Museum
Reading Time: 3 minutes

Rangkaian agenda milad ke 20 Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII) beriringan dengan prosesi pengukuhan jabatan akademik tertinggi Prof. Dr. rer. soc, Masduki, S.Ag., M.Si., MA pada 25 Juni 2024.

Atas pengukuhan tersebut, Prof. Masduki bersama kolega aktivis pers dan seniman berinisiatif membuat Pameran Arsip Moeseoem Pers Jogjakarta dengan menggandeng media lokal Kedaulatan Rakyat. Pameran itu menampilkan arsip-arsip berita yang ditulis koran Kedaulatan Rakyat pada rentang tahun 1945 hingga 2012, dengan kurasi berita terkait transisi kemerdekan Indonesia, Orde Lama, Orde Baru, dan Reformasi. Pameran berlangsung mulai 25 Juni hingga 15 Juli 2024 di Perpustakaan Kampus Terpadu UII.

Di hari pertama pembukaan pameran, peluncuran buku bejudul Negara, Media, dan Jurnalisme di Indonesia Pasca Orde Baru yang ditulis Prof. Masduki menjadi penyemarak milad ke 20 Prodi Ilmu Komunikasi. “Menjamboet Pengoekoehan Goeroe Besar Masduki& 20th Program Stoedi Ilmoe Komunikasi UII Jogjakarta” keterangan dalam poster bertema jadul itu.

“Sebetulnya saya tidak menulis sesuatu yang baru, ini merupakan tulisan kompilasi di Facebook, artikel ringan di koran, dan catatan-catatan pribadi selama 10 tahun terakhir. Saya tawarkan ke penerbit Kompas apakah ini bisa diterbitkan ternyata bisa dan saya tidak membayar apapun,” ujar Prof. Masduki.

Istilah Negara dalam judul buku tersebut mengacu pada posisinya yang diharapkan mempu melindungi pers, namun fenomena yang terjadi di Indonesia justru menjadi predator.

Pameran

Pameran Arsip Museum Pers, Foto: Siti Maisaroh Yurafida

Apa Kata Mereka?

“Kita bicara Yogyakarta, mestinya Yogya adalah miniature Indonesia dan disinilah program studi Ilmu Komunikasi memberikan warna dan harapannya kita terlibat dengan sejarah-sejarah aktivisme dan tentu saja intelektualitas yang bermuara pada spektrum pemberdayaan di bidang informasi dan komunikasi”

Iwan Awaluddin Yusuf, Ph.D – Kaprodi Ilmu Komunikasi

Saya gembira karena ini momentum yang luar biasa, momentum besar peluncuran buku yang melegitimasi bidangnya Mas Ading (Masduki) media dan jurnalisme. Kedua adalah pameran, dan yang ketiga bonusnya 20 tahun Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia. Tidak selalu mudah tapi harus ada yang melakukan, apa yang ditulis oleh Mas Ading yang terdokumentasikan melalui buku ini adalah bagian dari itu (perjuangan) bagaimana mengingatkan yang di atas (pemerintah). Ini peran aktivisme inteltualitas yang meng-atas tapi ada cara yang lain kalau belum berani ke atas ini cara aktivisme intelektual menyamping menyampaikan yang benar untuk mengedukasi khalayak publik yang sempat dibahas Mas Ading kebebasan akademik level ketiga sifatnya demokratik tidak utilitarianisme. Dan saat ini yang tampaknya menjadi barang mewah karena jarang sekali kita temui intelektual yang selain kaya gagasan juga berani melantangkan pesannya di ruang publik” 

Prof. Fathul Wahid – Rektor Universitas Islam Indonesia

“Dugaan saya buku ini menggunakan pendekatan kritis melihat posisi negara terhadap bagaimana media dan bagaimana jurnalis dihadapan negara dan diperlakukan oleh negara pasca orde baru”

Dr. Suparman Marzuki – Ketua Umum Pengurus Badan Wakaf UII

“Di jaman sekarang orang punya pandangan hidup, daya hidup, dan ilmuan yang hidup itu langka. Oleh karena itu saya datang untuk menghormati tiga hal itu. Yang sudah langka betul dan membosankan datang ke kampus-kampus yang penuh basa-basi di jaman ini keilmuannya penuh basa-basi dan hanya utilitarianisme dan science dan bagi saya tidak menghidupkan diri saya jadi saya memberi hormat atas pandangan hidup, daya hidup, dan ilmuan hidup. Kalau ngomong jurnalisme sebenarnya ada tiga hal yang paling dasar ada profesionalisme, supremasi hukum, dan demokrasi dan tiga itu juga berusaha dihidupi oleh seorang Masduki yang langka juga. Saya datang karena saya tahu menghidupi itu dalam pengertian jurnalisme ketiganya syarat mutlak itu juga tidak mudah”

