Seperti apa film yang mengangkat problematika TKI di daerah indonesia bagian timur? Bagaimana film soal TKI digarap oleh kru yang sama sekali belum pernah pegang kamera dan nonton bioskop?

Muhammad Heri Fadli, sineas muda asal Lombok, Nusa Tenggara Barat, yang pernah menimba ilmu di Prodi Ilmu Komunikasi UII, ini punya inisiatif bikin film soal keseharian di kampungnya: bekerja ke luar negeri jadi TKI. Ada yang legal, ada yang ilegal. Ia mengangkatnya dalam sebuah film dokumenter bertajuk Jamal dan Sepiring Bersama.

Kamis, 25 Februari 2021, Heri diundang dalam diskusi bulanan Pusat Studi dan Dokumentasi Media Alternatif (PSDMA) Nadim, Prodi Ilmu Komunikasi UII. Diskusi bulanan ini diselenggarakan dengan aplikasi Zoom dan disiarkan langsung di saluran resmi Komunikasi UII di Youtube: Uniicoms TV.

PSDMA Nadim Komunikasi UII adalah pusat studi yang menaruh fokus kajiannya pada upaya, sumber pengetahuan, dan medium alternatif. Sejak didirikan pada 2008, Nadim berupaya menjadi pengelola pengetahuan dan center of excellence dari beragam koleksi dan studi pelbagai sumber dan mengemasulangnya menjadi pengetahuan baru. Nama Nadim terinspirasi dari Ilmuwan cum pustakawan muslim bernama Ibn Al Nadim sebagai orang pertama di dunia yang melakukan proses dokumentasi, koleksi, dan temukenali pengetahuan pada 14 abad yang lalu.

Profesi Ibn Al Nadim inilah yang pada masa sekarang disebut sebagai ilmuwan cum pustakawan, bibliografer, atau bahkan lebih dari itu, sebagai pusat penelitian dan pengembangan: Knowledge Manager. Ibn Al Nadim membuat katalog pertama di dunia yang diberi judul Al Fihrist. Sebuah magnum opus dalam sejarah pengetahuan umat manusia. Kitab ini, menurut catatan sejarah, berisi katalog sekira 10 ribu koleksi dari 2000 penulis di era pertengahan islam.

Proses Kreatif Produksi Film Jamal

Alumni Ilmu Komunikasi UII ini mengatakan, film Sepiring Bersama digarap selama empat hari. Meski lamanya persiapan produksi justru melebihi masa produksi film, Heri justru mengapresiasi proses ini. Pasalnya semua kru filmnya adalah tetangga dan keluarga dekat yang sama sekali belum pernah terlibat produksi film. “Bahkan nonton bioskop saja belum pernah, tapi semangatnya itu besar sekali. Saya belum pernah menemui semangat besar mereka ini selama saya produksi film,” katanya.

Beberapa hal juga patut dijadikan pembelajaran bagi mahasiswa Komunikasi UII soal hal-hal tak terduga yang terjadi pada saat produksi film Jamal dan beberapa film lain yang digarapnya. Diskusi yang dipandu oleh Risky Wahyudi, ini membahas kepulangan para TKI dalam kondisi sudah tidak bernyawa dan produksi film Jamal yang tidak berjalan mudah.

Jamal merupakan film yang mengangkat permasalahan pemulangan TKI ke Lombok dalam keadaan tak bernyawa. Angka kepulangan terus meningkat sejak 2019 hingga 2021.

Pertanyaan yang mungkin akan muncul adalah siapa Jamal? Jamal merupakan gabungan suku kata yaitu “Janda Malaysia” atau bisa disebut sebagai wanita yang ditinggalkan oleh suaminya merantau ke negeri Jiran.

Film Jamal terlahir dari kisah yang melekat di tempat Heri tinggal dan menjadi sebuah keresahan tersendiri buatnya. Untuk mengungkap permasalahan ini, Heri merasa harus membuat sebuah film terkait problematika tersebut.

Film Jamal menggunakan bahasa Sasak di keseluruhan film. Bahasa sasak merupakan bahasa utama yang digunakan di Pulau Lombok. Alur cerita Jamal yang minim dialog namun memiliki isyarat yang kuat dari para pemeran Jamal  membuat film ini tetap mampu menyampaikan perasaan nestapa yang terjadi pada film tersebut kepada penonton, tanpa harus mengerti bahasa sasak.

