Reading Time: 2 minutes

Punya ide cerita? Bingung buat mengembangkan ide cerita? Ide selalu mentok di layar putih laptop? Beragam kendala ini barangkali sering muncul bagi mahasiswa ilmu komunikasi ketika menggarap proyek karya kreatifnya. Entah itu naskah film, novel, esai, cerita pendek, bahkan tulisan berbasis reportase lapangan. Kuncinya adalah kuat dalam riset: meneliti dan membaca.

“Jadi kuncinya riset dan observasi. Kita akan punya sekian banyak data untuk kita letakkan dalam storyline,” kata Dirmawan Hatta dalam Workshop Desain Karya Kreatif pada Sabtu (12/12/2020). Dirmawan, pembicara kali ini, adalah Founder Tumbuh Sinema Rakyat. Sebuah lembaga yang bervisi menumbuhkan tontonan rakyat dan jaringannya.

Acara yang ditujukan mendukung mahasiswa merancang Seminar Proposal tugas akhir. Pada pelaksanaan hari kedua ini workshop dilaksanakan secara daring dan disiarkan langsung dari studio Laboratorium Audiovisual Prodi Ilmu Komunikasi UII.

Jika risetnya lengkap, dan sudah menemukan banyak bahan untuk dimasukkan dalam cerita, langkah selanjutnya adalah menentukan rentang batas.

Seberapa jauh akan dibawa cerita dalam film ini. Membuat batasan yang konkrit tentang waktu. Batas waktu penceritaan. Bagaimana menceritakan peristiwa sesuai apa yang didapat indra, bukan dari gagasan.

Pandailah meletakkan ide cerita. “Awalannya apa, akhirnya apa? Lalu cari yang paling penting itu letakkan di akhir, itu yang akan menjadikan rasanya beda-beda,” tambah Dirmawan.

Ia menambahkan, “Jadi, intinya jalan cerita bisa terlihat dulu. Cara mempresentasikan karya filmnya bisa dibolak balik bebas susunannya.”

Menurut Dirmawan, menyampaikan informasi lebih mudah daripada merebut perasaan. Alat kita untuk memikat penonton, salah satu mata uangnya adalah perasaan. Maka buatlah cerita yang membawa perasaan, itulah yang memikat.

Bagaimana Memikat Penonton? Gunakan trik Suspense dan Surprise

Apa beda surprise dan suspense. Banyak pembuat film pemula tertukar memahami keduanya. Pun jika penggunaannya dalam film tak jarang tak tepat. Dirmawan mencoba menjelaskannya pada peserta workshop agar dua trik ini dapat digunakan dalam merancang ide cerita.

“Surprise itu tidak menyangka tapi terjadi. Mengagetkan,” kata Dirmawan yang filmnya beberapa waktu lalu masuk dalam nominasi ajang Festival Film Indonesia/ FFI 2020.

Adapun suspense, misalnya ketika kita menyadari akan menyangka sesuatu terjadi tapi tak kunjung terjadi. “Kita menyangka pasti terjadi. Ternyata tidak terjadi. Misalnya, kejar=kejaran dengan polisi. Bersembunyi dalam ruang, tapi saat dobrak pintu ternyata tidak ada,” Dirmawan menyontohkan.

“Kalau teman-teman membuat cerita yang selalu ada ada suspense dan surprisenya ini akan membuat penonton menonton sampai akhir,” jelasnya.

Selain menggunakan trik surprise dan suspense, pengembangan karakter dan plot juga harus diperhatikan. Pengembangan karakter ditentukan pada, “seberapa besar pengetahuanmu dan seberapa fokus kamu akan mengembangkan karakter si tokoh,” jelasnya.

“Pengembangan karakter tidak ngasal juga, pasti mengikuti pola tertentu dari cara kita mendefinisikan ruang kultural dan ruang spasial yang melekat pada si tokoh/ karakter,” katanya.

Pengembangan karakter bisa dilakukan dengan menerjemahkan bentuk karakter antar tokoh atau antara tokoh dengan peristiwa dan nilai cerita.

Kata Dirmawan, “Jadi harus mendefiniskan karakter. Kalau kita tidak bisa mendeskripsikan karakter, hobi dan sifat tokoh, maka ide dan karakter cerita kita akan tak memiliki daya tarik dan hanya sekadar gagasan.” Pendalaman karakter, cerita, dan plot cerita ini hanya bisa didapat setelah melakukan riset.

