Reading Time: 3 minutes

Pola kompas, sedari dulu, setiap ada pergantian rezim, dia mendukung penguasa. Kompas menyatakan di editorial Kompas pada 28 September 1966. Kompas menulis bahwa PKI itu manifestasi nyata salah tafsir atas pancasila. Namun ketika penguasa lemah, dia mulai berani kritis.

Wijayanto mengatakan, pada 1966 ada rubrik khusus bernama Kompasiana di Kompas. Rubrik ini diasuh PK Ojong. Namun pada 1971, dia memutuskan berhenti mengasuh, karena soeharto yang awalnya merangkul pers, justru sebaliknya.

“Pada saat itu ia menunjukkan otoritarianismenya pada media. Masa bulan madu soeharto dan media berakhir di awal 70-71an,” kata Wijayanto dalam seri diskusi Forum Amir Effendi Siregar (AES) ke-6 pada 15 Agustus 2020 yang disiarkan oleh Uniicoms TV, TV online pertama di UII milik Prodi Ilmu Komunikasi UII.

Forum AES adalah ikhtiar Prodi Ilmu Komunikasi UII dalam mengabadikan spirit dan gagasan kritis dalam kajian media dan komunikasi. Spirit tersebut adalah spirit seorang Amir Effendi Siregar, pendiri Program Studi ini, kata Holy Rafika Dhona, moderator cum Dosen Komunikasi UII yang juga fokus menulis kajian mustadh’af dalam buku tentang Komunikasi Profetik.

“Saya rasa nggak ada gunanya, kalau saya nulis jujur, nanti koran ini terancam. Tetapi kalau nulis sesuai permintaan penguasa, ya nanti saya tidak bisa berdamai dengan hati nurani saya sendiri, tentu merugikan. jadi mending tidak ditulis to?” kata Wijayanto menirukan kata-kata P.K. Ojong yang memutuskan menghentikan rubrik Kompasiana. Kompasiana, yang berisi tulisan-tulisan kritis pada rezim, dinilai melukai Presiden Soeharto waktu itu.

“Pak Ojong tidak mau minta maaf dan bilang jadi mayat sekarang atau nanti toh sama saja. Namun Jakob Oetama (salah satu pendiri harian Kompas) lanjut saja dan menjadikan habitusnya Kompas seperti itu. Habitus kompas adalah habitus Jakob,” imbuh Wijayanto yang juga adalah Direktur Center for Media and Democracy, LP3ES.

Pada masa 70an awal, strategi Kompas agar selamat dari bredel, adalah mendekat pada kekuasaan. Pada 1973 Jakob Oetama dapat penghargaan dari Soeharto. Bukti dari kedekatan dengan Soeharto. Wijayato, yag juga dosen Komunikasi Undip, mengatakan “selain itu, dari disertasi Daniel Dhakidae, Kompas juga mendapat dapat pinjaman dari BNI sebesar 235juta. Yang pada saat itu sangat besar dan merupakan priviledge, yang tidak semua media mendapatkannya,” kata Wijayanto.

Namun pada 1978, pada peringatan hari pers ke-32 di istana, setelah Kompas dibredel, Jakob bertemu Soeharto. Pada saat itu, sambil berjabat tangan, Jakob Oetama berkata, “Maturnuwun sampun diparingaken terbit maleh. (Terima kasih sudah diperbolehkan terbit kembali),” kata Wijayanto menirukan. Lalu dibalas oleh Presiden Soeharto sambil tersenyum,”Ojo meneh-meneh.” Sebelumnya memang tercatat Kompas dibredel sejak 21 Januari sampai 3 Februari 1978.

Suharto memberi syarat agar Kompas boleh terbit lagi, kata Wija, panggilan Wijayanto: menandatangani kontrak permohonan maaf yang isinya berjanji tidak memberitakan kekayaan presiden, keluarga presiden dll.

Setelah momen-momen itu, Kompas tetap hidup.

“Namun ketika legitimasi Soeharto redup, pada 14 Mei 1998, Kompas mulai kritis,” imbuh Wijayanto. Kompas menulis pada edisi 14 mei 1998, kalau rakyat tak lagi menghendakinya, Presiden siap mundur.

