Reading Time: 2 minutes

Amir Effendi Siregar (AES) adalah pendiri Prodi Ilmu Komunikasi UII. Ia adalah pejuang, aktivis, memperjuangkan demokratisasi media di indonesia. Ia adalah role model praktisi, akademisi, dan aktivis.

“Sesuatu yang agak sulit ditemukan karena berada di tiga wilayah berbeda,” kata Puji Rianto dalam diskusi ilmiah Forum Amir Effendi Siregar (Forum AES) yang disiarkan langsung di Channel Youtube Uniicoms TV, Prodi Ilmu Komunikasi UII, pada 7 November 2020.

Bagaimana Puji memetakan pemikiran AES?

Ia membaca karya-karya utama AES lalu dikelompokkan dalam tema-tema pokok yang relevan. Puji kemudian mencari benang merah demi menemukan ide atau gagasan dasar AES.

Profil AES pernah yang disebut Puji pernah berada di tiga wilayah berbeda adalah pernah menjadi Sekjend SPS, Anggota Dewan Pers, Pendiri serta Ketua PR2media (Pemantau Regulasi dan Regulator Media), dan di level praktisi juga pendiri majalah Wartaekonomi.

Puji menjejak atas pemikiran Bang Amir, panggilan akrab AES, adalah pemikiran yang kental akan Sosialisme Demokrasi. Baik dalam pemikiran soal isu kenegaraan maupun demokratisasi media.

Puji ingin menegaskan, bahwa sejak AES menjadi aktivis pers mahasiswa, ia telah menuangka gagasannya dalam membicarakan persoalan kebangsaan. Menurut Puji, itu tertuang misalnya dalam buku ‘Pers Mahasiswa, Patah Tumbuh Hilang Berganti’ yang ia tulis menjadi Skripsi. AES menulis, “Sejak kemerdekaan republik INdonesia, sistem politik indonesia selalu bergeser dari langgam libertarian ke authoriarian dan sebaliknya,” kata puji membaca bagian dari buku AES.

“Indikator sebuah negara yang demokratis,” lanjut Puji, “adalah terdapatnya jaminan kemerdekaan berekspresi (freedom of expression), kebebasan berbicara, dan kemerdekaan pers,” kata Puji.

Inilah peta garis besar pemikiran Bang Amir yang tertuang dalam bukunya ‘Menegakkan Demokratisasi Penyiaran’ ini. Buku ini adalah buku yang ia siapkan dan disampaikan sebagai saksi ahli dalam Sidang Mahkamah Konstitusi pada Perkara No. 78/PUU-Ix/2011 tanggal 15 Februari 2012 tentang pengujian Undang-undang 32/ 2002 tentang penyiaran terhadap UUD RI 1945

Visi AES, ungkap Puji, adalah visi sosdem (Sosialisme Demokrasi) AES untuk media. “Diversity (keberagaman) penting, tanpa adanya jaminan terhadap diversity of voices, diversity of content, dan diversity of ownership ini maka akan membuka peluang munculnya otoritarianisme baru. ototrianisme kapital, dan oligopoli oleh segelintir orang atas nama freedom dan dengan sendirinya membunuh demokrasi,” jelas Puji Rianto, yang juga adalah ahli riset khayalak dan regulasi media dan komunikasi di Komunikasi UII.

Puji menjelaskan, karya-karya AES dan PR2media hampir selalu mensyaratkan keberagaman dan secara bersamaan menolak sentralisasi dan konsentrasi. “Bahkan beliau (AES) menolak judul yang singkat dan padat kalau tidak bisa memastikan adanya demokrasi, adanya keberagaman,” kenang Puji.

Maka dari itulah, “buku PR2media selalu ada sub judulnya, itu untuk memastikan bahwa konsep demokrasi muncul,” katanya. Itu juga untuk memastikan bahwa oligopoli adalah sebuah hal yang bahaya, “dan keberagaman adalah suatu hal yang diperjuangkan itu muncul di sana,” papar Puji mengenang hari-hari bersama Bang Amir ketika menggarap buku-buku PR2Media.