Pada dasarnya, menurut Dirmawan, formula untuk bercerita atau mengisahkan cerita adalah selalu membaca, bersikap kritis, “tidak semata dengar dan tiru, tapi diolah.”

Ia menambahkan, “kalau kita kenal baik dengan karakter tokoh kita, caranya dengan riset dan observasi dari beragam arah, maka penonton akan bawa sesuatu setelah menonton,” katanya.

Reading Time: 3 minutes

Have a story idea? Confused about developing story ideas? Ideas always stuck on a white laptop screen? These various obstacles may often arise for students of communication science when working on creative work projects. Whether it’s a film script, novel, essay, short story, even writing based on field reportage. The key is strong in research: researching and reading.

“So the key is research and observation. We will have a lot of data for us to put in the storyline,” said Dirmawan Hatta in the Creative Work Design Workshop on Saturday (12/12/2020). Dirmawan, the speaker this time, is the Founder of Growing Up Cinema Rakyat. An institution that has the vision to grow the spectacle of the people and their networks.

The event is aimed at supporting students in designing their final project Proposal Seminar. On the second day, the workshop was held online and broadcast live from the Audiovisual Laboratory of the UII Communication Science Study Program.

If the research is complete, and you have found a lot of material to include in the story, the next step is to determine the boundary range.

How far will the story in this film take. Make concrete boundaries about time. Time limit for telling. How to tell events according to what the senses get, not from ideas.

Begin to lay down story ideas. “What did it start with, what did it end with? Then look for the most important thing, put it at the end, that will make it taste different,” added Dirmawan.

He added, “So, the point is that the story line can be seen first. The way of presenting a film can be reversed freely.”

According to Dirmawan, conveying information is easier than capturing feelings. Our tool to captivate the audience, one of the currencies is feeling. So make a story that brings feelings, that’s what is captivating.

How to Capture an Audience? Use the Suspense and Surprise trick.

What is the difference between surprise and suspense. Many budding filmmakers confuse the two. Even if its use in films is often inappropriate. Dirmawan tries to explain it to the workshop participants so that these two tricks can be used in designing story ideas.

“Surprise was unexpected but happened. It was surprising,” said Dirmawan, whose film some time ago was nominated for the 2020 Indonesian Film Festival / FFI.

As for suspense, for example when we realize that we think something happened but never happened. “We thought it must have happened. It didn’t happen. For example, They chasing the police. Hiding in the room, but when the door was smashed there was not there,” Dirmawan gave an example.

“If you make a story that always has suspense and surprise, it will make the audience watch until the end,” he explained.

Apart from using the surprise and suspense tricks, character and plot development must also be considered. Character development is determined by, “how much knowledge you have and how focused you will be on developing the character of the character,” he explained.

“The development of character is not random either, it must follow a certain pattern from the way we define the cultural space and the spatial space attached to the character / character,” he said.

Character development can be done by translating the form of characters between characters or between characters and events and story values.

Dirmawan said, “So we have to define characters. If we can’t describe the characters, hobbies and character traits, then our ideas and story characters will have no appeal and will be just ideas.” This deepening of the characters, stories, and story plots can only be obtained after doing research.

Basically, according to Dirmawan, the formula for telling or telling a story is always reading, being critical, “not just listening and imitating, but being processed.”

He added, “if we know our character well, by doing research and observation from various directions, the audience will bring something after watching,” he said.

 

Reading Time: < 1 minute

Akhir tahun bagaikan rangkaian pitstop. Harus ada saat-saat kita berhenti. Perspektif sebagai seorang muslim, kehidupan sebagai rangkaian milestones. Ada momen tertenu sebagai seorang muslim untuk refleksi.

“Misalnya kita memiliki satu bulan istimewa yaitu bulan ramadhan. Di situ kita bisa menunaikan ibadah. Kemudian allah melipatkgandakan pahala. Di situ ada malam lailatul qodar, ada peringatan nuzulul quran. jadi ada momentum-momentum dalam islam,” kata Dr. Harry B Santoso S.Kom, M.Kom (Dosen Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia) dalam kajian rutin #ngajikomunikasi pada Sabtu (12/12). #ngajikomunikasi kali ini mengangkat tema Refleksi Akhir Tahun 2020 dipandu Subhan Afifi, Dosen Komunikasi UII.

