Ilmu Komunikasi
Reading Time: 3 minutes

17 Juni 2024 menjadi momentum istimewa bagi Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII), pasalnya tepat di tahun ini menginjak usia ke 20 tahun.

Berdiri sejak 17 Juni 2004 telah membawa Prodi Ilmu Komunikasi UII mengalami banyak capaian yang signifikan. Mulai status akreditasi hingga prestasi-prestasi yang ditorehkan oleh mahasiswa, dosen, dan tenaga kependidikan.

Dalam perjalanan hidup, 20 tahun adalah usia dewasa yang sangat dinamis. Meninggalkan masa akhir remaja tentu berbagai aspek sosial dan emosional dalam pertambahan usia akan mengubah banyak hal mulai dari aktivitas hingga peran. Menurut teori yang disampaikan George Vaillant, seseorang perlu memiliki dan menemukan makna di sepanjang hidupnya. Sementara makna dalam diri seseorang dapat ditemukan melalui pekerjaan (Sterns & Huyck, 2001).

Berbagai usaha untuk memperbaiki kualitas pendidikan dan pengajaran terus dilakukan oleh Prodi Ilmu Komunikasi UII, mulai dari inovasi kurikulum, kerjasama berskala nasional hingga internasional, mengoptimalkan kerja pengabdian dan riset demi pemecahan masalah ketidakadilan sosial, serta peningkatan kapasitas SDM.

Kerja-kerja tersebut dilakukan demi tercapainya visi 2030 menjadi program studi terkemuka di Asia Tenggara dalam pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat di bidang keilmuan komunikasi dengan semangat keislaman dan keindonesiaan.

Milestone Prodi Ilmu Komunikasi 2034

Ada banyak mimpi untuk Prodi Ilmu Komunikasi UII 10 tahun mendatang. Mimpi-mimpi itu tengah diupayakan. Berikut beberapa catatan yang akan menjadi pengingat, berbagai mimpi yang disampaikan oleh Kaprodi dari masa ke masa.

“20 tahun itu artinya usia cukup dewasa ada hal yang sudah dicapai dan masih banyak yang belum. Organisasi yang sehat adalah yang terus punya mimpi terus punya ambisi apalagi ini organisasi akademik berarti harus punya visi besar. apa yang harus dikontribusikan terutama ilmu komunikasi itu untuk kehidupan masyarakat kemudian bangsa dan dunia. Kira-kira kalau 10 tahun ke depan apa milestone yang harus dicapai? pertama adalah menjadi unggul bukan status unggulnya yang penting tapi unggul sebagai rujukan misalnya akademi tertentu spesialisasi tertentu. Kita punya mimpi we have a dream to be school kaliurang, everyone come from all of the world may come here Kaliurang, I mean this area to engage with the academic, publishing, researching, writing, teaching, to understand the ecosystem of Indonesia the bussines of communication and also how communication science can be a tool of vehicle for Indonesian democracy.” Prof. Dr. rer. soc. Masduki, S.Ag., M.Si., MA – Kaprodi Ilmu Komunikasi Periode 2004 – 2008

“Terima kasih kami ucapkan kepada segenap masyarakat luas kepada seluruh civitas akademika UII serta berbagai mitra yang telah menjadi pendukung penuh terhadap perkembangan program studi ini. Dalam 10 tahun mendatang kami berharap dan bertekad agar program studi ini dapat terus menguatkan kiprahnya dalam bidang Ilmu Komunikasi di skala nasional maupun skala global kami berusaha bersungguh-sungguh agar program studi ini dapat tumbuh dengan baik dan berkembang termasuk diantaranya mudah-mudahan dalam tempo yang tidak lama lagi kami dapat membuka program studi S2 untuk bidang ilmu komunikasi di universitas Islam Indonesia maju terus ilmu komunikasi UII dirgahayu yang ke 20.” Dr. Anang Hermawan, S.Sos., MA – Kaprodi Ilmu Komunikasi Periode 2008 – 2014

“Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia 10 tahun ke depan akan menjadi salah satu rujukan pengembangan keilmuan komunikasi di level global terutama ketika berbicara kajian-kajian komunikasi di Asia Tenggara dengan perspektif Timur dengan perspektif yang berbeda dari teori-teori komunikasi yang telah berkembang yang selama ini dikembangkan dalam konteks masyarakat Barat. Menjadi center of scholarship of communication recognize globaly and more of importantly in the southeast Asian level.” Muzayin Nazaruddin, S.Sos., MA., Ph.D (Candidate) – Kaprodi Ilmu Komunikasi UII Periode 2014 – 2018

“Semoga Prodi Ilmu Komunikasi UII bisa terus mengembangkan nilai-nilai komunikasi pemberdayaan dan komunikasi profetik sehingga menjadi rujukan bagi Prodi Ilmu Komunikasi lainnya di Indonesia.” Puji Hariyanti, S.Sos., M.I.Kom – Kaprodi Ilmu Komunikasi UII Periode 2018 – 2022

“Saya berharap Prodi Ilmu Komunikasi 10 tahun yang akan datang satu punya gedung sendiri yang representatif gedung yang bagus yang menunjang semua kebutuhan Prodi baik untuk mahasiswa, dosen, dan stafnya. Selain itu secara akademik akan membuka S2 dan nanti akan membuka S3 juga sehingga menjadi Prodi yang dirujuk oleh banyak kalangan di Indonesia maupun di Asia Tenggara, Syukur-syukur di tingkat dunia. Terakhir yang paling penting Prodi semakin memberikan manfaat yang luas kepada masyarakat di sekitarnya.” Iwan Awaluddin Yusuf, S.IP., M.Si., Ph.D – Kaprodi Ilmu Komunikasi UII Periode 2022 – Sekarang

Itulah deretan catatan dan harapan untuk Prodi Ilmu Komunikasi UII, semoga di tahun 2034 ketika catatan ini dibuka satu per satu mimpi telah terwujud.

Mapres
Reading Time: 2 minutes

Puncak milad Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya (FPSB) UII ke 29 tahun diwarnai dengan berbagai penghargaan dan prestasi untuk mahasiswa, dosen, hingga tenaga kependidikan.