 

—————-

 

Reading Time: 2 minutes

Amir Effendi Siregar (AES) is the founder of UII Communication Studies Study Program. He is a fighter, activist, fighting for the democratization of the media in Indonesia. He is a role model for practitioners, schoolars, and activists at once.

“Something that is rather difficult to find because it is located in three different regions,” said Puji Rianto in a scientific discussion at the Amir Effendi Siregar Forum (AES Forum) which was broadcast live on the Youtube Channel of Uniicoms TV, UII Communication Science Study Program, on November 7, 2020.

How Puji mapped AES thinking?

He read the main works of AES and then grouped them into relevant main themes. Puji then looks for a common thread in order to find the basic idea or idea of ​​AES.

AES profile, which Puji mentioned, has been in three different regions, being Secretary General of SPS, Member of the Press Council, Founder and Chair of PR2media (Regulatory Monitor and Media Regulator), and at the practitioner level he was also the founder of Warta Ekonomi magazine.

Praise is tracing the thoughts of Bang Amir, the nickname of AES, is a thought that is thick with Democratic Socialism. Both in thinking about state issues and in democratizing the media.

Puji wants to emphasize that since AES has become a student press activist, he has drawn his ideas in discussing national issues. According to Puji, this was stated for example in the book ‘Student Press, Broken Tumbuh Hilang Changing’ which he wrote as a thesis. AES wrote, “Since the independence of the Republic of Indonesia, the Indonesian political system has always shifted from libertarian to authoriarian and vice versa,” said Puji reading part of the AES book.

“The indicator of a democratic country,” Puji continued, “is the guarantee of freedom of expression, freedom of speech and freedom of the press,” said Puji.

This is an outline map of Bang Amir’s thoughts which is contained in his book ‘Menegakan Democratization of Broadcasting’. This book is a book that he prepared and presented as an expert witness in the Constitutional Court Session on Case No. 78 / PUU-Ix / 2011 dated February 15, 2012 concerning the review of Lawconcerning broadcasting of the 1945 Indonesian Constitution.

32/2002AES vision, said Puji, is AES ‘sosdem (Democratic Socialism) vision for the media. “Diversity is important, without the guarantee of diversity of voices, diversity of content, and diversity of ownership, it will open up opportunities for the emergence of new authoritarianism, capital autocraticism and oligopoly by a few people in the name of freedom and by itself kills democracy,” explained Puji Rianto, who is also an expert on imaginary research and media and communication regulation at UII Communications.

Puji explained that the works of AES and PR2media almost always require diversity and at the same time reject centralization and concentration. “In fact, he (AES) rejected a short and concise title if he could not ensure democracy and diversity,” recalled Puji.

Therefore, “the PR2media book always has subtitles, it is to ensure that the concept of democracy emerges,” he said. That is also to ensure that oligopoly is a dangerous thing, “and diversity is something that is being fought for, it appears there,” said Puji reminiscing about the days with Bang Amir while working on PR2Media books.

Reading Time: < 1 minute

Forum Amir Effendi Siregar – Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia menggelar Serial Bincang Sejarah Komunikasi (Sesi 16)

Topik:

Melacak Jejak Pemikiran Amir Effendi Siregar (AES): Dari Pers Mahasiswa Hingga Sosialisme Demokrasi Media

 

Pembicara:

Puji Rianto

Staf Pengajar di Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia, dan telah menjadi murid Amir Effendi Siregar (AES) sejak kuliah S1 di FISIPOL UGM hingga terlibat penuh dalam membantu AES mendirikan dan menggerakkan PR2Media. Lembaga nirlaba yang menaruh perhatian pada demokrasi media melalui penelitian, pendidikan, dan advokasi regulasi media, yang menjamin freedom dan keberagaman.