Garin Nugroho – Sutradara Indonesia

“Berawal dari pertanyaan mengapa di Yogyakarta tidak ada museum pers, alih-alih berfikir bangunan museum yang kami rasa itu terlalu susah untuk mengelola sebuah bangunan museum maka kita melakukan kerja-kerja materi yang bisa kita kerjakan bersama akademisi (Prof. Masduki), rekan pers (Sinta Maharani), saya, dan Pitra Ayu. Kami memutuskan untuk mengajak Kedaulatan Rakyat karena satu-satunya media yang dari duku sampai saat ini masih eksis. Setelah diskusi kita mengambil tema transisi”

Anang Saptoto – Seniman dan Kurator Pameran

Orasi Kebudayaan
Reading Time: 3 minutes

Menyambut milad ke-20 Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII) menggelar Orasi Kebudayaan pada 3 Juli 2024 di Gedung Kuliah Umum. Menggandeng Prof. Heru Nugroho, tema Teknologi Digital dan Masa Depan Manusia diorasikan di hadapan tamu undangan serta mahasiswa.

Pesatnya perkembangan digital awalnya membuat manusia takjub karena berbagai kemudahan yang ditawarkan, namun lambat laun persoalan-persoalan muncul. Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi UII, Iwan Awaluddin Yusuf, S.IP., M.Si., Ph.D. menyebutkan artificial intelligence atau AI bisa jadi melampaui kecerdasan manusia.

“Hari ini dilaksanakan Orasi Kebudayaan dengan tema Teknologi Digital dan Masa Depan Manusia, tema ini kami pilih karena tentu saja hari ini kita dihadapkan dengan berbagai macam ketakjuban atas perkembangan teknologi yang sedemikian pesat kecerdasan buatan misalnya, big data yang dalam beberapa waktu terakhir membuat kita terbelalak tapi diskusinya sudah bergeser berapa tahun lagi kita akan mengalami simularitas ketika kecerdasan buatan itu sudah melampaui kecerdasan manusia,” ucapnya membuka agenda siang itu.

Beranjak dari ketakjuban, antisipasi perlu dilakukan agar manusia tak tertipu dengan berbagai manipulasi yang dilakukan teknologi. Mengingat kasus-kasus judi online yang membelenggu dan belum teratasi di Indonesia.

“Bukan lagi takjub tapi kita sudah merasa terancam. Inilah titik mengapa kita harus mendiskusikan masalah-masalah seperti ini. Kita paham bahwa semaju apapun teknologi ada persoalan-persoalan yang harus kita antisipasi dan waspadai. Kita bicara soal berbagai macam kedigdayaan teknologi pada saat yang sama kita masih dalam tanda kurung diperbudak oleh teknologi judi online misalnya, pencurian data, netizen yang ganas bermedia sosial adalah bentuk-bentuk bagaimana kita sebenarnya masih terbelenggu dengan kehadiran teknologi,” tambahnya.

Pada kesempatan yang sama Dekan Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya (FPSB), Dr. Phil. Qurotul Uyun, S.Psi., M.Si., Psikolog. juga menyebut bahwa tema dalam orasi kebudayaan tersebut sangat relevan dengan kondisi sosial yang terjadi saat ini.

“Saya kira ini tema yang sangat relevan sekali dengan keadaan sekarang. Kalau mahasiswa ini kebanyakan Generasi Z, anda lahir sudah melek teknologi tapi kita-kita yang di depan ini mengalami diawal komunikasi 20 tahun lalu tentu berbeda sekali dengan sekarang. Jadi isu-isu masa depan untuk teknologi ini saya kira sangat perlu kita perhatikan bersama. Seperti kita melihat teknologi itu baik tujuan awalnya untuk mempermudah pekerjaan kita bisa lebih efektif efisien, tapi tentu ada dampak negatifnya ada judi online dan sebagainya,” jelasnya.

Teknologi Digital dan Masa Depan Manusia

Prof. Heru Nugroho sebagai sosiolog sekaligus pengajar pada Kajian Budaya Media, menyampaikan perkembangan peradaban dengan mengacu pada The will to power (Nietzsche), The will to communicate (Moran), Knowledge and human interest (Habermas), Mode of production (Marx), Digital capitalism (van Dick).

“Tema ini sangat menarik karena ekosistem digital sudah menyatu dengan kehidupan sehari-hari. Ada di genggaman kita saya tertantang, saya mendapat inspirasi dari orang-orang yang ada disini,” jalasnya.

