Film

Kisah nyata yang diangkat menjadi sebuah film terbukti memiliki daya tarik tinggi bagi penonton. Catatan soal raihan jumlah penonton adalah bukti nyata, sebut saja Hafalan Shalat Delisa yang rilis 2011 mengisahkan perjuangan anak perempuan pasca bencana tsunami Aceh 2004 sukses menjadi film dengan jumlah penonton terbanyak ketiga pada awal tahun 2012. Tak berhenti disitu, KKN di Desa Penari adalah pemenangnya, film bergenre horor ini sukses menjadi film terlaris sepanjang masa dengan raihan lebih dari 10 juta penonton.

Keduanya merupakan film-film yang diadopsi dari kisah yang telah terjadi dan disajikan dengan narasi-narasi serta visual yang begitu menggugah. Salah satu alasan mendasar mengapa film yang diangkat dari kisah nyata selalu laris karena adalah sisi yang cukup menawan (captivating).

Sisi captivating yang senggaja diciptakan, menurut dosen Prodi Ilmu Komunikasi UII, Dr. Zaki Habibi yang fokus dengan media and film studies menyebut film diproduksi untuk mengajak penonton menyaksikan isu tertentu.

“Bagaimana film yang diproduksi dengan basis kisah nyata atau based on true story punya sisi captivating, bikin penonton ingin terlibat, dan ingin tau lanjutannya. Terlepas sejauh mana pendekatan kreatif sineas. Mau kisah nyata atau rekaan, buatku film is an art to persuade creativity. Ekspresi seni yang pada dasarnya untuk mempersuasi penonton untuk membicarakan isu tertentu,” ujar Dr. Zaki Habibi.

Meski demikian, kerja kreatif dalam menampilkan kisah nyata ini selalu memantik pergolakan berbagai respon penonton. Banyak yang mendukung, menghujat, hingga ramai-ramai mengajak memberhentikan penayangan.

Memvisualkan Kisah Nyata

Mengeksplorasi kisah nyata menjadi film membutuhkan ketrampilan dan riset yang mumpuni. Seperti kisah kehidupan Delisa, layaknya film biopik lainnya kedalaman hidup subjek yang difilmkan mencoba memeberikan pemahaman kepada penonton melalui karakter hingga tingkat intelektualitasnya. Bagaimana kegigihan Delisa hingga tsunami Aceh menghantamnya membuat penonton hanyut dengan air mata.

George Frederick Custen dalam Bio/Pics: How Hollywood Constructed Public History yang direview oleh Charlotte Greenspan pada Jurnal of Film and Video menyebutkan jika film dari kisah nyata dalam kategori biopik memiliki sisi dramatisasi sehingga bisa jadi tak akurat. Hal ini dilakukan untuk menyampaikan makna lebih luas daripada hanya menjadi teks objektif karena setiap kisah nyata yang difilmkan selalu punya maksud atau tujuan.

Zaki menjelaskan, ada berbagai tujuan pembuatan film dari kisah nyata dan tentu setiap tujuan memiliki teknik masing-masing. Beberapa tujuan tersebut adalah inspirasi dan adaptasi.

“Kisah nyata sebagai apa, misal inspirasi, inti kisah nama tokoh dikreasi bukan menunjukkan subjek kisah. Menjadi adaptasi atau ekranisasi, dari sesuatu menjadi film. Kadang struktur pembabakan alur mengikuti kisah nyata demi sebuah tujuan. Durasi episode hidup tidak harus sama,” jelasnya.

Sementara soal etika Zaki menyebut jika metode dalam film dokumenter yakni reenactment (menghidupkan kembali) atau disebut kegiatan reka ulang peristiwa bersejarah dengan aksesoris berdasarkan riset sah-sah saja dilakukan secara etika dan estetika.

“Penggunaan arsip dan narasi perlu diolah. Banyak film kadang kurang riset pra produksi, tidak hanya mau ngangkat kisah apa, tapi juga keputusan narasi mau dibawa kemana,” ujarnya.

“Dramatisasi (sah dilakukan), izin (kebutuhan menggali cerita dan etika), nama tidak sama (dengan tokoh dengan dalih perlindungan privasi),” tambahnya.

Sikap Netizen dalam Merespon

Ramai-ramai menghakimi suatu karya film yang dianggap tak etis dalam segi estetika hingga privasi tokoh utama. Dalam konteks ini Zaki menjelaskan jika penonton juga harus bersikap adil. Artinya, bukan seru menyeru boikot di media sosial namun memberi pencerahan yang lebih berimbang.

“Penonton sama-sama lebih literate sekaligus adil, bersikap jelas. Anti boikot film, sejelek apapun seruwet film. Respon adilnya penonton berhak membuat resensi film, kritik film (opini pembuat dari penulis) untuk penonton dan pembuat film, kajian film bisa berbentuk video konten,” jelasnya.

Lebih lanjut, konteks ini menjadi pembeda penonton sebagai sosok yang literate bukan sosok yang otoriter. Seiring berkembangnya estetika film, pengetahuan penonton juga diharapkan mampu bertumbuh.

Kadangkala, banyak film mengalami penolakan karena standar nilai dan norma yang diangkat tidak sesuai pada kondisi masyarakat.

“Tanggung jawab produser dan sineas tidak bertanggung memuaskan persepsi penonton, tapi tanggung jawab estetika, tanggung jawab etik. Terikat kondisi dimana film itu diputar,” tambahnya.

