Reading Time: 2 minutes

Sejarah Komunikasi UI tak bisa lepas dari dosen-dosen yang mewarnainya. Mulai dari pengaruh lulusan Amerika, Jurnalis profesional ternama, hingga angkatan-angkatan generasi baru yang memberi warna baru di era milenial. Meski pada 70-90an beberapa dosen Komunikasi UII pulang dari Amerika, tapi nyatanya Komunikasi UI justru tak mengekor mazhab Komunikasi Amerika.

Begitulah sekilas catatan dari diskusi dalam Forum Amir Effendi Siregar seri ke 3. Acara yang diselenggarakan PSDMA Nadim Prodi Ilmu Komunikasi UII ini mampu menarik lebih dari 80 peserta pendaftar. Forum AES yang dilaksanakan pada 18 Juli 2020 ini menghadirkan Ignatius Haryanto, Akademisi dari Universitas Multimedia Nusantara sekaligus kandidat doktor dari Universitas Indonesia.

“Ini studi kasus Komunikasi UI, jadi unofficial history-lah disclaimer-nya,” kata Ignatius Haryanto memulai Forum AES kali ini. Haryanto menjelaskan beberapa temuan riset sejarah komunikasi UI versinya.

Misalnya, ia menemukan sederet jumlah dosen dan mahasiswa di Indonesia yang diberhentikan paska kasus tergelap Indonesia pada medio 65. Haryanto, mengutip penelitian Abdul Wahid, mencatat ada 115 dosen UGM dikeluarkan. 3000 mahasiswa UGM juga.  Unpad 25 dosen yang diberhentikan.  “Sedangkan dosen UI tidak ada datanya,” katanya.

Haryanto menambahkan, gonjang-ganjing di kancah nasioanal sedikit banyak terpapar dan terpengaruh ke kampus. Sementara ini banyak yang tidak mau banyak bicara soal ini.

“Dalam kasus ini Abdul Wahid mau bicara soal tragedi-tragedi ini. UI masih tertutup soal tragedi ni,” ungkap Haryanto.

Banyak Sarjana Amerika Tapi tidak Mengekor Amerika

Mengapa UI tidak terpengaruh pemikiran Komunikasi dari Amerika? Mengapa corak positivistik tidak dominan di Komunikasi UI? Haryanto, dan kemudian dikuatkan dengan pendapat Dr. Pinckey Triputra, M.Sc. , Dosen Senior Komunikasi UI, justru Komunikasi UI banyak sekali dipengaruhi pemikiran kritis setelah pulangnya Prof. Dedy Nur Hidayat.

“Ada banyak pemikiran Prof Dedy di balik pergerakan mahasiswa di UI dari 80an. Ia fokus pada pemikiran kritis di UI. Ia bahkan sudah melesakkan pemikiran kritis  sejak ia kuliah S1, dan diteruskan setelah doktoral. Itu mewarnai fisip, tidak hanya komunikasi,” papar Pinckey. “Ia di awal berkarir sebagai dosen, yang pertama ia kenalkan adalah cara berpikir,” sambungnya.

Nina Muthmainnah juga menguatkan, bahwa pemikiran Wilbur Schramm dan murid-muridnya sebenarnya juga dibawa oleh Prof. Alwi Dahlan ketika kembali dari Amerika. “Ada cerita-cerita di kelas soal Pak Schramm yang jadi guru pak Alwi, yang itu percakapan-percakapan yang tidak ada di buku kadang.”

Pemikiran dan praktik-praktik jurnalisme bermutu juga didapat dari pengaruh dosen-dosen yang ebrasal dari praktisi jurnalis senior. Misalnya sebut saja Rosihan Anwar yang mengampu Bahasa Indonesia Jurnalistik, Aristides Katoppo, hingga Jacob Oetama yang kini diabadikan namanya menjadi salah satu gedung di UI.

Haryanto berhasil mengumpulkan data-data Komunikasi UI dari beragam sumber. Misal data guru-guru besar Profesor Komunikasi di UI beserta disertasinya, perubahan nama dan fakultas, dan tajam melihat kecenderungan tidak tajamnya ilmu sosial di Indonesia karena ketatnya pengawasan Orde Soeharto.

berlanjut ke Sejarah Jurusan Komunikasi UI (2)

Reading Time: 2 minutes

History of Communication at Universitas Indonesia can not be separated from the lecturers who color it. Starting from the influence of American graduates, Famous professional journalists, to the new generation of generations who gave a new color in the millennial era. Although in the 70-90s some UI’s Communications lecturers returned from America, but in fact UI’s Communication Science did not follow the American Communication school.