Jadwal

Sabtu, 7 November 2020
Pukul 09:30 WIB
Via Zoom

atau tonton di:

Registrasi:

 

 

View this post on Instagram

 

A post shared by PSDMA Nadim Komunikasi UII (@nadimkomunikasiuii) on

Reading Time: 2 minutes

Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia mengadakan:

Ngaji Komunikasi “Fenomenologi Hikmah Pandemi Covid-19”

Pada Rabu, 4 November 2020 jam 13.00-14.45 WIB Via Zoom Meeting  (http://bit.ly/PengajianIlkom)

Bersama Prof Dr Deddy Mulyana MA dan Ustadz Ridwan Hamidi, Lc, M.P.I, MA

***************************************************************************************************

Bagi Muslim, setiap kondisi yang dihadapi, baik baginya. Syukur dan sabar selalu menjadi sikap hidup positifnya. Termasuk dalam menghadapi musibah. Selalu ada hikmah dari setiap musibah yang ditakdirkan Allah Ta’ala terjadi di muka bumi. Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam bersabda :

 

عَجَبًا لأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ لأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ

 

Sungguh menakjubkan keadaan seorang mukmin. Seluruhnya urusannya itu baik. Ini tidaklah didapati kecuali pada seorang mukmin. Jika mendapatkan kesenangan, maka ia bersyukur. Itu baik baginya. Jika mendapatkan kesusahan, maka ia bersabar. Itu pun baik baginya.” (HR. Muslim).

 

Musibah menjadi ujian untuk orang-orang beriman agar tetap berada dalam kesabaran, tidak putus asa dari rahmat Allah dan tetap konsisten dalam beragama, termasuk menjadi semakin taat dan takut kepada Allah Ta’ala, sebagaimana firmanNya :

 

وَمَا نُرْسِلُ بِالآيَاتِ إِلا تَخْوِيفًا

 

Dan tidaklah Kami memberi tanda-tanda itu melainkan untuk menakut-nakuti.” (QS. Al-Israa: 59)

 

Menarik untuk mengkaji bagaimana hikmah Covid-19 dari sisi Fenomenologi komunikasi. Fenomenologi Komunikasi mengamati gejala sosial yang muncul dari setiap proses komunikasi yang terjadi di tengah masyarakat. Termasuk mempelajari suatu fenomena dengan cara dan keunikan dari sisi orang-orang yang diamati. Bagaimana fenomenologi pengalaman orang-orang yang menghadapi kondisi terpapar Covid-19, mengatasi situasi ketakutan, mengelola optimisme untuk sembuh dan bangkit, hingga fenomenologi kematian karena Covid-19 ?

 

Prof Dr.Deddy Mulyana, MA sebagai guru besar komunikasi yang banyak melakukan penelitian Komunikasi Antarbudaya dan Komunikasi Kesehatan dengan perspektif Fenomenologi InsyaAllah akan berbagi hasil refleksi dan penelitian terbaru terkait Covid-19.

 

Dari perspektif Islam, penting untuk dikaji bagaimana Islam memandang musibah, apa hikmah yang bisa didapatkan dari musibah, bagaimana sikap yang tepat menghadapi musibah, bagaimana Pandemi Covid-19 bisa dijadikan sebagai momentum yang tepat untuk muhasabah (introspeksi diri), zikrul maut (mengingat kematian) dan muraqabah (merasa dekat dan diawasi  Allah Ta’ala).

 

Ustadz Ridwan Hamidi, Lc, M.P.I, MA diharapkan dapat memberikan pencerahan dan taushiyah tentang hikmah Covid-19 dalam perspektif Islam.

***************************************************************************************************

Berikut Dokumentasi

Reading Time: 2 minutes

Belakangan, menjamur beragam konten digital. Produsen konten bertebaran di lini youtube, instagram, facebook, twitter, hingga tiktok. Belum lagi pandemi covid-19 mendera. Peningkatannya mencapai hingga 20 persen. https://www.antaranews.com/berita/1597622/konten-digital-primadona-saat-pandemi?page=all

Maka di tengah berjuta konten digital itu, pemilihan konten yang sesuai cita rasa warganet menjadi penting. “Pertama kali, kalian harus tahu, apa ciri khas kalian dalam konten yang kalian buat nantinya,” kata Ichsan Permana P atau populer dengan nama Mas Aik, content creator dan penulis buku Nanti Kita Sambat hari ini, pada Sabtu (31/10). Mas Aik hadir dalam salah satu rangkaian kegiatan penyambutan mahasiswa baru Prodi Ilmu Komunikasi UII di Incoms (Introduction to Communications) 2020.