Rangkaian acara puncak milad pada 12 Juni 2024 diawali dengan sambutan dari Dekan FPSB UII, Dr. Phil. Qurotul Uyun, S.Psi., M.Si., Psikolog, dalam kesempatan itu beliau menyampaikan bagaimana sejarah FPSB yang didirikan oleh tokoh-tokoh yang penuh dedikasi.

Dua nama founding fathers FPSB yang disebutkan adalah Dr. H. Djamaludin Ancok dan Drs. Muh. Bachtiar, MM. dalam momen tersebut Ibu Dekan mengajak seluruh sivitas akademika untuk meneladani para pendiri.

Founding fathers kita adalah orang-orang berdedikasi, mengingat kembali jasa beliau dan keteladanan beliau,” ujar Dekan FPSB.

Usai sambutan, acara dilanjutkan dengan Studium Generale bertajuk “Pelangi tak Selalu Indah” oleh Agung Sugiarto founder Yayasan Peduli Sahabat. Isu LGBT di Indonesia dibahas detail agar masyarakat semakin aware dan dapat mendeteksi lebih dini pada tumbuh kembang anak.

“Jatuh pada usia 10 tahun keatas (tanda-tanda awal kecenderungan LGBT). Tidak ada kelekatan antara orangtua dan anak. Karena memang gapnya terlalu besar. Masa kesepian langkah pertama masuk ke dunia negatif. Merasa lonely kesepian, masuk ke teman sebaya yang melenceng,” ujarnya.

Usai Studium Generale, acara ditutup dengan penghargaan kepada sivitas akademika berprestasi, mulai dari bidang akademik, olahraga, kwirausahaan, hingga bidang dakwah dan pengabdian.

Prodi Ilmu Komunikasi UII turut bersyukur, pasalnya mahasiswa berprestasi utama juara 1 diraih oleh Muhammad fahrur Rozi angkatan 2021 yang maju sebagai mahasiswa berprestasi tingkat universitas untuk kedua kalinya. Berikut daftar lengkapnya:

Penghargaan Sivitas Akademika Berprestasi

Mahasiswa Berprestasi Utama

  1. Muhammad Fahrur Rozi (Juara 1)

IPK Tertinggi

  1. Hana Mufida (Juara 1) – 2023
  2. Dhea Apriliani (Juara 2) – 2022
  3. Khadega Mohammed Ahmed Al-Hadi (Juara 3) – IP 2021

Bidang Kewirausahaan

  1. Rahmanisa Amani (Juara 1)

Bidang Dakwah dan Pengabdian

  1. Rahmanisa Amani juara (Juara 2)
  2. Nandita Faiza (Juara 3)

Bidang Olahraga

  1. Shafni Aura Sugiarto (Juara 1)

Dosen Prodi/Jurusan dengan Kinerja Terbaik

  1. Iwan Awaluddin Yusuf, S.IP., M.Si., Ph.D (Juara 1)
  2. Puji Hariyanti, S.Sos., M.I.Kom (Juara 2)
  3. Narayana Mahendra Prastya, S.Sos., MA (Juara 3)

Itulah deretan prestasi yang diraih oleh Prodi Ilmu Komunikasi UII pada puncak Milad FPSB UII.

Pak Rektor
Reading Time: 2 minutes

Terbukanya akses berbagai data serta masifnya perkembangan Artificial Intelligence (AI) menjadi isu yang terus dibahas di ranah akademik, terlebih kaitannya dengan etika dan pemanfaatan. Data menyebutkan Indonesia menjadi negara penyumbang kunjungan ke aplikasi AI terbanyak ketiga secara global di tahun 2023 yakni sebanyak 1,4 miliar (laporan WritterBuddy).

Pembahasan mendalam dilakukan dalam sesi Kuliah Pakar Analisis Big Data dan AI yang disampaikan oleh Rektor Universitas Islam Indonesia (UII), Prof. Fathul Wahid, S.T., M.Sc., Ph.D. pada Sabtu, 8 Juni 2024 di hadapan lebih dari 200 mahasiswa Ilmu Komunikasi.

Secara mendalam beliau menyampaikan materi bertajuk Etika dalam Mahadata dan Kecerdasan Buatan. Prof. Fathul Wahid yang memiliki keilmuan bidang Sistem dan teknologi Informasi menyebut beberapa prinsip etika data fokus pada beberapa aspek yakni kepemilikan, transparansi, privasi, intensi, dan dampak.

“Mengolah data dan menggunakan data tidak boleh dengan intensi jahat. Anda mengumpulkan data dengan survei dan yang lain tidak boleh ada niatan membahayakan orang lain. Termasuk dijual mendapatkan keuntungan sendiri, atau bahkan informasi sensitif bersifat personal anda simpan pada saat tertentu dikeluarkan untuk mengancam,” ujarnya.

Hal tersebut adalah dasar pengetahuan terkait pemanfaatan data, karena setiap data memiliki pemilik. Sehingga persetujuan menjadi langkah utama dalam pemanfaatannya. Meski dengan pesatnya AI data apapun dapat dibuka secara gamblang bukan berarti data dapat bebas dimiliki.

“Setiap informasi punya pemilik, anda boleh memegangnya tapi belum tentu itu milik anda, itu milik sumber informasi. ketika kita ingin menggunakan anda harus memberitahu bagaimana informasi itu dikumpulkan, ada inform dan consent persetujuan yang diberikan karena orangnya sudah tahu,” tambahnya.

Sikap Kita dengan Perkembangan AI

Perkembangan AI tidak mungkin dapat dihindari, bagaimanapun setiap individu harus menyesuaikan diri agar tak tertinggal oleh peradaban. Pertanyaan terlontar dari Kaprodi Ilmu Komunikasi, Iwan Awaluddin Yusuf, S.IP, M.Si, Ph.D terkait “Apakah kitab isa mengandalkan AI 100 persen?” menjawab hal itu Pak Rektor mengulasnya pada empat poin materi antara lain Disrupsi TI dan AI, Memahami AI Generatif, Kesadaran etis terhadap AI, serta Peran Masa Depan.

