Reading Time: 2 minutes

On July 24, 2020, Sorlihah Pohleh was present as a speaker at the Teatime talk show. In this fifth episode, the event theme was “Being International Student and How to Conquer the World.” Sorlihah, who is from Pattani, Thailand, is an alumni of the Communication Science Department of Universitas Islam Indonesia. She was speaking live on Instagram of International Program of Communications Science Department (@ip.communication.uii).  This 2015 class year student shared her experience as a foreign student at UII and how she adapted to the new environment.

Studying abroad is one of Sorlihah’s dreams. Initially she did not think of choosing to study in Indonesia. At that time Sorlihah had become a student at Fatoni University (FTU) Thailand. She got information about scholarships to study abroad from one of his lecturers. Coincidentally there is a scholarship offer from UII that is just running an international scholarship program.

Sorlihah finally ventured to try. She followed the advice to register for a scholarship at UII. At first she was hesitant in choosing a major in economics or communication major. However, because the communication department was one of the rare majors in Thailand, the lecturer again suggested her to choose Communication Major. In addition, her decision to choose UII was due to the good campus environment and culture. The implementation of Islamic culture in UII such as prayer in congregation, similar to the culture in Pattani, Thailand. She feels safer and adaptable.

Pattani area is identical with Malay. Malay language is their daily language. Pattani’s location in the southern part of Thailand makes people there use Thai language less frequently. This made Sorlihah could learn Bahasa easily. Despite, the Malay language is not much different from the Indonesian language. In addition, she also tried to be active when gathering with friends so she could quickly master Indonesian and was no longer constrained by language.

Sorlihah claimed not to have encountered so many obstacles while living in Indonesia. It was because of the friendliness of Indonesians, especially Jogja’s people. “I just enjoy what is in Indonesia. Because Indonesians are friendly, so it’s not difficult to adapt and deal with people,” she explained in the Instagram live program.

Staying away from parents certainly changes a lot of things. Such as having to manage their own expenses and face the homesick. She said that she would usually get a homesick when there is a problem or think of an allowance. Even so, she can quickly overcome it by meeting friends from Thai who are both struggling.

She sticks to her mother’s advice. Sorlihah should became more determined to try new things while in Indonesia, “To deal with new things, I remember my mother’s word to just try it first. Try it first to know whether it’s good or not. So later we can deduce which is good and not.”

Continue to the next Article: Teatime 5: How to adapt to food, friends, and language obstacle

——–

Writer: Fitriana Ramadhany (Student of Communication Major of UII, Internship at International Program of COmmunication Science Department UII)

Editor: A. Pambudi W

Reading Time: 2 minutes

Lanjutan dari Teatime #5: Lika-Liku Menjadi Mahasiswa di Luar Negeri (1)

Menurutnya, hal terberat selama beradaptasi di luar negeri adalah dari segi pertemanan. Saat tahun pertama masih terkendala pada bahasa, ia merasa tidak bisa banyak mengobrol. Selama perkuliahan pun Sorlihah mengaku hanya bisa diam saja. Namun, semakin lama tingal di Indonesia, ia mulai merasa betah karena telah memiliki teman akrab. Termasuk teman-teman dari Thailand yang juga berkuliah di UII.

“Kebetulan waktu itu ada teman yang mulai ngajak ngobrol, jadi bukan cuma aku yang berusaha beradaptasi di lingkungan baru. Mereka juga ada yang mau beradaptasi dengan mengobrol. Lama-lama jadi banyak teman yang mau bantu, terutama saat semester tiga,” ujarnya.

Sorlihah juga membagikan pengalamannya saat beradaptasi dengan makanan di Indonesia. Ia berkata bahwa beradaptasi dalam hal makanan tak kalah sukar, terutama nasi. Nasi di Indonesia yang cenderung lebih lembek berbeda dengan nasi di Thailand.

Makanan di Thailand yang kebanyakan asin dan pedas pun berbeda dengan makanan di Jogja yang manis. Meski awalnya kesulitan memilih makanan yang sesuai selera, Sorlihah mulai menemukan makanan di Indonesia yang ia sukai. Ketika ditanya oleh Annisa Putri Jiany, selaku pembawa acara, tentang makanan Jogja yang pertama kali disukai Sorlihah, ia mengaku bahwa menu ayam kecap dan seblak adalah makanan favoritnya.