Produksi film Jamal ini menggunakan kru yang merupakan orang terdekat Heri di Lombok. Mayoritas kru film ini merupakan orang-orang yang ditinggalkan anggota keluarga mereka merantau menjadi TKI. Heri mengungkapkan bahwa para kru ini minim akan pengetahuan produksi film. Bermodal semangat yang tinggi, para kru merasa bahwa problematika TKI dalam film ini adalah hal penting yang harus dituntaskan dan dipublikasikan secara luas.

Tak hanya Jamal, film sebelumnya, Sepiring Bersama juga bercerita tentang TKI. Bedanya, jika Jamal masuk dalam pemutaran Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) pada 2020, Sepiring Bersama lebih dulu masuk JAFF pada 2018. Setelah pemutaran Sepiring Bersama, Heri melanjutkan bahwa dia mendapatkan sebuah serangan ataupun ancaman setelah pemuturan film Sepiring Bersama, film tentang TKI juga, milik Heri. Ancaman tersebut dari seorang pengantar pesan yang belakangan mengaku dari orang petinggi di NTB. Pesan tersebut berisi untuk Heri agar tidak sembarang memutar film Sepiring Bersama. Sepiring Bersama dianggap sebagai film yang menunjukkan cacatnya provinsi Nusa Tenggara Barat.

Harapan di Balik Proses Kreatif

Heri mengatakan, ada sekira 14 trilyun pemasukan dari BMI masuk menjadi pendapatan daerah NTB. Jumlah itu tidak terhitung sebagai sumbangsih Buruh Migran Indonesia (BMI) yang begitu besar. “Tapi saya pengin ayo kita pikirkan bareng-bareng, di atas sumbangsih mereka ini, tolong kasih jaminan untuk anak-anak mereka. Minimal jaminan pendidikan,” harap Heri pada saat diskusi dengan dipandu Risky Wahyudi, moderator sekaligus Dosen Ilmu Komunikasi UII.

“Karena saya bukan pengin mereka berhenti bekerja di luar negeri, setidaknya, ada keterampilan mumpuni yang mereka bawa di sana. Saya ingin mereka yang kerja di luar negeri ini membawa sesuatu,” katanya menjelaskan.

Heri bilang, kebanyakan TKI dari Lombok yang bekerja di Malaysia jadi kuli panggul sawit, tukang bangunan, yang notabene itu bisa mereka lakukan di rumahnya, di Lombok. “Sama saya berharap semua pihak tidak terkecuali di NTB atau di luar, dengan cara berdiskusi seperti ini, setidaknya ada pandangan baru dan solusi. Tidak hanya di NTB,tapi juga di daerah lain. Di jawa barat. Istri-istri ini jangan lagi disebut sebagai jamal. Karena itu rasanya seperti pelecehan. Dilabeli jamal padahal suaminya masih ada di Malaysia,” katanya.

Padahal, menurut Heri, mereka ini pasangan berani mengorbankan kebersamaan untuk menghidupi anak-anaknya. “Saya berharap semua pihak yang makan dari pengiriman BMI ilegal ini sadar diri, jangan sembarangan kita kirim orang ke luar negeri untuk bekerja,” katanya kemudian, sembari menilai banyak TKI berangkat kerja dengan hanya modal nekat.

————————————————

Penulis: Muhammad Malik Hamka Sukarman (Mahasiswa Ilmu Komunikasi 2014, Magang di PSDMA Nadim, Komunikasi UII) dan A. Pambudi W.

Mahasiswa Komunikasi UII Program Internasional mengadakan Pameran Virtual untuk memenuhi tugasnya dari mata kuliah Produksi Media Kreatif. Output dari tugas mata kuliah ini berupa pameran yang terdiri dari 4 proyek dari 4 kelompok oleh angkatan 2018.

Empat kelompok ini terdiri dari majalah online, komik, foto cerita, dan video. Masing-masing dari mereka melakukan tugas mendefinisikan, membuat konsep, dan mengerjakan proyek sembari berkonsultasi dengan dosen di mata kuliah Produksi Media Kreatif.