“Konsep disrupsi adalah tidak menyesuaikan diri maka ditinggal oleh zaman. Disrupsi bukan dongeng tapi kenyataan yang tertinggal biasanya punya sebuah sindrom yaitu sindrom denialism menolak. Tidak percaya bahwa dunia sudah berubah,” jelas Pak Rektor.

AI generatif memiliki kemampuan mengenerasi berbagai bidang seperti teks, gambar, suara, dan lainnya dengan perintah tertentu. Hal ini dibahas pada teknologi dan konteks bahwa teknologi selalu hadir dengan dua sisi baik negatif dan positif, interaksi antara teknologi dengan aktor memiliki tujuan, dan teknologi tidak hadir pada ruang hampa.

Sehingga dalam menjawab pertanyaan terkait tingkat kepercayaan terhadap data yang terus berhamburan atas peran AI, Pak rektor menegaskan agar mahasiswa memiliki sikap skeptis dan terus mengembangkan kapasitas lewat berbagai bacaan.

“Ketika anda punya basis informasi lebih lengkap lebih mudah bagi anda ini bias atau tidak, sialnya kalau basis informasi kita terbatas. Sebagai pribadi individu maka harus memperluas basis ilmu pengetahuan, banyak membaca, banyak piknik, banyak diskusi. Itu bisa karena punya referensi, kalau tidak punya referensi tidak bisa mengatakan kalau itu ngawur,” tandasnya.

Sebagai informasi kelas Analisis Big Data dan AI merupakan program team teaching bersama dosen Ilmu Komunikasi UII, Ratna Permata Sari, S.I.Kom, M.A,.

Instagram
Reading Time: 3 minutes

Sepekan terakhir kampanye poster All Eyes di Instagram sukses membawa netizen ramai-ramai merepost ulang di story masing-masing. Mulai dari konflik internasional All Eyes on Rafah dan disusul All Eyes on Papua.

Seruan All Eyes on Rafah pertama kali diungkapkan pada Februari 2024 lalu oleh Rick Peeperkorn Direktur Kantor Wilayah Palestina di Orrganisasi Kesehatan Dunia (WHO). Ungkapan itu muncul pasca Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menginstruksikan evakuasi ke Rafah menjelang penyerangan. Sayangnya pada 26 Mei 2024 serangan melalui udara mengakibatkan kebakaran hebat di kamp pegungsian hingga menewaskan 45 korban. Serangan tak berhenti dan berlanjut hingga beberapa hari setelahnya.

Sontak sejak 28 Mei 2024, seruan All Eyes on Rafah mencuat di X (Twitter) dan trending sehari setelahnya hingga mencapai 900 ribu lebih tagar tersebut. Sementara di Instagram lebih viral lagi, poster yang dikreasikan lewat AI itu mencapai 47 juta lebih dibagikan.

Kesuksesan lain disusul oleh All Eyes on Papua, isu lama itu kembali disorot pasca masyarakat Awyu di Boven Digul Papua Selatan dan Suku Moi di Sorong Papua Barat Daya melakukan aksi protes atas izin pengalihan hutan sebagai Perkebunan sawit oleh PT Indo Asiana Lestari di Gedung Mahkamah Agung Jakarta pada 27 Mei 2024. Narasi “separuh luas Jakarta” menjadi menggema mengiringi poster All Eyes on Papua. Hutan tak hanya soal tanah dan pohon, bagi masyarakat Papua hutan adalah sumber kehidupan bernilai budaya. Tak hanya akan kehilangan sumber penghidupan, Perkebunan sawit yang akan digarap pada 36 ribu ha turut menyumbang emisi 25 juta ton CO2.

Mengapa Bisa Viral?

Dari kedua kasus tersebut, tingkat keviralan All Eyes on Papua bisa dikatakan sukses menyamai All Eyes on Rafah. Dalam skala nasional saja mampu mengajak lebih dari 2,8 juta pengguna Instagram membagikan isu lingkungan yang cenderung hanya menjadi concern beberapa pihak.

Menurut dosen Prodi Ilmu Komunikasi UII, Nadia Wasta Utami, S.I.Kom., M.A. terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi keviralan dua isu tersebut. Pertama terkait fitur yang menjadi penunjang di Instagram yakni Add Yours yang berfungsi untuk membuat rantai konten stories.

“Sosial media dengan beragam fiturnya sangat memudahkan sebuah isu itu menyebar. Fitur yang memudahkan orang dan membuat kita tau siapa saja teman kita yang menggunakan akan mentrigger akhirnya kita ikutan,” jelasnya.

Rantai konten stories yang tak terputus ini juga diikuti dengan sematan-sematan link dan narasi yang semakin membuat netizen merasa relate dengan isu dalam narasi All Eyes.

“Misal fitur Add Yours, fitur menyematkan tautan/link, fitur share ke sosmed kalau sudah mengisi petisi, fitur tagging supaya tersebar ke orang-orang yang kita mau. Terutama jika isu tersebut relate dengan banyak orang maka sosial media akan membuat berita itu tersebar ke circle tertentu lalu disebarkan lagi dan lagi dan lagi sampai kemudian menjadi yg kita sebut sbg viral (penyebaran seperti virus). Ini berkaitan juga dengan bagaimana Engagement rate itu naik,” tambahnya.

Tak hanya soal fitur, pengetahuan terhadap isu juga turut mempengaruhi keviralan. Ditambah pengguna Instagram didominasi oleh Gen Z dan Milenial dengan presentase lebih dari 60 persen. (Data Statista 2023)

“Bagaimana pengguna sosmednya sendiri yang sekarang paham atau tidak, mengerti betul ataupun hanya sekedar tau, ketika ada suatu isu yang itu ramai dibicarakan, mereka akan ingin ikut membicarakan hal tersebut. Istilahnya FOMO/fear of missing out. Karena ketika suatu isu itu banyak orang bicarakan, maka netizen akan merasa “keren” atau merasa up to date ketika ia juga ikut membincangkan atau dalam hal ini ikut me-repost, ikutan fitur add yours, ikutan petisi, ikut post hal yang sama. Sebaliknya mereka akan merasa “tertinggal” jika tidak ikutan tren yang sedang ramai dibicarakan. Dan itu untuk kalangan GenZ terutama menjadi suatu ketakutan “fear” kalau tidak tahu, tidak terlibat, dan tidak ikutan apa yang orang lakukan pada isu tersebut,” ujarnya.