Sementara mengutip dari laman Esei Nosa tulisan Nosa Normanda yang aktif menulis resensi dan kritik film, ia menyebut tidak semua film yang diangkat dari kisah nyata dapat dikategorikan sebagai film biopik. Sebut saja film bergenre horor dengan adegan sadis yang dialami korban pemerkosaan hingga pembunuhan tidak bisa serta merta dipromosikan sebagai horor mistik biopik.

“Tapi karena mistik adalah subjektif, nama korban bukan nama asli dan tidak melibatkan realitas sosial seperti perkosaan”.

Trakhir, soal riuhnya publik yang marah dan tak logis justru bisa menjadi agen iklan gratis bagi pihak pembuat film.

Jika kamu sudah cukup umur dan dewasa, kamu harus berpikir logis sebelum mengadili sebuah produk budaya yang terbit dengan keterlibatan banyak unsur: dari PH, lembaga sensor, dan bioskop. Kalau belum menonton filmnya, baiknya kamu menggunakan data sahih yang tersilang referensi untuk menentukan kebijakan atau opinimu. Jika tidak, jangan mengadili sebuah film atau produk budaya yang kamu tidak tonton. Baiknya bicarakan hal-hal fenomena yang kamu saksikan dan terverifikasi”.

Jadi bagaimana menurutmu Comms? Sebagai mahasiswa yang belajar tentang kajian film tertarik untuk menulis kritik film dengan perpektif akademis dan relevan?

Horor

Film horor menjadi genre paling diminati penonton Indonesia, terbukti dari 10 deretan film terlaris 3 diantaranya diisi genre tersebut. Sepanjang tahun 2024 saja setidaknya ada 12 film horor yang telah tayang di bioskop. Sineas Indonesia nampaknya berlomba-lomba untuk memenangkan pasar. Sayangnya, unsur religi yang menjadi jalan pintas seolah jadi strategi ampuh.

Menampilkan adegan komedi, seks, dan religi menjadi bentuk normalisasi film horor Indonesia. Jadi tak heran jika ketiga unsur tersebut tak boleh absen dalam proses produksinya. Namun belakangan kritik keras soal ritual ibadah dalam tren film horor dilayangkan oleh Gina S. Noer sutradara Indonesia.

“Kebanyakan film horor menggunakan sholat, doa, dzikir dan lain-lain Cuma jadi pilot devices murahan untuk jumpscare karakternya diganggu setan. Sehingga kelemahan iman bukan lagi menjadi eksploitasi kritik terhadap keislaman yang dangkal. Tapi cara dangkal biar cepat seram,” tulisnya pada story Instagram beberapa waktu lalu.

Meski kritik tersebut ramai-ramai dibagikan, nyatanya penikmat film horor dengan eksploitasi agama tak menurun. Tercatat film Siksa Kubur karya Joko Anwar ditonton lebih dari 4 juta penonton.

Horor adalah kata yang kuat. Kata ini membangkitkan perasaan benci, jijik, enggan, takut, dan teror. Peristiwa mengerikan terjadi di dunia kita setiap hari, jadi wajar saja jika peristiwa-peristiwa ini masuk ke dalam imajinasi kolektif kita melalui literatur, film, dan bentuk-bentuk seni dan wacana populer lainnya. (ISLE: Interdisciplinary Studies in Literature and Environment, Volume 21, Issue 3, Summer 2014)

Mempertimbangkan Genre Ecohoror

Salah satu tawaran solusi bagi sineas Indonesia untuk mengeksplorasi terhadap religiusitas disampaikan oleh salah satu dosen Ilmu Komunikasi UII, Khumaid Akhyat Sulkhan, S.I.Kom, M.A. ia berpendapat bahwa genre ecohorror bisa menjadi pilihan.

Terlebih Indonesia sebagai negara dengan polemic isu lingkungan tak terselesaikan genre ecohorror layak menjadi sarana edukasi dan mempromosikan kesadaran ekologis dan tentunya mempresentasikan krisis ekologis yang nyata.

“Di industri perfilman luar negeri, isu lingkungan dan cerita horor sudah sering dipertemukan dalam genre ecohorror. Genre ini mengacu pada cerita-cerita mengenai alam yang membalas perbuatan eksploitatif manusia,” tulisnya dalam laman The Conversation.

Ecohoror mampu mengeksplorasi cerita yang berhubungan antara manusia, alam, dan makhluk hidup lainnya. Sebut saja film Godzilla (1954)—monster yang bangkit akibat ledakan bom nuklir.

“Liputan Project Multatuli juga menegaskan alam sebagai entitas yang aktif. Pohon yang seolah menolak ditebang, batu yang tidak bisa dihancurkan, berikut kisah-kisah ganjil yang menyertainya, adalah fenomena-fenomena yang menunjukkan bahwa alam memiliki cara tersendiri untuk melawan gencarnya pembangunan infrastruktur oleh negara,” tambahnya.

“Hal ini menegaskan potensi ecohorror untuk dikembangkan di Indonesia sebagai alternatif dari tayangan horor yang terjebak dalam narasi agama. Riset tahun 2022 sudah membuktikan bahwa film horor merupakan salah satu genre terfavorit masyarakat kita. Sehingga, ecohorror sebagai sub-genre film horor punya peluang untuk diminati sebagaimana film-film hantu lainnya,” tandasnya.

