Hari Pendidikan Nasional ‘Esensi Menjadi Terdidik’

Terhitung 77 kali Hari Pendidikan Nasional yang jatuh pada tanggal 2 Mei dirayakan setiap tahunnya. Selain berterimakasih terhadap para tokoh yang membawa perubahan besar dalam sejarah pendidikan, sudah selayaknya melakukan refleksi.

Di momen Hari Pendidikan Nasional 2025 ini, Kaprodi Ilmu Komunikasi UII yakni Dr. Zaki Habibi memberikan gagasan menarik tentang esensi menjadi terdidik hingga bertumbuh dan survive dari setiap zeitgeist (semangat zaman yang merujuk pada pemikiran dominan yang mendominasi periode waktu tertentu).

“Siapa mereka (Ki Hajar Dewantoro) dan apa arti andilnya jelas, yaitu bahwa mereka sebagai juru pengingat, bahwa terdidik itu ternyata penting, tidak hanya soal bersekolah, tapi tentang menjadi orang yang lebih baik, menjadi bangsa yang tumbuh,” ucapnya membuka diskusi.

Pertanyaan besar setelah 77 tahun, apakah sebagai bangsa Indonesia semakin terdidik atau justru jauh dari esensi tersebut. menurutnya, inilah waktu yang tepat untuk berefleksi.

“Apa sih esensinya menjadi terdidik, itu bukan soal tinggi-tinggian gelar, tinggi-tinggian jenjang sekolah, tapi lebih ke titik berangkat kita dan titik muara kita itu ada bedanya,” Ucapnya.

Pendidikan adalah sarana dan proses bertumbuh, bagaiamana pola pikir dan nalarnya mampu beradaptasi dengan kondisi yang dihadapi. “Dalam cakrawala nalar, bernalar dan kemudian memahami situasi di sekitarnya, apapun disiplin ilmunya.”

Merefleksikan Hari Pendidikan Nasional, muncul pula pertanyaan mendalam, “sudahkah kita makin bernalar, sudahkah kita makin menggunakan nalar-nalar itu untuk menjadi orang yang lebih baik, komunitas yang lebih kokoh, bangsa yang lebih tangguh?”

Artinya, tak sekedar seremonial, mengingat sejarah saja. Bangsa terdidik mesti memiliki visi ke depan demi menjawab zeitgeist tadi. Jika di masa Ki Hajar Dewantoro memiliki tantangan di eranya, begitupun saat ini. bangsa Indonesia kini tengah dihujani dengan gelombang transformasi digital, kecerdasan buatan yang menyilaukan, hingga disrupsi berbagai sektor kehidupan.

 “Apakah kita tenggelam oleh tantangannya tanpa bisa merespon tantangan itu, atau justru kita bisa menaiki gelombang-gelombang tantangan itu untuk mengatasi?,” ungkapnya mempertanyakan.

Salah satu cara survive dengan tantangan zaman adalah melalui kreativitas. Kreativitas menjadi bagian penting dalam esensi terdidik. Kreativitas tak sekedar menciptakan sesuatu atau “bikin-bikin”, tapi terkait “daya survive manusia,” ungkap Dr. Zaki.

Hal ini digambarkan melalui cara manusia purba bertahan hidup, menciptakan lukisan di dinding goa sebagai bentuk komunikasi. tantangan serupa dengan bangsa saat ini, meski konteksnya berbeda.

“Itu sama rumitnya seperti manusia gua menghadapi dilema tetap di luar tapi dimakan hewan buas atau di dalam tapi ada dunia baru yang mereka belum tau mau diapakan,” tambahnya.

Maka, pendidikan hari ini dan ke depan harus mampu membentuk individu yang kreatif, bernalar, dan adaptif terhadap perubahan. Esensinya bukan pada di mana seseorang belajar, tapi pada seberapa jauh seseorang bertumbuh, bertahan, dan memberi jawaban atas tantangan zaman. “Jangan pernah menyepelekan bahwa esensi terdidik bukan sekolah di tempat seperti apa, lulus dari institusi se-keren apa. Tapi bagaimana kita bisa mengasah esensi kreativitas sebagai dasar dari survival of human and civilization.” Tandasnya.

Visiting Professor Merlyna Lim dalam Grand Launching MIKOM UII

Visiting professor menjadi salah satu program unggulan di Magister Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII). Resmi diluncurkan pada Selasa, 29 April 2025 di GKU Dr. Sardjito UII kali ini MIKOM kedatangan Prof. Merlyna Lim dari Carleton University, Canada.

Lahirnya MIKOM tercatat sebagai anak ke 60 bagi UII, dalam momen bersejarah ini Grand Launching dikemas apik melalui rangkaian acara Asia Tenggara dalam Membingkai Media Digital dan Aktivisme Sosial. Dihadiri oleh kolega dari akademisi dari berbagai penjuru, NGO, hingga rekan media, Grand Launching dilanjutkan dengan diskusi bedah buku “Social Media and Politics in Southeast Asia” dengan pembahas Prof. Merlyna Lim dan Prof. Masduki.

Dipandu oleh Kaprodi Ilmu Komunikasi UII, Dr. Zaki Habibi diskusi berlangsung responsif. Prof. Merlyna Lim sebagai penulis buku yang diterbitkan oleh Cambride University Press membedahnya dengan sangat detail.

Pemaparan dari Prof. Merlyna Lim

Pemaparan dari Prof. Merlyna Lim. Image: Desyatri Parawahyu

Buku tersebut ditulis untuk memperluas studi di Asia Tenggara dalam konteks hubungan kompleks antara media sosial dan politik. Peran ganda pada media sosial justru menjadi penyebab utama praktik otoriter melalui politik algoritmik. Termasuk dalam kontestasi pemilihan umum, di Indonesia adalah contoh nyata.

Secara tegas, Prof. Merlyna Lim menyebut bahwa media sosial tidak pernah diciptakan untuk mendukung sistem demokrasi suatu pemerintahan.

“Sosial media tidak pernah diciptakan untuk empowering dan pasrtisipasi untuk demokratis. Tapi dasarnya kapitalis bukan untuk semua orang untuk berkomunikasi secara sehat,” terangnya.