Ida Nuraini Dewi KN, selaku dosen mata kuliah Produksi Media Kreatif, menjelaskan bahwa pameran ini diadakan agar mahasiswa Jurusan Komunikasi Program Internasional dapat menuangkan ide dan kreativitasnya ke dalam proyek media kreatif yang didesainnya. Selain itu, mahasiswa pada akhirnya mampu mengimplementasikan teori-teori yang telah didapat pada mata kuliah Produksi Media Kreatif dengan kreativitasnya masing-masing. Segala sesuatu yang mereka pelajari tentang produksi media kreatif, fotografi, penulisan kreatif, dan videografi dapat diterapkan menjadi karya.

Proyek ini juga bisa dinikmati semua orang karena bisa dibuka di manapun dan kapanpun pada tautan yang telah disediakan. Pameran ini digelar secara virtual demi mitigasi Covid-19. Jurusan Komunikasi UII juga mendukung penuh proyek-proyek yang dibuat oleh mahasiswa Program Internasional ini. Anda juga dapat melihat penjelasan mereka tentang proyek ini di media sosial Komunikasi UII Program Internasional, di Instagram Live mereka di ip.communication.uii, dan klik di tautan ini.

Apa karya yang mereka buat? Penasaran? Yuk simak penjelasannya di bawah ini.

Grup pertama mengusung bentuk zine yang bertema Zine: A Female Quandary. Isinya tentang kecemasan mereka terhadap isu-isu tentang perempuan. Karya ini juga melihat soal bagaimana perempuan di tengah masyarakat. Bagaimana marginalisasi dialami oleh perempuan, hingga apa saja ketakutan yang dialami perempuan dalam kehidupan sosialnya. Output dari grup ini adalah majalah online yang dapat dibaca secara virtual di tautan ini.

Grup kedua memilih komik sebagai medium. Judulnya Diary of 2020. Grup ini bercerita tentang masa-masa awal dari pandemi Covid-19. Komik ini bercerita tentang bagaimana dua karakter dalam komik tersebut bercerita selama enam hingga tujuh bulan di awal pandemi. Cerita di dalamnya juga dibuat unik dan segar karena menampilkan bagaimana seorang pelajar atau remaja melihat virus corona. Mereka menyikapi fenomena sosial seperti menonton berita, hingga kepedulian mereka terhadap penggunaan masker non medis dan masker kain. Komik ini juga bisa kamu baca di aplikasi Line Webtoon dengan judul Diary of 2020, yang juga bisa dilihat di tautan ini.

Empat kelompok ini terdiri dari majalah online, komik, foto cerita, dan video. Masing-masing dari mereka melakukan tugas mendefinisikan, membuat konsep, dan mengerjakan proyek sembari berkonsultasi dengan dosen di mata kuliah Produksi Media Kreatif.

Grup ketiga mengusung tema Pandemic Story: Public Spaces. Grup ini membuat proyek Foto Cerita yang menceritakan tentang pandemi di tempat-tempat yang dikunjungi masyarakat atau di ruang publik. Grup ini juga mengambil foto dari 3 kota berbeda di daerahnya masing-masing. Masing-masing berburu foto di ruang publik yang berbeda, yang pertama di pusat perbelanjaan seperti pasar dan mall, yang kedua di alun-alun kota Bandung di Jalan Braga, yang jalan ini selalu ramai sebelum pandemi, yang ketiga adalah bandara dan masjid. Foto-foto yang mereka ambil menceritakan bagaimana perubahan terjadi di tempat umum setelah pandemi Covid-19. Anda juga bisa melihat karyanya di tautan ini.

Grup keempat mengusung tema Proyek Video Promosi bertajuk The Hidden Treasure of Gunung Kidul. Proyek ini menggambarkan kondisi lokasi wisata Pantai Wonosari dan pantai lainnya di sekitar Gunung Kidul. Mereka menjelaskan keindahan dan potensi ketiga pantai tersebut dalam video yang mereka buat. Ketiga pantai ini dipilih karena kurang dikenal masyarakat, dan pandemi Covid-19 telah melemahkan perekonomian di sekitar pantai. Karya mereka bisa dilihat di Youtube dengan judul “harta karun gunungkidul”, yang juga bisa dilihat di tautan ini.

Penulis dan Reporter: Sera Zahria, Internship Student of Communication Department UII, at International Program of Communication Department, Student Batch 2016

Editor: A. Pambudi W.

Bagaimana riset praproduksi film bisa membuat filmmaker menemukan banyak fakta yang mencengkan? Apa saja temuan sineas ini ketika menelisik lika-liku wajah TKI di tanah kelahirannya itu?

