristiawan, this is a milestone in the democratization of broadcasting. At that time, the KIDP movement raised the issue of media ownership in Indonesia as a problem from the start, “and I am grateful that this movement is so massive and strong that it ended up being tested for interpretation in the Constitutional Court (MK). That was AES’s first practice.”

Meanwhile, according to Kristiawan, the second praxis is managerial praxis. AES is willing and able to manage Warta Ekonomi magazine. “This requires other thinking skills. One goal is to criticize, the other is to sell. I think this is unique. And this confirms if we pull it up again, that Bang Amir’s style of thinking is indeed a social democrat style,” said Kristiawan later.

According to him, AES does not reject industry, does not reject capitalism, but how to tame capitalism to support the quality of life together, “or in the term decent capitalism, that is what Bang Amir often raises.”

In addition, Kristiawan also said the AES thinking model. “I want to emphasize in this forum that the building of Bang Amir’s thinking does not only stop at the micro and meso levels, but also reaches the macro level. In my term, the ideological horses are powerful,” said Kristiawan. Epistemologically, he said, AES’s thinking is very strong and consistent not only in action but also in logic.

“I think one thing that is not the focus of Bang Amir is a content analysis which is very micro. I see that AES is not interested here, except I don’t know,” added Kristiawan.

Nina Mutmainnah, as the editor of this book, also shared stories about AES. “This is very important in the history of broadcasting in Indonesia, because this group (KIDP) in 2011 conducted a test of interpretation of the ownership rules in the Broadcasting Law to the Constitutional Court. We know that the issue of media ownership is also an issue that is overseen by Bang Amir,” said Nina Mutmainnah, Lecturer at the UI Communications Department, as a speaker with Kristiawan.

The book, which was launched in conjunction with the 17th Anniversary of UII Communication and 11th Year of PR2Media, contains the writings of many authors representing students, colleagues, friends, and even teachers. For example, there were R. Kristiawan, Puji Rianto, Ade Armando, M. Heychael, Ignatius Haryanto, Nina Mutmainnah, and Eduard Lukman, who spoke at the level of AES thinking about political economy. Wisnu Martha Adiputra, Masduki, Hermin Indah Wahyuni, Darmanto, Ezki Soeyanto, Rahayu, and Iwan Awaluddin Yusuf wrote about Publicity and Public Broadcasting. Meanwhile, Wisnu Prasetya Utomo, and AP Wicaksono wrote Bang AES’ thoughts on the student press.

Topics The first part was discussed for the first time on Saturday, June 26, 2021. The topic of discussion this time presented the deputy writer R. Kristiawan (National Coalition for Broadcasting Reform), and the deputy book editor, namely Dr. Nina Mutmainnah (UI Communication Lecturer). Dr. Eni Maryani from UNPAD Communications, was also present as a discussant and was guided by moderator Mufti Nur Latifah, MA (UGM Communications Lecturer).

According to Nina, AES has also repeatedly stated in various writings that she believes that one indicator of a democratic country is the guarantee of Freedom of Expression, Freedom of speech, freedom of the press, diversity of voices, diversity of content), and diversity of ownership. AES emphasizes this that this must be maintained and guarded. Like what he wrote in 2014 in his book entitled Escorting the Democratization of the Media.

 

 

Reading Time: 3 minutes

Amir Effendi Siregar tak hanya menjadi pemikir, ia juga adalah inisiator banyak gerakan dan aktivis media, juga ideolog demokrasi penyiaran. Inilah yang tak mudah ditemukan kini. Pemikiran AES sangat luas dan beragam. Ini bisa menjadi pelajaran berharga bagi generasi penerus, terutama di Komunikasi UII.

Kristiawan mengatakan, pemikiran AES membentang dari ekonomi politik, regulasi, penyiaran dan termasuk pers dan regulator media. Menurut Kristiawan, AES juga adalah yang memotori KIDP (Koalisi Independen untuk Demokratisasi Penyiaran).

“Ada dua praksis Bang AES yang menurut saya unik dari tipologi bang AES, yang pertama praksis advokatif,” kata Kristiawan dalam diskusi buku Melawan Otoritarianisme Kapital, Amir Effendi Siregar Amir Effendi Siregar dalam Pemikiran dan Gerakan Demokratisasi Media, jilid pertama, pada Zoom Meeting Sabtu, 26 Juni 2021.