Sebenarnya, peristiwa ini terjadi saat perjalanan Soeharto dari Kairo ke Jakarta. James Luhulima, seorang wartawan Kompas, dalam bukunya Hari- Hari Terpanjang (Menjelang Mundurnya Presiden Soeharto), menulis bahwa sebenarnya kita mencoba memancing presiden Suharto bahwa dia mau untuk mundur. “Kita sebenarnya tahu Suharto tidak berniat mundur. Tapi kita tanya, bagaimana kalau rakyat sudah tidak menghendaki bapak lagi sebagai presiden. Lalu dijawab kalau rakyat sudah tidak mau menghendaki saya lagi, ya saya akan mundur,” kata Wijayanto menirukan James Luhulima.

Jadi Kompas bersama kekuatan sosial lainnya ikut memberikan tekanan dan menciptakan suasana Soeharto seakan siap untuk mundur. Walau pada 16 Mei Soeharto membantah siap mundur.

Perjalanan sejarah media dalam biobrafi Kompas ini menjadi pelajaran berharga. Sejarah mencatat bahwa bahkan selama orde suharto Kompas tertindas dalam kuasa rezim, pada titik lemah kekuasaan, Kompas mulai menunjukkan keberpihakannya.

Cerita ini adalah hasil dari disertasi Wijayanto. Wijayanto melakukan riset etnografi pada harian Kompas dari Januari 2014 sampai Juni 2015. “Ini adalah disertasi di Leiden yang manuskripnya sudah diajukan sejak 2018,” kata Wijayanto.

Dalam sesi diskusi disertasinya di Belanda, bahasan Wijayanto ini masuk di koran lokal dalam bahasa Belanda dengan judul: anjing penjaga yang sopan. Diskusi tersebut juga masuk di harian Kompas dengan judul yang berbeda: Harian Kompas Melintasi Zaman.

Reading Time: 3 minutes

Kompas pattern has always been, every time there is a regime change, it supports the ruler. Kompas stated in a Kompas editorial on September 28, 1966. Kompas wrote that the PKI was a real manifestation of a misinterpretation of Pancasila. But when the ruler was weak, he started to dare to be critical.

Wijayanto said that in 1966 there was a special column called Kompasiana in Kompas. This column is managed by PK Ojong. But in 1971, he decided to stop writing in it, because Suharto initially embraced the press, on the contrary.

“At that time he showed his authoritarianism to the media. Suharto’s honeymoon period and the media ended in the early 70-71s,” Wijayanto said in the 6th Amir Effendi Siregar (AES) discussion series on August, 15th, 2020 broadcast by Uniicoms TV. , The first online TV at UII belonging to the Communication Science Department of UII.

The AES Forum is an endeavor of the UII Communication Science Department to perpetuate the spirit and critical ideas in media and communication studies. This spirit is the credo of Amir Effendi Siregar, the founder of this department, said Holy Rafika Dhona, a lecturer of Department of Communication Science cum moderator who also focuses on writing mustadh’afin studies in books entitled Prophetic Communication (Bahasa: Komunikasi Profetik).

“I think it is useless, if I write honestly, this newspaper will be threatened. But if I write according to the authority’s request, then I will not be able to deal with my own conscience, of course it is detrimental,” said Wijayanto imitating PK Ojong’s words, which decided to stop the Kompasiana rubric. Kompasiana, which contained critical writings on the regime, was considered to have injured President Soeharto at that time.

“Pak Ojong does not want to apologize and say that he will become a corpse now or later. It’s the same. But Jakob Oetama (one of the founders of Kompas) just went ahead and made his habitus Kompas just as it. Kompas habitus is Jakob’s habitus,” added Wijayanto who is also the Director of Center for Media and Democracy, LP3ES.

In the early 70s, Kompas’s strategy to survive from bredel was to get closer to power. In 1973 Jakob Oetama received an award from Soeharto. Evidence of closeness with Suharto. Wijayato, who is also Diponegoro University’s Communication lecturer, said, “Apart from that, from Daniel Dhakidae’s dissertation, Kompas also received a loan from BNI (National Bank of Indonesia) of 235 million. Which at that time was very large and was a private sector, which not all media received,” said Wijayanto.