Pada 2019,Muhammad Heri Fadli, mulai menjejaki beragam dokumen dan data. Pasalnya, ia ingin memahami lanskap dunia buruh migran dan lika-likunya. Meski ia sehari-hari, bahkan sejak kecil, hidup di lingkungan terbanyak pengirim buruh migram ke Malaysia, tapi itu tak membuatnya urung membaca puluhan bahkan ratusan angka soal TKI dari Lombok. Beginilah temuan Heri ketika melakukan riset praproduksi filmnya bertajuk Jamal dan Sepiring Bersama. Film-film itu bercerita tentang Tenaga Kerja Indonesia (TKI) asal Lombok, tempat lahirnya.

Heri hadir pada kesempatan diskusi bulanan Pusat Studi dan Dokumentasi Media Alternatif (PSDMA) Nadim pada Kamis (25/2) di awal 2021 ini. Sebagai alumni Komunikasi UII, ia berbagi dan menceritakan fakta dan temuan mengagetkannya, bahkan mengesalkan untuk bahan produksi filmnya. Tak hanya itu, ia juga ceritakan bagaimana proses kerja produksi filmnya itu . Uniicoms TV menyiarkan secara Live diskusi ini yang rutin digelar PSDM Nadim Komunikasi UII.

Heri menceritakan bagaimana persoalan TKI di Lombok begitu pelik hingga sulit ditangani oleh pemerintah. Heri heran setelah mengetahui rumitnya penyelesaian soal migrasi tenaga kerja ini terutama di Lombok. Ia menyitir beberapa temuan data dari riset awalnya sebelum membuat film. Misalnya, jumlah pemulangan TKI NTB pada 2019 mencapai 766 orang. Tiga kabupaten di NTB bahkan masuk dalam 10 besar penyumbang Buruh Migran Indonesia/BMI di Indonesia.

Fakta dan Lumbung  Segala Masalah

Kabupaten Lombok Timur adalah kabupaten tertinggi, di Indonesia khususnya, sebagai penyumbang TKI dengan jumlah 28 ribu TKI per tahun. Lalu menyusul Lombok Tengah sebesar 16 ribu per tahun. Di urutan ketiga baru Lombok Barat masuk daftar.

Data-data ini membuatnya kaget becampur heran. Seketika lalu memantiknya memiliki ide membuat film soal ini. Menurut Heri dan produsernya, Ida Bagus, “inilah lumbung semua masalah di NTB. Mulai dari stunting, begal, angka putus sekolah, kemiskinan,” katanya.

Pada gilirannya Heri menemukan data lain yang juga membuat tercengang. “Akhirnya saya menemukan sejumlah 73 jenazah BMI dipulangkan pada 2019,” katanya. “Namun ketika saya ke bandara, justru saya menemukan tiap hari ada saja jenazah yang dipulangkan. Itu yang ilegal. Mereka tidak masuk di data Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) pada 2019,” sambungnya.

Menurutnya, ketika melihat fakta ini, ia tak bisa tinggal diam. “Angka-angka ini yang bikin saya merasa ini benar nggak sih kalau saya diam saja?” Batinnya berkecamuk kemudian.

Heri menambahkan sederet data lagi yang membuatnya geram. “Ada satu fakta yang buat saya kesal. Lombok Tengah ini selalu dapat juara satu untuk penanganan BMI. Namun di sisi lain, dapat nomor satu pengiriman BMI ilegal,” keluhnya sembari heran.

Ada satu kebiasaan masyarakat yang mengakar di masyarakat, kata Heri. Orang-orang yang tidak bisa berangkat lewat Lombok Tengah, maka dia berangkat melalui pintu Lombok Timur. “Orang lombok ini nekat-nekat. Tanpa modal skill mereka berani berangkat ke Malaysia. Di keberangkatan kedua, mereka melancong, tinggal di hutan. Jarang ke kota,”kata Heri. “Sampai-sampai mereka kalau sakit, nggak ke pelayanan kesehatan. Jadi diurus teman-temannya,” tambahnya.