Harry menambahkan, misalnya kalau dalam hari-hari, ada juga hari yang istimewa. Ia mencontohkan, hari jumat adalah hari gathering. Pada hari jumat, kaum muslimin berkumpul dan menyimak khotib. “Dalam perspektif sosial, tentu tidak ada mekanisme umat islam berkumpul. Tapi dengan salat jumat kaum muslim berkumpul lalu menyimak pesan dari khotib, dan di situlah masyaraka islam dibangun secara spiritual,” jelas Harry.

Baginya, rangkaian hidup seorang muslim menjadi rentetan. Manusia memiliki milestone-milestone. Ada tonggak kejadian-kejadian penting yang bisa kita lihat dalam perspektif harian. “Atau bisa juga kita melihatnya bulanan, atau tahunan. misalnya bisa seperti yang kita lakukan sekarang refleksi akhir tahun,” papar Harry.

Bagaimana seharusnya hidup di dunia? Apa panduan untuk refleksi kehidupan selama tahun ini berjalan. “Sikap mental kaum muslimin, idealnya, walaupun kaki mereka berpijak di dunia, tapi pandangan mereka mengarah jauh ke depan, ke tujuan akhir, yaitu jannah, atau surga,” terang Harry menjelaskan sikap mental ideal seorang muslim sebagai panduan menilai diri.

“Ini yang perlu kita renungkan bahwa seorang muslim hendaklah menjadi musafir, dan akhir perjalannnya adalah akhirat,” imbuhnya.

Reading Time: 2 minutes

The end of the year is like a series of pit stops. There must be times when we stop. Perspective as a Muslim, life as a series of milestones. There are certain moments as a Muslim for reflection.

“For example, we have a special month, namely the month of Ramadan. There we can perform worship. Then Allah multiplies the reward. There is a night of lailatul qodar, there is a warning of Nuzulul Quran. So there are momentum in Islam,” said Dr. Harry B Santoso S.Kom, M.Kom (Lecturer at the Faculty of Computer Science, University of Indonesia) in a routine study of #ngajikomikasi on Saturday (12/12). This time #ngajikomikasi raised the theme End of Year 2020 Reflection guided by Subhan Afifi, UII Communication Lecturer.

Harry added, for example, if there are days, there are also special days. He gave an example, Friday is the day of gathering. On Friday, the Muslims gather and listen to the preacher. “From a social perspective, of course there is no mechanism for Muslims to gather. But with Friday prayers Muslims gather and listen to messages from the preacher, and that’s where the Islamic community is built spiritually,” said Harry.

For him, the life series of a Muslim becomes a series. Humans have milestones. There are milestones for important events that we can see from a daily perspective. “Or we can see it monthly, or annually. For example, it could be like what we do now, reflecting the end of the year,” said Harry.

How should you live in the world? What a guide for reflection on life during the year. “The mental attitude of the Muslims, ideally, even though their feet stand in the world, their views are far ahead, to the final goal, namely jannah, or heaven,” explained Harry explaining the ideal mental attitude of a Muslim as a guide to self-assessment.

“This is what we need to reflect on that a Muslim should be a traveler, and the end of his journey is the hereafter,” he added.

 

Reading Time: < 1 minute
0Days0Hours

Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia menggelar

Diskusi peluncuran buku “Public Service Broadcasting and Post-Authoritarian Indonesia” (Masduki, Palgrave Macmillan, 2020) dengan judul:

Lembaga Penyiaran Publik: Kemarin, Hari Ini dan Esok

 

Jadwal:

Senin, 14 Desember 2020
Pukul 15:30-17:00 WIB

 

Diskusi ini menghadirkan:

Penulis

Dr.rer.soc. Masduki (UII, Yogyakarta)

Pembahas

Prof. Dr. Johannes Bardoel (University of Amsterdam, The Netherlands)

Assoc. Prof. Nurhaya Muchtar (Indiana University of Pennsylvania, USA)

———————–

Moderator

 

Mira Rochyadi-Reetz (Lecturer and Doctoral Student, Institute of Media and Communication Science Ilmenau University of Technology, Ilmenau- Germany

 

——–

 

Registrasi di link berikut:

info lebih lanjut Hub:

Reading Time: < 1 minute

Program Studi Ilmu Komunikasi FPSB UII kembali mengadakan #NgajiKomunikasi dengan tema:

“Refleksi Akhir Tahun 2020”

Islam merupakan agama yang sangat mementingkan soal waktu. Islam menganut konsep waktu monokronik, yakni waktu terus berjalan secara linier dan tidak bisa berputar ulang. Agama Islam memberikan pedoman hidup sesuai dengan waktu yang berjalan maju tersebut, sehingga umat Islam hendaknya bisa menjadi orang yang menghargai waktu dan bredisiplin dengan waktu[1]. Ketika waktu terus bergerak maju dan apa yang telah terjadi tak dapat diulangi kembali, maka sebagai orang Islam perlu untuk melakukan refleksi terhadap apa yang sudah dikerjakan selama ini.