“Orang-orang ini telah menginspirasi ketika kita melihat perkembangan teknologi digital konkretnya gadget, tablet, IT alat-alat komunikasi, dan terakhir AI dan lain-lain seolah-olah membuat kita berubah. Manusia berubah, manusia harus menyesuaikan. Sebetulnya itu ciptaan manusia kalau dilihat inspirasi dari tulisan orang-orang ini sebetulnya AI atau robot itu kan merupakan karsa dari manusia, the will to power kehendak kuasa manusia. Bahkan kehendak kuasa terimplementasi di dalam the will to communicate kehendak untuk berkomunikasi.,” tambahnya,”

“Pengetahuan melahirkan teknologi, tapi sebetulnya teknologi tidak netral. Ada knowledge dan human interest. Ada tiga knowledge dan tiga interest. IT itu interest yang ketiga, interest yang engineering, interest untuk mengatasi masalah praktis,”

“Masalah praktis dalam komunikasi dulu adalah jarak, lalu bermacam-macam perkembangannya. Tapi ternyata IT, Information Technology Communication itu tidak berada di ruang hampa terpilin-pilin dengan realitas sosial, politik, ekonomi. Mark memberikan info kepada kita ternyata cara produksi menentukan cara orang berinteraksi bersosial berkomunikasi. Mark dengan filsafat matrelisnya mengatakan,”

“Kita memakai tekno realis, ia kritis tapi juga melihat masa depan teknologi itu perlu jadi kita sebagai juru damai. Atau kalau pakai istilah Marshall McLuhan pisau bermata dua. Kitak perlu ekstrim-ekstrim, karena kalau ekstrim nanti seperti kawan saya, tidak punya HP susah sekali menghubungi kan tetapi itu bagian dari perlawanan dia, saya tidak mau diatur oleh platform. Ya sudah, itu titik yang paling ekstrim,”

Dalam memecahkan masalah teknologi digital dan masa depan kemanusiaan, Prof. Heru Nugroho menyampaikan tiga tawaran solusi. Pertama, penguatan pemetaan dan strategi aksi kritis di luar jaringan. Critical mass yang dilakukan di luar ekosistem digital. Kedua, penguatan substansi demokrasi yang selaras dengan ekosistem digital. Terakhir, perguruan tinggi perlu mengambil jarak dan kembali pada Marwah produksi pengetahuan yang kritis dan emansipatif, jangan hanya menjadi administratif digital.

Lomba
Reading Time: 2 minutes

Salah satu mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi UII, Nandita Faiza meraih juara 2 dalam kompetisi Qiroatus Syi’ir tingkat nasional pada bulan Juni 2024.

Mahasiswa International Programme (IP) angkatan 2022 tersebut berkesempatan mengikuti kompetisi bertajuk Gelanggang Kreasi Dunia Arab Berprestasi (GRADASI) yang dihelat oleh UIN Sunan Gunung Djati Bandung.

Kompetisi yang dihelat selama empat hari sejak 10 Juni hingga 13 Juni 2024 itu bertujuan untuk menggali, mengembangkan, dan mengapresiasi bakat dan kemampuan mahasiswa dalam berbagai bidang yang berkaitan dengan bahasa dan budaya Arab berskala nasional.

Qiroatus Syi’ir merupakan lomba puisi bahasa Arab yang masuk kategori seni dan sastra. Diikuti oleh 43 peserta dari berbagai provinsi membuat kompetisi semakin ketat. Meski awalnya sempat ragu, Nandita akhirnya mampu meraih juara 2.

“Lomba Qiroatus Syi’ir atau bisa dibilang Lomba Membaca Syi’ir Arab yang saya ikuti ini merupakan salah satu cabang lomba seni, meskipun begitu, kompetisi yang saya rasakan di sini amat terasa, terlihat dari semangat masing-masing peserta yang hadir dari berbagai daerah. Menurut saya, keberhasilan saya pada lomba ini tidak luput dari ilmu yang saya dapatkan sebagai mahasiswa Ilmu Komunikasi sekaligus santri dari Pondok Pesantren UII,” ujar Nandita.

Salah satu faktor paling penting dalam lomba Qiroatus Syi’ir ini adalah bagaimana menyampaikan makna dalam teks dengan ekspresi yang meyakinkan.

“Saya belajar bagaimana caranya supaya saya dapat menyampaikan makna yang terkandung dalam syi’ir melalui ekspresi, mimik, nada bicara dan gaya yang saya miliki sehingga berhasil menyentuh hati,” tambahnya.

Mahasiswa Ilmu Komunikasi Ikut Lomba Qiroatus Syi’ir?

Praktisnya, mahasiswa Ilmu Komunikasi memang fokus belajar soal media, jurnalisme, dan PR. Lantas apakah kompetisi ini relate dengan bidang ilmu yang dipelajari?

Nandita mengakui jika ini menjadi tantangan bagi dirinya, selain fokus dengan ekspresi dalam pembacaan teks ia menyadari bahwa itu bukanlah satu-satunya penentu keberhasilan.