Hal di Indonesia yang membuatnya tak berhenti kagum adalah pendidikan pondoknya. “Anak-anak pondok di sini (Indonesia) keren banget. Mereka bisa menguasai banyak bahasa, terutama bahasa inggris dan arab,” ujarnya dengan antusias. Sorlihah sendiri di samping kuliah, juga tinggal di pondok yang disediakan kampus: Pondok Pesantren UII. Kuliah pondok yang diikuti Sorlehah tidak jauh berbeda dengan rutinitas pondok pada umumnya, ada pembelajaran agama dan bahasa yang diadakan diluar jam perkuliahan. Meski rutinitas itu membuat jadwalnya semakin padat, Sorlihah tetap mengikuti kurikulum yang berlaku dengan hati ringan hingga kelulusan.

UII memiliki peraturan bagi mahasiswa asing yang berkuliah dan mendapat beasiswa di UII. Mereka harus untuk tinggal di Pondok Pesantren UII. Angkatan Sorlihah pada saat itu adalah angkatan pertama diberlakukannya peraturan tersebut. Namun, seiring banyaknya mahasiswa asing yang masuk di UII, peraturan tersebut berangsur berubah. “Kalau untuk angkatan bawahku sekarang ini udah nggak wajib di pondok lagi. Karena banyak teman-teman dari Thailand yang kesulitan mengikuti kurikulum pondok. Jadi, sekarang mereka bisa bebas memilih tinggal di luar pondok,” jelasnya.

“Apa tips dan trik dari Sorlihah buat kuliah ke luar negeri?” tanya Jiany, nama panggilan akrab pembaca acara. Sorlihah mengatakan hal pertama yang paling penting adalah niat.  Perlu untuk menyiapkan hati, dan menguatkan niat. Menurutnya, niat yang kuat akan membuat diri tidak mudah menyerah dan mundur ketika ada masalah.

Kedua adalah riset, mencari tahu tentang budaya dan bahasa negara yang akan dituju. Seperti makanan di negara tujuan, apa saja yang perlu diurus ketika berangkat, dan sebagainya. “Aku juga tanya ke saudaraku tentang Indonesia itu bagaimana. Jogja itu bagaimana. Saudaraku juga memberitahu tentang budaya salaman dan bahasa. Kalau bahasa nggak beda jauh, jadi nggak terlalu panik,” ungkap Sorlihah.

Pungkasan, Sorlihah menyampaikan pesan untuk teman-teman yang ingin kuliah di luar negeri, “Jangan cepat menyerah, setiap kesulitan pasti ada kemudahan. Allah tidak akan memberikan cobaan di luar kemampuan hambanya.”

——

 

Penulis: Fitriana Ramadhany (Mahasiswa Komunikasi UII, Magang di International Program of COmmunication Science Department UII)

Penunting: A. Pambudi W.

 

Reading Time: 2 minutes

Pada 24 Juli 2020, Sorlihah Pohleh hadir sebagai pembicara di acara bincang-bincang Teatime di episode lima. Acara kali ini yang bertema Being International Student and How to Conquer The World. Sorlihah, yang  berasal dari Pattani, Thailand, ini adalah alumni Program Studi Ilmu Komunikasi UII. Melalui live di Instagram Komunikasi Internasional Program (@ip.communication.uii), mahasiswa angkatan 2015 ini membagikan pengalamannya sebagai mahasiswa asing di UII dan cara ia beradaptasi di lingkungan baru.

Kuliah di luar negeri adalah salah satu impian Sorlihah. Awalnya ia sama sekali tidak terpikir untuk memilih kuliah di Indonesia. Sorlihah pada saat itu telah menjadi mahasiswa di Fatoni University (FTU) Thailand. Ia mendapatkan informasi tentang beasiswa kuliah di luar negeri dari salah satu dosennya. Kebetulan ada penawaran beasiswa dari UII yang baru menjalankan program beasiswa internasional.