That was a brief note from the discussion in the 3rd Amir Effendi Siregar Forum. The event that was held by PSDMA Nadim Communication Communication Science Department of UII was able to attract more than 80 registrant participants. The AES Forum which was held on July 18, 2020 presented Ignatius Haryanto, a scholar from Universitas Multimedia Nusantara and a doctoral candidate from the Universitas Indonesia.

“This is an UI Communication Science case study, so this is the unofficial history. this is my disclaimer,” Ignatius Haryanto said, starting the AES Forum this time. Haryanto explained some of the findings of his UI communication department history research.

For example, he found a series of lecturers and students in Indonesia who were dismissed after Indonesia’s darkest case in mid-65. Haryanto, citing Abdul Wahid’s research, noted that 115 Universitas Gajah Mada (UGM) lecturers were excluded. 3000 UGM students too. Unpad (Universitas Padjadjaran) 25 lecturers were dismissed. “While the UI lecturer has no data,” he said.

Haryanto added, the unrest in the national arena was more or less exposed and affected to campus. While  UI do not want to talk much about this.

“In this case Abdul Wahid wants to talk about these tragedies. UI is still closed about this tragedy,” Haryanto said.

Many American Scholars But Not Followed Americans

Why is the UI not influenced by American Communication Scholars thinking? Why is positivistic style not dominant in UI Communication? Haryanto, and then strengthened with the opinion of Dr. Pinckey Triputra, M.Sc. , UI Communication Senior Lecturer, UI Communication Department actually influenced a lot of critical thinking after returning Prof. Dedy Nur Hidayat.

“There is a lot of thoughts of Prof. Dedy behind the movement of students at UI from the 80s. He focused on critical thinking at UI. He even had critical thinking since he graduated from undergraduate, and continued after his doctoral. It colored the Faculty, not only communication department,” Pinckey said . “At the beginning of his career as a lecturer, the first he introduced was a way of thinking,” he continued.

Nina Muthmainnah also confirmed that the thoughts of Wilbur Schramm and her students were actually brought by Prof. Alwi Dahlan when returning from America. “There are stories in the class about Mr. Schramm who is Pak Alwi’s teacher, those conversations that are not in the book sometimes.”

The thinking and practices of quality journalism are also obtained from the influence of lecturers from senior journalist practitioners. For example, let’s call Rosihan Anwar who teach Bahasa for Journalistics , Aristides Katoppo, and Jacob Oetama, whose name is now enshrined as one of the buildings in UI.

To be Continued to next writing entitled History of UI’s Communication Dept.

Reading Time: 3 minutes

Sudah sejak awal Juni 2020 ini, beberapa dosen Komunikasi UII menjajal kebolehannya dengan melakukan inovasi pembelajaran. Inovasi pembelajarannya dilakukan dengan membuat kanal channel “Ruang Mutualiza” di Youtube. Mutia mengatakan, selama ini sejak pandemi mendera, ia kesulitan jika harus menggunakan aplikasi konferensi video terus menerus. Pasalnya, ini akan menggerus kuota yang cukup besar mahasiswa. “Ujung-ujungnya mahasiswa lari ke warkop-warkop cari wifi gratisan, kan itu tambah bahaya lagi di masa pandemi begini,” katanya. Inovasi Untuk Pembelajar Mandiri kemudian tercetus.

Mutia Dewi sempat mengkombinasikan metode pembelajaran synchronous asynchronous. Misalnya mengombinasikan penggunaan Google Classroom, presentasi, tugas online, diskusi grup WhatsApp, dan tentu Video pembelajaran. Demi mendukung proses pembelajaran di kelas, Mutia, Ali, dan Zaki, ketiganya adalah dosen Komunikasi UII, berkolaborasi menyatukan video-video bahan ajarnya ke satu channel Youtube bernama Ruang Mutualiza.