Catatan kasus para TKI ini juga banyak sekali. Ketika Heri bertemu dengan Kepala BP3TKI (Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia) Mataram, pemda urusan TKI ini mengatakan bahwa ia sudah kerepotan bagaimana menangani orang yang berangkat menjadi BMI. “Ada satu fakta pada 2019 saat Suriah sedang konflik, ada tiga orang lombok dikirim ke sana,“ kata Heri menirukan kata Kepala BP3TKI itu. “Duta Besar RI di sana bilang, kenapa kok Lombok malah kirim ke sini. Saat dicek di Lombok sini keberangkatan mereka juga tak tercatat,” imbuh Heri.

Heri menuturkan, banyak kisah-kisah aneh juga yang ia dapatkan. Banyak orang yang nggak punya keterampilan dan pengalaman. “Mereka cuma diantar ke pulau-pulau sekitar. Seperti Sumbawa, Gili, dan lain-lain. Lalu uang mereka bagaimana? Mereka sudah nggak tau, udah dimakan penyalur jasa. Ini ternyata sudah berlangsung sejak 1980an,” tuturnya.

Tren dan Perubahan Sosial Keluarga TKI

Risky Wahyudi, moderator diskusi kali ini, mencoba memerdalam kajian ini dengan bertanya tentang tren sosial yang berkembang di Lombok beberapa tahun terakhir. Secara historis, kata Heri Fadli yang juga lahir di Lombok, mengungkapkan, tren berangkat ke menjadi TKI di Malaysia sudah menjadi hal biasa. Misalnya pada 2000an, anak muda semua berangkat ke Malaysia,” kata Heri menjawab pertanyaan Risky. “Termasuk di sebelah kampung saya, itu berangkat semua.”

Namun, seiring waktu, semuanya akhirnya lambat laun berubah. Meskipun tak semua kampung. “Sekarang misalnya, dari sekira 60an anak muda, hanya 4 yang berangkat malaysia, sisanya sudah mulai menjalani tren kuliah, sarjana dan bahkan, master. Kalau di kampung saya alhamdulillah sekarang sudah berubah trennya,” katanya menjelaskan.

Pada zaman dulu juga, pada era 1980an sampai 2000an, menurut tuturan Heri, paradigma dan tren masih tidak seperti sekarang. Orang dianggap sukses kalau anaknya bisa kirim uang banyak. Maka TKI jadi pilihan. Belakangan tren itu mulai berubah. Yang dulunya orang sarjana tidak dianggap, karena tak kirim uang banyak, tapi akhirnya berangsur-angsur kini mulai berbondong-bondong anak muda berkuliah. “Ada yang di Jogja seperti saya, Malang, Semarang, Bandung, dan lain-lain.”

Meski begitu, di kampung sebelah rumah tinggalnya, masih saja ada yang merasa penting mencari nafkah di Malaysia, kata Heri. Sampai-sampai di daerahnya, orang sudah merasa seakan Malaysia bukan luar negeri. Cuma seperti tempat melancong imbuhnya.

Tulisan sebelumnya.

Proyek outgoing akan dilaksanakan pada musim dingin pada bulan Desember 2021 hingga Januari dan Februari 2022. Selanjutnya proyek incoming akan dilaksanakan pada musim dingin juga pada tahun 2022. Sayangnya selama pandemi ini AIESEC di UGM belum dapat melaksanakan proyek outgoing. Namun AIESEC telah menerapkan program Relawan Virtual yang diadakan melalui aplikasi zoom meeting. Program Relawan Virtual ini disebut Proyek Lokal.

Proyek Lokal dilaksanakan secara virtual selama empat minggu. Program ini membahas sebuah workshop, khususnya tentang ilmu ekonomi. Ini karena AIESEC di UGM menjalankan SDG (Sustainable Development Goals) No.8: memberdayakan perekonomian di wilayah Yogyakarta. Kegiatan virtual ini juga diisi dengan sesi berbagi dari mitra yang berasal dari negara lain. Sharing session ini berguna untuk mengetahui pengalaman dan pengetahuan dari negara lain.

Program ini, kata Ardyaksa, terbuka untuk semua anak muda di Yogyakarta. Prosesnya, sebelumnya menjadi relawan outgoing atau incoming,  mereka akan dilatih terlebih dahulu. Mereka akan berkenalan dengan anak muda lainnya di antara peserta, dan akan belajar bagaimana membuat sesuatu agar bisa memasarkan hasil kreativitas/ kerajinan yang mereka buat. “Tujuannya agar generasi muda di Yogyakarta dapat mendukung Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), menggerakkan roda perekonomian, mengembangkan kepemimpinan, dan meningkatkan kesadaran masyarakat,” imbuhnya kemudian.