Sorlihah pun akhirnya memberanikan diri mencoba. Ia mengikuti saran mendaftar beasiswa di UII. Pada awalnya ia bimbang memilih program studi ekonomi atau komunikasi. Namun, karena jurusan komunikasi termasuk jurusan yang langka di Thailand, dosennya pun kembali menyarankan Sorlihah untuk memilih Komunikasi. Selain itu, keputusannya untuk memilih UII karena lingkungan dan budaya kampus yang baik. Penerapan budaya islam di UII seperti sholat berjamaah, mirip dengan budaya yang ada di Pattani, Thailand. Ia merasa lebih aman dan mudah beradaptasi.

Daerah Pattani identik dengan Melayu. Bahasa melayu adalah bahasa keseharaian. Letak Pattani yang berada di bagian Thailand Selatan membuat penduduk lebih jarang menggunakan bahasa Thai. Hal ini justru yang memermudah Sorlihah dalam memelajari bahasa Indonesia selama di UII. Pasalnya, bahasa Melayu tak jauh berbeda dengan bahasa Indonesia. Selain itu, ia juga berusaha aktif saat berkumpul dengan teman-teman agar bisa cepat menguasai bahasa Indonesia dan tidak lagi terkendala bahasa.

Sorlihah mengaku tidak begitu banyak menemui kendala selama tinggal di Indonesia. Terutama karena keramahan orang Indonesia, khususnya warga Jogja. “Selama di Indonesia aku menikmati saja apa yang ada. Betah. Karena orang Indonesia ramah, jadi nggak kesulitan untuk beradaptasi dan menghadapi orang-orang,” jelasnya dalam Instagram live tersebut.

Tinggal jauh dari orang tua tentu mengubah banyak hal. Seperti harus mengatur pengeluaran sendiri dan menghadapi homesick. Ia mengatakan bahwa ia biasanya akan terkena homesick ketika ada masalah atau memikirkan uang saku. Meski begitu, ia cepat bisa mengatasinya dengan bertemu teman-teman yang sedang sama-sama berjuang.

Berbekal nasihat ibunya, Sorlihah pun menjadi lebih mantap untuk mencoba hal baru selama di Indonesia, “Untuk menghadapi hal baru, aku ingat kata ibu untuk coba aja dulu. Coba aja dulu untuk tahu itu baik atau tidak. Jadi nanti bisa menyimpulkan mana yang baik dan enggak-nya.”

Berlanjut ke: Teatime 5: Adaptasi Bahasa, Makanan, dan Pertemanan di Luar Negeri

——–

Penulis: Fitriana Ramadhany (Mahasiswa Komunikasi UII, Magang di International Program of COmmunication Science Department UII)

Penunting: A. Pambudi W.

Reading Time: 2 minutes

Annual Globalization Workshop by International Program of Communication Science Department Universitas Islam Indonesia

This workshop is an annual workshop organized by International Program of Communication Science Department, Universitas Islam Indonesia.Through this workshop it is expected that students and participants who attend the workshop will be able to get an overview and more understanding about globalization, especially in the current situation.

In this first session, the workshop will be titled The Future Globalization, which will be filled by:

 

SPEAKER

Assoc. Prof. Dr. Huey Rong Chen

(Graduate School of Journalism, Chinese Culture University, Taiwan)

 

Dr. rer soc. Masduki, M.Si., M.A

(Department of Communication Science, Universitas Islam Indonesia)

MODERATOR

Herman Felani Tandjung

(Department of Communication Science, Universitas Islam Indonesia)

SCHEDULE

Thursday, 23 July 2020
at 1pm to 3.30 pm (UTC +7)

Via Google Meet

REGISTRATION

Please fill out this form to participate in this workshop:

Reading Time: 3 minutes

Continued from previous writting entitled History Of UI’s Communication Dept.

Haryanto managed to collect UI Communication Department data from various sources. For example the data of Professor of Communications at UI and his dissertation, changes in names and faculties, and keenly seeing the tendency of social sciences in Indonesia due to the tight supervision of the Soeharto New Order.