However, in 1978, on the anniversary of the 32nd Indonesian press day at the palace, after Kompas was banned, Jakob met Suharto. At that time, while shaking hands, Jakob Oetama said, “Matur nuwun Sampun diparingaken terbit maleh. (Thank you for being allowed to publish again),” said Wijayanto imitating. Then President Soeharto replied with a smile, “Don’t even try it again.” Previously, it was noted that Kompas was banned from January 21 to February 3, 1978.

Suharto gave a condition for Kompas to be published again, said Wija, Wijayanto’s nickname: sign an apology contract that promises not to disclose the president’s wealth, the president’s family, etc.

After those moments, Kompas is still alive.

 “However, when Suharto’s legitimacy was dim, on May 14, 1998, Kompas began to become critical,” said Wijayanto. Kompas wrote in the 14th May 1998 edition, if the people no longer want it, the President is ready to resign.

In fact, this incident occurred during Suharto’s trip from Cairo to Jakarta. James Luhulima, a journalist from Kompas, in his book The Longest Days (Towards the Resignation of President Soeharto), wrote that they (journalists) were actually trying to persuade President Suharto that he wanted to resign. “We actually know that Suharto has no intention of resigning. But we ask, what if the people don’t want you anymore as president. Then the answer is that if the people don’t want me anymore, I will resign,” said Wijayanto, imitating James Luhulima.

So Kompas, together with other social forces, came to put pressure on it and created an atmosphere for Suharto as if he were ready to resign. Although on May 16 Suharto denied he was ready to resign.

The history of the media in the Kompas biography is a valuable lesson. History records that even during Suharto’s order, Kompas was oppressed under the regime’s power, at a weak point of power, Kompas began to show its side.

This story is the result of Wijayanto’s dissertation. Wijayanto conducted ethnographic research on Kompas Daily from January 2014 to June 2015. “This is a dissertation in Leiden whose manuscript has been submitted since 2018,” said Wijayanto.

In the discussion session of his dissertation in the Netherlands, Wijayanto’s discussion was written in a local newspaper in Dutch with the title: polite watchdog. The discussion was also included in the Kompas under a different title: Kompas Newspaper Across the Ages.

 

Reading Time: < 1 minute

Webinar Karir:

Peluang dan Tantangan Karir di Era Industri 4.0

FPSB UII

 

bersama

Adhi Utama Habibi, S.Psi

organization and people development menager

 

Muhammad Fajar Nugraha, S.I.Kom.

associate producer PT. Televisi Transformasi Indonesia

 

Bayu Kurniahadi Pranoto, S.Hub. Int.

bussines development shopee.

 

Endah Sri Elyawati, S.Pd.

Guru Sekolah Islam Nabilah

 

Moderator:

Iswan Saputro, M.Psi., Psikolog.

Personality Development Trainer

 

Jadwal:

ahad, 16 agustus 2020.

09.00-12.00 WIB

Reading Time: < 1 minute

Teatime 7th edition will invite:

M. Aditya Arvian

(student of International communication Science Department, batch 2018).

The next International Program of Communication’s Teatime

Theme:
Chit Chat about being IPC Student with M. Aditya Arvian

Live On Instagram

Schedule

Friday, August, 14th, 2020
Start at 4pm (UTC+7)

Keep update on IGTV
@ip.communication.uii
@adityaarvn

Reading Time: 2 minutes

Bagaimana Bikin Hobimu Jadi Artikel Ilmiah Internasional? Pertama yang harus dilakukan adalah melakukan pemetaan ide Anda Untuk Memulai Penulisan Akademikmu. Ide atau topik harus jelas dan baru. Jelas dan baru berarti idemu tidak ambigu, memiliki tujuan yang jelas, dan melihat masalah dengan tepat. Apa masalahnya, apa solusinya, dan belum ada yang menulisnya sebelumnya. Pemetaan dan brainstorming topik atau masalah adalah kunci penulisan akademis. Pemahaman dan minat subjek juga merupakan kuncinya. Kita akan melihat banyak kesulitan ketika kunci-kunci tersebut belum siap di pikiran kita.

Demikian beberapa tips yang telah dibahas pada acara Teatime Talkshow tanggal 7 Agustus 2020. Talkshow ini ditayangkan di Instagram TV International Program Komunikasi UII (ip.communication.uii). Trik-trik tersebut telah dibagikan oleh Krisal Putra Mahasiswa Ilmu Komunikasi UII angkatan 2016 atas pengalamannya sebagai presenter di konferensi internasional sebelumnya. Tapi, apakah hanya itu tip yang dia bagikan?