Tahun 2020 akan segera berakhir. Tentu saja perlu adanya refleksi terhadap apa yang telah kita lakukan di sepanjang tahun ini. Tahun 2020, umat manusia menjalaninya dalam kondisi menghadapi krisis Covid-19 yang berdampak pada banyak hal. Ancaman terhadap kesehatan, adaptasi (beberapa di antaranya perlu dilakukan secara drastic) terhadap aktivitas yang kita lakukan, dampak terhadap pendapatan atau penghasilan, hingga ketahanan keluarga menjadi hal yang marak dibicarakan sepanjang tahun ini. Refleksi ini diperlukan untuk menghadapi tahun-tahun mendatang yang akan semakin penuh tantangan.

Pemateri: 

Ustadz Dr Harry B Santoso S.Kom, M.Kom (Dosen Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia)

Jadwal

Hari/tanggal    : Sabtu / 12 Desember 2020

Jam                 : 13:00 WIB – 15:00 WIB

Media              : Daring (Zoom). Link/tautan : bit.ly/Pengajianilkomuii

 

Reading Time: 2 minutes

Seperti apa yang dimaksud dengan Istilah sinema organik? Mungkin ini menjadi pertanyaan yang banyak muncul di benak mahasiswa ketika mendengar istilah sinema organik dari Dirmawan Hatta saat workshop Desain karya Kreatif Batch 1. Mungkin istilah ini memang asing dan baru buat teman-teman yang baru masuk di dunia film. Istilah ini tidak sefamilar dokumenter atau indie. Sinema organik sebetulnya juga tidak bersebarangan dengan istilah film dokumenter atau film indie. Yang berbeda hanyalah pendekatannya saja.

Workshop Desain Karya Kreatif pada Sabtu (5/12), ini merupakan salah satu workshop penting selain untuk memberi jeda mahasiswa dengan tugas kuliah di masa pandemi. Workshop ini memberikan pandangan dan cara baru dalam membuat karya kreatif sekaligus persiapan menuju Seminar Proposal. Dalam rangka serial Road to Seminar Proposal ini, penting mahasiswa dibekali dengan berbagai tawaran ide untuk mereka sajikan dalam sebuah karya kreatif tugas akhirnya.

“Bagaimana mahasiswa mencari ide, menemukan masalah, mencari insight, untuk nanti bisa dikembangkan untuk karya kreatif maupun skripsi,” ungkap Puji Hariyanti, Ketua Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia membuka acara.

Sinema organik diperkenalkan dalam workshop ini oleh Dirmawan Hatta, salah satu pembicara dalam workshop daring ini. Sinema organik dibentuk oleh beberapa orang yang merasa prihatin dengan mindset bahwa film bagus harus dibuat dengan modal berlimpah. Mereka, orang-orang di komunitas film yang disebut Tumbuh Kembang Rakyat, mengembangkan sebuah pendekatan untuk membuat film.

Mereka merasa akan bisa membuat film yang bagus jika bisa menyakinkan film dengan perspektif yang otentik, bukan perpektif umum (kebanyakan), perspektif yang datang dari orang luar pembuat film. Sinema organik mencoba mengangkat sebuah konsep film warga. Film warga biasa yang luar biasa.

Bagaimana film yang bisa dibilang sinema organik itu? Awalnya mereka melakukan riset sosial, melakukan pengamatan dalam jarak dekat, hidup bersama warga saling bercerita dengan warga setempat. Tak hanya itu, “warga dilibatkan secara aktif, dan peran warga itu penting. Mereka yang memiliki perspektif akan masalah dalam film itu,” terang Dirmawan yang juga adalah Sutradara film Istri Orang.

Pendekatan partisipatif meyakini bahwa keterlibatan warga sebagai ‘orang yang punya gawe’ dalam film adalah utama. Dengan begitu film akan berangkat dari bagaimana warga memandang masalah, memandang realitas sosial, dari perspektif mereka sebagai warga. “Bukan perspektif kita sebagai pembuat film, bukan perspektif ilmiah,” katanya. Di sini orang luar diposisikan sebagai teman untuk bercerita, dan lebih banyak ada di bagian pengorganisasian dan teman berdiskusi.