Viral di Media Sosial Membawa Perubahan?

Di Indonesia fenomena No Viral No Justice awalnya adalah bentuk sindiran netizen kepada Polri yang dirasa ogah merespon laporan dari masyarakat. Harapannya dengan fenomena tersebut pihaknya menjadi lebih profesional. Salah satu cara yang dilakukan adalah dengan menjadikan suatu isu tersebut viral di media sosial.

Sosial media menjadi ruang menyegarkan pembawa perubahan, namun menurut Nadia berbagai kemungkinan bisa terjadi. Netizen perlu memahami secara detail terkait isu yang tengah mencuat agar bijak dalam merespon.

“Jadi, apakah sosial media bisa bawa perubahan? Ini sudah banyak sih kasusnya bahwa isu yang berawal dari sosial media ternyata bisa membawa dampak pada kehidupan nyata. Dampak bisa baik, bisa buruk tentu saja. Namun yang perlu ditekankan untuk kita pengguna sosmed di sini adalah, ketika ada suatu isu/ tren tertentu, ada baiknya kita cari tahu dulu, pahami betul-betul apa yang terjadi,” jelas Nadia.

Tidak semua konten yang tersebar di media sosial selalu benar, jika hanya Fomo bisa jadi apa yang dibagikan pengguna akan merusak reputasi individu bahkan memicu konflik di ruang digital.

“Jadi tidak hanya sekadar ikut-ikutan karena takut ketinggalan. Karena bisa jadi apa yang ramai di belum tentu benar adanya. Apa yang diamini oleh banyak orang tidak selalu merupakan hal yang sebenarnya. Dan harus semakin berhati-hati karena kita kini hidup dalam gelembung fakta realita  semu yang ditentukan oleh algoritma sosial media,” tandasnya.

Penulis: Meigitaria Sanita

All Eyes on Papua
Reading Time: 2 minutes

Tercatat hingga 4 Juni 2024 seruan All Eyes on Papua dibagikan lebih dari 2,8 juta kali di Instagram Story. Netizen Indonesia ramai-ramai merepost ulang poster tersebut sebagai bentuk kepedulian perlindungan hutan adat Papua.

Sebelumnya, masyarakat Awyu di Boven Digul Papua Selatan dan Suku Moi di Sorong Papua Barat Daya melakukan aksi damai dengan mendatangi Gedung Mahkamah Agung Jakarta pada 27 Mei 2024. Kedatangan tersebut sebagai bentuk protes atas rencana pengalihan hutan menjadi Perkebunan sawit oleh PT Indo Asiana Lestari.

“Just in case buat yang belum tau, jadi hutan di Papua tepatnya di Boven Digul yang luasnya 36 ribu hektar atau lebih dari separuh luas Jakarta akan dibabat habis dan dibangun Perkebunan sawit oleh PT Indo Asiana Lestari.” Tulis dalam keterangan poster yang beredar.

Berdasarkan artikel Forest loss in Indonesian New Guinea (2001-2019): Trends, drivers and outlook yang dipublikasikan dalam laman Science Direct menyebutkan dalam kurun waktu tersebut kelestarian hutan Papua mengalami penyusutan akibat investasi masif kebun sawit.

Sebanyak 2 persen atau 748 ribu ha hutan berkurang, bahkan diprediksi di tahun 2036 penyusutan hutan Papua mencapai 4,5 ha.

Dukungan lain dilakukan melalui tanda tangan petisi yang diinisiatif oleh Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, ramai-ramai netizen ikut serta ikut mendukung agar izin PT Indo Asiana Lestari dicabut. Hingga 5 Juni 2024 sebanyak 207.083 tanda tangan telah terkumpul.

Masifnya Dukungan Netizen Lewat Media Sosial

Netizen ramai-ramai mendukung masyarakat Papua untuk mempertahankan hutan adat. Narasi yang dibangun terkait dampak perkebunan sawit akan menghasilkan emisi 25 juta ton CO2 serta 5 persen emisi karbon di tahun 2030 pada poster sukses membuat netizen kompak dalam aksi tersebut.

Menurut dosen Prodi Ilmu Komunikasi UII, Ibnu Darmawan, S.I.Kom., M.I.Kom. kesuksesan ini tak luput dari momentum yang berdekatan dengan poster AI terkait All Eyes on Rafah yang viral beberapa hari sebelumnya.

“Poster itu (All Eyes on Papua) bisa naik dan viral karena momentumnya tidak jauh dari All Eyes on Rafah. Poster yang dikreasikan melalui AI secara visual tidak menampilkan bentuk kekerasan dan tidak melanggar policy sehingga lolos di Instagram,” ujarnya.

Masifnya bentuk simpati dan empati yang tinggi netizen Indonesia kepada kasus kejahatan manusia di Palestina turut memberi pengaruh pada isu lingkungan di Papua.

“Di Indonesia yang concern dengan Palestina dan merepost All Eyes on Rafah sangat banyak. Sementara isu soal Papua yang sebenarnya sudah lama kembali muncul dengan desain dan pemilihan kata yang mirip Rafah akhirnya viral,” tambahnya.

Jika dengan kejadian di negeri seberang netizen Indonesia begitu peduli maka tak heran dengan kondisi di Papua. Solidaritas dan merasa ada kedekatan dengan suatu objek sehingga membentuk kelompok yang Bersatu untuk mendukung pencabutan izin pengalihan kebun sawit.

“Aware karena itu bisa terinisiasi dari Rafah aja bisa peduli masa di negeri sendiri, ada rasa solidaritas dan proksimiti. Bentuk campaign juga gampang dilakukan hanya repost makanya jadi populer,” tandasnya.