Artikel selengkapnya dapat diakses melalui laman https://theconversation.com/ecohorror-alternatif-untuk-film-horor-religi-di-indonesia-229812

 

 

 

Polandia

Deretan tugas akademik dilakoni oleh Kaprodi Ilmu Komunikasi UII selama satu bulan di Krakow, Polandia. Pada minggu-minggu terakhir Iwan Awaluddin Yusuf, PhD. setidaknya menyelesaikan beberapa tugas tersebut mulai menjadi reviewer tamu dalam simposium hingga presenter di konferensi yang digelar Krakow University of Economics.

“Tiga kegiatan akan saya ikuti selama pekan terahir ini. Simposium (sebagai reviewer tamu), Konferensi ODDEA, dan Konfernsi internasional UEK beserta 3 negara penyelenggara. Saya insyaAllah menjadi presenter di konferensi yg ketiga ini,” ujarnya menjelaskan.

21st Four-Party Scientific Conference, Krakow University of Economics yang diselenggarakan pada 27 hingga 28 Mei 2024 mengangkat tema Contemporary Economy in the face of Economic, Social and Political Crises (Economic, Managerial, Social and Legal Aspects).

Konferensi tersebut merupakan program tahunan yang digagas oleh empat universitas yakni Krakow University of Economics, State University of Trade and Economic, University of Kragujevac, dan University of Messina.

Tema tersebut beririsan dengan berbagai permasalahan pada disrupsi industri media di Indonesia terutama krisis pasca pandemi Covid-19. Dalam kesempatan itu beliau menyampaikan materi bertajuk Beyond Boundaries: The Evolving Landscape of Indonesia’s Media Industry in the New Normal.

“Karena tema besar konferensinya “ekonomi di era krisis dan new normal”, saya ambil yang nyambung dengan fokus industri media di Indonesia dengan salah satunya bahas tutupnya media cetak itu dan kebangkitan model-model bisnis baru yang terus mencari bentuk di tengah ketidakpastian,” tambahnya.

Dalam presesntasi tersebut ada empat pembahasan pokok yakni terkait lanskap industri media di Indonesia, digitalisasi dan disrupsi media, pergeseran tren media, hingga rekomendasi untuk berinovasi dalam model bisnis media.

Sebelumnya beberapa artikel dan riset yang relate dengan topik juga pernah digarap sperti artikel berjudul Bagaimana COVID-19 Menciptakan Normal Baru Bagi Media dan Jurnalis yang terbit pada laman The Conversation serta proyek bersama SAGE yakni The SAGE International Encyclopedia of Mass Media and Society yang diedit oleh Debra Merskin.

Perjalanan Kaprodi Ilmu Komunikasi UII tersebut merupakan bagian dari hibah European Union di bawah proyek the Horizon Europe Framework Programme dengan judul Overcoming Digital Divide in Europe and Southeast Asia (ODDEA).

Praktiknya, ODDEA mengirim dosen Eropa ke salah satu negara di Asia Tenggara (Indonesia, Malaysia, Thailand) dan sebaliknya dosen Asia Tenggara dikirim ke salah satu negara Eropa (Poland, Montenegro, Slovakia).

 

Krakow

Salah satu dosen Prodi Ilmu Komunikasi UII berkesempatan terbang ke Krakow, Polandia untuk menjalankan berbagai tugas akademis. Iwan Awaluddin Yusuf, Ph.D. kini tengah menjalankan rangkaian program riset dan pertukaran peneliti Asia Tenggara dan Uni Eropa.

Perjalanan Kaprodi Ilmu Komunikasi UII tersebut merupakan bagian dari hibah European Union di bawah proyek the Horizon Europe Framework Programme dengan judul Overcoming Digital Divide in Europe and Southeast Asia (ODDEA).

Praktiknya, ODDEA mengirim dosen Eropa ke salah satu negara di Asia Tenggara (Indonesia, Malaysia, Thailand) dan sebaliknya dosen Asia Tenggara dikirim ke salah satu negara Eropa (Poland, Montenegro, Slovakia).

“Di negara-negara ini kami menjadi “tamu” di kampus setempat yang ditunjuk (pengusul hibah) sebagai “rumah” berkegiatan,” jelasnya.

Yuk Intip Apa Saja yang Dilakukan Pak Iwan di Polandia?

Selama 30 hari di Krakow, selain riset dan menulis laporan yang akan dipublikasikan, beliau juga berkesempatan mengikuti beberapa konferensi dan sesekali mengajar atau diminta masuk kelas sebagai dosen tamu. Hal ini dilakukan agar para kandidat memperoleh pengalaman baru, paparan tradisi akademik, dan jejaring internasional dari kedua wilayah untuk saling memahami, berkolaborasi, dan berbagi pengetahuan.

Polandia

Berdasarkan rancangan Program ODDEA akan dijalankan selama empat tahun dengan target berbeda dan berkelanjutan dengan fokus mengatasi kesenjangan digital. Dalam pelaksanaan program para peserta dikelompokkan menjadi dua kategori: peneliti senior dan junior. Peneliti senior mengikuti program selama satu bulan, sementara peneliti junior mengikuti program selama dua hingga tiga bulan di negara mitra.

“Kebetulan saya adalah peserta tahun kedua dengan kategori pertama sehingga insyaAllah tinggal kurang lebih 10 hari menyelesaikan program ini di Polandia sebelum kembali ke Indonesia. Universitas yang menaungi saya adalah Krakow University of Economics (UEK), yang berlokasi di kota Krakow. Kota yang pernah menjadi ibukota Polandia sebelum berpindah ke Warsawa pada awal abad ke-17,” tambahnya.