Dari politik algoritmik, kapitalisme komunikatif di media sosial justru lebih mengutamakan pemasaran algoritmik dibanding diskusi publik. Dampaknya kualitas demokrasi semakin memburuk.

Algoritma di media sosial benar-benar mengacaukan rasionalitas manusia, Prof. Merlyna Lim menyebutnya mobilisasi afektif biner, bagaimana “algoritma mendorong emosi ekstrem yang memperkuat dua sisi aktivisme yakni progresif dan regresif,” jelasnya.

Parahnya, dampaknya akan meluas mulai dari polarisasi filter bubble (kantong algoritmik), disinformasi, hingga tren otokratisasi.

Prof. Masduki sebagai pembahas selanjutnya menyebut fenomena politik di Indonesia. Contoh nyata yang terjadi adalah kecenderungan politik dinasti.

“Ada satu kecenderungan di Asia Tenggara politik dinasti. Masalah serius di Asia Tenggara, apalagi di Indonesia termasuk di kota-kota dan daerah,” ungkapnya.

Tak hanya itu, Prof. Masduki juga menunjukkan data bahwa hanya 8 persen dari populasi dunia yang hidup dalam demokrasi penuh, sisanya campuran termasuk Indonesia.

Menjawab persoalan tersebut, Prof. Masduki mencoba memberikan tiga tawaran solusi yakni melalui reformasi struktural politik, merebut dan merayakan kembali ruang digital (deliberasi isu kerakyatan, demokrasi substansial), dan memperdalam demokrasi yang tangguh untuk politik yang selalu ada.

Mikom UII

Tercatat 20 tahun berdiri Departemen Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII) akhirnya secara resmi lakukan grand launching Magister Ilmu Komunikasi (MIKOM) pada Selasa, 29 April 2025 di GKU UII. Fokus pada kajian Digital and Environmental Communication harapannya mampu menjadi solusi dari permasalahan bangsa.

Iwan Awaluddin Yusuf, Ph.D selaku Ketua Jurusan menyampaikan rangkuman perjalanan lahirnya program MIKOM yang akan segera beroperasi September mendatang.

“Momentum bersejarah untuk Departemen Ilmu Komunikasi UII, setelah sekian lama berproses dengan bangga dan senang hati melahirkan MIKOM. Semoga ini menjadi bagian dari proses lahirnya solusi dari permasalahan bangsa,” jelasnya membuka acara.

Sebelumnya benchmarking ke beberapa universitas yang menjalankan magister komunikasi dilakukan, mulai dari UI, UMN, LSPR, hingga NTU Singapura. Dari perjalanan tim pendiri berdiskusi panjang dan menentukan arah kajian yakni Digital and Environmental Communication.

MIKOM UII

Pemaparan MIKOM UII oleh Prof. Subhan Afifu. Image: Desyatri Parawahyu

Penjelasan detail dipaparkan oleh Prof. Subhan Afifi selaku Kaprodi MIKOM UII, “Belum banyak kajian yang melibatkan perspektif kemanusiaan environmental humanities, bukan hanya mengkaji namun juga mengarahkan mahasiswa pada tindakan nyata dalam menanggapi isu digital dan ekologi,” ujarnya.

Rektor UII, Prof. Fathul Wahid hadir untuk menandai grand launching MIKOM UII, beliau memberikan berbagai contoh dinamika politik di dunia yang dipengarui oleh komunikasi dan media digital.

Mulai dari kasus korupsi di Filipina soal korupsi tahun 2001 yang menimbulkan aksi melalui mobilisasi pesan SMS dan memblokade salah satu jalan, hingga penciptaan kesan positif pada perpolitikan di Indonesia 2024 lalu.

Lahirnya MIKOM menambah pilihan kajian humaniora di UII, “Kehadiran MIKOM menambah portofolio dan menjadi pilihan anak bangsa untuk kuliah di UII,” pungkasnya.

Setelah sesi Grand Launching MIKOM usai, dilanjukan dengan diskusi buku “Social Media and Politics in Southeast Asia” bersama Prof. Merlyna Lim, Canada dari Carleton University, Canada beserta Prof. Masduki.

Berikut lima alasan mengapa mengambil fokus Digital and Environmental Communication:

Transformasi Digital dalam Pola Pikir, Interaksi, dan Komunikasi

  • Teknologi digital mengubah pola pikir, perilaku, dan komunikasimanusia secara radikal, termasuk munculnya media baru yang menggantikan media lama.

Kebutuhan Literasi Digital dan Kemampuan Analitis Tingkat Lanjut

  • Tidak cukup mahir teknis; perlu kemampuan analitis untuk memahami perubahan sosial-budaya dan mengembangkan strategi kampanye isu lingkungan.

Krisis Ekologis Global dan Pentingnya Perspektif Kemanusiaan: Environmental Humanities

  • Krisis lingkungan (perubahan iklim, punahnya spesies); Indonesia: Mega Biodiversity vs Biodiversity Hotspot.
  • Akar krisis: relasi timpang manusia-alam dalambudaya modern; kontestasi kuasa dalam isu lingkungan di media digital.
  • Dibutuhkan pendekatan lintas disiplin berbasis budaya dan kemanusiaan (ecocriticism, political ecology, dll)

Digitalisasi dan Lingkungan: Konstruksi Sosial dan Tindakan Nyata

  • Teknologi digital membentuk persepsi masyarakat tentang lingkungan.
  • Kampanye digital mendorong aksi nyata seperti Urban Farming, Gerakan Zero Waste, Penanaman Pohon, Climate Diet, Bersih Pantai/Sungai, Donasi Konservasi, dan Kampanye Transportasi Ramah Lingkungan.

Kontribusi KajianKomunikasi: Dari Representasi ke Intersubjektivitas

  • Komunikasi perlu bergeser dari sekedar membicarakan lingkungan menjadi berkomunikasi dengan lingkungan.
  • Paradigma more-than-human communication mengakui non-human sebagai subjek komunikasi.
  • Diperlukan pendekatan komunikasi dan humaniora untuk memperkaya studi lingkungan di Indonesia.

Informasi pendaftaran selengkapnya dapat diakses melalui link berikut: https://communication.uii.ac.id/magister/

Ask the Expert: Opini Bisa kena Pasal? Ancaman Nyata di Balik Revisi UU TNI

Ramai-ramai penolakan revisi UU TNI terus bergulir. Teranyar, deretan media nasional melaporkan beberapa mahasiswa meminta Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan hasil revisinya.