Pendaftaran Local Project ini akan dibuka pada bulan April atau Mei. Rencananya, AIESEC akan melaksanakan proyek ini pada bulan Juli-Juni. Menurut penuturan Ardyaksa, info kelanjutannya dapat dilihat di media sosial AIESEC UGM di Instagram. “Syaratnya hanya mengumpulkan curriculum vitae/CV dan alasan kenapa Anda ingin mengikuti program ini,” jelas Ardyaksa yang kini juga beraktivitas sebagai Learning Representative di lembaga Widya Edu, sebuah perusahaan rintisan (start up) platform belajar online interaktif.

Tujuan pembuatan CV (Riwayat Hidup) adalah untuk melihat latar belakang pelamar. Riwayat hidup akan dicocokkan dengan pelamar yang memiliki minat yang sama sehingga dapat berkolaborasi.

Tenang saja, program Local Project ini tetap akan memberikan pelatihan kepada kalian yang mendaftar, karena AIESEC UGM akan memantau dan mengontrol kegiatan yang akan dilakukan selama program berlangsung. AIESEC UGM juga akan mengurus praproyek hingga pascaproyek. Dengan mengikuti Local Project di AIESEC UGM, Anda akan mendapatkan pengalaman tak terlupakan, bertemu teman baru, mendapatkan sesi berbagi dari negara lain, bisa mengetahui kondisi negara lain, dan masih banyak lagi.

Penulis dan Reporter: Sera Zahria, Mahasiswa Magang Komunikasi Program Internasional, angkatan 2016

Penunting: A. Pambudi W.

 

Halo teman-teman IPC.

Kali ini kita akan membahas Program Relawan AIESEC di UGM.

Nah, tamu kita untuk Tea Time kali ini adalah Ardyaksa Pramudita. Dia adalah Local Head of Incoming Global Volunteer AIESEC di Universitas Gadjah Mada (UGM).

Tahukah Anda apa itu AIESEC? AIESEC adalah organisasi internasional untuk kaum muda yang membantu mengembangkan potensi kepemimpinan mereka. Organisasi ini berfokus pada pengembangan kepemimpinan pemuda. Ia juga merupakan “duta besar” di luar negeri untuk melaksanakan proyek-proyek sosial. Tujuan AIESEC adalah memberdayakan kaum muda untuk perdamaian dan pemenuhan potensi umat manusia. Organisasi ini berdiri sejak 1946 dan hingga saat ini telah eksis di 185 negara dengan ribuan cabang.

Menurut Ardyaksa, AIESEC di UGM merupakan salah satu organisasi kemahasiswaan di UGM. Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) ini beraktivitas sejak 2013. “AIESEC melakukan beberapa kegiatan di UGM seperti mengurus program relawan di luar negeri dan juga di kota Yogyakarta, serta magang,” jelas Ardyaksa sebagai perwakilan AIESEC pada bincang-bincang Tea Time International Program Komunikasi UII pada Jumat (25/2/2021).

Proyek Global Volunteer yang dilakukan AIESEC adalah berupaya melaksanakan salah satu dari rencana negara-negara dunia yang dikenal dengan Sustainable Development Goals (SDGs). SDGs di setiap negara berbeda-beda fokusnya. Misalnya Vietnam mendukung pendidikan, maka siswa yang mendaftar untuk mengikuti Global Volunteer di Vietnam akan mengajar bahasa Inggris ke sekolah dasar atau taman kanak-kanak.

Melalui Live Instagram di akun ip.communication.uii, Ardyaksa menjelaskan bahwa Program Global Volunteer tidak dibatasi umur. Siapa saja boleh ikut. Namun sebagian besar program ini diikuti oleh pelajar. Alasannya karena banyak pelajar yang ingin merasakan pengalaman menjadi relawan di luar negeri.

Jenis-Jenis Program AIESEC

Program ini memiliki dua jenis proyek. Proyek outcoming dan proyek incoming. Proyek outgoing adalah mengirim relawan ke luar negeri. Sedangkan proyek incoming adalah membuat proyek yang dilaksanakan di Yogyakarta. Pada proyek incoming ke dalam negeri ini, orang-orang dari luar negeri datang ke dalam negeri untuk melihat proyek yang sedang AIESEC buat.