Jika pada Incoms 2019 tema yang diangkat adalah Greenations dan seputar upaya menjaga lingkungan dengan mempopulerkan kembali gagasan 3R, maka incoms kali ini berbeda. Incoms 2020 kali ini mengambil tema ‘The Future of Ours’. Tema ini mencoba mengajak mahasiswa baru menelisik perkembangan komunikasi dari zaman ke zaman dan kontribusinya. Tentu ini erat sekali dengan menguatnya budaya daring di masa pandemi.

Pada kesempatan Incoms 2020 ini panitia mengundang Mas Aik dalam Webinar-nya agar mahasiswa baru terinspirasi membuat konten-konten digital inspiratif dan positif. Mas Aik bercerita dengan memberi contoh pengalamannya membuat konten di @merawatjogja sebelum akhirnya memutuskan membaut konten @NKSTHI.

Bagi Mas Aik, rupanya hanya sedikit yang perlu dipersiapkan untuk menjadi content creator. Pertama, kata Mas Aik, ciri khas harus ada dalam konten digital. “Kalian akan menjadi sosok seperti apa? nah, supaya punay ciri khas, kita perlu belajar bagaimana menunjukkan karakter kita di media,” kata Mas Aik dengan penampilan dari studionya.

Menulis adalah kunci membuat konten. Menulis adalah dasar. Ia bisa dikembangakn dengan pemikiran yang terstruktur. Ia juga bisa dikawinkan dengan hobi, misalnya menggambar. Mas Aik mencontohkan dirinya. Ia sangat senang sekali menggambar. Maka konten-kontennya ia kuatkan dengan kemampuan menggambarnya. “Banyak banget yang aku dapat dari menggambar,” tambah Aik.

Selain menguatkah ciri khas, menulis sebagai kunci konten yang kuat, juga harus dipelajari. Tak ada konten yang dibuat tanpa menulis. Menurutnya, belajar menulis harus dimulai dari misalnya kreatif mengelola struktur tulisan, gagasan unik, hingga nantinya tulisan yang kuat bisa diubah menjadi kemasan lain konten digital. Misalnya diubah menjadi kemasan video, gambar, foto dan lain-lain.

Satu hal yang menjadi poin utama penekanan Mas Aik ketika menjadi content creator. Syarat menjadi content creator adalah dengan mengembangkan hobi menjadi konten. “Apa yang kamu bisa, apa yang kamu senangi, ya kamu harus benar-benar fokus di sana, barulah kontenmu menjadi kuat dan inspiratif,” imbuhnya.

Reading Time: 2 minutes

Recently, a variety of digital content has increased. Content producers are scattered on the lines of YouTube, Instagram, Facebook, Twitter, and TikTok. Not to mention the covid-19 pandemic whacked. The increase was up to 20 percent.

In the midst of millions of digital content, choosing a suit content of citizens is important. “The first time, you have to know, what are your characteristics in the content that you create later,” said Ichsan Permana P or known as Mas Aik, content creator and author of the book Nanti Kita Sambat on Saturday (31/10). Mas Aik was present in a series of welcoming activities for new students of the UII Communication Science Study Program at Incoms (Introduction to Communications) 2020.

2019, Incoms raised Greenations and around efforts to protect the environment by re-popularizing the 3R idea. But, this in Incoms 2020 this time took the theme ‘The Future of Ours’. This theme tries to invite new students to investigate the development of communication from time to time and its contribution. Of course this is closely related to the strengthening of online culture during the pandemic.