 

Reading Time: 2 minutes

Yang terbayang ketika mendengar kata film indie atau film Independen adalah kualitasnya gambarnya sederhana, gelap, pemainnya “konco dewe”. Bertolak  belakang dengan yang kita bayangkan ketika mendengar film konvensional atau lazim dengan sebutan film komersial yang melibatkan ratusan kru, kamera besar dan mewah, lampu-lampu besar, budget besar dan aktor kondang, serta didistribukan lewat bioskop.

Stigma tersebut tidak salah, tapi tidak sepenuhnya benar. Dirmawan Hatta, seorang perintis Tumbuh Sinema Rakyat, memberikan padangannya tentang film Indie (Film Independen) yang berkembang saat ini.

Sabtu itu, 5 Desember 2020, Dirmawan tengah diundang dalam workshop Desain Karya Kreatif yang di selenggarakan oleh Program Studi (Prodi) Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia. Workshop yang disiarkan langsung dari studio laboratorium audiovisual Komunikasi UII ini menjelaskan seperti apa perkembangan film Indie. Mahasiswa bisa menonton siarannya di Youtube Saluran Uniicoms TV.

Dirmawan menceritakan film Indie di awal kemunculannya sebelum era internet dan streaming ada. Workshop yang dipandu oleh Ratna Permatasari, Dosen Komunikasi UII, dengan klaster Riset Komunikasi Visual, ini melaju seru. Ratna mengajukan beberapa pertanyaan pemantik sehingga membuat mahasiswa lebih mudah mendapatkan gambaran yang diberikan.

“Mau digarap dengan skema-skema apapun jika film tersebut didasari sebagai upaya untuk menjawab kebutuhan mereka itulah film independen. Bukan untuk kepentingan industri film konvensional.”

Gambaran film Indie yang umum dipahami, kata Dirmawan, bahwa film indi adalah film dengan budget kecil, kru sedikit, kamera biasa, tapi bisa juga didistribusikan melalui bioskop. “Apakah kalau didistribusikan lewat bioskop nggak bisa disebut Indie? Tidak juga,” kata Dirmawan.

Dirmawan juga melanjutkan bahwa film indi memang tidak memiliki definisi yang rigid dan pasti. Hal ini sering membuat perdebatan tersendiri. Dari sekian perdebatan, Dirmawan lebih melihat secara subtantif. Film seperti apa yang bisa dibilang sebagai film indie? Ia mencoba melihat dari spiritnya. “Mau digarap dengan skema-skema apapun jika film tersebut didasari sebagai upaya untuk menjawab kebutuhan mereka itulah film independen. Bukan untuk kepentingan industri film konvensional.”

Reading Time: < 1 minute

 Mencari ide inspiratif itu susah-susah gampang. Sesusah cari ide untuk membuat artikel atau judul skripsi. Tapi sebenarnya tidak sesulit itu. Begitu yang diungkapkan Bagus Kresnawan atau lebih dikenal dengan Bagus Tikus, seorang alumni Komunikasi UII angkatan kedua pada 5 Desember 2020. Paparan itu ia sampaikan kemarin dalam acara Awarding FKI (Festival Konten Inspiratif) 2020 yang diadakan oleh Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia.

FKI perdana ini adalah festival yang mendorong netizen agar dapat membuat konten positif dan inspiratif. Dari sejak pembukaan pendaftaran kompetisi FKI, puluhan peserta telah berpartisipasi dengan beragam konten. Mulai dari Vlog, film pendek fiksi hingga film pendek dokumenter. Diskusi bersama Bagus Tikus sekaligus membuka acara penganugerahan FKI pada 2020 ini.

Bagus, yang juga pendiri huntingpasar.id, memulai dengan membedah istilah inspiratif. Ia mencoba menyerderhanakan inspiratif itu tidak selalu sesuatu yang membuat orang lain bergerak untuk melakukan perubahan. Tidak serumit dan tidak sesulit itu.

Bagi Bagus Tikus, inspiratif itu cukup untuk membuat orang untuk gelisah saja. Pastinya hal itu dekat dan sangat kita sukai. Ia mencontohkan, “aku mengulas A to Z tentang I-pad. Tanpa ada tendensi untuk membuat orang tergerak. Hanya karena aku suka saja.”

