Pola kompas, sedari dulu, setiap ada pergantian rezim, dia mendukung penguasa. Kompas menyatakan di editorial Kompas pada 28 September 1966. Kompas menulis bahwa PKI itu manifestasi nyata salah tafsir atas pancasila. Namun ketika penguasa lemah, dia mulai berani kritis.
Wijayanto mengatakan, pada 1966 ada rubrik khusus bernama Kompasiana di Kompas. Rubrik ini diasuh PK Ojong. Namun pada 1971, dia memutuskan berhenti mengasuh, karena soeharto yang awalnya merangkul pers, justru sebaliknya.
“Pada saat itu ia menunjukkan otoritarianismenya pada media. Masa bulan madu soeharto dan media berakhir di awal 70-71an,” kata Wijayanto dalam seri diskusi Forum Amir Effendi Siregar (AES) ke-6 pada 15 Agustus 2020 yang disiarkan oleh Uniicoms TV, TV online pertama di UII milik Prodi Ilmu Komunikasi UII.
Forum AES adalah ikhtiar Prodi Ilmu Komunikasi UII dalam mengabadikan spirit dan gagasan kritis dalam kajian media dan komunikasi. Spirit tersebut adalah spirit seorang Amir Effendi Siregar, pendiri Program Studi ini, kata Holy Rafika Dhona, moderator cum Dosen Komunikasi UII yang juga fokus menulis kajian mustadh’af dalam buku tentang Komunikasi Profetik.
“Saya rasa nggak ada gunanya, kalau saya nulis jujur, nanti koran ini terancam. Tetapi kalau nulis sesuai permintaan penguasa, ya nanti saya tidak bisa berdamai dengan hati nurani saya sendiri, tentu merugikan. jadi mending tidak ditulis to?” kata Wijayanto menirukan kata-kata P.K. Ojong yang memutuskan menghentikan rubrik Kompasiana. Kompasiana, yang berisi tulisan-tulisan kritis pada rezim, dinilai melukai Presiden Soeharto waktu itu.
“Pak Ojong tidak mau minta maaf dan bilang jadi mayat sekarang atau nanti toh sama saja. Namun Jakob Oetama (salah satu pendiri harian Kompas) lanjut saja dan menjadikan habitusnya Kompas seperti itu. Habitus kompas adalah habitus Jakob,” imbuh Wijayanto yang juga adalah Direktur Center for Media and Democracy, LP3ES.
Pada masa 70an awal, strategi Kompas agar selamat dari bredel, adalah mendekat pada kekuasaan. Pada 1973 Jakob Oetama dapat penghargaan dari Soeharto. Bukti dari kedekatan dengan Soeharto. Wijayato, yag juga dosen Komunikasi Undip, mengatakan “selain itu, dari disertasi Daniel Dhakidae, Kompas juga mendapat dapat pinjaman dari BNI sebesar 235juta. Yang pada saat itu sangat besar dan merupakan priviledge, yang tidak semua media mendapatkannya,” kata Wijayanto.
Namun pada 1978, pada peringatan hari pers ke-32 di istana, setelah Kompas dibredel, Jakob bertemu Soeharto. Pada saat itu, sambil berjabat tangan, Jakob Oetama berkata, “Maturnuwun sampun diparingaken terbit maleh. (Terima kasih sudah diperbolehkan terbit kembali),” kata Wijayanto menirukan. Lalu dibalas oleh Presiden Soeharto sambil tersenyum,”Ojo meneh-meneh.” Sebelumnya memang tercatat Kompas dibredel sejak 21 Januari sampai 3 Februari 1978.
Suharto memberi syarat agar Kompas boleh terbit lagi, kata Wija, panggilan Wijayanto: menandatangani kontrak permohonan maaf yang isinya berjanji tidak memberitakan kekayaan presiden, keluarga presiden dll.
Setelah momen-momen itu, Kompas tetap hidup.
“Namun ketika legitimasi Soeharto redup, pada 14 Mei 1998, Kompas mulai kritis,” imbuh Wijayanto. Kompas menulis pada edisi 14 mei 1998, kalau rakyat tak lagi menghendakinya, Presiden siap mundur.
Sebenarnya, peristiwa ini terjadi saat perjalanan Soeharto dari Kairo ke Jakarta. James Luhulima, seorang wartawan Kompas, dalam bukunya Hari- Hari Terpanjang (Menjelang Mundurnya Presiden Soeharto), menulis bahwa sebenarnya kita mencoba memancing presiden Suharto bahwa dia mau untuk mundur. “Kita sebenarnya tahu Suharto tidak berniat mundur. Tapi kita tanya, bagaimana kalau rakyat sudah tidak menghendaki bapak lagi sebagai presiden. Lalu dijawab kalau rakyat sudah tidak mau menghendaki saya lagi, ya saya akan mundur,” kata Wijayanto menirukan James Luhulima.
Jadi Kompas bersama kekuatan sosial lainnya ikut memberikan tekanan dan menciptakan suasana Soeharto seakan siap untuk mundur. Walau pada 16 Mei Soeharto membantah siap mundur.
Perjalanan sejarah media dalam biobrafi Kompas ini menjadi pelajaran berharga. Sejarah mencatat bahwa bahkan selama orde suharto Kompas tertindas dalam kuasa rezim, pada titik lemah kekuasaan, Kompas mulai menunjukkan keberpihakannya.
Cerita ini adalah hasil dari disertasi Wijayanto. Wijayanto melakukan riset etnografi pada harian Kompas dari Januari 2014 sampai Juni 2015. “Ini adalah disertasi di Leiden yang manuskripnya sudah diajukan sejak 2018,” kata Wijayanto.
Dalam sesi diskusi disertasinya di Belanda, bahasan Wijayanto ini masuk di koran lokal dalam bahasa Belanda dengan judul: anjing penjaga yang sopan. Diskusi tersebut juga masuk di harian Kompas dengan judul yang berbeda: Harian Kompas Melintasi Zaman.