On Incoms 2020 occasion, the committee invited Mas Aik to his Webinar so that new students can be inspired to create inspiring and positive digital content. Mas Aik shared by giving an example of his experience creating content at @merawatjogja before finally deciding to create @NKSTHI content.

For Mas Aik, apparently only a few need to be prepared to become a content creator. First, said Mas Aik, characteristics must be in digital content. “What kind of figure will you become? Now, in order to have your own characteristics, we need to learn how to show our character in the media,” said Mas Aik with the appearance of his studio.

Writing is the key to creating content. Writing is basic. It can be developed with structured thinking. He can also be married to hobbies, such as drawing. Mas Aik gave an example. He is very happy to draw. So he strengthens the content with his drawing skills. “I got a lot from drawing,” added Aik.

Either strengthening the characteristics, writing as the key to strong content, must be strong as well. No content is created without writing. According to him, learning to write must start from, for example, creatively managing the structure of writing, unique ideas, so that later strong writing can be transformed into other packaging for digital content. For example, converted into video packaging, pictures, photos and others.

One thing is Mas Aik’s main point of emphasis when becoming a content creator. The requirement to become a content creator is to develop a hobby into content. “What you can, what do you enjoy, yes you have to really focus there, then your content will be strong and inspiring,” he added.

 

Reading Time: < 1 minute

Fresh Graduate akan sangat membutuhkan informasi tentang dunia kerja dan seperti apa sih rekrutmen di perusahaan. pada 27 Oktober, Ilmu Komunikasi mengundang Maharani Ayu, seorang people Management dari CBn. Tapi tak cuma fresh graduate, mahasiswa yang ingin berkarir di peusahaan tertentu juga harus punya pengetahuan ini.

Dipandu oleh Ratna Permata sari, Dosen Ilmu Komunikasi UII, diskusi ini menjawab semua kebutuhan pelamar kerja dan juga seperti apa sih kuliafikasi karyawan yang diinginkan di dunia kerja.

Diskusi ini menjawab pertanyaan berikut apakah IPK banyak dipertimbangaka saat melamar pekerjaan, seperti apa kriteria pelamar yang disukai, bagaimana agar CV menarik perhatian,bagaimana menego gaji, bagaiamana mengatasi pertanyaan yang menjebak dalam rekruitmen.

dalam dunia kerja, teman teman harus perform yang terbaik. sehingga yang paling penting adalah pengembangan diri baik secara skill ataupun soft skill seperti leadership, kemampuan adaptasi, team work dan lain sebagainya. Perusahaan sperti kita hatu bahwa semua perusahaan ingin meningkatkan keuntungan sehingga mereka akan mencari orang yang mampu mewujudkan dengan memiliki karyawan yang berkemapuan tinggi dan solid. Dari situ kita tahu bahwaaperusahaan akan suka dengan orang-orang yang memiliki integritas, adaptif, dan komunikatif.

maharani Ayu memberikan materi dengan sangat santai dan mengupas tuntas bagaimana rekruitment dilakukan dan apa saja yang perlu dan tidak boleh dilakukan dalam melamar pekerjaan. Dia juga membrikan gambaran bahawa dunia kerja itu juga menyenangkan. sehingga dalam CV pun bisa ditampilkan hobi, yang ternyata juga dipetimbnagkan. Duni akerja itu tidak semata bekerja, kaerana dalam senuah perusahaan besar, karyawan butuh tim yang solid. Sehingga mereka butuh waktu untuk bermain bersama juga saat momen agustusan akan diadan berbagai lomba ataupun family gathering. Hobi menjadi penting untuk dipertimbangkan saat melamar.”ada juga teman yang bilang, kalau rekruitmen cari anak yang bisa main basket atau badmminton, biar nanti tim kita menang,” ujar Maharani

Reading Time: 2 minutes

Fresh graduates will really need information about the world of work and what recruitment is like in a company. On October 27, Communication Science invited Maharani Ayu, a human resource management from CBn. But not only fresh graduates, students who want to have a career in a certain company must also have this knowledge.