Laporan dari Tempo tentang Aktor, Modus, dan Motif Revisi Undang-Undang TNI pada 23 Maret 2025 menyebut jika Presiden RI, Prabowo Subianto telah lama (sejak 2023 sebelum menjabat Menteri Pertahanan) ingin merombak UU TNI dengan tujuan memperluas peran tentara.

Masyarakat khawatir UU TNI kembali seperti Orde Baru soal dwifungsi ABRI. Sementara motif pokok revisi UU TNI adalah perbaikan pertahanan. Beberapa perubahan antara lain penambahan bidang operasi militer selain perang, penambahan jabatan sipil oleh TNI aktif, dan perpanjangan batas pensiun.

Ketakutan lain tentu soal lumpuhnya demokrasi, kewenangan TNI tentu akan mengancam kebebasan publik dalam menyuarakan opini dan kritik termasuk di ruang digital. Dalam sesi Ask the Expert, gagasan menarik terkait Opini Bisa kena Pasal? Ancaman Nyata di Balik Revisi UU TNI dibahas oleh salah satu dosen Ilmu Komunikasi UII yakni Puji Rianto, S.IP., M.A yang mendalami kajian Regulasi dan Kebijakan Media – Kajian Khalayak.

Opini Bisa kena Pasal? Ancaman Nyata di Balik Revisi UU TNI

  1. Apa sebenarnya yang berubah dari UU TNI dari sebelumnya?

Concern itu kan salah satunya adalah perluasan peran TNI atau dalam konteks undang-undang itu adalah lembaga-lembaga yang bisa diduduki oleh TNI. Yang ini menimbulkan keresahan di kalangan sipil karena dikhawatirkan kembali ke era Orde Baru, kembalinya ke dwifungsi ABRI.

  1. Lantas jika demikian, apa dampaknya terhadap masyarakat khususnya kebebasan beropini di ruang publik termasuk media digital?

Dampak sesungguhnya dari undang-undang ini masih harus diuji, karena undang-undang ini kan masih pada tahap disahkan.

Sebetulnya bukan pada undang-undangnya. tetapi mental TNI di dalam menghormati hak-hak sipil warga negara, terutama di bidang komunikasi itu yang penting. Kecenderungannya sebetulnya ada undang-undang atau tidak, spirit otoritarianisme itu pelan-pelan mulai kembali. Jadi ada undang-undang atau tidak undang-undang, kalau kultur otoritarian ini kembali itu buruk bagi demokrasi.

  1. Apakah opini kritis terhadap lembaga negara, termasuk TNI, masih bisa dianggap sebagai bagian dari komunikasi politik yang sehat di masyarakat?

Ini saya kritik saya terhadap seluruh pejabat yang mengatakan demokrasi itu gaduh. Segala sesuatu itu harus diperdebatkan dengan menggunakan rasio (rasionalitas). Karena dengan perdebatan rasio itulah kita akan menemukan cara yang paling bagus. Karena kalau kita berdebat secara rasional itu pasti gaduh. Karena setiap orang punya perspektif, punya pendekatan.

Nanti kita akan menemukan pada akhirnya argumen mana yang paling masuk akal, argumen mana yang paling kuat Itulah yang kemudian kita akan ambil. Tanpa ada adu argument maka kebijakan itu akan diambil oleh satu kelompok atau satu pihak.

Di dalam masyarakat yang sangat plural dan komplek itu tidak bagus. Oleh karena itu, di dalam masyarakat itu harus ada perdebatan. Nah, oleh karena itu, concern kita sebetulnya adalah pada apakah ruang publik ini, public sphere itu masih tetap dijaga. Hampir semua penelitian tentang demokrasi di Indonesia dan demokrasi di lingkup global memang mengalami penurunan.

Mungkin di Indonesia penurunan jauh lebih cepat. karena apa? Institusionalisasi demokrasinya bermasalah.

Jadi kita

Misalnya, lolosnya KUHP yang punya potensi untuk melanggar kontitusi karena mengambat kebebasan perpendapat warga negara. Undang-undang ITE yang sudah sangat lama, meskipun kemudian direvisi tetapi tetap saja spiritnya Punya potensi untuk membungkam kebebasan perpendapat.

  1. Dalam ilmu komunikasi, kita belajar soal framing dan agenda setting. Apakah UU ini bisa memengaruhi cara media membingkai isu-isu terkait TNI?

Kalau revisi undang-undang itu kemudian dimaknai oleh TNI untuk masuk terlalu jauh dalam kehidupan sipil demokrasi, masuk ke kampus, menekan kampus-kampus, baik kerjasamanya lebih luas dengan tentara, maka, kekhawatiran bahwa dia akan menciptakan cara orang berkomunikasi, cara orang membingkai, iya, jelas itu. Karena akan menimbulkan efek ketakutan.

Di dalam militer dan masyarakat sipil, kultur di dalam militer itu kan sebenarnya kontradiksi interminis dengan demokrasi. Kalau kultur militer masuk ke sipil, tidak bagus. Apalagi dalam satu masyarakat yang komplek, yang segala sesuatu harus diperdebakan secara rasional, secara demokratis, di mana segala macam perspektif bisa muncul di situ, maka kultur TNI yang komando itu tidak kompatibel dengan sipil, apalagi di dalam masyarakat kampus. Yang mensyaratkan kebebasan akademik.

  1. Bagaimana mahasiswa komunikasi bisa tetap vokal dan kritis tanpa harus takut terkena pasal, terutama ketika menyampaikan opini di ruang digital?

Pertama ketika kita beropini di ruang digital, maka kita akan perhatikan aturan di ruang digital. Salah satunya adalah undang-undang ITI, informasi dan transaksi elektronik. Dan ini sudah banyak korbanya, ya kan? Terutama kasus-kasus pencemaran nama baik.

Saran saya kepada mahasiswa, Pertama adalah mahasiswa itu wajib kritis karena anda punya kemerdekaan berfikir.