Dari konten itu ternyata di luar dugaannya menjadi konten yang bagus dan populer, “banyak orang akan mikir oh Ipad mahal, tapi ternyata kalau dihitung bisa lebih murah. Dan kualitas gambar yang bagus bisa membuat aku lebih produktif dan menguntungkan untuk bikin konten.” Dia menceritakan bawa dengan konten tersebut bahakan ada orang yang akan membeli barang, memutuskan untuk tidak membeli barang, atau sebaliknya.

Jadi tidak perlu merasa terbebani dengan konten yang harus menggugah orang lain untuk bergerak. Cukup buat saja konten atau pesan yang kita sukai dan dekat dengan kehidupan kita. Orang lain tergerak atau tidak, itu bukan urusan nanti.

 

 

Reading Time: 2 minutes

Media Sosial memberikan banyak kemudahan bagi siapa saja yang ingin menyampaikan pesan. Media sosial adalah kesempatan emas bagi siapapun yang ingin berkarya dan menyebarkan pesan mereka. Bahkan sarapan saja bisa disambi dengan berbagai aktifitas yang menguntungkan dan berfaedah.

Bagus Kresnawan alias bagus Tikus, seorang pendiri huntingpasar.id, membeberkan rahasianya tentang bagaimana dia memulai komunitasnya, juga bagaimana dia mencari ide inspiratif dalam konten yang dia buat. Paparan Bagus Tikus ini disampaikan bersamaan dengan puncak acara penghargaan Festival Konten Inspiratif (FKI) 2020 pada Sabtu (5/12). Perhelatan FKI ini adalah yang pertama diselenggarakan oleh Uniicoms TV, saluran TV daring milik Program Studi Ilmu Komunikasi UII.

“Katanya hunting foto dan video, ternyata cuma mau sarapan,” kata Sumekar Tanjung, moderator sekaligus Dewan Juri FKI, memantik diskusi lebih lanjut dengan Bagus. Tanjung, yang juga adalah Dosen Komunikasi UII klaster riset Komunikasi VIsual dan Visual Culture, mengupas banyak hal tentang bagaimana menggunakan media sosial untuk aksi-aksi positif dan menginspirasi.

Bagus menceritakan bagaimana ia memulai huntingpasar.id sebagai gerakan inspiratif mempromosikan pasar tradisional Indonesia. Hingga kini hunting pasar sudah berada di lebih dari 74 kota. Bahkan sudah hunting hingga Turki dan Hongkong.

Bagus, yang juga alumni Komunikasi UII angkatan 2005, ini menceritakan bagaimana ia mengawali huntingpasar.id. Ia mengaku sama sekali tidak ada keterampilan foto dan video sama sekali. Pernah bekerja di radio swasta, lalu keluar dari pekerjaan itu. Kemudian dunia seperti melemparnya ke dunia produksi video profesional. Dia merasakan bahwa dunia fotografi dan video itu menyenangkan. Mulailah ia tergerak untuk mencari tempat untuk belajar. Ternyata tidak mudah.

“Cuma sekadar nongkrong saja untuk melihat dan mengamati bagaimana video itu diproduksi. Nah, cuma begitu saja caraku belajar awalnya,” Jelas Bagus sederhana dalam Webinar dengan tema “Membuat Konten Positif dan Inspiratif” di siaran langsung Channel Uniicoms TV.

Selanjutnya, ia iseng mengajak teman-temannya di Jogja untuk hunting bareng. Ia membuat blog untuk mengajak siapaun terus belajar bareng dan hunting di pasar. Dalam blog itu ia mengajak semua orang dengan semangat amatir, belajar, sekadar untuk memperbanyak portofolio saja. Ia juga menyertakan link untuk tergabung di grup WhatsApp. Ternyata antusiasmenya sangat besar. “Sore aku bikin grup WhatsApp-nya besok dah penuh.” kata Bagus.

Ternyata, media sosial bisa kamu jadikan wahana belajar dan berkumpul. Tak harus kamu jadi influencer untuk bisa mengubah dunia. Bahkan dengan alat paling sederhana seperti ponsel, kamu bisa hasilkan foto yang menarik bahkan menginspirasi.

Kata Bagus, semangat amatir membuat kamu tak perlu malu terus memotret dan bikin video. Misi untuk tidak gampang minder perlu mahasiswa Komunikasi UII pegang juga, yang penting punya portofolio dulu. “Terus berkarya, tingkatkan portofolio, nggak perlu nunggu punya alat-alat mahal untuk punya karya yang menginspirasi.”