“Para pendengar dan pemirsanya, termasuk dewan juri, panitia, dan juga semua hadirin yang ada di tempat yang bisa jadi tidak semua dari mereka memahami makna bahasa yang saya ucapkan,” ujarnya lagi.

Menjadi mahasiswa Ilmu Komunikasi, salah satu mata kuliah yang membawanya mengubah cara berfikir dalam membaca teks adalah tentang ilmu semiotik. Ilmu ini mempelajari mitos dan metafora termasuk tanda, kode, dan makna.

Sehingga hal-hal detail cukup menjadi perhatian bagi Nandita, termasuk kostum yang ia kenakan dalam kompetisi tersebut.

“Pada saat persiapan, saya fokus pada beberapa aspek mulai dari pelafalan, kelancaran, hingga pakaian yang saya gunakan nanti sehingga dapat menggambarkan apa yang terkandung dalam isi Syi’ir yang saya bawa, mungkin terlihat sepele tapi ternyata untuk sampai bisa memikirkan hal sedetail itu perlu yang namanya ilmu dan saya merasa bisa sampai di titik yang memikirkan hal itu setelah mempelajari ilmu semiotik yang saya dapatkan pelajarannya di Ilmu Komunikasi, yang kemudian mengubah pandangan saya dan membuat saya lebih kritis dalam memaknai setiap hal yang saya lihat,” tandasnya.

Research Day
Reading Time: 3 minutes

Pertama kalinya research day diselenggarakan oleh Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII) pada 2 Juli 2024. Agenda ini menjadi rangkaian Milad ke-20 yang diinisiasi oleh para dosen.

Tema dalam research day seri pertama adalah Komunikasi dan Media dalam Berbagai Perspektif mempresentasikan 16 judul riset oleh 16 dosen Prodi Ilmu Komunikasi UII yang dibagi menjadi 5 panel dengan klaster-klaster tertentu.

Secara umum research day merupakan momen bagi para akademisi untuk mempresentasikan riset atau penelitian yang telah dilakukan kepada publik. Tradisi ini juga menjadi ajang desiminasi karya dalam konteks ilmiah.

Kaprodi Ilmu Komunikasi UII, Iwan Awaluddin Yusuf, S.IP., M.Si., Ph.D. menyampaikan urgensi mengapa research day mulai dilakukan di tahun ini.

“Berangkat dari kegelisahan riset sering dianggap sebelah mata, dana mengalami pemangkasan, hal ini menjadi satu problem menghambat inovasi. Sementara riset menjadi indikator kemajuan bangsa,” ucapnya membuka agenda tersebut.

Deretan judul artikel yang dipresentasikan merupakan hasil riset yang dilakukan satu tahun terakhir oleh para dosen. Beberapa judul telah dipublikasikan pada jurnal nasional dan internasional.

“Program studi kita berkomitmen untuk melakukan ini karena pada dasarnya setiap tahun bapak ibu dosen selalu melakukan riset, kami mengalokasikan anggaran khusus untuk riset. Insya Allah semua dosen termasuk yang sedang melakukan studi di luar negeri maupun di dalam negeri itu disupport oleh Prodi dan universitas,” tambahnya.

Deretan Judul Riset

Panel 1 “Manajemen Komunikasi Organisasi”

“Basisnya pemberdayaan masyarakat jadi dikelola oleh Pok Darwis setempat. Sebagai desa pintar bisa mengangkat potensi desa yang mereka miliki mungkin masyarakat awam melihatnya desa dengan Lokasi pegunungan yang tandus tetapi bisa menjadi desa yang smart bisa memberdayakan masyarakat dan meningkatkan kehidupan,” Puji Hariyanti, S.Sos., M.I.Kom.

  1. Strategi Visual untuk Menyampaikan Citra Profesional Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Melalui Teknik Videografi (Studi Kasus PT. Petrokimia Gresik) – Anggi Arifudin Setiadi, S.I.Kom., M.I.Kom.
  2. Promosi Perguruaan Tinggi di Masa Pandemi: Konten Analisis pada Media Sosial Perguruan Tinggi Islam Terbaik di Indonesia – Nadia Wasta Utami, S.I.Kom, M.A.
  3. Analisis Implementasi desa Pintar dan Pemberdayaan Masyarakat Desa Srimulyo Piyungan Bantul – Puji Hariyanti, S.Sos., M.I.Kom
  4. Manajemen Redaksi Media Sepakbola Nasional Timnas.co dalam Upaya Menarik Minat Pembaca – Narayana Mahendra Prastya, S.Sos, M.A

Panel 2 “Jurnalistik: Dari Sejarah, Regulasi, hingga Praktik Kultural”

“Bagaimana membingkai hasil wawancara dengan perspektif politik budaya, jadi itu akar nuansa mengapa saya melakukan riset ini. Tahun 1960an ada pergeseran dalam ilmu sosial yang disebut sebagai culture turn, kalau kita riset bisa memahami fenomena di lapangan baru ditarik ke sana,” Puji Rianto, S.IP., M.A.