Kedua adalah, sampaikan fakta, sampaikan data. Kalau anda menyampaikan fakta dan data, maka kecil kemungkinan bahwa anda akan kena undang-undang ITI. Anda tidak akan dituduh menyebarkan hoax, menyebarkan misinformasi atau disinformasi. Kalau nanti ada orang menuduh anda melakukan misinformasi sementara anda menyebarkan data atau menyampaikan fakta, menyampaikan informasi yang benar, faktual, tinggal diuji di pengadilan. Siapa yang berbohong.

Lalu yang ketiga, selalu mengupdate ilmu pengetahuan. karena data kita baca dengan ilmu pengetahuan. dengan melakukan ini, insyaallah, mahasiswa itu akan tetap bisa kritis.

Itulah gagasan terkait RUU TNI, bagaimana pendapatmu Comms?

Selamat Hari Kartini ‘Memotret Pengabdian Perempuan’

21 April menjadi momentum yang dirayakan di Indonesia sebagai Hari Kartini. Kartini adalah perempuan yang endapat gelar pahlawan nasional yang berjuang untuk kesetaraan gender terutama atas pendidikan perempuan.

Lahir pada 21 April 1879 dan meninggal di usia 25 tahun, Kartini telah membumikan makna emansipasi perempuan lewat pengorbanan-pengorbanan yang dilakukannya. Emansipasi menurut bahasa adalah pembebasan dari perbudakan, persamaan hak dalam aspek kehidupan masyarakat (persamaan hak perempuan dan laki-laki).

Untuk menghormati jasa-jasanya, pemerintah menetapkan 21 April sebagai Hari Kartini berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 108 Tahun 1964.

Melanjutkan perjuangan Kartini, kini perempuan di Indonesia juga harus bekerja keras demi mendapatkan hak-haknya. Tak hanya hak, untuk mengejar mimpi perempuan di Konoha (meme untuk menyebut Indonesia) masih menemui banyak hambatan.

Meski demikian, potret-potret pengabdian dan gerakan yang dilakukan layak kita sebar luaskan sebagai semangat dan inspirasi bagi perempuan lain yang tengah menghadapi kesulitan.

Potret Pengabdian Perempuan

Departemen Ilmu Komunikasi UII, dengan semangat communication for empowerment kerap terlibat dalam program-program yang digagas perempuan. Belakangan, Puspita Bahari sebagai komunitas nelayan perempuan menjadi salah satu rekan yang beberapa kali dikunjungi.

Hubungan ini bermula dari dua dosen Ilmu Komunikasi yakni Puji Hariyanti, S.Sos., M.I.Kom dan Ratna Permata Sari, S.I.Kom., MA yang melakukan pemberdayaan di lokasi tersebut harapannya melalui berbagai program dampak banjir rob di pesisir Pantai Utara mendapat perhatian serius dari berbagai pihak.

Masnuah sebagai wajah Puspita Bahari adalah sosok yang memperjuangkan nasib perempuan di Demak, Jawa tengah. Krisis iklim ternyata berdampak serius pada kehidupan perempuan, mulai dari ekonomi, pendidikan, hingga nasib perkawinan.

Banjir rob yang terus meluas, membawa Masnuah untuk terus melakukan advokasi masyarakat di desa-desa pesisir Demak. Selain itu, ia juga melakukan berbagai edukasi kepada nelayan perempuan. Edukasi-edukasi yang dilakukan antara lain terkait dengan alat tanfkap ramah lingkungan, penanaman mangrove, pengelolaan sampah, hingga mengajarkan berwirausahaan untuk memulihkan kondisi ekonomi.

Langkah besar Masnuah juga tercatat pada puluhan KTP perempuan di Demak. Ia berhasil mendesak pemerintah untuk mengakui pekerjaan nelayan pada 31 perempuan yang sebelumnya tertulis buruh atau ibu rumah tangga pada kolom pencatatan pekerjaan. Pencatatan ini sangat penting demi mengakses program nelayan yang diberikan oleh pemerintah.

Budaya patriarki yang kuat membuat Masnuah yakin untuk terus berjuang untuk nelayan perempuan di Demak.

Departemen Ilmu Komunikasi UII ingin semua pihak turut membuka mata, salah satu cara adalah lewat beberapa film yang digarap antara lain Sweat Dripping in the Ripples of the River yang digarap uji Hariyanti, S.Sos., M.I.Kom, serta The Independence Day: Between Tears and Laughter karya Marjito Iskandar Tri Gunawan, M.I.Kom.

Berikut beberapa artikel yang membahas isu perempuan:

Screening dan Diskusi Film ‘Sweat Dripping in the Ripples of the River’, Perempuan Merajut Gerakan Menghadapi Krisis Iklim

Recap of ‘Communication for Empowerment’ from Sekon NTT to Nelayan Perempuan Demak 

Nasib Media Perempuan di Indonesia, Menolak Mati Meski Banyak Tantangan ‘Apa yang Bisa Dilakukan?’ 

Film Horor Paling Laris di Indonesia, Kenapa Hantunya Rata-rata Perempuan?

Dinamika Jurnalis Perempuan: Kekerasan Tinggi dan Diskriminasi Gaji

Resah dengan Kasus Pelecehan Seksual, Dua Mahasiswa Ilmu Komunikasi Ciptakan Komik Edukatif

Perjalanan Berliku di Dongi-Dongi Sulawesi Tengah Bersama YTBN

Menilik Tingginya Angka Pernikahan Dini di Sumenep Madura, Alasan Religi hingga Kurangnya Edukasi?

Pahami Jurnalisme Sensitif Gender Sebelum Menulis

Artikel-ertikel lainnya dapat diakses melaui laman communication.uii.ac.id dengan mengetikkan kata kunci Perempuan pada kolom search. Selamat membaca!

 

Hari Konsumen Nasional: Memahami Konsumen Melalui Pendekatan Komunikasi

Hari Konsumen Nasional di Indonesia diperingati setiap 20 April, momentum ini tertuang pada Keputusan Presiden Nomor 13 Tahun 2012. Sementara pemilihan tanggalnya mengacu pada UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan yang disahkan tanggal 20 April silam.

Konsumen dalam KBBI dimaknai sebagai subjek pemakai barang hasil produksi, penerima pesan iklan, dan pemakai jasa. Lantas apa urgensi terkait momentum ini?