Pada talk show edisi keenam ini, seperti biasa, Ida Nuraini, Sekretaris Program Studi Ilmu Komunikasi Internasional UII, memandu acara talkshow tersebut. Dia bertanya kepada Krisal apa lagi tips menulis akademis di konferensi internasional seperti halnya Krisal.

“Selain memetakan isu, garis besar ide atau subjek penelitian juga penting,” jawab Krisal. Ia juga mengatakan bahwa kita harus banyak berdiskusi, bertukar pikiran, dan juga sering menulis.

Krisal mengatakan dosen di kampus kami memiliki peran penting untuk meningkatkan kemampuan menulis akademis kami juga. “Apa peran spesifiknya?” tanya Ida, dosen spesialis Jurnalisme, Citizen Journalism, dan Studi Media.

Dosen harus mendorong mahasiswa untuk terlibat dengan budaya akademik. Ketika seseorang sudah terlibat dengan budaya akademis, maka akan memudahkan mereka menulis tulisan akademis. “Judul atau subjek tulisannya harus jelas,” kata Krisal. Seorang dosen juga hendaknya memberikan kesempatan kepada mahasiswanya untuk memiliki kebiasaan menulis yang baik seperti yang dilakukan Komunikasi IP sebelumnya.

Hobi dan Ketertarikan Mempermudah Menulis Artikel Ilmiah

Krisal melanjutkan, sebaiknya kita tidak memulai dari ide kosong.

“Pastikan Anda sudah memiliki pemahaman yang baik dengan konsep penelitian. Anda tidak bisa menulis penelitian tanpa konsep dan ide penelitian. Jika Anda tidak tahu harus menulis apa, Dosen Anda akan menghadapi kesulitan besar untuk membimbing Anda,” kata Krisal.

Ida juga membagikan pengalamannya dalam keseharian di kelas menulis akademis. Sebagai dosen mata kuliah jurnalistik, Ida selalu menghadapi realitas budaya akademik mahasiswanya: tidak punya ide untuk menulis. Baik Krisal dan Ida sepakat bahwa siswa harus mulai menulis dengan apa yang mereka kuasai dan sukai.

Seperti yang pernah dilakukan Krisal sebelumnya, Ia memiliki ketertarikan pada isu lingkungan. Maka Ia mengawali tulisan akademisnya yang harus dipresentasikan pada konferensi internasional dengan isu lingkungan. “Dari permasalahan itu kita bisa perbaiki dan kembangkan menjadi berbagai macam format dan gaya penulisan akademis,” pungkasnya kemudian.

Selain belajar dari pengalaman Krisal, Anda juga bisa belajar menulis dengan tips Lindstroom di sini. Lindstroom berbicara tentang tips menulis tulisan akademis di jurnal internasional. Ia berbicara di depan banyak peserta Konferensi Internasional yang diselenggarakan oleh Jurusan Ilmu Komunikasi UII.

Reading Time: < 1 minute

0Days0Hours0Minutes

Forum Amir Effendi Siregar #6: Biografi Kompas: Sejarah Hubungan Harian Kompas dan Kekuasaan 1965-2015

Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia dalam rangkaian Forum #AES menggelar Serial Bincang Sejarah Komunikasi (Seri 6)

Topik:

Biografi Kompas: Sejarah Hubungan Harian Kompas dan Kekuasaan, 1965-2015

Pembicara:

Wijayanto, Ph.D

Direktur Center for Media and Democracy, LP3ES dan dosen Media dan Demokrasi di Program Studi Ilmu Pemerintahan, Universitas Diponegoro. Peraih research grant KNAW Belanda tahun 2020-2021 dengan judul Cyber Troops and Public Opinion Manipulation: A Mixed-Method Study of Social MEdia Propaganda in Indonesia.

 

Jadwal
Sabtu, 15 Agustus 2020
Pukul 10:00 WIB
Via Zoom

Registrasi:

Reading Time: 2 minutes

Does Indonesia have a historical legacy for iIndonesian public broadcasting? This question is important to raise. The question of the historical legacy of public broadcasting may be difficult to answer. Not to mention that the direction of writing the history of Indonesian broadcasting still faces various problems.