“Ini terus terang, Bang Amir bilang, ini gara-gara kamu, Wan. Aku udah hidup tenang-tenang kamu tarik ke sini. Itu sekitar tahun 2009. Aaat itu saya masih di yayasan Tifa. Saya menggalang aktor-aktor baru di demokrasi penyiaran,” kata Kristiawan menceritakan. “Kalau kita tarik ke tahun-tahun itu, gerakan demokratisasi penyiaran saat itu hampir nol. Waktu itu mulanya Maksi (masyarakat komunikasi dan informasi indonesia), ini sebelum KIDP. Lalu berikutnya kami bikin KIDP,” ungkap Kristiawan.

Menurut Kristiawan, ini adalah milestone dalam demokratisasi penyiaran. Saat itu gerakan KIDP adalah mengangkat isu kepemilikan media di Indonesia sebagai problem sejak awal, “dan saya bersyukur gerakan ini sangat masif dan kuat lalu berujung di uji tafsir di Mahkamah Konstitusi (MK). Itu praksis pertama bang AES.”

Sedangkan praksis kedua, menurut Kristiawan, adalah adalah praksis manajerial. AES mau dan mampu mengelola majalah Warta Ekonomi. “Ini menuntut keterampilan berfikir yang lain. yang satu tujuannya mengkritik, yang satu tujuannya jualan. Saya kira ini unik. dan ini menegaskan, kalau kita tarik ke atas lagi, bahwa memang corak berpikir Bang Amir ini corak sosial demokrat,” ungkap Kristiawan kemudian.

Menurutnya, AES tidak menolak industri, tidak menolak kapitalisme, tetapi bagaimana menjinakkan kapitalisme itu agar menunjang kualitas kehidupan bersama, “atau istilahnya decent capitalism, itu yang sering diangkat Bang Amir.”

Selain itu, Kristiawan juga mengatakan model berpikir AES. “Saya di forum ini ingin menegaskan, bangunan pemikiran Bang Amir tidak hanya berhenti dalam level mikro dan meso, tapi sampai level makro. Istilah saya, kuda-kuda ideologisnya sangat kuat,” papar Kristiawan. Secara epistemologis, katanya, pemikiran AES ini sangat kuat dan konsisten tidak hanya dalam tindakan tapi juga dalam logika.

“Saya kira satu yang tidak jadi fokus Bang Amir itu di content analysis yang sangat mikro. Saya lihat bang AES tidak tertarik ke sini, kecuali saya tidak tau,” imbuh Kristiawan.

Nina Mutmainnah, sebagai editor buku ini juga urun cerita tentang AES. “Ini penting sekali dalam sejarah penyiaran di Indonesia, karena kelompok ini (KIDP) pada 2011 melakukan uji tafsir terhadap aturan kepemilikan dalam UU Penyiaran ke Mahkamah konstitusi. Kita tahu isu kepemilikan media juga jadi isu yang dikawal oleh Bang Amir,” kata Nina Mutmainnah, Dosen di Departemen Komunikasi UI, saat menjadi pembicara bersama Kristiawan.

Buku yang diluncurkan seturut dengan Milad 17 Tahun Komunikasi UII dan 11 Tahun PR2Media ini memuat tulisan banyak penulis yang mewakili murid, rekan, sahabat, dan bahkan guru. Misalnya ada R. Kristiawan, Puji Rianto, Ade Armando, M. Heychael, Ignatius Haryanto, Nina Mutmainnah, dan Eduard Lukman, yang bicara di level pemikiran AES soal ekonomi politik. Wisnu Martha Adiputra, Masduki, Hermin Indah Wahyuni, Darmanto, Ezki Soeyanto, Rahayu, dan Iwan Awaluddin Yusuf menulis soal Kepublikan dan Penyiaran Publik. Sedangkan Wisnu Prasetya Utomo, dan A. P. Wicaksono menulis pemikiran Bang AES tentang pers mahasiswa.