In the discussion via zoom conference video application also emerged several new facts that were completed from the participants who were mostly speaking as UI academics. For example Ade Armando, Pinckey Tri Putra, Nina Muthmainnah. There are also I Gusti Ngurah from UGM, Masduki from Communication Science Department of UII and others.

“This is a preliminary search. It only opens doors and hopefully my talk will provoke other campuses to also explore the same data so we can see,” Haryanto said.

Other facts, for example, “Why does UGM only have one professor / professor? I haven’t checked further. Hasanuddin University (unhas) has at least quite a lot. This means it’s interesting, Unhas is younger, there are already many professors. UGM is older, how come I only have two professors? “Is this administrative or what? UGM should answer.” said Haryanto. “UI even though it is younger, but has 12 professors. Why? Let’s examine it further,” he said.

I Gusti Ngurah answered, as a UGM lecturer, this fact could have happened because of stagnation in the 80s. At that time the Chair of the UGM Communication Department was stagnant. He served too long and many lecturers did not continue their studies. It was only in the late 80-90s that a new generation of renewed spirits emerged.

Is There Indonesian School of Communication?

Masduki from Communication UII also asked, “as far as observation until now, whether the phenomenon of two academic camps in UI: positivist-empirical-quantitative developmentalist vs. critical-normative-qualitative in the last twenty years and then productively produced a scientific synthesis / approach this new study of communication that is uniquely Indonesian or continues as an open or latent scientific confession? ”

There is no final answer. But Pinckey Tri Putra tried to answer. He said, until now there has not been

the formulation as mentioned by Masduki as a typical Indonesian scientific communication study at UI. The UI is still far away, he said. He still continues to process and develop. According to him, this process has not yet found anything unique to Indonesia.

Yus Ariyanto, one of the participants, also asked. “It seems that (almost) all UI communication professors were born from publicist / mass communication” wombs. What’s with the realm of public relations or advertising? ” he asked.

“In the early 1980s, there was a specialization in Public Relations, Advertising. Mass Communication, and Development Communication. Then Development Communication was abolished. Later the interest in Journalism developed. Mass Communication turned into Media Studies,” Nina said. He, and Haryanto wanted to say, that this could have happened because there was a great influence on the thoughts brought by his lecturers. For example, earlier explained the great influence of Prof. Dedy Nur Hidayat with his critical thinking.

Historical Research and Reading Archive Guide

In this study of the history of communication, it can follow a very basic guide. Luthfi Adam, speaker of the first session of the AES Forum said, we can use a very basic historical research guide through a book by Mary Lynn Rampola entitled “A Pocket Guide to Writing in History.”

As for the guide to reading the archive, “you can use the book” Allure of the Archive “by Arlette Ferge. If the guide is conducting research on humanities try to check” How to Write a Thesis “by Umberto Eco,” explained Lutfi in the Zoom Chat feature. He at last tries to complete the discussion the research of history of communication.

Reading Time: 2 minutes

Lanjutan dari Sejarah Jurusan Komunikasi UI (1)

Haryanto berhasil mengumpulkan data-data Komunikasi UI dari beragam sumber. Misal data guru-guru besar Profesor Komunikasi di UI beserta disertasinya, perubahan nama dan fakultas, dan tajam melihat kecenderungan tidak tajamnya ilmu sosial di Indonesia karena ketatnya pengawasan Orde Soeharto.

Dalam diskusi via aplikasi video konferensi zoom ini juga muncul beberapa fakta-fakta baru yang dilengkapi dari para peserta yang mayoritas bicara sebagai akademisi UI. Misalnya Ade Armando, Pinckey Tri Putra, Nina Muthmainnah. Ada juga I Gusti Ngurah dari UGM, Masduki dari Komunikasi UII dan lain-lain.

“Ini adalah penelusuran awal. ini hanya membuka pintu-pintu dan mudah-mudahan omongan saya akan memancing kampus-kampus lainnya juga menggali data yang sama sehinga kita bisa melihat,” kata Haryanto.