Masduki, Lecturer of Department of Communication Science at UII, said that various problems in writing the history of Indonesian broadcasting have made it difficult to trace the legacy of public broadcasting in Indonesia.

This doctoral graduate from the Institute of Communication Studies & Media Research (IfKW), University of Munich (LMU Munich), explains that this fact is different from some public broadcasting practices in Europe and America, for example.

“In the UK, the BBC, as a public broadcaster, was born to meet the needs of quality information for citizens. The BBC has long confirmed that it is in the form of public broadcasting. It is also protected by law,” he said in a discussion at the Amir Effendi Siregar Forum (AES Forum. ) which was held by the Department of Communication Science. on Saturday, August 8th, 2020.

The AES Forum Discussion which was broadcast live by the Department of Communication Science via its First Online TV at UII, Uniicoms TV, was attended by various participants from various campuses, institutions, and NGO. Starting from broadcasting activists, academics, NGO activists, students, the press, and also the citizens of Yogyakarta.

Various Problems in Writing History of Public Broadcasting

According to Masduki,  who is also a broadcasting expert, there are several problems in writing the history of Indonesian broadcasting. He succeeded in tracking down references from books, journals to other literature that talk about public broadcasting in Indonesia. From here, finally, he recited his questions about the history of public broadcasting in his dissertation.

The problems in writing the history of public broadcasting, for example, as He mentioned it, first, books and other references in Indonesia have only focused on actors. Second, if there is any trace of the history of the institution, it only contains single institutions, TVRI for example, and only in certain periods.

Third, the approach used is the pre-soeharto period oral history approach. “This is as we can see in the book ‘Sedjarah Radio’ (history of radio) published by the Ministry of Education in 1953.

The next problem, fourth, is that the writing of history in books is still centered on the strategy of music broadcast content in the colonial era. This is as written by Yampolsky, a writer who researches colonial era radio such as SRV, Nirom, etc.

Fifth, books on the history of public broadcasting are still compiled by several Indonesianist authors. Sixth, the history that is listed only focuses on the organization and dates such as in theses, theses, dissertations, “and tends to copy and paste from various histories which are haphazard and dry analysis,” said Masduki.

“Well, what is missing is the writing of a longitudinal, comparative, and critical pattern of public broadcasting,” he said while explaining the reason he wrote his dissertation which was published by Palgrave Macmillan Publisher, some time ago.

Reading Time: 2 minutes

Apakah Indonesia Punya Warisan Sejarah Soal Penyiaran Publik Indonesia? pertanyaan ini menjadi penting dikemukakan. Pertanyaan soal warisan sejarah penyiaran publik barangkali sulit untuk dijawab. Belum lagi arah penulisan sejarah penyiaran indonesia masih menemui beragam problem.

Masduki, Dosen Komunikasi UII, pakar penyiaran, mengatakan bahwa pelbagai persoalan dalam penulisan sejarah penyiaran indonesia menyebabkan sulitnya melacak warisan soal penyiaran publik di indonesia.

Doktor lulusan dari Institute of Communication Studies & Media Research (IfKW), University of Munich (LMU Munich), ini menjelaskan, fakta ini berbeda dengan beberapa praktik penyiaran publik di eropa dan amerika, misalnya. “Di Inggris, BBC, sebagai penyiaran publik, lahir untuk memenuhi kebutuhan informasi yang berkualitas bagi warga. BBC, memang sejak lama meneguhkan berbentuk penyiaran publik. Ia juga dilindungi oleh undang-undangnya,” katanya dalam diskusi di Forum Amir Effendi Siregar (Forum AES) yang dihelat Prodi Ilmu Komunikasi UII pada Sabtu, 8 Agustus 2020.

Diskusi Forum AES yang disiarkan langsung oleh Prodi Ilmu Komunikasi lewat TV Online Pertama di UII, Uniicoms TV ini, dihadiri beragam peserta dari beragam pihak. Dari kampus, lembaga, dan institusi. Mulai dari aktivis penyiaran, akademisi, aktivis NGO, mahasiswa, pers, dan juga masyarakat umum.

Menurut Masduki, ada beberapa problem penulisan sejarah penyiaran indonesia. Ia berhasil melacak referensi-referensi baik dari buku, jurnal hingga pustaka lainnya yang bicara soal penyiaran publik di Indonesia. Dari sinilah akhirnya, ia mendaraskan pertanyaannya soal sejarah penyiaran publik ini, dalam disertasinya.