Topik Bagian pertama didiskusikan pertama kali pada Sabtu, 26 Juni 2021. Topik diskusi kali ini menghadirkan wakil penulis R. Kristiawan (Koalisi Nasional Reformasi Penyiaran), dan wakil Editor Buku yaitu Dr. Nina Mutmainnah (Dosen Komunikasi UI). Dr. Eni Maryani dari Komunikasi UNPAD, juga hadir sebagai pembahas sekaligus dipandu oleh moderator Mufti Nur Latifah, MA (Dosen Komunikasi UGM).

Menurut Nina, AES juga berulang-ulang menyampaikan dalam berbagai tulisannya, bahwa ia meyakini satu indikator negara yang demokratis adalah terdapatnya jaminan Freedom of Expression, Freedom of speech, freedom of the press, diversity of voices (Keberagaman suara), diversity of content (keberagaman konten), dan diversity of ownership (keberagaman kepemilikan). AES menekankan hal ini bahwa hal ini harus terus dijaga dan dikawal. Seperti apa yang ia tulis pada 2014 pada bukunya yang berjudul Mengawal Demokratisasi Media.

Reading Time: 3 minutes

Nothing is left behind when someone has died except charity, pious children, and useful knowledge. The wealth of knowledge is one of the charity and knowledge of the late Amir Effendi Siregar (AES). The knowledge heritage is in the form of books, thoughts, and students who pursue deep thinking.

That was the response from Aditya Siregar, the eldest son of Amir Effendi Siregar at the Launching of AES Corner and the thought book of AES friends and students, on Saturday (19/6/2021). Aditya said he is grateful to his father’s colleagues, friends, students, and everyone who knows his father. He Thanks those who have given testimony and immortalized and cared for AES books and AES collections in the AES corner catalog. He hopes those can be useful knowledge and good deeds for his father in the afterlife.

AES corner is a reading corner for all the works of AES, who is also the UII Department of Communications founder, from books of thought to his lifelong collections. AES corner contains 638 collections and 577 books ever written, compiled, and collected by AES. The language is also diverse. Starting from Indonesian to English.

Several collections in English appeared as his collection when he continued his studies at the School of Journalism and Mass Communication at The University of Iowa, United States. There are many collections there. From the 1980s to the 1990s. The themes also range from journalism, democracy, communication, ideology, and political economy.

“In the end, we hope that AES corner can become a reference for academics and students. AES Corner also could be the reference for media and communication studies enthusiasts who want to enjoy AES thinking. AES Corner is located at the Nadim, The Center and Documentation of Alternative Media Studies (PSDMA) at UII. Nadim is also located on the slopes of Mount Merapi,” said Masduki, one of the lecturers of the Department of Communications UII. Masduki also a colleague of AES at the PR2Media think tank (Media Regulatory and Regulatory Monitor Institution).

Remarks and Messages from Colleagues

Several colleagues, friends, and students were present on this occasion. We can mention, for example, Paulus Widiyanto. Paulus is a figure who became the chairman of the special committee on the Broadcasting act at the Indonesia House of Representatives. This act became a milestone in media democratization. There was also Prof Alwi Dahlan who also gave a speech at the beginning of the event. He said the waves (frequency, red) belonged to the citizen as AES was fighting for.

Even said Prof. Alwi that Prof. Priyatna Abdurrasyid, who is an expert in outer space law, also said about the waves (frequencies). Priyatna said that the waves are the right of the people. Professor Alwi wants to say that because this is the people’s right, the waves cannot be traded to the private sector.

“Hopefully the younger generation, who studies communication, will also be willing to study the technology. Otherwise, those of us in the social sciences will just nag all the time. Then we will always be preceded by the owners of capital who are the core concerns of AES,” said Alwi in front of the audience.

Apart from these two, there are also other AES friends, students, and colleagues present. Such as Nina Mutmainnah from Universitas Indonesia/ UI, Puji Rianto from Universitas Islam Indonesia/ UII. Ade Armando from UI and Darmanto from BPSDMP of the Ministry of Communication and Information also joined the zoom. Asmono Wikan, Eduard Lukman, Rahayu, and several which were his students at UGM, UII, UI, and journalists and media activists in Indonesia also joined. All of them hope to immediately emulate the work and ideas of democratizing AES media at the AES Corner managed by PSDMA Nadim Communications UII.

