Perguruan tinggi memiliki mandat moral dan historis sebagai ruang produksi pengetahuan, kritik, serta penjaga kesadaran publik. Kampus bukan hanya institusi pendidikan, tetapi juga aktor kultural dan politik-ingatan (memory politics) yang berperan dalam merawat memori kolektif bangsa. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia menghadapi gejala serius berupa krisis memori kolektif terkait pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).
“Salah satu indikator krisis ini tampak dalam diangkatnya Presiden Soeharto sebagai Pahlawan Nasional,” kata Prof. Masduki, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Budaya (FISB), Universitas Islam Indonesia (UII) sekaligus ketua Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PSAD), UII. Menurutnya, kebijakan ini menuai kontroversi luas karena dilakukan tanpa proses rekonsiliasi sejarah yang memadai dan tanpa penyelesaian hukum terhadap warisan pelanggaran HAM yang terjadi selama 32 tahun kekuasaan Soeharto.
Lebih memprihatinkan lagi, kebijakan tersebut tidak mendapatkan perlawanan yang kuat dan sistematis dari perguruan tinggi. Padahal kampus seharusnya berdiri di garda depan dalam membela kebenaran sejarah, menyampaikan kritik berbasis riset, dan mengedukasi publik. Diamnya sebagian besar institusi akademik dalam isu ini menunjukkan terjadinya penjinakan intelektual serta melemahnya fungsi kritis pendidikan tinggi. Padahal, yang diangkat menjadi menjadi pahlawan tersebut mempunyai rekam jejak yang tidak sedikit dalam pelanggaran HAM, di antaranya pembantaian pasca-1965; Petrus (Penembakan Misterius); Peristiwa Tanjung Priok 1984, yakni suatu enembakan terhadap massa sipil yang menewaskan banyak warga sipil; Penyerbuan aparat terhadap warga sipil dengan korban jiwa dan penghilangan paksa atau dikenal sebagai peristiwa Talangsari 1989; dan berbagai operasi militer.
Sejalan dengan itu, Prof. Asvi Warman Adam dalam Orasi Kebudayaannya berjudul Krisis Memori Kolektif Pelanggaran Ham Berat Era Soeharto Sampai Kini (1965-2025), ini menyampaikan bahwa pahlawan nasional sebaiknya bukan sosok yang masih menimbulkan kontroversi atau pro dan kontra besar. Ia menambahkan, karena Presiden Prabowo telah menegaskan gerakan antikorupsi dalam pemerintahannya, maka pahlawan nasional ke depan idealnya sejalan dengan komitmen tersebut. Pernyataan ini ia sampaikan dalam Orasi Kebudayaan yang diselenggarakan Fakultas Ilmu Sosial dan Budaya (FISB) UII bersama Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PSAD) UII pada 12 Desember 2025 di Auditorium FK UII.
Acara orasi kebudayaan ini juga ditujukan sebagai peringatan Hari Hak Asasi Manusia Sedunia sekaligus momen peluncuran jurnal pengabdian masyarakat FISB UII bernama Community Transformation Review (CTR). Jurnal tersebut dipersiapkan sebagai wadah diseminasi bagi para akademisi dan aktivis sosial untuk mengomunikasikan aktivitas pemberdayaan serta gerakan sosial dalam format publikasi ilmiah. Orasi kebudayaan ini juga dihadirkan sebagai upaya menghidupkan kembali kesadaran sejarah, akal sehat akademik, dan tanggung jawab moral universitas, agar tidak terus menjadi penonton dalam sejarah yang dipalsukan.
Prof Asvi menambahkan, berkaitan dengan polemik pengangkatan Soeharto sebagai pahlawan nasional, ia telah menyatakan pendapatnya dalam seminar pengusulan pahlawan nasional bagi mantan Presiden Soeharto yang diselenggarakan oleh KNPI Surakarta pada 9 Juli 2009 di hotel Lor In Karanganyar. “Saya mengungkapkan ada pandangan seorang awam di Jakarta tentang Soeharto yang menarik dikaji karena bersifat paradoks. Beliau adalah “pembangun sekaligus perusak terbesar di Indonesia”. Apakah yang dimaksud pembangunan infrastruktur yang tampak sangat signifikan karena Orde Baru berkuasa tiga dasawarsa, sementara itu terjadi kerusakan lingkungan yang masif, dan berbagai pelanggaran HAM Berat?” ungkapnya kemudian.
“Sebenarnya sudah diusulkan sebagai pahlawan nasional tokoh-tokoh yang tidak diragukan lagi sikap dan perilaku anti korupsinya,” lanjut Prof Asvi. Ia mengatakan bahwa tokoh teladan tersbut yaitu Jenderal polisi Hugeng dan Soeprapto (Jaksa Agung 1950-1959). Hugeng ketika bertugas di Medan menyuruh buang furniture mewah yang disediakan pengusaha di rumah dinasnya. Soeprapto menyuruh kembalikan gelang emas yang dihadiahkan seorang saudagar kepada putrinya. Jaksa Agung Soeprapto yang menyeret ke pengadilan beberapa orang Menteri yang tersangkut kasus korupsi.
Masduki juga menambahkan bahwa pelanggaran-pelanggaran HAM yang belum diusut negara tersebut sebenarnya telah diakui dalam berbagai laporan investigasi resmi dan rekomendasi lembaga negara bahkan di level internasional, tetapi hingga kini mayoritas belum diselesaikan secara hukum. Dalam konteks inilah, pengangkatan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional bukan sekadar persoalan administratif, melainkan bentuk penghapusan sejarah penderitaan korban.
Di era Jokowi, situasi tidak banyak berubah. Pada era Presiden Joko Widodo, terdapat harapan besar atas penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu dan penguatan demokrasi. Namun, realitas menunjukkan bahwa banyak kasus pelanggaran HAM berat masa lalu belum dituntaskan secara yudisial, meskipun telah diakui sebagai pelanggaran HAM berat oleh lembaga negara. Sementara itu, kekerasan di Papua terus berlanjut, termasuk korban sipil, pembatasan ruang sipil, dan pendekatan militeristik, kriminalisasi aktivis, jurnalis, dan akademisi dengan pasal karet (misalnya UU ITE), dan masih banyak lagi. Situasi ini memperlihatkan bahwa krisis HAM bukan hanya warisan sejarah, tetapi masalah struktural yang berlanjut hingga kini, dan perguruan tinggi belum tampil cukup kuat sebagai kekuatan resistensi intelektual.
Terakhir, Prof. Asvi juga menambahkan bahwa Perguruan Tinggi secara historis memiliki peran penting dalam perubahan masa, pergantian rezim. Civitas akademika Perguruan Tinggi yang berpikir dan bertindak kritis perlu dibangun dan dikembangkan. Pada suatu ketika hanya ada beberapa Perguruan Tinggi yang tetap bergerak dalam pemberdayaan masyarakat dalam merawat demokrasi dan HAM, yang lain seakan terlena atau tertidur. “Jangan berkecil hati. Bangunkan mereka. Saya ingat media yang sangat berpengaruh dalam pemberontakan rakyat di Silungkang tahun 1927. Nama media yang diterbitkan oleh Serikat Rakyat itu adalah Jago! Jago!. Artinya dalam bahasa Minang, ayo bangun, bangun!” kata Asvi Warman Adam.
Penulis: A. Pambudi Wicaksono