Memahami fenomena sosial dengan

  1. Melawan Narasi Peta Propaganda: Praktik Kartografi Jurnalistik di Surat Kabar Pewarta Deli, 1935-1940 – Holy Rafika Dhona, S.I.Kom., M.A.
  2. Dewan Pers dan Kebebasan Pers di Indonesia – Prof. Dr. rer. soc. Masduki, S.Ag., M.Si., MA
  3. Praktik Jurnalisme di Indonesia dalam Perspektif Budaya: Studi Kasus Kedaulatan Rakyat – Puji Rianto, S.IP., MA

Panel 3 “Komunikasi dalam Konteks Digital”

“TikTok tidak hanya sekedar media sosial namun terdapat teks yang kompleks dan memetics. Selain memediasi dan memfasilitasi produksi video pendek, tetapi TikTok juga telah menjadi budaya. Sementara unggahan video di platform tersebut perharinya mencapai 35 milion menjadi kajian yang komprehensif,” Sumekar Tanjung, S.Sos., M.A.

  1. Persepsi Pemilih Muda tentang Kritik Sosial pada Internet Meme Politik Calon Presiden dan Wakil Presiden 2024 – Ratna Permata Sari, S.I.Kom., M.A.
  2. Contestating Global Forces Through Cultural Hybridisation: Javanese Cover Versions of Western Songs on YouTube – Iwan Awaluddin Yusuf, S.IP., M.Si., Ph.D
  3. Meme dan Konstruksi Budaya TikTok – Sumekar Tanjung, S.Sos., M.A.
  4. Model Perilaku Generasi Zoomers dalam Pencarian dan Penggunaan Informasi Kesehatan di Media Sosial – dr. Subhan Afifi, S.Sos., M.Si.

Panel 4 “Pemberdayaan Komunitas dan Aktivisme Media”

“Banyak murid cemerlang itu perempuan, sama-sama memasuki dunia kerja. Tetapi setelah memasuki dunia kerja kondisinya sangat sedikit yang memiliki capaian karier yang tertinggi. Pada intinya riset ini berbicara tentang bagaimana pencapaian karier ibu dengan aktivisme disekitar isu itu,” Dian Dwi Anisa, S.Pd., M.A.

  1. Aktivisme Digital Kelompok Ibu-Mahasiswa – Dian Dwi Anisa, S.Pd., M.A.
  2. Optimasi YouTube Sebagai Media Komunitas Warga Sleman – Dr. Herman Felani Tandjung, S.S., M.A.
  3. Dari Sanggar ke Kolektif: Menelusuri Trajektori Konsep Komunitas Film di Indonesia – Dr. Zaki Habibi, S.IP., M.Comms.

Panel 5 “Media dan Komunikasi Lingkungan”

“Masyarakat yang baru saja mengalami bencana biasanya akan terlibat dalam tiga proses ini yang pertama semiotic contestation atau struggle of interpretation perjuangan untuk memaknai. Kedua semiotic rejuvenation baigamana makna-makna dibakukan didisiplinkan sehingga ada makna Tunggal atau grand narrative disaster. Yang terakhir grand narrative akan mengalami kontestasi lebih lanjut hanya saja lebih halus dan tak terlihat yang disebut smooth and invisible semiotic,” Muzayin Nazaruddin, S.Sos. MA.

  1. Dinamika Komunikasi Kelompok Kerja Destana Lereng Merapi dalam Mitigasi Bencana Erupsi di Kabupaten Sleman – Anang Hermawan, S.Sos., MA.
  2. Consuming Disaster? A Semiotics Analysis of Tourists, Perceptions and Interpretations of The Disaster Tourism Sites – Muzayin Nazaruddin, S.Sos. MA.
  3. Reception Analysis of Gender-Based Violence Victim in White Underbelly YouTube Channel – Ida Nuraini Dewi K. N, S.I.Kom., MA.

Selain agar tak berhenti dalam laporan administrasi dan publikasi yang belum tentu diakses oleh mahasiswa. Dengan dilakukannya research day harapannya mahasiswa yang akan melakukan tugas akhir akan mendapatkan beragam perspektif dan tentunya menunjang proses akademik lebih efektif.

Kaliurang Festival Hub
Reading Time: 3 minutes

Film tak sekedar soal hiburan, film adalah ide dan nilai yang disajikan secara audio visual demi membuat penontonnya sama-sama sepakat soal isu yang diangkat. Jika memang demikian, apakah benar film mampu membuat orang semakin peka?