Singkatnya, Hari Konsumen Nasional adalah bentuk apresiasi kepada konsumen yang menjadi kekuatan penentu kualitas produk dan pertumbuhan ekonomi. Tak hanya itu, harapannya konsumen menjadi sosok yang kritis, beretika serta memahami hak dan kewajibannya.

Di kajian Ilmu Komunikasi, konsumen menjadi subjek utama dalam konteks komunikasi pemasaran. Beberapa aspek yang didalami biasanya terkait perilaku konsumen, pemasaran (strategi, pesan, pengaruh), hingga kajian khusus yang mengarah pada konteks budaya dan digital.

Kajian tersebut populer di kalangan akademisi Ilmu Komunikasi, bagi mahasiswa yang ingin memahami lebih detail berikut beberapa hasil riset yang layak dijadikan referensi dalam memahami konsumen dengan pendekatan komunikasi.

  1. Pengaruh Aktivitas Customer Service dan Kepuasan Nasabah terhadap Loyalitas Nasabah Bank Riau Kepri Capem Panam Pekanbaru

Riset ini secara spesifik mendalami industri perbankan yang memiliki keterkaitan dengan nasabah. Bank sebagai penyedia jasa harus memberikan pelayanan terbaiknya demi menjaga hubungan dengan nasabah. Wajah utama tentu bagian front office, melalui customer service yang membantu pembukaan rekening, melayani pengaduan, serta menanggapi permintaan informasi. Loyalitas nasabah diukur melalui variable aktivasi customer service dan kepuasan nasabah. Hasilnya ada hubungan positif.

Selengkapnya: https://journal.uii.ac.id/jurnal-komunikasi/article/view/6467

Penulis: Puji Hariyanti dan Rahmy Utari

  1. Analisis Strategi Penanganan Keluhan pelanggan pada Guest Relations Desk di Hotel Swiss-Belboutique Yogyakarta dan Hotel Platinum Adisucipto Yogyakarta

Masifnya pertumbuhan jumlah hotel di Yogyakarta menimbulkan persaingan yang ketat. Layanan maksimal terkait strategi penangan keluhan melalui Guest Relations Desk menjadi salah satu opsi untuk bertahan. Riset ini menganalisis strategi handling complaint termasuk faktor penghambat dan pendukungnya dengan mengacu pada paradigma konstruktivisme. Dari pengamatan yang dilakukan Guset Relation berperan signifikan dalam menangani complain. Tahapan penanganan dimulai dari mendengarkan keluhan, permintaan maaf, crosscheck, dan recoveri.

Selengkapnya: https://scholar.google.com/citations?view_op=view_citation&hl=en&user=mEHWL2kAAAAJ&citation_for_view=mEHWL2kAAAAJ:IjCSPb-OGe4C

Penulis: Shadira Firdausi dan Nadia Wasta Utami

  1. Komunikasi Interpersonal dalam Customer Relationship Management (Studi Deskripstif Kualitatif Pengelolaan Hubungan Interpersonal dalam Customer Relationship Management oleh Sales Marketing PT. Antar Mitra Papua dengan Customer)

Penelitian ini fokus mendalami bagaimana pentingnya komunikasi interpersonal antara sales marketing dengan pelanggan sebagai bagian dari Customer Relationship Management (CRM). Komunikasi dilakukan secara langsung atau tatap muka maupun melalui media. Komunikasi ini bertujuan menciptakan hubungan baik yang berkelanjutan antara sales dengan pelanggan. Penelitian dilakukan dengan pendekatan kualitatif deskriptif yang menghasilkan bahwa komunikasi interpersonal yang efektif mampu membuat perusahaan dekat dengan pelanggan (memeprkuat hubungan bisni).

Slengkapnya: https://scholar.google.com/citations?view_op=view_citation&hl=en&user=RuAVRR0AAAAJ&cstart=20&pagesize=80&citation_for_view=RuAVRR0AAAAJ:Tyk-4Ss8FVUC

Penulis: Endah Pratiwi Nengtyas dan Puji Hariyanti dan

  1. Analysis integrated marketing communication by e-commerto to improve the customer loyality (Descriptive study in hijup.com and muslimarket.com)

Penelitian ini membahas strategi komunikasi pemasaran terpadu yang digunakan oleh dua e-commerce, Hijup dan Muslimarket, untuk meningkatkan loyalitas pelanggan. Hijup fokus pada fashion muslim, sementara Muslimarket menawarkan konsep pasar halal yang lengkap. Keduanya melakukan analisis pasar, persaingan, dan segmentasi sebelum menentukan strategi promosi. Hijup menggunakan berbagai strategi promosi seperti iklan, penjualan personal, pemasaran langsung, dan event, serta menawarkan layanan pelanggan yang baik dan pengiriman gratis. Sementara itu, Muslimarket lebih fokus pada media sosial, newsletter, serta kampanye personal selling seperti “Berinfak di Muslimarket.” Hasil penelitian menunjukkan bahwa masing-masing e-commerce memiliki keunikan dalam membangun loyalitas pelanggan.

Selengkapnya: https://scholar.google.com/citations?view_op=view_citation&hl=en&user=mEHWL2kAAAAJ&citation_for_view=mEHWL2kAAAAJ:qjMakFHDy7sC

Penulis: Nastiti Esti Wulandari dan Nadia Wasta Utami

Itulah beberapa riset yang mampu memberikan pemahaman lebih mendalam terkait konsumen dan bagaimana menangangi beberapa persolan yang kemungkinan terjadi di antara penyedia produk atau jasa dengan konsumen.

Influencer: Kekuatan Opini dan Kepercayaan Publik

Mengapa masyarakat lebih percaya dengan influencer di media sosial dibandingan sumber kredibel lainnya? Ini adalah pertanyaan pragmatis yang sebenarnya sederhana dan memiliki berbagai versi jawaban.

Jika dikaitan dengan fenomena sosial, hal ini berkaitan dengan ketergantungan masyarakat pada media sosial. Ketergantungan ini menempatkan Indonesia sebagai pengguna media sosial terlama dengan durasi 188 menit per hari. Selengkapnya: https://communication.uii.ac.id/ask-the-expert-puasa-medsos-hingga-rekomendasi-konten-di-bulan-ramadan/

Fenomena ini menjadi peluang emas bagi tumbuhnya influencer di Indonesia, dari data KOL.id jumlahnya mencapai 1,1 juta akun. Influencer di Indonesia dibagi menjadi beberapa kategori yakni nano influencer sebanyak 980 ribu (followers kurang dari 10.000), micro influencer sebanyak 130 ribu, 14,5 ribu macro influencer, dan sisanya selebritas yang turut aktif menjadi influencer digital.