“Setelah sebelumnya pasar virtual warung rakyat, sekarang terbitlah sekolah virtual,” kata Mutia saat diwawancarai 20 Juli 2020 via aplikasi perpesanan WhatsApp. Inisiasi sekolah virtual ini merupakan kelanjutan dari ruang pembelajar mandiri lainnya yang sudah dirilis sebelumnya. Seperti Ruang belajar Komunikasi Visual, Komunikasi Pemberdayaan, dan diskusi Obrolan kota dan Keseharian. Semuanya tersedia gratis di Youtube Ruang Mutualiza.

Dari Pasar Virtual hingga Sekolah Virtual: Inovasi Untuk Pembelajar Mandiri

Gagasan program sosial untuk para pembelajar ini bisa dimanfaatkan secara gratis. Kontennya sudah beragam. Mulai dari Kampus dan SD. “kini kita sedang menjajaki kerjasama dengan SMP, setelah sebelumnya sudah kerjasama dengan SD Percobaan 3 Pakem,” kata Mutia Dewi, dosen Komunikasi UII spesialis Komunikasi Pemberdayaan.

Sementara ini, sudah tersedia pembelajaran untuk kelas 4 SD dan 1 SD. Program Pembelajaran mandiri Sekolah Virtual ini sudah dipandu beberapa tokoh virtual. Misalnya anda

akan dipandu Om Ali dan Bu mut ketika akan memasuki pembelajaran Bahasa Jawa bersama Ibu Farida. Anda juga akan bertemu Pak Ahksan di Program belajar Matematika Asik. Anda juga dapat menyaksikan belajar membangun dan menulis kalimat dalam paragraf bersama Ibu Sufriyati.

Jika merunut komentar-komentar di kolom Youtube, beberapa

netizen merasa mendapat manfaat dan terbantu dari channel yang sudah mencapai 239 Subscribers (per 20 Juli 2020) ini. Meski beberapa juga mengomentari ada satu video yang kebetulan kualitas audionya yang sempat berkurang, namun ternyata di video pembelajaran setelahnya justru tim Mutualiza meningkatkan mutunya.

Mutualiza bersama Laboratorium Komunikasi UII

Tim Mutualiza adalah inisiasi dosen Komunikasi UII dan mendapat dukungan dari Tim Laboratorium Komunikasi UII. Beberapa mahasiswa, seperti Emir, Reyhan, dan Iven juga selalu membersamai dengan editan dan visual effect yang menarik mata khalayak. Gunawan, tim ahli dari Laboratorium Komunikasi UII  sebagai videografer di beberapa episode, juga turut mempercantik tampilan channel ini.

Anda bisa lihat mayoritas konten juga didukung dengan beragam properti dari Laboratorium Audiovisual Komunikasi UII. Kualitas teknis audio juga beberapa didukung dari kelengkapan Laboratorium Audio Komunikasi UII. Maka tak heran akan bermunculan video ajar dan inovasi lainnya dari Dosen-dosen Komunikasi UII lainnya. Jadi, tak hanya beri presentasi, dosen Komunikasi juga kreasikan video, youtube, Google Classroom, dan video konferensi menjadi sarana.

Menurut Mutia, beberapa sekolah sudah banyak yang mengapresiasi inisiasi Sekolah Virtual ini. Selain gratis, tentu saja kemasannya yang menarik seperti ini bukan hal yang mudah dibuat oleh pihak sekolah. Misalnya beberapa sekolah memberi testimoni, ” sekolah sendiri juga terbantu karena terbatas untuk memproduksi materi ajar yang begitu menarik,” kata Mutia menirukan testimoni dari sekolah.

Memang sudah saatnya, ketika pandemi mendera, kolaborasi multipihak menjadi niscaya. Selamat belajar pembelajar merdeka!

Reading Time: < 1 minute

0Days0Hours0Minutes

Forum Amir Effendi Siregar menggelar bincang sejarah komunikasi seri 4
Topik: Penerapan Studi Sejarah Komunikasi: Kasus Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Brawijaya

Pembicara:

Dr. Antoni

Tesisnya mengenai sejarah pers. Bukunya, “Riuhnya Persimpangan itu”, (2004) memetakan profil sarjana sarjana komunikasi di dunia. Ia mengembangkan kajian sejarah komunikasi di Jurusan Ilmu Komunikasi Univ. Brawijaya dengan tema seperti: Pemikiran tokoh pers dan akademisi komunikasi; sejarah pendidikan komunikasi; serta budaya populer.