Menjelajahi Berbagai Kota dan Keunikannya

Selama tiga pekan di Krakow kesempatan menjelajah berbagai kota tentu tak dilewatkan. Hal ini dilakukan untuk mendukung riset yang dilakukan. Dari perjalanan tersebut beliau mengaku menemukan pengalaman baru terkait tradisi akademik dan kehidupan ekonomi, sosial, budaya, hingga kuliner dan lansekap kota.

Tatra Mountain, Foto: Iwan Awaluddin Yusuf

“Karena melihat adalah bagian dari observasi, maka saya juga selalu menyempatkan melihat-lihat suasana dan landmark kota Krakow. Apalagi traveling menjadi kegiatan sekunder yang diajurkan di sela-sela kegiatan utama,” jelas Kaprodi Ilmu Komunikasi UII.

Sudut-sudut kota Krakow menyimpan berbagai sejarah hingga romantisme yang menarik untuk dijelajahi. Deretan kota yang sudah dijelajahi beliau antara lain Old Town, Kazimier, Salt Mine, Tyniec, dan Wawel Castle. Tak hanya menjelajah wilayah kota, blusukan ke pasar-pasar tradisional juga menjadi pilihan yang tak kalah seru, tak lupa mampir ke Islamic Center untuk Solat Jumat. Sementara pada pekan terakhir rencananya akan mengunjungi Zakopane, daerah pegunungan Tatra Mountain yang sangat terkenal di Eropa Tengah.

Pengalaman tinggal di luar negeri memang bukanlan kali pertama untuk beliau, sebelumnya hampir 4 tahun di Australia kendala bahasa bukanlah sesuatu yang sulit. Sementara bahasa Inggris bukanlah bahasa pengantar utama, warga lokal menggunakan bahasa asli Polandia yang terkenal cukup rumit.

“Berinteraksi langsung dengan warga lokal yang mayoritas berbahasa Polandia dan tidak bisa berbahasa Inggris. Sekadar informasi Bahasa Polandia konon termasuk 3 besar bahasa paling sulit dipelajari dunia. Karena ada kata ganti gender yang kompleks seperti Bahasa Arab. Inilah yang menjadikan bahasa Polandia sangat unik. Menyebut nama Krakow saja akan banyak variasi penulisannya: Krakowiak, Krakowski, Krakowska, Krakowie, Krakowia, Cracow, Cracovia,” jelasnya.

“Polandia memiliki sejuta keunikan dan keramahan yang membuat betah tinggal lama, meskipun banyak tantangannya tersendiri. Ini semua cukup berbeda dengan pengalaman saya menjalani empat tahun perjalanan studi di Australia. Meskipun sama-sama negara empat musim, Polandia memiliki banyak perbedaan dibanding Australia, terlebih Indonesia. Di luar tentu saja banyak pula kesamaan-kesamaannya dan kejutan-kejutannya,” tandasnya.

TikTok

Artikel ilmiah berjudul Memes and Constructions of TikTok Culture in #DontPlayPlayBosku yang ditulis oleh Sumekar Tanjung, S.Sos, M.A. salah satu dosen Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII) telah terbit pada 15 Mei 2024 di Jurnal Studies in Media and Communication – RedFame.

Gagasan yang diungkapkan pada riset ini adalah, TikTok tidak hanya sekedar media sosial namun terdapat teks yang kompleks dan memetics. Selain memediasi dan memfasilitasi produksi video pendek, tetapi TikTok juga telah menjadi budaya. Sementara unggahan video di platform tersebut perharinya mencapai 35 milion menjadi kajian yang komprehensif.

Meme yang menjadi gagasan utama pada riset ini merupakan medium komunikasi sebagai bentuk ekspresi multipartisipan kreatif untuk menyampaikan identitas budaya dan politik yang mampu dinegosiasikan ternegosiasi. Namun di Bahkan TikTok telah melampaui itu, meme dikreasikan dengan secara remix atas gambar, video, audio, dan pesan. Dalam konteks budaya internet, meme menjadi artefak online yang disebarkan melalui peniruan, kompetisi, dan transformasi.

Jika sebelumnya meme hanya dianggap sebagai jokes, nyatanya meme memuat kritik sosial dan politik. Bahkan meme mampu membuat perubahan dan narasi publik baik secara langsung maupun online.

Terkait meme Don’t Play Play Bosku telah populer sejak tahun 2020 lalu, salah satu influencer Indonesia yakni Awkarin. Terlepas dari asumsi soal gaya hidup kelas atas yang dipamerkan oleh Awkarin, namun hal itu tak berarti mewakili kehidupan nyata dari influencer yang cukup berpengaruh di Indonesia.

Meme Don’t Play Play Bosku telah populer sejak 2020 lalu melalui influencer Indonesia, Awkarin.

“Dalam video pendek berdurasi 9 detik, Awkarin mengekspresikan ungkapan berbunyi, “Visi foya misi foya, visi misi foya foya. Don’t play play bosku.” Dengan dimaknai secara bebas, lelucon ini seolah mengajak pada siapapun yang menginginkan kepuasan materi, jangan membuang waktu, dan berlaku serius”.

“Kemudian “bosku” merupakan ekspresi informal. Beberapa orang di Indonesia mengatakan “siap bosku” alih-alih menjawab “OK” atau “OK boss”. Penggunaan istilah ini saat ini dapat dilekatkan kepada siapapun, tidak hanya kepada boss atau atasan tapi juga teman, orang yang lebih tua, sekedar untuk lucu-lucuan atau bercanda”.