Jumlahnya yang masif, influencer ternyata membawa dampak signifikan dalam kehidupan masyarakat. Dampaknya tak hanya pada sosial ekonomi akibat endorsement juga berpengaruh pada pilihan politik.

Paling nyata, perpolitikan di Indonesia tahun 2024 menjadi dampaknya. Kampanye-kamapnye unik menjadi pemenangnya apalagi didukung oleh influencer-influencer kenamaan. Selengkapnya: https://communication.uii.ac.id/gen-z-disebut-pemilih-fomo-dalam-pemilu-2024-begini-penjelasan-pakar-ilmu-komunikasi/

Mengapa Masyarakat Lebih Percaya influencer?

Beberapa alasan masyarakat sangat percaya dengan influencer pertama karena kedekatan emosional. Hubungan ini dibangun oleh influencer kepada pengikut dengan tampil seolah apa adanya lewat keseharian, cerita pribadi, hingga membagikan opini secara langsung.

Kesan keaslian atau authenticity menjadi kekuatan influencer yang mampu menarik pengikut untuk menyepakati opininya.

Faktor lain adalah relevansi konten, setiap influencer fokus pada niche tertentu misalnya konten kecantikan, kuliner, parenting, kuliner, teknologi, hingga edukasi. Konten-konten tersebut terasa personal dan tepat sasaran. Bagi pengikut konten-konten tersebut tak hanya menghibur tapi juga informatif bahkan membantu dalam pengambilan Keputusan.

Bahkan data yang dirilis oleh grup riset dan data analisis global YouGov menyebut 94 persen pengguna internet di Indonesia mengakui bahwa influencer berpengaruh dalam perilaku dan Keputusan terutama dalam pembelian produk. Sementara 87 persen tertarik membeli produk karena rekomendasi influencer.

Seperti disebut di awal, influencer tak berhenti pada ranah konsumsi. Mereka mampu membentuk tren sosial dan budaya populer. Tren-tren tersebut berganti setiap hari dan sangat dinamis.

Kekuatan opini influencer semakin menguat dan menjadi kepercayaan publik, menariknya jika kualitas influencer tak cukup memadai tentu akan menjadi boomerang bagi pengikut. Sehingga peting bagi pengguna media sosial untuk mencari tahu lebih detail background dari influencer.

Singkatnya, jika memang mencari informasi seputar kesehatan pastikan influencer yang diikuti memiliki pendidikan memadai dan memiliki kapabilitas dalam dunia kesehatan. Begitupun soal perpolitikan yang mudah digoreng. Bagaimana menurutmu Comms?

Hari Film Nasional 2025: Merayakan dengan Membaca Hasil Riset Kajian Film

Hari film nasional yang dirayakan setiap 30 Maret menjadi momentum untuk berefleksi terkait proses dan perkembangan film di Indonesia. Singkatnya, perayaan ini mengacu pada film pertama Darah dan Doa yang diproduksi pada 30 Maret 1950 oleh 1950.

Beragam genre mewarnai bioskop tanah air, meski demikian data menyebut film horor mendominasi daftar judul film beberapa tahun terakhir. Tanpa agenda khusus sekalipun, setiap hari film selalu dirayakan.

Tercatat 80 juta penonton menyaksikan film di bioskop di tahun 2024. Sementara tahun 2025 diprediksi 150 hingga 200 judul film akan tayang. Terlepas dari jumlahnya yang fantastis, data yang dihimpun oleh Cinepoint (2024) genre paling mendominasi adalah horor 63 film, drama 54 film, komedi 18 film, sisanya dokumenter, aksi, dan animasi. Tentu film horor Indonesia paling banyak disorot hingga tuai kritik-kritik tajam.

Berbagai eksploitasi mulai dari perempuan hingga agama menjadi modal utama dalam pembuatan film horor. Di kajian Ilmu Komunikasi tentu ada kritik-kritik yang disampaikan untuk membangun film berkualitas. Tawaran solusi juga disampaikan dari berbagai riset.

Selengkapnya: https://communication.uii.ac.id/kritik-soal-film-horor-religi-dan-tawaran-solusi/

https://communication.uii.ac.id/eksplorasi-film-berdasarkan-kisah-nyata-hingga-riuhnya-respon-netizen/

https://communication.uii.ac.id/film-horor/

Bagi mahasiswa Ilmu Komunikasi yang tertarik dengan kajian film, berikut beberapa judul riset yang telah dilakukan oleh civitas akademika di Departemen Ilmu Komunikasi UII.

  1. Speak Out Your Films: When Asian Independent Film Festivals Send Messages to the World – Dr. Zaki Habibi

Riset ini fokus pada tiga festival film independen yang diadakan di tiga negara berbeda di Asia. Ketiga festival tersebut adalah (1) Jeonju International Film Festival (JIFF) di Jeonju, Korea Selatan, (2) Cinemalaya Philippine Independent Film Festival di Manila, Filipina, dan (3) Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) di Yogyakarta, Indonesia.

Dengan menganalisis penyelenggaraan festival film independen, beberapa temuannya meliputi film sebagai produk budaya, festival film independen, dan wacana budaya. Kesimpulannya menunjukkan bahwa ketiga festival film yang dianalisis menawarkan cara alternatif dalam distribusi film, kemudian menunjukkan cara pengorganisasian festival yang tidak konvensional, dan memperkuat kekuatan komunitas dan jaringannya sebagai basis pengembangan festival mereka.