Minggu, 26 Juli 2020

Pukul 09:30 WIB

Via Zoom
Registrasi:
https://bit.ly/serialbincangsejarahkomunikasiseri4

Reading Time: < 1 minute

Begitu sesi selesai, Anda akan percaya diri untuk memulai podcast anda sendiri!

Pelatih

Dr. Xia Cui

  • Produser of Podcast: Life in oz & This Teaching life
  • Teaching and learning speacialist (International), University of Melbourne.

Sesi ini akan mengupas proses produksi Podcast anda:

  • Pitching content
  • Memilih gaya podcast
  • Proses rekaman
  • Wawancara
  • Mengedit rekaman
  • Promosi

Ahad, 26 Juli 2020

10.00 WIB

Langsung via zoom

KUOTA TERBATAS

Registrasi:

Batas akhir pendaftaran 23 Juli 2020

Acara ini diselenggarakan oleh  UII LEARNING CENTER dan Coach Potato

Reading Time: < 1 minute

Kali ini kami akan terus mengunggah artikel opini Dosen Komunikasi UII yang dimuat media massa. Upaya ini adalah bagian dari pengelolaan pengetahuan (knowledge management) di dalam internal Program Studi Ilmu Komunikasi UII. Harapannya, diskursus soal media dan komunikasi ini berlanjut menjadi sebuah pengetahuan baru atau minimal mewujud dokumentasi pengetahuan yang kini terserak.

Berikut ini adalah #kliping Opini Dosen Komunikasi UII. Kali ini kami memuat opini Dr. Rer. Soc. Masduki tentang Negara dan Pers. Tulisan ini telah dimuat di Harian Kedaulatan Rakyat, sebuah surat kabar lokal di DIY. Ini dimuat pada Rabu Pahing, 15 Juli 2020. Masduki membahas tentang pro dan kontra di Indonesia soal gagasan subsidi untuk media massa di Indonesia pada masa pandemi. Perlu diketahui, pandemi di Indonesia membuat beberapa perusahaan pers di Indonesia mengalami defisit. Ini bisa ditandai dari beberapa media di Indonesia melakukan pemutusan hubungan kerja di masa Maret-Juli 2020.

Selamat Membaca.

Terima Kasih atas Foto oleh Darmanto BPSDMP DIY

 

Reading Time: < 1 minute
0Days0Hours0Minutes

Forum Amir Effendi Siregar menggelar bincang sejarah komunikasi seri 3

Topik: Penelusuran Awal Sejarah Komunikasi Indonesia: Kasus Universitas Indonesia

Pembicara:

Ignatius Haryanto

Sabtu, 18 Juli 2020
Pukul 09:30 WIB
Via Zoom

Registrasi:

https://bit.ly/serialbincangsejarahkomunikasiseri3

atau tonton di kanal Uniicoms TV Prodi Ilmu Komunikasi UII

 

 

View this post on Instagram

 

A post shared by PSDMA Nadim Komunikasi UII (@nadimkomunikasiuii) on

Reading Time: 3 minutes

On 10th July, 2020, Zaki Habibi was become the speaker. He said the Core of discussion that in the Teatime #3: Critical Thinking is The Core of International Mindset. He was the keyperson speaker of Teatime Talkshow about how the international mindset is important for the academic experiment. Student should learn and train their mindset to adapt the global academic world. In this third Teatime, the committee choose the title “Crash Landing on The Connected World”. Ida Nuraini Dewi KN, as the host, trying to interview Habibi what is the benefit of having an international mindset.

On that evening, Habibi aired his talks live from Lund, Sweden, and Ida the host from Jogja. This is what Habibi said with connected world. We can still connect, talk, discuss, and ‘meet’ each other because we are already connected with technology. Therefore, we can make a serious collaboration and get an international mindset easily than before.

Hence, because the importance by having this international mindset, student of higher institution like university or college is good to enrich it. Enrich their mindset and thinking with this international mindset. By knowing the international mindset, we can solve the global problem, even help others, and also finding the best way to face everyday live problem.

Critical Thinking is The Core of International Mindset

Then, What International Mindset Is?

Zaki said, “Critical Thinking is The Core of International Mindset.”

Ida, who also the lecturer specialist of journalism and media studies, ask him: what do you mean to think critically is the key of international mindset?