Data dari Auriga Nusantara menyebutan tahun 2022 luas hutan di provinsi Papua dan Papua Barat sekitar 33.847.928 ha. Bagi masyarakat Papua, hutan tak sekedar tanah dan pepohonan melainkan sumber kehidupan yang bernilai budaya. Sayangnya hutan Papua terus menyusut sepanjang tahun karena penebangan untuk kebutuhan industri perkebunana, kehutanan, dan pertambangan.

AMSI
Reading Time: 2 minutes

Dosen Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII), Prof. Dr. rer. soc. Masduki, S.Ag., M.Si., M.A. terpilih secara aklamasi sebagai Majelis Kehormatan Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Yogyakarta pada 28 Mei 2024.

Tercatat beliau akan bertugas pada periode 2024-2028 untuk merancang berbagai program kerja kepengurusan AMSI. Sebagai akademisi, bergabungnya Prof. Masduki diharapkan mampu memberikan berbagai pengetahuan, inovasi, hingga pengutan dalam organisasi tersebut.

“Karena background saya akademik dari kampus dan banyak bersinggungan dengan jurnalistik bisa turut menjadi partner diskusi dan tentu saya bisa ikut belajar berkaitan dengan penguatan AMSI. Karena AMSI organisasi perusahaan pers digital bukan organisasi jurnalis atau organisasi profesi,” jelas Prof. Masduki.

Secara spesifik program yang akan dilakukan AMSI Yogyakarta terbagi menjadi dua yakni untuk internal dan eksternal. Beberapa program internal antara lain peningkatan kapasitas dalam manajemen bisnis anggota, mensinergikan dan soliditas anggota, pendampingan untuk menjadi media terverifikasi Dewan Pers, dan penguatan posisi pengurus tergadap berbagai stakeholder.

Sementara program eksternal yakni “membumikan AMSI DIY dan berkolaborasi dengan pemangku kepentingan di daerah dalam membangun ekosistem industri media digital berkelanjutan. Kedua, melakukan sinergi dengan komunitas pers dalam meningkatkan posisi tawar media siber dengan platform global. Ketiga, meningkatkan literasi media siber di masyarakat. Keempat, meneguhkan posisi media siber dengan para pelaku bisnis,” ungkap Agung Purwandono Ketua terpilih AMSI dilansir dari laman Harian Jogja.

Kesempatan dan Peluang untuk Prodi Ilmu Komunikasi

Kesempatan menjadi Majelis Kehormatan AMSI Yogyakarta bagi Prof. Masduki merupakan peluang yang baik bagi dunia akademik khususnya bagi Prodi Ilmu Komunikasai UII. Pasalnya sejak 2023, salah satu kurikulum baru terkait jurnalisme digital telah diterapkan mengikuti tren media di Indonesia.

“Saya senang dengan opportunity menjadi dewan kehormatan dari AMSI kita bisa mengikuti perkembangan yang terjadi pada industri media online terhubung dengan prodi dengan mata kuliah jurnalisme digital kita punya jejaring yang strategis, baik sebagai tempat kita melakukan penelitian juga bisa pengabdian masyarakat,” jelasnya.

Tak hanya itu AMSI juga akan menjadi ruang untuk peningkatan kompetensi dalam bidang riset kajian media dan jurnalisme. Berdasarkan riset yang dilakukan Prodi Ilmu Komunikasi UII bersama Dewan Pers 60 persen media di Indonesia telah didominasi media siber. Sehingga pemilik media siber tentu berharap mendapat banyak insight positif dari dunia akademis.

“Bisnis berita jurnalisme bertumbuh pada trus kepercayaan kualitas trust worth indicator mungkin satu-satunya di ASEAN yang menggunakan prinsip ini. AMSI berkomitmen anggotanya menggunakan prinsip jurnalisme yang mematuhi kode etik dengan cara itu diharapkan publik akan melirik baik sebagai konsumen, pembaca, dan mitra bisnis dan dengan demikian industri media digital juga sehat,” tambahnya.

Peran dan fungsi Prof. Masduki dalam bidang akademis secara umum membantu AMSI Yogyakarta untuk mematuhi indikator yang disepakati dalam mencapai jurnalisme berkualitas untuk mencerdaskan publik.

“Mendorong terus bagaimana jurnalisme berkualitas tumbuh minimal di lingkungan anggota AMSI Jogja kemudian publik menikmati berita yang mengisi otak mereka, mencerdaskan sesuai dengan komitmen kita bahwa kampus mendorong jurnalisme berkualitas,” tandasnya.

Deretan nama yang mengisi kepengurusan dalam Konferwil III AMSI Yogyakarta dipilih secara aklamasi, yakni Ketua AMSI DIY Agung Purwandono (Mojok.co); Sekretaris AMSI DIY Rendy Adrikni Sadikin (Suarajogja.id). Konferwil juga memutuskan Badan Pertimbangan yang terdiri dari Ribut Raharjo (Tribunjogja.com), Anton Wahyu Prihartono (harianjogja.com) dan Titis Widyatmoko (Brilio.net). Majelis Kehormatan terdiri dari Masduki (akademisi komunikasi), Octo Lampito (krjogja.com) dan Heri Purwata (Jognews).

Film
Reading Time: 3 minutes

Kisah nyata yang diangkat menjadi sebuah film terbukti memiliki daya tarik tinggi bagi penonton. Catatan soal raihan jumlah penonton adalah bukti nyata, sebut saja Hafalan Shalat Delisa yang rilis 2011 mengisahkan perjuangan anak perempuan pasca bencana tsunami Aceh 2004 sukses menjadi film dengan jumlah penonton terbanyak ketiga pada awal tahun 2012. Tak berhenti disitu, KKN di Desa Penari adalah pemenangnya, film bergenre horor ini sukses menjadi film terlaris sepanjang masa dengan raihan lebih dari 10 juta penonton.

Keduanya merupakan film-film yang diadopsi dari kisah yang telah terjadi dan disajikan dengan narasi-narasi serta visual yang begitu menggugah. Salah satu alasan mendasar mengapa film yang diangkat dari kisah nyata selalu laris karena adalah sisi yang cukup menawan (captivating).