Problem Penulisan Sejarah Penyiaran Publik

Problem-problem dalam penulisan sejarah penyiaran publik itu terbagi menjadi beberapa poin. Misalnya pertama, buku dan referensi lain di Indonesia selama ini hanya terpusat pada aktor. Kedua, pun jika ada melacak sejarah institusi, ia hanya memuat institusi, TVRI misalnya, dan hanya di periode tertentu.

Tak hanya itu, Ketiga, pendekatan yang dipakai adalah pendekatan sejarah lisan periode pra orde baru. “Ini seperti yang bisa kita lihat dalam buku ‘Sedjarah Radio” yang diterbitkan oleh Deppen pada 1953.

Problem selanjutnya, keempat, penulisan sejarah dalam buku masih terpusat pada strategi konten siaran musik di era kolonial. Ini seperti yang ditulis oleh Yampolsky, seorang penulis yang meneliti radio era kolonial seperti SRV, Nirom, dll.

Seterusnya, yang kelima, buku-buku tentang sejarah penyiaran publik masih bersifat kompilasi oleh beberapa penulis indonesianis. Keenam, sejarah yang tertera hanya fokus ke organisasi dan tanggal-tanggal seperti dalam skripsi, tesis, disertasi, “dan cenderung salin tempel dari berbagai sejarah yang serampangan dan kering analisis,” kata Masduki.

“Nah, yang belum ada adalah penulisan sejarah penyiaran publik berpola longitudinal, komparatif, sekaligus kritis,” katanya. Ia sekaligus menjelaskan alasan ia menulis disertasinya yang telah diterbitkan oleh Penerbit Palgrave Macmillan, beberapa waktu lalu.

Reading Time: 2 minutes

 

Pada tanggal 23 Juli 2020, Program Internasional Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII) dan Uniicoms TV mengundang Profesor Chen dan Dr. Masduki dalam The Annual Globalization Workshop (AGW) dengan tema “The Future Globalization.” Workshop ini merupakan program workshop perdana yang diselenggarakan oleh Program Studi Ilmu Komunikasi Internasional UII. Tulisan ini merupakan tulisan kedua Fitriana Ramadhany, mahasiswa magang kami, berdasarkan reportase-nya. Ini adalah artikel tindak lanjutnya.

 

Profesor Chen mengatakan bahwa Covid-19 memiliki lima dampak pada globalisasi. Ini memperlambat proses globalisasi, memperingatkan risiko ketergantungan, meningkatkan kesadaran akan kerapuhan globalisasi, memisahkan diri dari China, dan penurunan pendapatan bersih dari globalisasi. Covid-19 menempatkan penghalang baru bagi globalisasi dengan memperlambat proses dan memperlambat proses transportasi massal. Ia mencontohkan kelangkaan masker saat terjadi pandemi sebagai salah satu risiko ketergantungan produksi dari negara lain. Selain itu, kelompok masyarakat yang paling merasakan dampak Covid-19 adalah pedagang kecil. Hal ini membuat orang mulai berpikir tentang bagaimana mendistribusikan kekayaan mereka secara adil dalam komunitas lokal atau nasional.

Lalu apakah dampak Covid-19 memperlambat globalisasi membuat seseorang refleks pada dirinya sendiri? Profesor Chen memberikan beberapa poin penjelasan tentang pertanyaan ini. Pertama, lebih memperhatikan biaya globalisasi daripada sekadar menyebarkan manfaatnya. Pada poin ini, dia menjelaskan bahwa biaya di sini lebih berkonsentrasi pada biaya pada kelompok tertentu dalam masyarakat seperti pekerjaan manufaktur, biaya keluarga, dan hak asasi pekerja migran. Kedua, dari pemikiran pengurangan biaya hingga pengurangan risiko. Dia menjelaskan bahwa dalam hal ini termasuk pengurangan risiko yang menyiratkan realisasi diri dan ucapan identitas budaya yang heterogen selama komunikasi lintas budaya. Ketiga, orang lain di antara atau tinggal bersama kita. Intinya adalah kita sekarang harus menghadapi dan mengetahui tentang budaya dan sebagaimana orang lain harus mengungkapkan keberadaan kita secara lokal dan global. Keempat dan terakhir, globalisasi akan berubah. Dia menjelaskan pada poin ini bahwa perubahan didorong oleh kombinasi perubahan sentimen populer, kebijakan pemerintah, dan praktik korporasi.