Penelitian dilakukan dengan teknik pengambilan sampel puRposif dengan mencari tema-tema kaya informasi dan menangkap variasi analitik penting dalam fenomena. Dari 84.400 video, peneliti menyaring sampel 145 video kemudian mengambil 10 video yang mewakili dengan berbagai ketentuan memiliki kriteria yakni memiliki memperoleh likes lebih dari 50.000 likes dan 5.000 angka capaian shared. Hasil riset yang berfokus pada meme Don’t Play Play Bosku menunjukkan tiga klasifikasi tema yakni inadequacy (menjadi yang tidak memadai), metaphors and practice of playfulness (metafora praktik main-main), dan mental satire (sindiran kena mental).

“Temuan penelitian ini menegaskan bahwa konstruksi budaya TikTok pada pengguna terbentuk dari ritual bersama dalam peniruan dan replikasi. Mengkaji budaya TikTok semacam ini tidak dapat hanya mengacu pada analisis video secara tunggal, namun juga memerlukan analisis budaya TikTok sebagai platform partisipatif yang dibingkai algoritma”.

Penulis:

Sumekar Tanjung merupakan dosen Prodi Ilmu Komunikasi yang fokus dengan klaster riset Komunikasi Visual.

Studies in Media and Communication – RedFame

https://doi.org/10.11114/smc.v12i3.6842

 

Alumni

Alumni Ilmu Komunikasi UII yang berada di wilayah Jakarta dan sekitarnya menggelar event fun football sebagai ajang silaturahmi. Event bertajuk “Datang, Tendang dan Guyub” sukses mengumpulkan 28 alumni untuk bermain sepak bola bersama pada 18 Mei 2024 di STR Mini Soccer Arena Jalan Ampera, Cilandak, Jakarta Selatan.

Momen pertemuan alumni lintas generasi ini merupakan kegiatan pertama yang dilakukan di luar Yogyakarta. Tujuannya sederhana, yakni menjalin silaturahmi sebagai kesatuan alumni Ilmu Komunikasi UII.

Ridho Alfian Alumni Ilmu Komunikasi UII Angkatan 2014 selaku Ketua Panitia berharap selain ajang silaturahmi, ia berharap momen pertemuan ini menjadi ruang saling bertukar pengalaman dan membangun relasi yang lebih solid.

“Bahwa diharapkan dengan dimulainya kegiatan ini, adek-adek dan abang-abang bisa lebih saling mengenal kembali bahwa ada keluarga Komunikasi UII di Jakarta sebagai wadah pertemanan dan bertukar pengalaman dalam konteks apapun sebagai satu kesatuan almamater Keluarga Ilmu Komunikasi UII,” ujarnya.

Kegiatan ini disambut positif salah satu alumni angkatan 2011, Ramzy Hamzah berharap kegiatan ini terus berlanjut dan menjadi pertemuan rutin.

“Ajang kegiatan ini positif, harapannya bisa dilakukan rutin 2 bulan atau 3 bulan sekali, agar bisa lebih berkembang dan merangkul banyak temen-temen Komunikasi,” tambah Ramzy.

Seperti pertandingan pada umumnya, pertandingan fun football yang berlangsung selama 120 menit berjalan seru. Format 3 team dibagi dengann acak setiap pemaiin di angkatan, ini merupakan cara juga untuk memacu jalinan awal untuk mengenal satu sama lain yang terpaut jauh angkatannya.

Keseruan tersebut juga diungkapkan Rozi Ismawanto, alumni angkatan 2015 yang baru setahun di Jakarta itu mengungkap tak menyesal karena seru dan menambah relasi.

“Ya ku suka kali agenda-agenda mini soccer ini, rasanya senang ada keluarga Ilmu Komunikasi yang sudah lama tak jumpa, saling lebih mengenal dan mampu menjalin banyak relasi di setiap angkatan, apalagi buat aku pribadi sangat senang,” ujarnya.

Rencana pengurus dan panitia kegiatan olahraga selanjutnya akan dipersiapkan lebih matang dengan konsep yang lebih menarik dengan selingan diskusi hingga cabang-cabang olahraga lainnya.

 

Academic Leader

Salah satu dosen Prodi ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII) yakni Prof. Dr. rer. soc. Masduki, S.Ag., M.Si., MA terpilih sebagai peserta terbaik 2 Kategori Dosen Bidang Sosial Humaniora dalam Anugerah Academic Leader LLDIKTI Wilayah V pada 16 Mei 2024 di Yogyakarta.

Academic Leader (AL) merupakan bentuk anugerah dari Pendidikan Tinggi terkait Merdeka Belajar – Kampus Merdeka, dimana dosen sebagai pemimpin keilmuan yang visioner dan menginspirasi dosen muda dan mahasiswa melalui karya inovatif yang bermakna nyata baik secara akademik maupun kebermaknaan bagi pembangunan masyarakat dan bangsa.

“Kita bersyukur dari Prodi ada dosen yang mendapat apresiasi dari eksternal dalam hal ini LLDIKTI wilayah V yang menganugerahkan Academic Leader atau role model dalam pencapaian akademik,” ujar Prof. Masduki setelah menerima Anugerah Academic Leader.

Berawal dari Sekprodi Ilmu Komunikasi UII, Ratna Permata Sari, S.I.Kom, M.A. yang menunjuknya langsung untuk mewakili Prodi sebagai bentuk partisipasi.