Pada seri ke-5 Kaliurang Festival Hub berkesempatan lakukan kolaborasi dengan Festival Bahari yang berumah di Cirebon. Gelaran sejak 27 Juni hingga 28 Juni 2024 itu mengabil tajuk “Kabar Tepi Laut”. Diawali dengan pemutaran 3 film berjudul Perahu Sandeq, Mimpi Andini, dan Darip semua film mengambil latar perairan.

Perahu Sandeq merupakan film genre dokumenter expository yang mengungkap budaya suku Mandar, Sulawesi Barat warisan dari ras Austronesia. Film ini mengajak penonton untuk memehami latar historis hingga mengajak kita peka dengan budaya yang mesti dijaga.

Kedua, Mimpi Andini film dokudrama yang menyorot pengorbanan perempuan bernama Andini yang hidup di pesisir Jawa. Ia memiliki sahabat dekat seekor Kerbau, hubungan batinnya begitu erat. Namun Andini harus segera merelakan sahabatnya demi kesejahteraan nelayan dan masyarakat. Egonya tak bisa melawan kuasa tradisi bernama Lomban, meski demikian ia tetap mengikuti arak-arakan kerbau dan penyembelihan. Kepala kerbau bersama uborampe dilarung ke laut oleh masyarakat setempat.

Terakhir ada film Darip dengan genre fiksi menjadi penutup yang ringan dan menghibur. Adegan mengambil ikan secara manual di empang atau slurup dalam bahasa Jawa sukses mengundang gelak tawa. Darip nelayan yang malang, ia harus pulang tanpa tangkapan. Isu-isu lingkungan, ekonomi, dan sosial dikemas unik melalui siaran radio yang mendominasi audio dalam film tersebut.

Film dalam Konteks yang Adil

Movie Talk “Kabar Tepi Laut” dalam seri ke-5 Kaliurang Festival Hub menghadirkan kawan-kawan dari Film Festival Bahari. Mereka adalah Kemala Astika selaku Program Director serta Doni Kus Indarto, Advisory Board. Dipandu oleh Rizka Aulia, kru Film Bertema Perempuan Nelayan sekaligus Laboran Ilmu Komunikasi UII.

Doni Kus Indarto membuka diskusi dengan sebuah konteks keadilan dalam sebuah karya film. Ada keresahan terkait isu tersebut, ia menyebut selama ini film menjadi barang mewah bagi masyarakat ekonomi ke bawah.

Festival Film Bahari ingin mengembalikan film kepada pemiliknya, yakni masyarakat yang menjadi sumber inspirasi dan konten.

“FFB pertama kali hadir karena kegelisahan hampir semua festival film hadir untuk filmmaker bukan ditayangkan untuk penonton. Hampir semua diputar di gedung mewah, yang miskin tidak boleh nonton film.  Di Gedung tiketnya (film) mahal. Beda dulu ada grade semua kalangan bisa masuk,” tuturnya membuka diskusi.

Tak hanya itu, festival lazimnya hanya menyasar komunitas-komunitas tertentu. Doni berpaham bahwa film yang digarap di tengah-tengah masyarakat sudah selayaknya mampu dinikmati bersama. Interaksi antara masyarakat, mengangkat sebuah isu, hinggatimbul diskusi usai menonton tak jarang menemukan sebuah jalan keluar.

“Begitu juga festival filmnya, yang penyelenggaraanya ada di tengah masyarakat lakukan. Audiens di sekitar, layar tancap, ada mbok-mbok jualan di tepi. Sehingga interaksi dilakukan langsung lanjut diskusi soal masalah yang terjadi,” tambahnya.

Kerap kali screening dilakukan di sekolah-sekolah hingga pesantren untuk sebagian film yang memang diproduksi memiliki orientasi pesan kepada pelajar. Jangka panjangnya tak hanya ajang interaksi namun ada pesan yang memiliki manfaat.

“Tema Bahari satu secara geografis Cirebon di pantai. Kesadaran laut pemersatu belum tebal, film bukan tujuan, film adalah media sarana bisa bersilaturahmi dengan masyarakat. Syukur-syukur bisa memunculkan kebermanfaatan,” tandasnya.

Peka dengan Isu Lingkungan

Secara geografis Cirebon berada pada posisi Lintang Selatan dan Bujur Timur Pantai Utara Pulau Jawa Bagian Barat. Kondisi ini membuat sebagian besar masyarakatnya hidup di pesisir pantai dan berprofesi sebagai nelayan, petani tambak, dan sektor serupa lainnya.

Kerja-kerja yang bergantung dengan alam tentu penuh ketidakpastian, menurut Kemala Astika dari cuaca dan kondisi menentu yang berujung pada kondisi ekonomi hingga lubang-lubang utang masyarakat dengan para lintah darat.