Guided by Ratna Permata Sari, Lecturer in Communication Studies at UII, this discussion answered all the needs of job applicants and also what kind of qualifications the employees want in the world of work.

This discussion answers the following questions whether GPA is considered a lot when applying for a job, what are the criteria for a preferred applicant, how to get a CV to attract attention, how to negotiate a salary, how to deal with trapping questions in recruitment.

In the work life, friends must perform their best. so the most important thing is self-development both in skills and soft skills such as leadership, adaptability, teamwork and so on. Companies like us hatu that all companies want to increase profits so that they will look for people who are able to make it happen by having high-skilled and solid employees. From there we know that companies will like people who have integrity, are adaptive, and communicative.

Maharani Ayu gave the material in a very relaxed manner and thoroughly explored how recruitment is done and what is necessary and what should not be done in applying for a job. He also gave an idea that the world of work is fun too. so that the CV can also show hobbies, which are also considered. The world of work is not just work, because in a large company, employees need a solid team. So they need time to play together as well as during August there will be various competitions or family gatherings. Hobby is an important thing to consider when applying. “There are also friends who say, if the recruitment is looking for a child who can play basketball or badminton, then our team will win,” said Maharani.

 

Reading Time: 2 minutes

Apakah mungkin menggunakan metode kuantitatif untuk menjelaskan sebuah proses sejarah yang sangat kualitatif? Bagaimana mungkin sejarah opini publik dilihat dengan kacamata agenda setting? Kunto Adi Wibowo, salah satu pembicara dalam rangkaian diskusi ilmiah Forum Amir Effendi Siregar (AES) UII, mengatakan bahwa hal itu justru sangat memungkinkan dilakukan.

“Ada salah satu tulisan bagaimana menggunakan agenda setting ini sebagai kajian opini publik secara historis. Bagaimana reasoning agenda setting yang kuantitatif itu fit pada sejarah yang notabene identik dengan kualitatif,” kata Kunto sebagai pembicara Forum Amir Effendi Siregar (AES) yang disiarkan langsung Channel Uniicoms TV pada Sabtu (24/10).

Kunto, Direktur Lembaga Survey KedaiKOPI (Kelompok diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia), mengatakan bahwa kita sangat mungkin menggunakan kuantitatif untuk menjelaskan sebuah proses sejarah. “Kita dipaksa merekonstruksi bagaimana distribusi opini dalam waktu tertentu,” katanya.

Namun, selain merekonstruksi bagaimana distribusi opini dalam waktu tertentu, “yang kedua kita harus juga menjawab bagaimana opini publik didefinisikan. Lalu ketiga, agenda setting bicara juga soal efek,” jelas Kunto. “Bagaimana efek dari media/ publik dan pembuat kebijakan dalam konteks sejarah itu. Setidaknya, usahanya kan merekonstruksi dampak opini publik pada kebijakan tertentu,” imbuhnya.

Kunto telah lama fokus pada penelitian tentang ipini publik, misinformasi, dan efek algoritma pada opini dan sikap politik. Belakangan, peraih Ph.D dari Wayne State University, ini mendapatkan hibah dari WhatsApp untuk meneliti misinformasi pada Pemilu 2019.

Kunto menjelaskan tiga strategi dalam melacak sejarah opini publik. “nah ini tiga strategi historical public opinion (sejarah opini publik),” paparnya dalam layar berbagi Zoom Conference pagi itu.

Tiga strategi yang harus dijawab itu adalah pertama, bagaimana penalaran statistik ‘agenda setting’ disesuaikan dengan sejarah?. Kedua, bagaimana opini publik didefinisikan, lalu ketiga, Isu-isu juga harus didefinisikan dengan jelas dan hubungan antar variabel dipahami dalam dinamika pembentukan opini. Khususnya pers, pembacanya, dan pembuat kebijakan.