Fakta lain misalnya, “Kenapa UGM baru punya satu profesor/ guru besar? Saya belum cek lebih jauh. Unhas minimal ada cukup banyak. Artinya ini kan menarik, Unhas lebih muda, udah banyak profesor. UGM yang lebih tua, kok baru punya dua profesor. Apakah ini adminsitatif atau apa? UGM yg harus menjawab.” kata Haryanto. “UI padahal lebih muda, tapi punya 12 profesor. Kenapa? Mari teliti lebih jauh,” ajaknya.

I Gusti Ngurah menjawab, sebagai dosen UGM, fakta ini terjadi bisa saja karena terjadi kemandegan pada era 80an. Saat itu Ketua Jurusan Komunikasi UGM stagnan. Ia menjabat terlalu lama dan banyak dosen tidak meneruskan studi. Barulah di generasi muda akhir 80-90an muncul hawa baru semangat pembaruan.

Adakah Komunikasi Mazhab UI atau Indonesia

Masduki dari Komunikasi UII juga sempat bertanya, ” sejauh pengamatan hingga sekarang, apakah fenomena dua kubu akademik di UI: positivis-empiris-kuantitatif developmentalis vs. kritis-normatif-kualitatif ini dalam dua puluh tahun terakhir kemudian secara produktif melahirkan suatu sintesis keilmuan/pendekatan kajian komunikasi baru yang khas Indonesia atau ini tetap berlangsung sebagai konflk mazbah keilmuan yang terbuka atau laten?”

Belum ada jawaban final. Namun Pinckey Tri Putra mencoba menjawab. Ia mengatakan, sampai saat ini belum ada rumusan yang seperti disebut Masduki sebagai kajian keilmuan komunikasi khas indonesia di UI. UI masih jauh, katanya. Ia masih terus berproses dan berkembang. Menurutnya, proses ini belum menemukan sesuatu yang khas Indonesia.

Yus Ariyanto, salah satu peserta, juga bertanya. “Kayaknya (hampir) semua guru besar komunikasi UI lahir dari “rahim” publisistik/komunikasi massa. Ada apa dengan ranah hubungan masyarakat atau periklanan?” tanyanya.

“Pada awal 1980, terdapat peminatan Humas, Periklanan. Komunikasi Massa, dan Komunikasi Pembangunan. Kemudian Komunikasi Pembangunan ditiadakan. Belakangan berkembang peminatan Jurnalisme. Komunikasi Massa berubah menjadi Kajian Media,” kata Nina menjawab. Ia, dan Haryanto ingin mengatakan, bahwa hal ini bisa saja terjadi karena ada pengaruh yang besar dari pemikiran yang dibawa dosen-dosennya. Misalnya sebelumnya dijelaskan pengaruh besar Prof. Dedy Nur Hidayat dengan pemikiran kritisnya.

Panduan Riset Sejarah dan Membaca Arsip

Dalam studi sejarah komunikasi ini, bisa merunut panduan yang sangat mendasar. Luthfi Adam, pembicara Forum AES sesi pertama mengatakan, kita bisa menggunakan panduan riset sejarah yang sangat mendasar lewat buku karya Mary Lynn Rampola berjudul “A Pocket Guide to Writing in History.”

Sedangkan untuk panduan membaca arsip, “bisa pakai buku “Allure of the Archive” karya Arlette Ferge. Kalau panduan melakukan riset humanities coba cek “How to Write a Thesis” karya Umberto Eco,” jelas Luthfi dalam kolom Chat fitur aplikasi Zoom mencoba melengkapi diskusi sejarah komunikasi ini.

Reading Time: 2 minutes

Sejarah Komunikasi UI tak bisa lepas dari dosen-dosen yang mewarnainya. Mulai dari pengaruh lulusan Amerika, Jurnalis profesional ternama, hingga angkatan-angkatan generasi baru yang memberi warna baru di era milenial. Meski pada 70-90an beberapa dosen Komunikasi UII pulang dari Amerika, tapi nyatanya Komunikasi UI justru tak mengekor mazhab Komunikasi Amerika.

Begitulah sekilas catatan dari diskusi dalam Forum Amir Effendi Siregar seri ke 3. Acara yang diselenggarakan PSDMA Nadim Prodi Ilmu Komunikasi UII ini mampu menarik lebih dari 80 peserta pendaftar. Forum AES yang dilaksanakan pada 18 Juli 2020 ini menghadirkan Ignatius Haryanto, Akademisi dari Universitas Multimedia Nusantara sekaligus kandidat doktor dari Universitas Indonesia.