“Di sana banyak pantai bukan untuk wisata, karena dangkal dibuat untuk tambak, ada temuan kisah-kisah sudah tidak melaut. Mereka ada yang pindah menjadi petani tambak, menangkap dengan manual, berkostum lengkap menyelam nyari ikan, kepiting, yuyu. Based real story. Nasib nelayan kita banyak banget PRnya. Mereka menghadapi kehidupan dengan tangguh, faktor ekonomi, terlilit lintah darat,” jelas Kemala.

Kemala yang juga sebagai pengajar di salah satu sekolah di Cirebon berharap dengan film-film yang dikurasi oleh Festival Film Bahari mampu membuat orang peka dengan kondisi yang terjadi pada sekitar, termasuk soal isu lingkungan yang pasti berdampak dengan kondisi sosial dan ekonomi.

“Dari film mengenal lebih dekat semua tentang kelautan dan kebaharian. Pertama sebagai ruang belajar, untuk mengenal kelautan. Indonesia punya garis pantai terpanjang kedua di dunia. Tapi narasi-narasi yang sering diberitakan betapa miskinnya para komunitas di sekitar, tapi banyak PR. Sebanranya banyak banget potensi-potensi yang ada pada teman-teman pesisir, budaya, seni, tapi bisa menghidupi sehari-hari,” tambahnya.

Salah satu upaya yang dilakukan Kemala dan kawan-kawan adalah menggandeng para pelajar untuk belajar bersama memproduksi film. Mulai dari riset isu, hingga live in bersama masyarakat nelayan.

“Kepekaan untuk pelajar proses riset paling penting, pentingnya menyelami subjek, bekerja dengan tim, menemukan keunikan isu. Bermanfaat, berdampak setidaknya warga sekitar, ada konsekuensi panjang. Pendektan dengan warga, kenal, stay dulu,” ujaranya lagi.

Ia tak memiliki ekspektasi tinggi soal hasil garapan itu, baginya proses yang dilakukan para pelajar untuk peka terhadap kondisi sosial adalah pencapaian terbaik. Sementara, film yang telah selesai digarap bisa dinikmati bersama para nelayan mampu menjadi pereda lelah seharian melaut.

“Perayaan, habis melaut, bisa menikmati (film). Pak tani punya siklus sendiri, begitupun juga nelayan (bekerja mengikuti kondisi cuaca). Buat warga bisa untuk refleksi, cerminan, Ada temuan baru, bisa berdialog antara warga dengan Kepala Desa,” pungkasnya.

Kaliurang Festival Hub
Reading Time: 2 minutes

Kaliurang Festival Hub seri ke-5 mengambil tema Kabar Tepi Laut. Tema ini dipilih karena sesuai dengan film-film yang telah dikurasi dan akan ditayangkan selama dua hari mulai 27 Juni hingga 28 Juni 2024 di Gedung Rav prodi Ilmu Komunikasi UII.

Dengan tema Kabar Tepi Laut, kolaborasi dilakukan bersama Festival Film Bahari yang berumah di Cirebon. Digawangi oleh Kemala Astika dan Doni Kus Indarto, pihaknya bersama Kaliurang Festival Hub sepakat menayangkan tiga film bertemakan bahari atau segala sesuatu yang berkaitan dengan tema laut. Tiga film tersebut berjudul Perahu Sandeq, Mimpi Andini, dan Darip.

Di hari pertama pembukaan, Kaprodi Ilmu Komunikasi UII menyampaikan apresiasi kepada para pegiat yang tergabung. Kaliurang Festival Hub mampu membuktikan keberlanjutannya sebagai ruang pertemuan berbagai gagasan hingga diskusi.

“Kalfes Hub menjadi ruang pertemuan berbagai gagasan, ide-ide, diskusi seperti hari ini. dan ini menjadi tradisi jika kita urut ke belakang ini sudah yang kelima yang berarti kita sudah melakukan pembuktian bahwa acara ini berkelanjutan. Apresiasi untuk Pak Gunawan dan Pak Zaki,” ujar Kaprodi Ilmu Komunikasi UII, Iwan Awaluddin Yusuf, S.IP., M.Si., Ph.D.

Beliau juga menceritakan sedikit perjalanan Kaliurang Festival Hub yang selalu membawa tema-tema beragam pada setiap serinya. Mulai isu sosial, lingkungan, hingga ekonomi politik.

Pada kesempatan yang sama, Festival Hub Programmer yakni Dr. Zaki Habibi berharap, kerja-kerja yang dilakukan bersama pegiat lainnya menjadi informasi dan data yang suatu saat bisa dijadikan berbagai bahan penelitian yang memberi warna baru.