Selengkapnya: https://journal.uii.ac.id/jurnal-komunikasi/article/view/6385

  1. Citra Indonesia dalam Film dan Serial Televisi Hollywood – Dr. Herman Felani

Penelitian ini bertujuan untuk membahas citra Indonesia dalam film dan serial televisi Hollywood. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan pendekatan poskolonialisme yang berdasarkan pada teori orientalisme dari Edward Said. Berdasarkan temuan penelitian ini, Indonesia digambarkan sebagai negara yang aneh, kacau, dan tertinggal, sarang penjahat, tempat yang eksotis, terpencil, mistis dan misterius, dan pusat teroris. Munculnya citra tersebut disebabkan oleh kurangnya pengetahuan orang Amerika tentang Indonesia yang disebabkan oleh distorsi media massa.

https://journal.uii.ac.id/jurnal-komunikasi/article/view/9805

  1. Pembungkaman Kaum Perempuan dalam Film Indonesia (Penerapan Teori Muted Group dalam Film “Pertaruhan”) – Ratna Permata Sari, M.A

Definisi gender kerap disamakan dengan jenis kelamin, padahal keduanya berbeda. Dalam artikel ini membahas detail bagaimana gender atau sifat yang melekat pada proses kultural yang memunculkan berbagai ketimpangan dalam masyarakat seperti marginalisasi, stereotip, kekerasan dan pelabelan negatif. Dari teori muted group, analisis dilakukan pada peran perempuan dan pembungkaman di ruang publik dalam film “At Stake (Pertaruhan)”. Film ini terdiri dari empat cerita pendek yaitu Usaha untuk Cinta, Apa Gunanya, Nona atau Nyonya, Harta Anak-Anak.

 https://journal.uii.ac.id/jurnal-komunikasi/article/view/6777

  1. Sinema Independen di Yogyakarta 1999-2008: Idealisme di Tengah Krisis Infrastruktur – Prof. Masduki

Pada periode 1999-2008, perfilman Indonesia berkembang dengan banyaknya karya kreatif dan bioskop alternatif berbasis komunitas, terutama di Yogyakarta. Penelitian di Yogyakarta menemukan tiga faktor utama: adanya komunitas independen di kalangan mahasiswa dan non-mahasiswa, munculnya bioskop alternatif seperti Kinoki dan Pusat Kebudayaan Prancis, serta adanya festival film lokal dan regional yang mendukung film indie. Produksi film independen didorong oleh kebebasan berekspresi dan kepedulian sosial-politik. Namun, keterbatasan infrastruktur dan dukungan publik menjadi tantangan yang perlu diatasi.

https://journal.uii.ac.id/jurnal-komunikasi/article/view/5649

Itulah beberapa riset yang bisa menjadi inspirasi dan rekomendasi bagi akademisi komunikasi yang tertarik dengan kajian film.

Ask the Expert: Puasa Medsos hingga Rekomendasi Konten di Bulan Ramadan

Ask the Expert merupakan tajuk baru yang memuat gagasan dari para ahli sesuai bidangnya. Expert di sini merujuk kepada dosen-dosen di Jurusan Ilmu Komunikasi UII. Dalam seri perdana, tim menunjuk Iwan Awaluddin Yusuf, S.IP., M.Si., Ph.D untuk mengulik lebih dalam terkait puasa media sosial hingga konten alternatif di bulan Ramadan sesuai kepakarannya dalam isu media digital.

Menilik data yang dirilis Digital 2025 Global Overview Report oleh We Are Social menempatkan Indonesia di posisi ke sembilan sebagai negara dengan pengguna media sosial terlama yakni 188 menit per hari (3 jam 8 menit). Selain menjadi ruang mengekspresikan diri dan mencari informasi, nyatanya media sosial tak benar-benar memiliki dampak positif seutuhnya.

Pew Research Center menyebutkan 69 persen orang dewasa dan 81 persen remaja di U.S menggunakan media sosial, jumlah tersebut turut menyumbang peningkatan risiko cemas hingga depresi.

Sementara Indonesia-National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) menyampaikan hal serupa, 1 dari 20 atau 5,5 persen (2,45 juta remaja) terdiagnosis mengalami gangguan kesehatan mental, penyebab utamanya terletak pada penggunaan media sosial.

Salah satu agar berjarak dengan media sosial, puasa medsos bisa menjadi alternatif. Secara umum puasa medsos adalah mengurangi atau membatasi aktivitas interaksi di media sosial, atau berhenti sementara (menggunakan medsos) dalam jangka waktu tertentu.

Dalam kajian Ilmu Komunikasi, langkah ini masuk dalam ranah literasi media yang mengarah pada detoks digital hingga media diet. Tujuannya tentu untuk mengurangi ketergantunganterhadap teknologi dan meningkatkan kesehatan mental.

“Bisa juga dimaknai sebagai bentuk mengurangi untuk istirahat dari medsos atau yang paling ekstrim adalah berhenti total. Tapi yang namanya puasa ada jeda dan akan kembali lagi sehingga ini adalah sebuah konsep dalam literasi media yakni detoks digital atau dalam kajian literasi media tradisional namanya media diet,” jelas Iwan Awaluddin Yusuf, S.IP., M.Si., Ph.D.

Terbilang cukup kompleks, kebiasaan mengakses media sosial tentu tak serta merta bisa ditinggalkan. Namun jika dilakukan dengan penuh komitmen berbagai hal baik akan didapatkan.

Puasa medsos bukan berarti berhenti selamanya, langkah pertama yang bisa dilakukan adalah dengan merencanakan durasi dalam jangka waktu yang ditentukan

“Itirahat untuk berinteraksi dengan media sosial bisa mengambil jarak direncanakan atau dengan durasi tertentu bisa dalam hitungan minggu, bulan, bahkan dalam skala ekstrem bisa berhenti sampai sekian tahun,” ujarnya.

“Paling tidak kita akan lebih bijak memaknai betapa berharganya kehidupan sosial yang nyata tidak berkorelasi dengan dunia maya yang selama ini ditinggalkan,” tambahnya.

Setidaknya ada tiga manfaat yang akan mengubah banyak hal ketika puasa medsos benar-benar dilakukan. Pertama tentu soal produktivitas, dengan log out pada akun medsos kita tak akan dibanjiri notifikasi bahkan daya tarik dalam mengaksesnya tentu berkurang signifikan.

Kedua, berkaitan dengan kesehatan mental. Kecemasan atas informasi negatif, bullying, hingga kesempurnaan hidup yang tak realistis akan minim dijumpai. Dan terakhir tentu soal memaknai kehiduapan nyata yang lebih berharga. Merasa semakin terkoneksi dengan orang-orang terdekat dalam lingkungan sosial.