Proyek outgoing yang dilakukan sebelum pandemi dihadiri oleh 20 orang dari luar negeri dan 20 orang dari relawan lokal. Jadi AIESEC UGM akan mengurus semua kebutuhan pelamar yang menjadi relawan. Mulai dari mengurus visa, tempat tinggal, makanan, dan lain-lain. Sebelum berangkat ke luar negeri, pelamar akan dilatih terlebih dahulu dan diberi pengetahuan tentang apa yang harus dilakukan saat menjadi relawan di luar negeri.

Tulisan bersambung ke tautan ini.


Penulis dan Reporter: Sera Zahria, Mahasiswa Magang Komunikasi Program Internasional, angkatan 2016

Penunting: A. Pambudi W.

Click Here For Reading The Previous Article

The outgoing project will be carried out in the winter from December 2021 to January and February 2022. Furthermore, the incoming project will be carried out in winter also in 2022. Unfortunately, during this pandemic AIESEC at UGM has not been able to carry out the outgoing project. However, AIESEC has implemented a Virtual Volunteer program which is held through the zoom meeting application. This Virtual Volunteer Program is called a Local Project.

Local Projects are implemented virtually for four weeks. This program discusses a workshop, especially on economics. This is because AIESEC at UGM runs SDG (Sustainable Development Goals) No.8: empowering the economy in the Yogyakarta region. This virtual activity is also filled with sharing sessions from partners from other countries. This sharing session is useful for obtaining experience and knowledge from other

This program, said Ardyaksa, is open to all young people in Yogyakarta. The process, before becoming outgoing or incoming volunteers, they will be trained first. They will get acquainted with other young people among the participants, and will learn how to make something so that they can market the results of their creativity / craft. “The goal is that the younger generation in Yogyakarta can support Micro, Small and Medium Enterprises (MSMEs), move the wheels of the economy, develop leadership, and increase public awareness,” he added then.

Registration for this Local Project will open in April or May. The plan, AIESEC will carry out this project in July-June. According to Ardyaksa’s narrative, further information can be seen on AIESEC UGM social media on Instagram. “The only requirement is to collect a curriculum vitae / CV and the reasons why you want to take part in this program,” explained Ardyaksa, who is now also active as a Learning Representative at Widya Edu, a start-up company for an interactive online learning platform.

The purpose of making a CV is to see the background of the applicant. Curriculum vitae will be matched with applicants who have the same interests so they can collaborate.

Take it easy, this Local Project program will still provide training for those of you who register, because AIESEC UGM will monitor and control the activities that will be carried out during the program. AIESEC UGM will also take care of pre-project to post-project. By participating in the Local Project at AIESEC UGM, you will get unforgettable experiences, meet new friends, get sharing sessions from other countries, get to know the conditions of other countries, and much more.

Author and Reporter: Sera Zahria, Internship Student of Communication Department of UII, at International Program of Communication Department, Student Batch 2016

Editor: A. Pambudi W.

Hello IPC friends. This time we will discuss the AIESEC Volunteer Program at UGM. The program that will make us easier to Gain Global Experience Through International Volunteering.

So, our guest for this Tea Time of IPC is Ardyaksa Pramudita. He is the Local Head of Incoming Global Volunteer AIESEC at Gadjah Mada University (UGM). So, let’s check this out. The International Program of Communication talkshow.

Do you know what AIESEC is? AIESEC is an international organization for young people helping to develop their leadership potential. This organization focuses on youth leadership development. It is also an “ambassador” abroad for carrying out social projects. AIESEC’s goal is to empower young people for peace and the fulfillment of humanity’s potential. This organization was founded in 1946 and to date has existed in 185 countries with thousands of branches.

According to Ardyaksa, AIESEC at UGM is one of the student organizations at UGM. This Student Activity Unit has been active since 2013. “AIESEC has carried out several activities at UGM such as managing volunteer programs abroad and also in the city of Yogyakarta, as well as internships,” explained Ardyaksa as AIESEC representative at the IPC Tea Time talk on Friday ( 25/2/2021).

The Global Volunteer Project carried out by AIESEC is trying to implement one of the plans of world countries known as Sustainable Development Goals (SDGs). The SDGs in each country differ in focus. For example Vietnam focused on supporting education, so students who register to take part in Global Volunteer in Vietnam will teach English to primary schools or kindergartens.