“Ini studi kasus Komunikasi UI, jadi unofficial history-lah disclaimer-nya,” kata Ignatius Haryanto memulai Forum AES kali ini. Haryanto menjelaskan beberapa temuan riset sejarah komunikasi UI versinya.

Misalnya, ia menemukan sederet jumlah dosen dan mahasiswa di Indonesia yang diberhentikan paska kasus tergelap Indonesia pada medio 65. Haryanto, mengutip penelitian Abdul Wahid, mencatat ada 115 dosen UGM dikeluarkan. 3000 mahasiswa UGM juga.  Unpad 25 dosen yang diberhentikan.  “Sedangkan dosen UI tidak ada datanya,” katanya.

Haryanto menambahkan, gonjang-ganjing di kancah nasioanal sedikit banyak terpapar dan terpengaruh ke kampus. Sementara ini banyak yang tidak mau banyak bicara soal ini.

“Dalam kasus ini Abdul Wahid mau bicara soal tragedi-tragedi ini. UI masih tertutup soal tragedi ni,” ungkap Haryanto.

Banyak Sarjana Amerika Tapi tidak Mengekor Amerika

Mengapa UI tidak terpengaruh pemikiran Komunikasi dari Amerika? Mengapa corak positivistik tidak dominan di Komunikasi UI? Haryanto, dan kemudian dikuatkan dengan pendapat Dr. Pinckey Triputra, M.Sc. , Dosen Senior Komunikasi UI, justru Komunikasi UI banyak sekali dipengaruhi pemikiran kritis setelah pulangnya Prof. Dedy Nur Hidayat.

“Ada banyak pemikiran Prof Dedy di balik pergerakan mahasiswa di UI dari 80an. Ia fokus pada pemikiran kritis di UI. Ia bahkan sudah melesakkan pemikiran kritis  sejak ia kuliah S1, dan diteruskan setelah doktoral. Itu mewarnai fisip, tidak hanya komunikasi,” papar Pinckey. “Ia di awal berkarir sebagai dosen, yang pertama ia kenalkan adalah cara berpikir,” sambungnya.

Nina Muthmainnah juga menguatkan, bahwa pemikiran Wilbur Schramm dan murid-muridnya sebenarnya juga dibawa oleh Prof. Alwi Dahlan ketika kembali dari Amerika. “Ada cerita-cerita di kelas soal Pak Schramm yang jadi guru pak Alwi, yang itu percakapan-percakapan yang tidak ada di buku kadang.”

Pemikiran dan praktik-praktik jurnalisme bermutu juga didapat dari pengaruh dosen-dosen yang ebrasal dari praktisi jurnalis senior. Misalnya sebut saja Rosihan Anwar yang mengampu Bahasa Indonesia Jurnalistik, Aristides Katoppo, hingga Jacob Oetama yang kini diabadikan namanya menjadi salah satu gedung di UI.

Haryanto berhasil mengumpulkan data-data Komunikasi UI dari beragam sumber. Misal data guru-guru besar Profesor Komunikasi di UI beserta disertasinya, perubahan nama dan fakultas, dan tajam melihat kecenderungan tidak tajamnya ilmu sosial di Indonesia karena ketatnya pengawasan Orde Soeharto.

berlanjut ke Sejarah Jurusan Komunikasi UI (2)

Reading Time: 2 minutes

History of Communication at Universitas Indonesia can not be separated from the lecturers who color it. Starting from the influence of American graduates, Famous professional journalists, to the new generation of generations who gave a new color in the millennial era. Although in the 70-90s some UI’s Communications lecturers returned from America, but in fact UI’s Communication Science did not follow the American Communication school.

That was a brief note from the discussion in the 3rd Amir Effendi Siregar Forum. The event that was held by PSDMA Nadim Communication Communication Science Department of UII was able to attract more than 80 registrant participants. The AES Forum which was held on July 18, 2020 presented Ignatius Haryanto, a scholar from Universitas Multimedia Nusantara and a doctoral candidate from the Universitas Indonesia.