“Bagi saya yang saya terima dari LLDIKTI tadi siang menurut saya mengejutkan karena saya berfikir hanya mengisi borang diminta oleh Pak Rektor kemudian juga Ibu Sekprodi semata-mata untuk berpartisipasi namun ternyata dinilai oleh tim dianggap menonjol (pencapaian akademik) dalam 5 tahun terakhir,” tambahnya.

Beliau menyebut jika beberapa kriteria penilaian meliputi karya-karya publikasi di jurnal, penulisan buku, hingga riset-riset dan yang paling utama adalah inovasi yang kita tekuni selama ini. Berdasarkan pengalaman Prof. Masduki, selain melakukan pekerjaan utama sebagai pengajar di kampus beliau juga melakukan berbagai pekerjaan di luar kampus yang mampu meningkatkan kompetensi.

“Jadi kalau boleh saya ceritakan bahwa apa yang saya kerjakan baik di kampus di luar kampus beberapa tahun terakhir terhubung dengan kompetensi sebagai peneliti dalam bidang media dan jurnalisme yang itu tidak semata-semata hanya mengajar di kelas tapi juga memberikan pelatihan, memberikan pengembangan untuk teman-teman dosen yang lain dalam hal publikasi dan saya terlibat dalam beberapa riset yang berkaitan dengan media dan jurnalisme yang muaranya bukan hanya publikasi tapi juga berupa draft rancangan undang-undang dan proses advokasinya hingga komisi 1 DPR itu yang disebut pengabdian masyarakat yang berdampak bagi kebijakan,” tandasnya.

Dengan adanya program apresiasi ini harapannya pada tahun-tahun selanjutnya dosen-dosen dari Prodi Ilmu Komunikasi UII bisa turut berpartisipasi dan meraih penghargaan yang sama atau lebih tinggi lagi.

“Pemilihan Pak Masduki itu langsung, karena saya berfikir beliau yang paling tepat dan itu benar-benar bertepatan pada momen Idul Fitri. Alhamdulillah beliau bersedia,” ungkap  Sekprodi Ratna Permata Sari, S.I.Kom, MA.

pelanggaran akademis

Kasus pelanggaran akademis di tingkat universitas menjadi perbincangan hangat di kalangan akademisi hingga publik. Kasus ini perlu mendapat perhatian dan solusi karena merugikan pemerintah dan rakyat.

Dari investigasi yang dilakukan The Conversation Indonesia, Tempo, dan jaring.id, pelanggaran akademis yang terjadi pada tingkat universitas antara lain plagiarisme, kepengarangan yang tidak sah (ghostwriting dan paper mill), fabrikasi dan falsifikasi (pemalsuan data), pengajuan jamak, hingga konflik kepentingan penerbitan karya ilmiah yang bertujuan menguntungkan atau merugikan pihak tertentu.

Akibat palanggaran tersebut, tiga bulan pertama di tahun 2024 sebanyak 27 artikel ilmiah penulis Indonesia diretraksi atau dicabut dari laman penerbitan.

Beberapa bulan terakhir, deretan nama dosen dipecat dari institusi karena ketahuan melakukan pelanggaran akademis. Melansir dari jaring.id, pihak rektorat salah satu universitas swasta di Banten mengumumkan pencopotan Kepala Riset dan Pengabdian Masyarakat (dosen berusia 33 tahun) karena terbukti artikelnya yang dimuat pada Journal of Tourism and Attraction Vol 11 nomor 1 yang terbit tahun 2023 mencatut data dari mahasiswa Pascasarjana Universiti Malaya, Malaysia, Ghozian Aulia Perdana. Merasa dirugikan, mahasiswa tersebut mengunggah kecurangan tersebut.

Kejanggalan terjadi karena dosen berusia 33 tahun itu memiliki produktivitas tinggi dalam menghasilkan jurnal. Dalam setahun puluhan jurnal berhasil diproduksi dengan rata-rata 1-2 jurnal setiap bulannya. Kondisi ini diragukan oleh rekan sejawatnya, mengingat beban dosen cukup tinggi mulai dari mengajar, bimbingan mahasiswa, hingga pengabdian.

Tak hanya itu, melansir dari The Conversation Indonesia, pelanggaran akademik juga mewarnai perjalanan akademisi menuju guru besar. Hal ini berkaitan karena posisi guru besar adalah pencapaian jabatan akademik tertinggi yang mempengaruhi akreditasi bagi perguruan tinggi.

Sementara salah satu syarat untuk meraih gelar guru besar cukup kompleks, salah satunya adalah menerbitkan karya ilmiah dalam jurnal internasional bereputasi.

Mengapa Pelanggaran Akademis Terjadi?

Pelanggaran akademis terjadi karena berbagai faktor, mulai dari tarik menarik antara neoliberalisme, otoritarianisme, dan demokrasi pendidikan tinggi di Indonesia (Masduki dalam laman the Conversation).

Karier dosen atau akademisi bergantung pada angka kredit penilaian di mana hal ini dibentuk oleh negara melalui Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 1 2023. Dalam peraturan tersebut, angka kredit dapat dicapai melalui beberapa kegiatan antara lain pengajaran, penelitian, pengabdian masyarakat, dan publikasi jurnal ilmiah.

Alasan kedua, terkait dengan mental akademisi Indonesia yang dianggap tak siap dengan budaya penerbitan jurnal. Dan terakhir pengaruh ekosistem akademis di Indonesia yang kurang mendukung iklim penelitian dan penulisan.