Sisi captivating yang senggaja diciptakan, menurut dosen Prodi Ilmu Komunikasi UII, Dr. Zaki Habibi yang fokus dengan media and film studies menyebut film diproduksi untuk mengajak penonton menyaksikan isu tertentu.

“Bagaimana film yang diproduksi dengan basis kisah nyata atau based on true story punya sisi captivating, bikin penonton ingin terlibat, dan ingin tau lanjutannya. Terlepas sejauh mana pendekatan kreatif sineas. Mau kisah nyata atau rekaan, buatku film is an art to persuade creativity. Ekspresi seni yang pada dasarnya untuk mempersuasi penonton untuk membicarakan isu tertentu,” ujar Dr. Zaki Habibi.

Meski demikian, kerja kreatif dalam menampilkan kisah nyata ini selalu memantik pergolakan berbagai respon penonton. Banyak yang mendukung, menghujat, hingga ramai-ramai mengajak memberhentikan penayangan.

Memvisualkan Kisah Nyata

Mengeksplorasi kisah nyata menjadi film membutuhkan ketrampilan dan riset yang mumpuni. Seperti kisah kehidupan Delisa, layaknya film biopik lainnya kedalaman hidup subjek yang difilmkan mencoba memeberikan pemahaman kepada penonton melalui karakter hingga tingkat intelektualitasnya. Bagaimana kegigihan Delisa hingga tsunami Aceh menghantamnya membuat penonton hanyut dengan air mata.

George Frederick Custen dalam Bio/Pics: How Hollywood Constructed Public History yang direview oleh Charlotte Greenspan pada Jurnal of Film and Video menyebutkan jika film dari kisah nyata dalam kategori biopik memiliki sisi dramatisasi sehingga bisa jadi tak akurat. Hal ini dilakukan untuk menyampaikan makna lebih luas daripada hanya menjadi teks objektif karena setiap kisah nyata yang difilmkan selalu punya maksud atau tujuan.

Zaki menjelaskan, ada berbagai tujuan pembuatan film dari kisah nyata dan tentu setiap tujuan memiliki teknik masing-masing. Beberapa tujuan tersebut adalah inspirasi dan adaptasi.

“Kisah nyata sebagai apa, misal inspirasi, inti kisah nama tokoh dikreasi bukan menunjukkan subjek kisah. Menjadi adaptasi atau ekranisasi, dari sesuatu menjadi film. Kadang struktur pembabakan alur mengikuti kisah nyata demi sebuah tujuan. Durasi episode hidup tidak harus sama,” jelasnya.

Sementara soal etika Zaki menyebut jika metode dalam film dokumenter yakni reenactment (menghidupkan kembali) atau disebut kegiatan reka ulang peristiwa bersejarah dengan aksesoris berdasarkan riset sah-sah saja dilakukan secara etika dan estetika.

“Penggunaan arsip dan narasi perlu diolah. Banyak film kadang kurang riset pra produksi, tidak hanya mau ngangkat kisah apa, tapi juga keputusan narasi mau dibawa kemana,” ujarnya.

“Dramatisasi (sah dilakukan), izin (kebutuhan menggali cerita dan etika), nama tidak sama (dengan tokoh dengan dalih perlindungan privasi),” tambahnya.

Sikap Netizen dalam Merespon

Ramai-ramai menghakimi suatu karya film yang dianggap tak etis dalam segi estetika hingga privasi tokoh utama. Dalam konteks ini Zaki menjelaskan jika penonton juga harus bersikap adil. Artinya, bukan seru menyeru boikot di media sosial namun memberi pencerahan yang lebih berimbang.

“Penonton sama-sama lebih literate sekaligus adil, bersikap jelas. Anti boikot film, sejelek apapun seruwet film. Respon adilnya penonton berhak membuat resensi film, kritik film (opini pembuat dari penulis) untuk penonton dan pembuat film, kajian film bisa berbentuk video konten,” jelasnya.

Lebih lanjut, konteks ini menjadi pembeda penonton sebagai sosok yang literate bukan sosok yang otoriter. Seiring berkembangnya estetika film, pengetahuan penonton juga diharapkan mampu bertumbuh.

Kadangkala, banyak film mengalami penolakan karena standar nilai dan norma yang diangkat tidak sesuai pada kondisi masyarakat.

“Tanggung jawab produser dan sineas tidak bertanggung memuaskan persepsi penonton, tapi tanggung jawab estetika, tanggung jawab etik. Terikat kondisi dimana film itu diputar,” tambahnya.

Sementara mengutip dari laman Esei Nosa tulisan Nosa Normanda yang aktif menulis resensi dan kritik film, ia menyebut tidak semua film yang diangkat dari kisah nyata dapat dikategorikan sebagai film biopik. Sebut saja film bergenre horor dengan adegan sadis yang dialami korban pemerkosaan hingga pembunuhan tidak bisa serta merta dipromosikan sebagai horor mistik biopik.

“Tapi karena mistik adalah subjektif, nama korban bukan nama asli dan tidak melibatkan realitas sosial seperti perkosaan”.

Trakhir, soal riuhnya publik yang marah dan tak logis justru bisa menjadi agen iklan gratis bagi pihak pembuat film.

Jika kamu sudah cukup umur dan dewasa, kamu harus berpikir logis sebelum mengadili sebuah produk budaya yang terbit dengan keterlibatan banyak unsur: dari PH, lembaga sensor, dan bioskop. Kalau belum menonton filmnya, baiknya kamu menggunakan data sahih yang tersilang referensi untuk menentukan kebijakan atau opinimu. Jika tidak, jangan mengadili sebuah film atau produk budaya yang kamu tidak tonton. Baiknya bicarakan hal-hal fenomena yang kamu saksikan dan terverifikasi”.

Jadi bagaimana menurutmu Comms? Sebagai mahasiswa yang belajar tentang kajian film tertarik untuk menulis kritik film dengan perpektif akademis dan relevan?

Horor
Reading Time: 2 minutes

Film horor menjadi genre paling diminati penonton Indonesia, terbukti dari 10 deretan film terlaris 3 diantaranya diisi genre tersebut. Sepanjang tahun 2024 saja setidaknya ada 12 film horor yang telah tayang di bioskop. Sineas Indonesia nampaknya berlomba-lomba untuk memenangkan pasar. Sayangnya, unsur religi yang menjadi jalan pintas seolah jadi strategi ampuh.