Based on Habibi’s thought, that study in higher education is also about trying to have a critical understanding about everything. “What you learn it is actually about this,” Habibi said. Habibi tell us that there are many issues that the world face now. “Big issues like food scarcity, climate change, racism and so on, even in positive way, the new development of cities, the new development of economy and so on, if we have have this kind of attitude of critical understanding,” Habibi answered.

It is actually put us, as a student in the higher education institution, “to see all what happen outside as something that its not taken for granted firstly,” Habibi continued. Secondly, he said,  that there would be something has historical context, it has a social, economical, and political context, beyond it. “and also its not always that i mean something happen in one place you can not just move back in other place and look it will be the same,” said he, who also an PhD candidate at Lund University, Sweden.

What Habibi want to say is as a student, it is important to undestand the context of something or problem. So you can, “find the substance, why this solution worked here, why this solution solve this particular problem,” Habibi said.

People is Different, So Understand the Difference

Habibi also tell us the story that he get before when he go overseas at Edith Cowan University at Perth, Australia. He said, when he get his master at Australia, he also get the different story.

“People is different, by understanding the difference, that we could understanding the context, understand why they behave like that. How we should behave, and how we should react back,” said he recalled the story  then.

Although, this international mindset, Habibi said, is not necessary have to be build in formal international institution. For example, “You can studying in any program, anywhere, any discipline, but this international mindset is getting more important thing with the current situation,” said he.

Ida and Habibi agreed that international mindset is not just about masterly the language. “It is not if you could understand the English well. If you could express an English language very well as close as native speaker, that is not enough,” said Habibi. Habibi, who also a lecturer of Visual Culture specialized, at Communication Science Department of Universitas Islam Indonesia, said mastering the language is not enough.

Habibi emphasize that International mindset is more about the way we understand the difference. “This mindset is the way how we understand the possibility to understand that people have their own problem.” said he. “The definition of International mindset is mastering the understanding,” Habibi said,“And the way our attitude to react to global problem, as our problem now or future,” He continued.

Reading Time: 3 minutes

Pada 10 Juli 2020, Zaki Habibi menjadi pembicara. Dia mengatakan Inti dari diskusi bahwa dalam Teatime # 3: Berpikir Kritis adalah Inti dari Pola Pikir Internasional. Dia adalah pembicara utama bincang-bincang Teatime tentang bagaimana pola pikir internasional penting bagi pengalaman akademik.

Mahasiswa harus belajar dan melatih pola pikir mereka untuk beradaptasi dengan dunia akademik global. Dalam acara Teatime ketiga ini, panitia memilih judul “Crash Landing on The Connected World – What Can We Benefit From Having International Mindset “. Ida Nuraini Dewi KN, sebagai tuan rumah, mencoba mewawancarai Zaki apa manfaat memiliki pola pikir internasional.

Pada malam itu, Zaki menyiarkan pembicaraannya langsung dari Lund, Swedia, dan Ida pembawa acara dari Jogja. Penontonnya sudah lebih dari 100 pemirsa. Inilah yang dikatakan Zaki dengan dunia yang terhubung. Kita masih bisa terhubung, berbicara, berdiskusi, dan ‘bertemu’ satu sama lain karena kita sudah terhubung dengan teknologi. Oleh karena itu, kita dapat membuat kolaborasi kreatif dan mendapatkan pola pikir internasional dengan mudah daripada sebelumnya.

Oleh karena itu, karena pentingnya memiliki pola pikir internasional ini, mahasiswa dari perguruan tinggi seperti universitas atau sekoalh tinggi sebaiknya memperkaya itu. Perkaya pola pikir dan berpikir dengan pola pikir internasional. Dengan mengetahui pola pikir internasional, kita dapat memecahkan masalah global, bahkan membantu orang lain, dan juga menemukan cara terbaik untuk menghadapi masalah hidup sehari-hari.

Berpikir Kritis adalah Inti dari Pola Pikir Internasional

Lalu, Apa Pola Pikir Internasional itu?

Zaki berkata, “Berpikir Kritis adalah Inti dari Pola Pikir Internasional.”

Ida, yang juga dosen spesialis jurnalisme dan studi media Komunikasi UII, bertanya kepadanya: apa yang anda maksud dengan berpikir kritis adalah kunci dari pola pikir internasional?