“This is an UI Communication Science case study, so this is the unofficial history. this is my disclaimer,” Ignatius Haryanto said, starting the AES Forum this time. Haryanto explained some of the findings of his UI communication department history research.

For example, he found a series of lecturers and students in Indonesia who were dismissed after Indonesia’s darkest case in mid-65. Haryanto, citing Abdul Wahid’s research, noted that 115 Universitas Gajah Mada (UGM) lecturers were excluded. 3000 UGM students too. Unpad (Universitas Padjadjaran) 25 lecturers were dismissed. “While the UI lecturer has no data,” he said.

Haryanto added, the unrest in the national arena was more or less exposed and affected to campus. While  UI do not want to talk much about this.

“In this case Abdul Wahid wants to talk about these tragedies. UI is still closed about this tragedy,” Haryanto said.

Many American Scholars But Not Followed Americans

Why is the UI not influenced by American Communication Scholars thinking? Why is positivistic style not dominant in UI Communication? Haryanto, and then strengthened with the opinion of Dr. Pinckey Triputra, M.Sc. , UI Communication Senior Lecturer, UI Communication Department actually influenced a lot of critical thinking after returning Prof. Dedy Nur Hidayat.

“There is a lot of thoughts of Prof. Dedy behind the movement of students at UI from the 80s. He focused on critical thinking at UI. He even had critical thinking since he graduated from undergraduate, and continued after his doctoral. It colored the Faculty, not only communication department,” Pinckey said . “At the beginning of his career as a lecturer, the first he introduced was a way of thinking,” he continued.

Nina Muthmainnah also confirmed that the thoughts of Wilbur Schramm and her students were actually brought by Prof. Alwi Dahlan when returning from America. “There are stories in the class about Mr. Schramm who is Pak Alwi’s teacher, those conversations that are not in the book sometimes.”

The thinking and practices of quality journalism are also obtained from the influence of lecturers from senior journalist practitioners. For example, let’s call Rosihan Anwar who teach Bahasa for Journalistics , Aristides Katoppo, and Jacob Oetama, whose name is now enshrined as one of the buildings in UI.

To be Continued to next writing entitled History of UI’s Communication Dept.

Reading Time: 3 minutes

Sudah sejak awal Juni 2020 ini, beberapa dosen Komunikasi UII menjajal kebolehannya dengan melakukan inovasi pembelajaran. Inovasi pembelajarannya dilakukan dengan membuat kanal channel “Ruang Mutualiza” di Youtube. Mutia mengatakan, selama ini sejak pandemi mendera, ia kesulitan jika harus menggunakan aplikasi konferensi video terus menerus. Pasalnya, ini akan menggerus kuota yang cukup besar mahasiswa. “Ujung-ujungnya mahasiswa lari ke warkop-warkop cari wifi gratisan, kan itu tambah bahaya lagi di masa pandemi begini,” katanya. Inovasi Untuk Pembelajar Mandiri kemudian tercetus.

Mutia Dewi sempat mengkombinasikan metode pembelajaran synchronous asynchronous. Misalnya mengombinasikan penggunaan Google Classroom, presentasi, tugas online, diskusi grup WhatsApp, dan tentu Video pembelajaran. Demi mendukung proses pembelajaran di kelas, Mutia, Ali, dan Zaki, ketiganya adalah dosen Komunikasi UII, berkolaborasi menyatukan video-video bahan ajarnya ke satu channel Youtube bernama Ruang Mutualiza.

“Setelah sebelumnya pasar virtual warung rakyat, sekarang terbitlah sekolah virtual,” kata Mutia saat diwawancarai 20 Juli 2020 via aplikasi perpesanan WhatsApp. Inisiasi sekolah virtual ini merupakan kelanjutan dari ruang pembelajar mandiri lainnya yang sudah dirilis sebelumnya. Seperti Ruang belajar Komunikasi Visual, Komunikasi Pemberdayaan, dan diskusi Obrolan kota dan Keseharian. Semuanya tersedia gratis di Youtube Ruang Mutualiza.