Sudah sejak lama sebenarnya, penggunaan agenda setting untuk analisis sejarah opini publik. Kunto memberi contoh apa yang dilakukan G. Ray Funkhouser dalam studinya pada 1973. Funkhouser melakukan riset dengan mula-mula mendedah beberapa lapisan agenda setting.

“Ia menjelaskan pencocokan studi ‘content analysis’ di media dengan dunia nyata. Ternyata nggak match ini, content analisis media dengan kejadian nyata,” kata Kunto mengungkap penelitian Funkhouser yang terbit di Public Opinion Quarterly.

“Setting media tidak sama dengan misal kejadian kematian warga Amerika di Vietnam yang sebenarnya sedikit. Setting media soal kasus ras tidak sama dengan peristiwa nyata. Kasus korban kekerasan antara kulit hitam dan putih tidak banyak seperti yang di-setting berita,” papar Kunto soal penelitian Funkhouser berjudul The Issues of the Sixties: An Exploratory Study in the Dynamics of Public Opinion.

“Ini menjelaskan bahwa media melakukan agenda setting untuk menciptakan opini publik,” kata Kunto. Pada gilirannya, secara tidak langsung, menyontoh apa yang dilakukan Funkhouser, sejarah opini publik amerika pada saat itu jelas di-setting oleh agenda setting media. Opini publik dikendalikan dan tarik menarik dengan konstruksi oleh media massa.

 

Reading Time: 2 minutes

Is it possible to use quantitative methods to explain a historical process that is highly qualitative? How can the history of public opinion be viewed through an agenda setting perspective? Kunto Adi Wibowo, one of the speakers in a series of scientific discussions at the UII Amir Effendi Siregar (AES) Forum, said that it is possible to do.

“There is one article on how to use this agenda setting as a historical review of public opinion. How is the reasoning of the quantitative agenda setting fit to history which is identical to qualitative,” said Kunto as was broadcast live on the Uniicoms Channel TV on Saturday (24/10).

Kunto, Director of the KedaiKOPI Survey Institute (Indonesian Public Opinion and Discussion Group), said that it is possible to use quantitative to explain a historical process. “We are forced to reconstruct how opinion is distributed within a certain time,” he said.

However, apart from reconstructing how opinion is distributed within a certain time, “secondly we must also answer how public opinion is defined. Then third, the agenda setting also talks about effects,” explained Kunto. “What is the effect of the media / public and policy makers in this historical context. At least, the effort is to reconstruct the impact of public opinion on certain policies,” he added.

Kunto has long focused on research on public science, misinformation, and the effects of algorithms on political opinion and attitudes. Later, this Ph.D. from Wayne State University, received a grant from WhatsApp to research misinformation in the 2019 Election.

Kunto explained three strategies in tracing the history of public opinion. “Now, these are three historical public opinion strategies,” he explained in the Zoom Conference sharing screen that morning.

The three strategies that must be answered are: first, how is ‘agenda setting’ statistical reasoning adjusted to history? Second, how public opinion is defined, then third, issues must also be clearly defined and the relationship between variables understood in the dynamics of opinion formation. Especially the press, their readers and policy makers.

For a long time, actually, the use of agenda setting for historical analysis of public opinion. Kunto gave an example of what G. Ray Funkhouser did in his study in 1973. Funkhouser conducted his research by first exposing several layers of agenda setting.

“He explained the matching of the ‘content analysis’ study in the media with the real world. It turns out that this is not match, media analysis content with real events,” said Kunto disclosing Funkhouser’s research published in the Public Opinion Quarterly.

“Media settings are not the same as, for example, American deaths in Vietnam are actually few. Media settings about racial cases are not the same as real events. Cases of victims of violence between blacks and whites are not as many as news settings,” said Kunto. Funkhouser entitled The Issues of the Sixties: An Exploratory Study in the Dynamics of Public Opinion.

“This explains that the media do agenda setting to create public opinion,” said Kunto. In turn, indirectly, to imitate what Funkhouser did, the history of American public opinion at that time was clearly set by the media setting agenda. Public opinion is controlled and tug-of-war with construction by the mass media.