Berdasarkan pemikiran Zaki,  studi di pendidikan tinggi juga tentang mencoba untuk memiliki pemahaman kritis tentang segalanya. “Apa yang kamu pelajari sebenarnya tentang ini,” kata Habibi. Habibi memberi tahu kita bahwa ada banyak masalah yang dihadapi dunia sekarang. “Masalah besar seperti kelangkaan pangan, perubahan iklim, rasisme dan sebagainya, bahkan dalam cara-cara positif, perkembangan baru kota-kota, perkembangan ekonomi baru dan sebagainya, jika kita memiliki sikap pemahaman kritis seperti ini,” jawab Habibi.

Itu sebenarnya menempatkan kita, sebagai mahasiswa di lembaga pendidikan tinggi, “untuk melihat semua yang terjadi di luar sebagai sesuatu yang tidak diterima begitu saja,” lanjut Zaki. Kedua, katanya, bahwa akan ada sesuatu yang memiliki konteks sejarah, konteks sosial, ekonomi, dan politik, dan lainnya. “Dan itu tidak selalu berarti sesuatu terjadi di satu tempatdan tidak terjadi di tempat lain, bisa saja probelm yang saa terjadi di tempat lain,” kata dia, yang juga kandidat PhD di Lund University, Swedia.

Apa yang ingin dikatakan Zaki adalah, sebagai seorang Mahasiswa, penting untuk memahami konteks sesuatu atau masalah. Jadi Anda dapat, “menemukan poinnya, mengapa solusi ini bekerja di sini, mengapa solusi ini menyelesaikan masalah tertentu ini,” kata Habibi.

Setiap Orang Berbeda, Jadi Pahami Perbedaannya

Habibi juga menceritakan kisahnya yang dia dapatkan sebelumnya ketika dia pergi ke luar negeri di Universitas Edith Cowan di Perth, Australia. Dia mengatakan, ketika dia mendapatkan gelar master di Australia, dia juga mendapat cerita yang berbeda.

“Orang-orang berbeda, dengan memahami perbedaannya,  kita dapat memahami konteksnya, memahami mengapa mereka berperilaku seperti itu. Bagaimana kita harus bersikap, dan bagaimana kita harus bereaksi kembali,” katanya mengenang.

Meskipun, pola pikir internasional ini, kata Habibi, tidak perlu harus dibangun di lembaga-lembaga internasional formal. Misalnya, “Kamu dapat belajar di program apa saja, di mana saja, disiplin apa pun, tetapi pola pikir internasional ini semakin penting dengan situasi saat ini,” katanya.

Ida dan Habibi sepakat bahwa pola pikir internasional bukan hanya tentang menguasai bahasa. “Ini bukan tentang kamu dapat memahami bahasa Inggris dengan baik. Jika kamu dapat mengekspresikan bahasa Inggris dengan sangat baik seperti halnya penutur asli, itu tidak cukup,” kata Zaki. Zaki, yang juga seorang dosen Spesialis Komunikasi Budaya Visual, di Departemen Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia, mengatakan menguasai bahasa tidak cukup.

Zaki menekankan bahwa pola pikir Internasional lebih pada cara kita memahami perbedaan. “Pola pikir ini adalah cara kita memahami kemungkinan untuk memahami bahwa orang memiliki masalah mereka sendiri.” kata dia. “Definisi pola pikir internasional adalah menguasai pemahaman,” kata Habibi, “Dan cara kita bereaksi terhadap masalah global, seperti masalah kita sekarang atau di masa depan,” lanjutnya.

Reading Time: < 1 minute

Hiring Internship in International Program of Communication (IPC UII)

For fulfilling the high standart and good communication and promotion of IPC UII, we are looking for internship student. Hence, Please check the eligibility of “Hiring Internship in International Program of Communication (IPC UII)” below further. Although, you can also check the International Program’s Instagram and IPC’s web page.  IPC UII is hiring internship for students with capability on these kind of fields:

  • Creative Media

    -

    Great achievement and skills on creative media. Especially for those who are capable in graphic design, photo/video recording and editing

  • Public Relation

    -

    Able to do promotions, maintaining, and well communication.

  • Journalism

    -

    Writing skill/ news video making for web/ social media content

General Terms and conditions of Hiring Internship IPC UII:

able to speak and write in english.
especially for communication student of UII.