Menampilkan adegan komedi, seks, dan religi menjadi bentuk normalisasi film horor Indonesia. Jadi tak heran jika ketiga unsur tersebut tak boleh absen dalam proses produksinya. Namun belakangan kritik keras soal ritual ibadah dalam tren film horor dilayangkan oleh Gina S. Noer sutradara Indonesia.

“Kebanyakan film horor menggunakan sholat, doa, dzikir dan lain-lain Cuma jadi pilot devices murahan untuk jumpscare karakternya diganggu setan. Sehingga kelemahan iman bukan lagi menjadi eksploitasi kritik terhadap keislaman yang dangkal. Tapi cara dangkal biar cepat seram,” tulisnya pada story Instagram beberapa waktu lalu.

Meski kritik tersebut ramai-ramai dibagikan, nyatanya penikmat film horor dengan eksploitasi agama tak menurun. Tercatat film Siksa Kubur karya Joko Anwar ditonton lebih dari 4 juta penonton.

Horor adalah kata yang kuat. Kata ini membangkitkan perasaan benci, jijik, enggan, takut, dan teror. Peristiwa mengerikan terjadi di dunia kita setiap hari, jadi wajar saja jika peristiwa-peristiwa ini masuk ke dalam imajinasi kolektif kita melalui literatur, film, dan bentuk-bentuk seni dan wacana populer lainnya. (ISLE: Interdisciplinary Studies in Literature and Environment, Volume 21, Issue 3, Summer 2014)

Mempertimbangkan Genre Ecohoror

Salah satu tawaran solusi bagi sineas Indonesia untuk mengeksplorasi terhadap religiusitas disampaikan oleh salah satu dosen Ilmu Komunikasi UII, Khumaid Akhyat Sulkhan, S.I.Kom, M.A. ia berpendapat bahwa genre ecohorror bisa menjadi pilihan.

Terlebih Indonesia sebagai negara dengan polemic isu lingkungan tak terselesaikan genre ecohorror layak menjadi sarana edukasi dan mempromosikan kesadaran ekologis dan tentunya mempresentasikan krisis ekologis yang nyata.

“Di industri perfilman luar negeri, isu lingkungan dan cerita horor sudah sering dipertemukan dalam genre ecohorror. Genre ini mengacu pada cerita-cerita mengenai alam yang membalas perbuatan eksploitatif manusia,” tulisnya dalam laman The Conversation.

Ecohoror mampu mengeksplorasi cerita yang berhubungan antara manusia, alam, dan makhluk hidup lainnya. Sebut saja film Godzilla (1954)—monster yang bangkit akibat ledakan bom nuklir.

“Liputan Project Multatuli juga menegaskan alam sebagai entitas yang aktif. Pohon yang seolah menolak ditebang, batu yang tidak bisa dihancurkan, berikut kisah-kisah ganjil yang menyertainya, adalah fenomena-fenomena yang menunjukkan bahwa alam memiliki cara tersendiri untuk melawan gencarnya pembangunan infrastruktur oleh negara,” tambahnya.

“Hal ini menegaskan potensi ecohorror untuk dikembangkan di Indonesia sebagai alternatif dari tayangan horor yang terjebak dalam narasi agama. Riset tahun 2022 sudah membuktikan bahwa film horor merupakan salah satu genre terfavorit masyarakat kita. Sehingga, ecohorror sebagai sub-genre film horor punya peluang untuk diminati sebagaimana film-film hantu lainnya,” tandasnya.

Artikel selengkapnya dapat diakses melalui laman https://theconversation.com/ecohorror-alternatif-untuk-film-horor-religi-di-indonesia-229812

 

 

 

Polandia
Reading Time: 2 minutes

Deretan tugas akademik dilakoni oleh Kaprodi Ilmu Komunikasi UII selama satu bulan di Krakow, Polandia. Pada minggu-minggu terakhir Iwan Awaluddin Yusuf, PhD. setidaknya menyelesaikan beberapa tugas tersebut mulai menjadi reviewer tamu dalam simposium hingga presenter di konferensi yang digelar Krakow University of Economics.

“Tiga kegiatan akan saya ikuti selama pekan terahir ini. Simposium (sebagai reviewer tamu), Konferensi ODDEA, dan Konfernsi internasional UEK beserta 3 negara penyelenggara. Saya insyaAllah menjadi presenter di konferensi yg ketiga ini,” ujarnya menjelaskan.

21st Four-Party Scientific Conference, Krakow University of Economics yang diselenggarakan pada 27 hingga 28 Mei 2024 mengangkat tema Contemporary Economy in the face of Economic, Social and Political Crises (Economic, Managerial, Social and Legal Aspects).

Konferensi tersebut merupakan program tahunan yang digagas oleh empat universitas yakni Krakow University of Economics, State University of Trade and Economic, University of Kragujevac, dan University of Messina.

Tema tersebut beririsan dengan berbagai permasalahan pada disrupsi industri media di Indonesia terutama krisis pasca pandemi Covid-19. Dalam kesempatan itu beliau menyampaikan materi bertajuk Beyond Boundaries: The Evolving Landscape of Indonesia’s Media Industry in the New Normal.

“Karena tema besar konferensinya “ekonomi di era krisis dan new normal”, saya ambil yang nyambung dengan fokus industri media di Indonesia dengan salah satunya bahas tutupnya media cetak itu dan kebangkitan model-model bisnis baru yang terus mencari bentuk di tengah ketidakpastian,” tambahnya.

Dalam presesntasi tersebut ada empat pembahasan pokok yakni terkait lanskap industri media di Indonesia, digitalisasi dan disrupsi media, pergeseran tren media, hingga rekomendasi untuk berinovasi dalam model bisnis media.

Sebelumnya beberapa artikel dan riset yang relate dengan topik juga pernah digarap sperti artikel berjudul Bagaimana COVID-19 Menciptakan Normal Baru Bagi Media dan Jurnalis yang terbit pada laman The Conversation serta proyek bersama SAGE yakni The SAGE International Encyclopedia of Mass Media and Society yang diedit oleh Debra Merskin.