Terlepas dari beberapa alasan tersebut, dosen Prodi Ilmu Komunikasi UII Holy Rafika Dhona, S.I.Kom., M.A. berrgumen bahwa plagiasi berkaitan dengan praktik menyalin dalam masyarakat berbudaya tutur hingga risiko kultur meniru di kampus.

“Pelanggaran akademis itu, misalnya plagiasi punya sejarahnya. Dia punya relasi dengan kultur akademis, kultur menulis, intinya kultur pengetahuan di kampus,” ujarnya.

“Bagaimana pengetahuan/ilmu dipahami (termasuk dikomunikasikan lewat buku, diktat, modul, dan jurnal ilmiah),” tambahnya.

Kampus sebagai tempat transmisi pengetahuan menganggap mahasiswa yang sukses ketika mampu menghafal pengetahuan yang diajarkan. Sehingga menyalin isi buku dianggap penting dan hal biasa. Kasus ini terjadi pada Hamzah Ya’qub, pendiri Universitas Islam Syekh Yusuf (UNIS). Tahun 1973 ia mempublikasikan buku berjudul Publisistik Islam: Seni dan tekni Dakwah. Menariknya tahun 1986 bukunitu disalin dan dipublikasikan orang lain dengan judul Komunikasi Islam: Dari Zaman ke Zaman. Penulis buku kedua tidak memberikan atribusi pada Ya’qub, namun hingga kini taka da isu plagiasi terkait kemiripan dua buku tersebut. (Holy Rafika Dhona, The Conversation)

Jalan Keluar untuk Menghentikan Pelanggaran Akademis

Untuk menyelesaikan persoalan ini, dibutuhkan komitmen dari pemerintah dan perguruan tinggi. Selain itu keterlibatan berbagai pihak untuk mengangkat dan memproses secara kolektif perlu dilakukan dengan melibatkan jurnalis dan akademisi. Karena kultur di Indonesia “No viral, no justice” maka melibatkan media untuk menyebarluaskan informasi mesti dilakukan.

“Jadi pelanggaran itu tidak hanya butuh solusi adanya kode etik, perbaikan sistem kinerja dosen, tapi juga perubahan kultur,” tandasnya.

Artikel ini ditulis dalam rangka memeperingati Hari Pendidikan Nasional 2024, harapannya catatan ini selain memberikan pengetahuan terkait pelanggaran akademis juga bisa membawa setitik perubahan pada dunia akademis yang terkadang serampangan.

 

Penulis: Meigitaria Sanita

Kebebasan Pers

3 Mei 2024 diperingati sebagai Hari Kebebasan Pers Sedunia atau World Press Freedom Day. UNESCO merilis tema “A Press for the Planet: Journalism in the face of the Environmental Crisis” yang menyoroti jurnalisme dalam menghadapi krisis lingkungan.

Momen ini merupakan dukungan besar bagi para jurnalis di seluruh dunia dalam pemberitaan krisis lingkungan global. Pentingnya jurnalisme dan kebebasan berekspresi mampu membawa perubahan dan solusi pada kondisi ini.

Antonio Guterres selaku Sekretaris Jenderal PBB menegaskan dalam pidatonya soal kondisi lingkungan yang darurat.

“Dunia sedang mengalami keadaan darurat lingkungan yang belum pernah terjadi sebelumnya dan menimbulkan ancaman nyata bagi generasi sekarang dan mendatang,” ujarnya dalam kanal YouTube UNESCO.

Melalui kerja-kerja jurnalis masyarakat akan memahami penderitaan planet kita hingga memobilisasi serta diberdayakan untuk mengambil tindakan demi perubahan.

“Media lokal, nasional, dan global dapat menyoroti berita tentang krisis iklim, hilangnya keanekaragaman hayati, dan ketidakadilan lingkungan. Melalui pekerjaan mereka, masyarakat menjadi memahami penderitaan planet kita, dan dimobilisasi serta diberdayakan untuk mengambil tindakan demi perubahan,” tambahnya.

Kebebasan pers menjadi kunci utama dalam membawa lingkungan semakin baik. Sementara kondisi dan keselamatan jurnalis tak selalu menguntungkan.

“Tidak mengherankan jika sejumlah orang, perusahaan, dan lembaga berpengaruh tidak melakukan apa pun untuk menghalangi jurnalis lingkungan melakukan pekerjaannya. Kebebasan media sedang terkepung. Dan jurnalisme lingkungan hidup adalah profesi yang semakin berbahaya. Sejumlah jurnalis yang meliput pertambangan ilegal, pembalakan liar, perburuan liar, dan isu-isu lingkungan lainnya telah dibunuh dalam beberapa dekade terakhir. Dalam sebagian besar kasus, tidak ada seorang pun yang dimintai pertanggungjawaban,” tambahnya.

Data dari UNESCO menyebutkan selama lima belas tahun terakhir tercatat 750 serangan terjadi kepada jurnalis dan kantor berita yang melaporkan isu-isu lingkungan hidup. Ironisnya proses hukum juga disalahgunakan untuk menyensor, membungkam, menahan, dan melecehkan jurnalis lingkungan.

Rekomendasi Buku Jurnalisme Lingkungan

Salah satu rekomendasi buku yang layak dibaca dan mendukung riset dalam kajian ini adalah buku berjuduk Jurnalisme Warga, Radio Publik dan Pemberitaan Bencana yang digarap oleh beberapa dosen Prodi Ilmu Komunikasi UII, Muyazin Nazaruddin, S.Sos., M.A, dan Dr. Zaki Habibi., M.Comms. yang bekerja sama dengan Radio Republik Indonesia (RRI), serta Jalin Merapi.