 

Reading Time: 2 minutes

Tak ada yang tertinggal ketika seseorang tiada kecuali amal jariyah, anak saleh, dan ilmu yang bermanfaat. Kekayaan pengetahuan adalah salah satu amal jariyah dan ilmu dari mendiang Amir Effendi Siregar (AES). Kekayaan pengetahuan berupa buku, pemikiran, dan murid-murid yang menekuni pemikiran mendalamnya.

Begitulah sambutan dari Aditya Siregar, anak sulung Amir Effendi Siregar pada acara Launching AES Corner dan buku pemikiran sahabat dan murid AES, pada Sabtu (19/6/2021). Aditya mengatakan, ia berterima kasih pada kolega, teman, murid dan setiap orang yang mengenal ayahnya. Ia mengucap terima kasihnya pada mereka yang telah memberi testimoni dan mengabadikan serta merawat buku karya AES dan koleksi AES dalam katalog AES corner. Ia berharap ini bisa menjadi ilmu bermanfaat bagi ayahnya di akhirat.

AES corner adalah sebuah pojok baca seluruh karya AES, yang juga pendiri komunikasi UII, mulai dari buku karya pemikiran hingga koleksi-koleksinya selama hidup. AES corner berisi 638 koleksi dan 577 buku yang pernah ditulis, disusun, dan dikoleksi oleh AES. Bahasanya pun beragam. Mulai dari Bahasa Indonesia hingga Inggris.

Beberapa koleksi berbahasa inggris nampak sebagai buku koleksinya ketika melanjutkan studi di School of Journalism and Mass Communication pada The University of Iowa, Amerika Serikat. Terlihat banyak koleksi tercatat angka tarikh 1980an hingga 1990. Temanya juga merentang dari jurnalisme, demokrasi, komunikasi, ideologi, dan ekonomi politik.

“Pada akhirnya kami berharap AES corner dapat menjadi rujukan para akademisi,mahasiswa, dan peminat studi media dan komunikasi yang ingin menikmati pemikiran AES di Pusat Studi dan Dokumentasi (PSDMA) Nadim Komunikasi UII yang terletak di lereng Gunung Merapi,” kata Masduki salah satu dosen Komunikasi UII yang merupakan murid sekaligus kolega AES di lembaga think tank PR2Media (Pemantau Regulasi dan Regulator Media).

Sambutan dan Pesan Kolega

Beberapa kolega, sahabat, murid yang hadir pada kesempatan itu misalnya Paulus Widiyanto, tokoh yang menjadi ketua pansus UU Penyiaran yang menjadi tonggak demokratisasi media. Ada pula Prof Alwi Dahlan yang juga memberi sambutan di awal acara. Ia mengatakan gelombang (frekuensi, red) adalah milik rakyat seperti yang diperjuangkan AES.

Bahkan kata Prof Alwi, Prof. Priyatna Abdurrasyid yang ahli hukum Angkasa Luar juga mengatakan bahwa gelombang yang itu menggunakan satelit adalah hak rakyat. Prof Alwi ingin mengatakan bahwa karena ini adalah hak rakyat, maka soal gelombang tidak bisa diperjualbelikan pada swasta.

“Mudah-mudahan generasi yang muda, teman-teman yang mempelajari komunikasi mau juga mendahului mempelajari teknologi, kalau tidak nanti ilmu sosial, kita ini hanya mengomel dan selalu didahului oleh pemilik modal yang menjadi inti kekhawatiran AES,” pesan Alwi pada para hadirin.

Selain keduanya, ada juga sahabat, murid dan rekan AES yang lain seperti Nina Mutmainnah, Puji Rianto, Ade Armando, Darmanto, Asmono Wikan, Eduard Lukman, Rahayu, beberapa murid beliau di UGM, UII, UI dan jurnalis dan pegiat media di Indonesia. Kesemuanya berharap dapat segera meneladani karya dan pemikiran demokratisasi media AES di AES Corner yang dikelola PSDMA Nadim Komunikasi UII.