Sebelum menutup pemaparannya, ia menyampaikan harapannya mengenai masa depan globalisasi, “Menurut saya masa depan globalisasi bisa dilihat lebih beragam dan regional. Selain itu, kita memiliki arahan multilateral dan mitra multilateral untuk berdiskusi tentang arah globalisasi. Saya Menurutnya, kita bisa lebih fokus pada para pecundang dari era globalisasi sebelumnya. Sehingga kita bisa lebih memperhatikan satu sama lain, masyarakat lokal, dan menghasilkan teks-teks budaya yang bisa dipertukarkan dan dipahami satu sama lain. ”

Usai sesi presentasi, sesi selanjutnya diisi dengan sesi diskusi. Kemudian terakhir, kedua narasumber menutup workshop dengan menyampaikan pidato terakhirnya tentang bahaya ketergantungan itu sendiri. Hal ini menjadi poin penting tidak hanya bagi masyarakat, tetapi juga bagi pemerintahan di suatu negara. Kedua pembicara tersebut juga memberikan tanda-tanda terakhir bahwa globalisasi kembali berubah dan bertransformasi selama pandemi ini. Itu membuat masyarakat harus bisa melihat dengan cara lain untuk mengatasi situasi tersebut dan betapa pentingnya memikirkan apa yang harus dilakukan di masa depan.

 

Penulis dan Reporter: Fitriana Ramadhany, Mahasiswa magang Jurusan Ilmu Komunikasi UII.Angkatan 2016

Editor: A. Pambudi W

Reading Time: 2 minutes

On July 23, 2020, International Program of Communication Science Universitas Islam Indonesia (UII) and Uniicoms TV invited Professor Chen and Dr. Masduki in The Annual Globalization Workshop (AGW) with the theme “The Future Globalization.” This workshop is the inaugural workshop program organized by the International Program of Communication UII. This writing is the second writing of Fitriana Ramadhany, our intersnship student, based on her reportage. This is her follow-up article.

 

Professor Chen said that Covid-19 had five impacts on globalization. It is slowing the process of globalization, warning of the risk of dependence, raising awareness of the fragility of globalization, decoupling from China, and falling net income from globalization. Covid-19 puts a new barrier to globalization by slowing down the process and slowing down the process of mass transportation. She gave an example of the scarcity of masks during the pandemic as one of the risks of production dependence from other countries. In addition, the community groups that felt the most impact of Covid-19 were small traders. This makes people start thinking about how to distribute their wealth fairly within a local or national community.

Then does the impact of Covid-19 slow down globalization make a person reflex on himself? Professor Chen gave several points of explanation regarding this question. First, paying more attention to the costs of globalization rather than simply propagating the benefits of it. At this point, she explained that costs here concentrate more on costs on specific groups in societies such as manufacture jobs, family tolls, and human rights of migrant workers. Second, from cost-reduction thinking to risk-reduction. She explained that in this case included the risk-reduction of implying the self-realization and utterance of heterogeneous cultural identities during cross-cultural communication. Third, the others among or live with us. The point is that we now have to face and know about culture and as others have to utter our existences locally and globally. Fourth and the last, globalization will change. She explained at this point that change is driven by the combination of changes in popular sentiment, government policy, and corporate practices.

Before concluding her presentation, she expressed her hopes regarding the future of globalization, “I think the future of globalization can be seen as more diversified and regional. In addition, we have multilateral directions and multilaterals partners to discuss about the direction of globalization. I think we can focus more on the losers from the previous era of globalization. So that we can pay more attention to each other, the local community, and to produce cultural texts that can be exchanged and understand one another.”

After the presentation session, the next session was filled with discussion sessions. Then finally, the two guest speakers closed the workshop by delivering their final remarks about the dangers of dependency itself. This becomes an important point not only for the community, but also for the government in a country. The two speakers also give final that globalization changed again and transformed during this pandemic. That makes the community must be able to see in other ways to overcome the situation and how important it is to think about what to do in the future.

—–

Author and Reporter: Fitriana Ramadhany, Student internship of Department of Communication Science, UII. Batch 2016

Editor: A. Pambudi W