Buku ini menjelaskan terkait ketidakpastian informasi pasca bencana erupsi Gunung Merapi. Masifnya informasi pasca bencana membawa banyak media penyiaran berlomba-lomba mengeksploitasi dampak bencana yang justru menimbulkan keresahan masyarakat. Kondisi tersebut menandakan pentingnya media alternatif yang memberitakan bencana untuk memberi perspektif yang berbeda.

Dari isu tersebut, penulis menagaskan bahwa praktik jurnalistik yang dilakukan merupakan jurnalisme alternatif dengan argument memegang beberapa prinsip, yakni prinsip dasar pemberitaan bencana yakni akurasi, prinsip kemanusiaan atau berangkat dengan perspektif korban dan warga setempat, prinsip komitmen menuju rehabilitasi, serta prinsip control atas bantuan bencana.

Selain buku tersebut ada pula buku yang berkaitan dengan isu lingkungan, bencana, kebebasan pers seperti Jurnalisme di Cincin Api: Tak Ada Berita Seharga Nyawa, Mengatur Kebebasan Pers, Komunikasi Lingkungan: Penanganan Kasus-kasus Lingkungan Melalui Strategi Komunikasi, dan Komunikasi Bencana.

Selengkapnya dapat diakses melalui laman https://communication.uii.ac.id/nadim/

Atau dapat mengunjungi ruang NADIM dan membaca langsung koleksi buku-bukunya.

Dosen Ilmu Komunikasi

Bagi mahasiswa yang tertarik dengan kajian Jurnalisme dan Media dapat memantau beberapa riset yang dilakukan oleh beberapa dosen Prodi Ilmu Komunikasi UII. Berikut daftar nama dosen beserta daftar klaster riset.

https://communication.uii.ac.id/dosen/#top

 

Kunjungan

Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII) menerima kunjungan dari SMK Islam PB. Soedirman 1 Jakarta pada Kamis, 2 Mei 2024 di Auditorium FPSB.

Sebanyak 81 siswa dari program keahlian Desain Komunikasi Visual (DKV) bersama 11 guru pendamping bertandang ke Yogyakarta untuk memberikan pengalaman dan pengetahuan terkait dunia perkuliahan. Prodi Ilmu Komunikasi UII dipilih karena jurusan ini memiliki irisan dengan program keahlian DKV.

Kepala Sekolah SMK Islam PB Soedirman 1, Sugiarti, M.Pd. menjelaskan bahwa para siswa mengunjungi beberapa kampus di luar Jakarta, selain untuk wawasan akademik juga bertujuan untuk mengasah kemandirian siswa. Menurutnya, banyak dari siswa-siswanya yang tak ingin jauh dari Kota Jakarta.

Kedatangan tersebut disambut gembira oleh pihak Prodi Ilmu Komunikasi UII, Ratna Permata Sari, S.I.Kom, M.A. selaku sekretaris program yang kemudian memberikan gambaran terkait dunia perkuliahan di jurusan Ilmu Komunikasi UII.

Sharing session

Beliau menyebutkan berbagai aktivitas mahasiswa mulai kegiatan akademik hingga non akademik seperti berbagai organisasi dan komunitas yang ada di Prodi Ilmu Komunikasi UII. Untuk mendukung aktivitas tersebut tersedia fasilitas mulai dari laboratorium Fotografi dan Multimedia, Lab TV & Podcast, ruang produksi Ikonisia TV, hingga PDMA Nadim.

“Sebenarnya di Ilmu Komunikasi ada beberapa laboratorium tapi ada di Gedung yang beda. DI sini adalah dedung fakultas lebih banyak ruangan kelas kalau di gedung komunikasi sebagai kantor administrasi dan laboratorium, mohon maaf kami belum bisa mengajak karena gedungnya agak kecil, jadi kalau datang sebanyak ini jadi kita menunggu menjadi mahasiswa UII saja,” ucapnya dengan penuh tawa kepada para siswa.

Selain menawarkan program regular, sejak tahun 2018 Prodi Ilmu Komunikasi UII juga mendirikan International Program Communication (IPC). Kelas berbahasa Inggris ini memiliki berbagai program unggulan dengan skala internasional mulai dari student exchange, Passage to Asean, dan berbagai program lainnya.

“Ilmu Komunikasi UII tidak hanya punya program regular, tapi juga punya International Program Communication (IPC) yang sudah berdiri pada tahun 2018, saat ini hampir tiga angkatan lulus,” ujar Ida Nuraini Dewi Kodrat Ningsih, S.I.Kom., M.A. selaku sekretaris IPC.

“Program rutin kita adalah P2A atau Passage to ASEAN. Itu adalah program di bawah naungan Asosiasi Passage to ASEAN yang dulu sekretariatnya ada di Thailand sekarang di Vietnam. Tujuannya adalah memberi kesempatan kepada mahasiswa antar negara di ASEAN untuk saling belajar culture bahkan edukasi dalam konteks akademik,” tambahnya lagi.

Kunjungan tersebut berlangsung seru dengan antusiasme dari para siswa. Kegiatan ditutup dengan berbagai games serta foto bersama antara jajaran Prodi Ilmu Komunikasi UII dan pihak SMK Islam PB Soedirman 1 Jakarta.