Dari Pasar Virtual hingga Sekolah Virtual: Inovasi Untuk Pembelajar Mandiri

Gagasan program sosial untuk para pembelajar ini bisa dimanfaatkan secara gratis. Kontennya sudah beragam. Mulai dari Kampus dan SD. “kini kita sedang menjajaki kerjasama dengan SMP, setelah sebelumnya sudah kerjasama dengan SD Percobaan 3 Pakem,” kata Mutia Dewi, dosen Komunikasi UII spesialis Komunikasi Pemberdayaan.

Sementara ini, sudah tersedia pembelajaran untuk kelas 4 SD dan 1 SD. Program Pembelajaran mandiri Sekolah Virtual ini sudah dipandu beberapa tokoh virtual. Misalnya anda

akan dipandu Om Ali dan Bu mut ketika akan memasuki pembelajaran Bahasa Jawa bersama Ibu Farida. Anda juga akan bertemu Pak Ahksan di Program belajar Matematika Asik. Anda juga dapat menyaksikan belajar membangun dan menulis kalimat dalam paragraf bersama Ibu Sufriyati.

Jika merunut komentar-komentar di kolom Youtube, beberapa

netizen merasa mendapat manfaat dan terbantu dari channel yang sudah mencapai 239 Subscribers (per 20 Juli 2020) ini. Meski beberapa juga mengomentari ada satu video yang kebetulan kualitas audionya yang sempat berkurang, namun ternyata di video pembelajaran setelahnya justru tim Mutualiza meningkatkan mutunya.

Mutualiza bersama Laboratorium Komunikasi UII

Tim Mutualiza adalah inisiasi dosen Komunikasi UII dan mendapat dukungan dari Tim Laboratorium Komunikasi UII. Beberapa mahasiswa, seperti Emir, Reyhan, dan Iven juga selalu membersamai dengan editan dan visual effect yang menarik mata khalayak. Gunawan, tim ahli dari Laboratorium Komunikasi UII  sebagai videografer di beberapa episode, juga turut mempercantik tampilan channel ini.

Anda bisa lihat mayoritas konten juga didukung dengan beragam properti dari Laboratorium Audiovisual Komunikasi UII. Kualitas teknis audio juga beberapa didukung dari kelengkapan Laboratorium Audio Komunikasi UII. Maka tak heran akan bermunculan video ajar dan inovasi lainnya dari Dosen-dosen Komunikasi UII lainnya. Jadi, tak hanya beri presentasi, dosen Komunikasi juga kreasikan video, youtube, Google Classroom, dan video konferensi menjadi sarana.

Menurut Mutia, beberapa sekolah sudah banyak yang mengapresiasi inisiasi Sekolah Virtual ini. Selain gratis, tentu saja kemasannya yang menarik seperti ini bukan hal yang mudah dibuat oleh pihak sekolah. Misalnya beberapa sekolah memberi testimoni, ” sekolah sendiri juga terbantu karena terbatas untuk memproduksi materi ajar yang begitu menarik,” kata Mutia menirukan testimoni dari sekolah.

Memang sudah saatnya, ketika pandemi mendera, kolaborasi multipihak menjadi niscaya. Selamat belajar pembelajar merdeka!

Reading Time: < 1 minute

0Days0Hours0Minutes

Forum Amir Effendi Siregar menggelar bincang sejarah komunikasi seri 4
Topik: Penerapan Studi Sejarah Komunikasi: Kasus Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Brawijaya

Pembicara:

Dr. Antoni

Tesisnya mengenai sejarah pers. Bukunya, “Riuhnya Persimpangan itu”, (2004) memetakan profil sarjana sarjana komunikasi di dunia. Ia mengembangkan kajian sejarah komunikasi di Jurusan Ilmu Komunikasi Univ. Brawijaya dengan tema seperti: Pemikiran tokoh pers dan akademisi komunikasi; sejarah pendidikan komunikasi; serta budaya populer.

Minggu, 26 Juli 2020

Pukul 09:30 WIB

Via Zoom
Registrasi:
https://bit.ly/serialbincangsejarahkomunikasiseri4