Through Live Instagram on the ip.communication.uii account, Ardyaksa explained that the Global Volunteer Program is not limited by age. Anyone can join. However, most of these programs are followed by students of senior high school. The reason is because many students want to experience volunteering abroad.

Kind of Programs

This program has two types of projects. Outcoming projects and incoming projects. The outgoing project is to send volunteers abroad. Meanwhile, the incoming project is a project that is implemented in Yogyakarta. In the incoming project to this country, people from abroad come to the country to see the project that AIESEC is making.

The outgoing project carried out before the pandemic was attended by 20 people from abroad and 20 people from local volunteers. So AIESEC UGM will take care of all the needs of applicants who become volunteers. Starting from taking care of visas, housing, food, and others. Before leaving for overseas, applicants will be trained in advance and given knowledge on what to do when volunteering abroad.

To be Continue to the next article.

Author and Reporter: Sera Zahria, Internship Student of Communication Department of UII, at International Program of Communication Department, Student Batch 2016

Editor: A. Pambudi W.

The Students of the Department of Communication of UII held a Virtual Exhibition to fulfill their assignments  from the Creative Media Production course.. They are all students of the International Program Class of the Department of Communication Science. The output of this course assignment is in the form of a digital exhibition consisting of four  projects from four groups by the batch 2018.

The Four groups consist of online magazines, comics, photo stories, and videos. Each of them performs the task of defining, conceptualizing, and working on projects while consulting with a lecturer in the Creative Media Production course.

Ida Nuraini Dewi KN, as a lecturer in the Creative Media Production course, explained that this exhibition was held so that students of the International Program of Communication Department could pour their ideas and creativity into the creative media projects that they designed. In addition, students are finally able to implement the theories that have been obtained in the Creative Media Production course with their own creativity. Everything they learn about creative media production, photography, creative writing and videography can be turned into an art creation.

This project can also be enjoyed by everyone because it can be opened anywhere and anytime on the link provided. This exhibition was held virtually for the sake of mitigating Covid-19. UII’s Department of Communication also fully supports projects made by students of this International Program. You can also see their description of the project on the UII Communications Program International social media, on their Instagram Live at ip.communication.uii, and on this link.

 What Creation Did They Make?

The first group carried a zine with the theme Zine: A Female Quandary. Its contents about their anxiety about issues concerning women. This work also looks at how women are in society. How are women experienced marginalization, to what kind of fears women experience in their social life. The output of this group is an online magazine that can be read virtually at this link.

The second group chose comic as the medium. The title is Diary of 2020. This group tells about the early days of the Covid-19 pandemic. This comic tells the story of how the two characters in the comic tell during the six to seven months at the start of the pandemic. The story in it is also made unique and fresh because it shows how a student or teen sees the corona virus. They address social phenomena such as watching news, to their concern for the use of non-medical masks and cloth masks. You can also read this comic on the Line Webtoon application with the title Diary of 2020, which can also be seen at This Line Webtoon Link.

The Four groups consist of online magazines, comics, photo stories, and videos. Each of them performs the task of defining, conceptualizing, and working on projects while consulting with a lecturer in the Creative Media Production course.

The third group carries the theme Pandemic Story: Public Spaces. This group created a Photo Story project that tells about a pandemic in places visited by the community or in public spaces. The group also took photos from 3 different cities in their respective regions. Each of them hunted photos in different public spaces, the first in shopping centers such as markets and malls, the second in the Bandung city square on Jalan Braga, where this street was always busy before the pandemic, the third was the airport and the mosque. The photos they took tell how things have changed in public after the Covid-19 pandemic. You can also view his work at this link.

The fourth group carries the theme of the Promotional Video Project entitled The Hidden Treasure of Gunung Kidul. This project describes the condition of the tourist sites of Wonosari Beach and other beaches around Gunung Kidul. They explain the beauty and potential of the three beaches in the videos they make. These three beaches were chosen because they were not well known to the public, and the Covid-19 pandemic has weakened the economy around the coast. Their work can be seen on Youtube with the title “gunungkidul treasure”, which can also be seen at this Channel.

Author and Reporter: Sera Zahria, Internship Student of Communication Department of UII, at International Program of Communication Department, Student Batch 2016

Editor: A. Pambudi W.