Perjalanan Kaprodi Ilmu Komunikasi UII tersebut merupakan bagian dari hibah European Union di bawah proyek the Horizon Europe Framework Programme dengan judul Overcoming Digital Divide in Europe and Southeast Asia (ODDEA).

Praktiknya, ODDEA mengirim dosen Eropa ke salah satu negara di Asia Tenggara (Indonesia, Malaysia, Thailand) dan sebaliknya dosen Asia Tenggara dikirim ke salah satu negara Eropa (Poland, Montenegro, Slovakia).

 

Krakow
Reading Time: 3 minutes

Salah satu dosen Prodi Ilmu Komunikasi UII berkesempatan terbang ke Krakow, Polandia untuk menjalankan berbagai tugas akademis. Iwan Awaluddin Yusuf, Ph.D. kini tengah menjalankan rangkaian program riset dan pertukaran peneliti Asia Tenggara dan Uni Eropa.

Perjalanan Kaprodi Ilmu Komunikasi UII tersebut merupakan bagian dari hibah European Union di bawah proyek the Horizon Europe Framework Programme dengan judul Overcoming Digital Divide in Europe and Southeast Asia (ODDEA).

Praktiknya, ODDEA mengirim dosen Eropa ke salah satu negara di Asia Tenggara (Indonesia, Malaysia, Thailand) dan sebaliknya dosen Asia Tenggara dikirim ke salah satu negara Eropa (Poland, Montenegro, Slovakia).

“Di negara-negara ini kami menjadi “tamu” di kampus setempat yang ditunjuk (pengusul hibah) sebagai “rumah” berkegiatan,” jelasnya.

Yuk Intip Apa Saja yang Dilakukan Pak Iwan di Polandia?

Selama 30 hari di Krakow, selain riset dan menulis laporan yang akan dipublikasikan, beliau juga berkesempatan mengikuti beberapa konferensi dan sesekali mengajar atau diminta masuk kelas sebagai dosen tamu. Hal ini dilakukan agar para kandidat memperoleh pengalaman baru, paparan tradisi akademik, dan jejaring internasional dari kedua wilayah untuk saling memahami, berkolaborasi, dan berbagi pengetahuan.

Polandia

Berdasarkan rancangan Program ODDEA akan dijalankan selama empat tahun dengan target berbeda dan berkelanjutan dengan fokus mengatasi kesenjangan digital. Dalam pelaksanaan program para peserta dikelompokkan menjadi dua kategori: peneliti senior dan junior. Peneliti senior mengikuti program selama satu bulan, sementara peneliti junior mengikuti program selama dua hingga tiga bulan di negara mitra.

“Kebetulan saya adalah peserta tahun kedua dengan kategori pertama sehingga insyaAllah tinggal kurang lebih 10 hari menyelesaikan program ini di Polandia sebelum kembali ke Indonesia. Universitas yang menaungi saya adalah Krakow University of Economics (UEK), yang berlokasi di kota Krakow. Kota yang pernah menjadi ibukota Polandia sebelum berpindah ke Warsawa pada awal abad ke-17,” tambahnya.

Menjelajahi Berbagai Kota dan Keunikannya

Selama tiga pekan di Krakow kesempatan menjelajah berbagai kota tentu tak dilewatkan. Hal ini dilakukan untuk mendukung riset yang dilakukan. Dari perjalanan tersebut beliau mengaku menemukan pengalaman baru terkait tradisi akademik dan kehidupan ekonomi, sosial, budaya, hingga kuliner dan lansekap kota.

Tatra Mountain, Foto: Iwan Awaluddin Yusuf

“Karena melihat adalah bagian dari observasi, maka saya juga selalu menyempatkan melihat-lihat suasana dan landmark kota Krakow. Apalagi traveling menjadi kegiatan sekunder yang diajurkan di sela-sela kegiatan utama,” jelas Kaprodi Ilmu Komunikasi UII.

Sudut-sudut kota Krakow menyimpan berbagai sejarah hingga romantisme yang menarik untuk dijelajahi. Deretan kota yang sudah dijelajahi beliau antara lain Old Town, Kazimier, Salt Mine, Tyniec, dan Wawel Castle. Tak hanya menjelajah wilayah kota, blusukan ke pasar-pasar tradisional juga menjadi pilihan yang tak kalah seru, tak lupa mampir ke Islamic Center untuk Solat Jumat. Sementara pada pekan terakhir rencananya akan mengunjungi Zakopane, daerah pegunungan Tatra Mountain yang sangat terkenal di Eropa Tengah.

Pengalaman tinggal di luar negeri memang bukanlan kali pertama untuk beliau, sebelumnya hampir 4 tahun di Australia kendala bahasa bukanlah sesuatu yang sulit. Sementara bahasa Inggris bukanlah bahasa pengantar utama, warga lokal menggunakan bahasa asli Polandia yang terkenal cukup rumit.

“Berinteraksi langsung dengan warga lokal yang mayoritas berbahasa Polandia dan tidak bisa berbahasa Inggris. Sekadar informasi Bahasa Polandia konon termasuk 3 besar bahasa paling sulit dipelajari dunia. Karena ada kata ganti gender yang kompleks seperti Bahasa Arab. Inilah yang menjadikan bahasa Polandia sangat unik. Menyebut nama Krakow saja akan banyak variasi penulisannya: Krakowiak, Krakowski, Krakowska, Krakowie, Krakowia, Cracow, Cracovia,” jelasnya.

“Polandia memiliki sejuta keunikan dan keramahan yang membuat betah tinggal lama, meskipun banyak tantangannya tersendiri. Ini semua cukup berbeda dengan pengalaman saya menjalani empat tahun perjalanan studi di Australia. Meskipun sama-sama negara empat musim, Polandia memiliki banyak perbedaan dibanding Australia, terlebih Indonesia. Di luar tentu saja banyak pula kesamaan-kesamaannya dan kejutan-kejutannya,” tandasnya.