Lantas, jika benar-benar tak mampu berpuasa medsos apa yang sebaiknya dilakukan? mengingat bahwa kehidupan tak lepas dari gadget dari tangan. Alternatif yang bisa dikendalikan tentu soal saring menyaring konten.

Di bulan suci Ramadan, banyak alternatif konten yang justru akan bermanfaat. Beberapa tawaran solusi yang disampaikan antara lain sebagai berikut:

  1. Melihat relasi atau kaitan konten di media sosila relatable dengan kebutuhan kita. Usahakan mencari informasi yang sesuai. Disiplin dalam melakukan dan mencari informasi secara aktif bukan hanya scroll mengikuti apa yang muncul di feed, laman-laman sosial media, FYP dan seterusnya tapi kita kembali ke hastag yang diperlukan.
  2. Memanfaatkan waktu dalam bulan Ramadan, mencari informasi yang memang mendukung dan kita harapkan menganai informasi-informasi tentang ibadah. Ibadah sosial maupun ibadah mahdhoh ibadah khusus kita dengan tuhan. Maupun hal produktif yang menunjang kita dalam memaknai bulan Ramadan
  3. Hindari informasi yang bahkan sekecil mungkin kembali membuat kita terdistorsi dengan hal-hal negatif dari media sosial (gambar, kata, meme, dan lainnya).
  4. Beberapa konten yang bisa dipilih bisa terkait hadist, kehidupan muslim di negara lain, keistimewaan ramadan tahun ini dengan sebelumnya.

Pada dasarnya “Media sosial bagaimanapun tetap mebawa manfaat jika digunakan sebagaimana mestinya sesuai dengan tujuan kebutuhan (informasi dan hiburan),” tandasnya.

Itulah beberapa alternatif yang bisa dipertimbangkan. Bagaimana pendapatmu tentang gagasan tersebut Comms? Tertarik untuk mencoba puasa medsos?

Abandoned and Beyond: Sebuah Buku Foto yang Merayakan Keterbengkalaian Ruang Kota

Jika buku karya dosen umumnya berisi rentetan teori dan “sangat akademis” berbeda dengan buku foto yang digarap Dr. Zaki Habibi. Tumpukan gambar yang dipotretnya lebih dari satu dekade akhirnya terbit menjadi buku foto berjudul Abandonded and Beyond.

Buku foto berkonsep artisanal photo book itu telah launching pada 2 Februari 2025 lalu dengan menggandeng beberapa pihak antara lain Gueari Galeri sebagai penerbit hingga yayasan riset visual Mata Waktu.

Dari catatan penulis, materi fotografi di dalamnya sebagian besar berasal dari proyek riset yang dilakukan di beberapa kota termasuk Yogyakarta. Pada momen itu, pemandangan ruang terbengkalai di kota menarik perhatiannya. Hingga, foto-foto yang terkumpul sempat dipamerkan pada gelaran COMART 2015 di Taman Budaya Yogyakarta (TBY).

Abandoned and Beyond: Sebuah Buku Foto yang Merayakan Keterbengkalaian Ruang Kota

Launching buku Abandoned and Beyond

“Kalau ditanya total prosesnya, 10 tahun,” ungkap Dr. Zaki Habibi, mengenang perjalanan panjangnya.

Setelah dibiarkan tersimpan cukup lama, pertengahan 2023 menjadi babak baru bagi foto-foto ruang terbengkalai. Workshop yang digagas Gueari Galeri bersama Zontiga di Kuala Lumpur menentukan nasib karya Abandonded and Beyond. Proses satu setengah tahun, dengan empat kali pembuatan dummy book beberapa elemen-elemen sensoris dan narasi diciptakan untuk menggugah pembaca.

Satu hal yang diimani dalam buku foto garapannya, tidak seluruhnya berupa gambar. Dari workshop pentingnya desain dan kurasi serta mengurutkan foto menjadi tantangan tersendiri agar narasi sesuai. Sehingga dalam prosesnya tak semua foto terpakai.

“Hasil dari workshop itu yang membuka mata bahwa buku foto enggak harus isinya hanya foto. Bentuk workshopnya digali sama mentornya sampai peserta juga menggali sisi-sisi lainnya, yang paling sulit ada tahapnya mengkonsep, design thingking, selecting, curating, sequencing di fase mengurutkan ini baru ketahuan foto-foto yang kusubmit enggak semuanya bisa kepakai karena buku unu butuh elemen lain,” jelasnya.

90 persen foto yang termuat diambil menggunakan kamera analog yang saat itu tengah terbengkalai juga lantaran sebagian masyarakat beralih dengan kamera digital. Bagian ini menambah narasi pada keterbengkalaian ruang kota.

Pengalaman sensoris dalam buku ini diwujudkan melalui berbagai elemen non cetak seperti bungkus plastik terbakar, karton bekas hingga lakban terbakar yang dikumpulkan dari satu tahun terakhir.  Bahkan beberapa halaman dilengkai QR Code yang isinya track audio dari beberapa foto yang terpotret. Elemen sensoris itu mewakili sentuhan, bau, dan suara.

Dr. Zaki Habibi berujar “Tujuan bukunya bukan informatif, makanya tidak ada caption, tidak ada lokasinya,” ujarnya. Buku ini lebih berfungsi sebagai undangan untuk merenung dan ber-refleksi tentang kondisi kota yang sering terabaikan.

Dari aspek teknis, pendekatan artisanal handmade melibatkan beberapa ahli. Misalnya dalam penjilidan ada Tarlen Handayani atau Vitarlenology seorang ahli konservasi buku, untuk elemen-elemen yang menggunakan teknik pembakaran dibantu oleh Agung Wibowo seorang pengrajin, serta Haya Habibi sang putri yang bertugas menggoreskan efek sobekan-sobekan pada sampulnya.

Buku ini bukan hanya tentang foto atau dokumentasi visual semata, tetapi tentang bagaimana sebuah narasi dan pemikiran mendalam dapat dihadirkan dalam bentuk buku yang menggugah panca indera pembaca. Dengan elemen yang sangat personal dan penuh makna, karya ini adalah perwujudan dari perjalanan panjang yang telah digali selama lebih satu dekade.