“Sejak tahun lalu posisi kami sebagai pengumpul informasi atau pengumpul data tentang festival-festival lain yang ada di Indonesia. Untuk kali ini festival dari Cirebon, jangan heran festival tidak harus dari kota besar gemerlap. Mimpi Kalfest Hub atau Prodi Ilmu Komunikasi UII dalam jangka panjang siapapun yang pengen tahu tentang festival film bisa datang ke sini, data-data ini terkompilasi oleh teman-teman pegiat dan suatu saat akan terpublikasi sebagai kompilasi tertentu di PDMA Nadim,” ungkapnya.

Preview Film

Secara umum film Perahu Sandeq merupakan genre dokumenter expository yang mengungkap budaya suku Mandar, Sulawesi Barat. Budaya bahari dalam Sandeq atau kapal bercadik merupakan warisan dari ras Austronesia. Film ini mengajak penonton untuk memehami latar historis hingga mengajak kita peka dengan budaya yang mesti dijaga.

Kedua, Mimpi Andini film dokudrama ini menyorot pengorbanan perempuan bernama Andini yang hidup di pesisir Jawa. Ia memiliki sahabat dekat seekor kerbau, hubungan batinnya begitu erat. Namun Andini harus segera merelakan sahabatnya demi kesejahteraan nelayan dan masyarakat. Egonya tak bisa melawan kuasa tradisi bernama Lomban, meski demikian ia tetap mengikuti arak-arakan kerbau dan penyembelihan. Kepala kerbau bersama uborampe dilarung ke laut oleh masyarakat setempat.

Terakhir ada film Darip dengan genre fiksi menjadi penutup yang ringan dan menghibur. Adegan mengambil ikan secara manual di empang atau slurup dalam bahasa Jawa sukses mengundang gelak tawa. Darip nelayan yang malang, ia harus pulang tanpa tangkapan. Isu-isu lingkungan, ekonomi, dan sosial dikemas unik melalui siaran radio yang mendominasi audio dalam film tersebut.

Pidato pengukuhan
Reading Time: 4 minutes

Berbagai gagasan disampaikan oleh Prof. Dr. rer. soc. Masduki, S.Ag., M.Si., MA dalam rapat terbuka pengukuhan jabatan tertinggi “Profesor” pada 25 Juni 2024 di Auditorium Kahar Mudzakir UII, Yogyakarta. Pidatonya bertajuk Kebebasan Akademik dan Resiliensi Otoritarianisme di Indonesia mengungkap banyak fenomena tak ideal dalam dunia akademik.

Beliau merupakan profesor bidang Ilmu Media dan Jurnalisme yang telah menerima gelar Guru Besar pada September tahun lalu. Riset-risetnya soal jurnalisme, demokrasi, hingga kebijakan dikemas dalam pidato 30 menit.

Secara umum pidato pengukuhan profesor hari itu menjawab pertanyaan-pertanyaan terkait, mengapa perguruan tinggi absen dalam advokasi pelanggaran HAM? Siapa sejatinya akademisi? Serta apa makna perguruan tinggi dalam kehidupan sosial yang mengarah pada kerja-kerja kepublikan?

Toxic University

Kalimat toxic university menjadi bagian awal yang menggambarkan bentuk tak ideal dalam kerja dan fungsi perguruan tinggi di Indonesia. Kata tersebut mengindikasikan soal lingkungan tak sehat yang merugikan.

Toxic university terjadi karena fenomena resiliensi otoritarianisme, salah satu buku yang cukup provokatif ditulis oleh Mary Evans berjudul Killing Thingking, dilanjutkan penulis Peter Fleming yang menulis Dark Academia. Sementara yang cukup fenomenal adalah riset berjudul Educated acquiescence: how academia sustains authoritarianism in China.

“Bagaimana (pembahasan riset) sebetulnya para akdemisi yang harusnya menjadi agen pencerahan untuk pemberdayaan justru menjadi bagian yang melestarikan otoritarianisme politik,” ucap Prof. Masduki.

Salah satu contoh yang sangat eksplisit terjadi misalnya bagaimana konferensi komunikasi menjadi ruang ekonomi dan politik bukan kepentingan akademik. Studi-studi komunikasi di Indonesia mengalami dark academia, mengalami jalur kgelapan.

Contoh lain dari toxic university adalah persaingan melalui segi kuantitas terkait rangking hingga publikasi tertentu yang berdampak pada remunisasi dalam setiap kerjanya.

“Universitas mengalami toxic university orang-orang di dalamnya dan para pemimpinnya mengalami zombie leadership jadi fisiknya ada tapi jiwanya nyaris tidak ada. Jadi ada badan yang bergerak tanpa rasionalitas. Sementara para dosen digambarkan sebagai academic rockstar, jadi biasanya dipuja-puja karena punya ranking-ranking tertentu. sekarang ada perlombaan indeks scopusnya berapa kemudian remunisasi yang dilihat angka-angka membuat orang seperti rockstar penyanyi suara keras tapi menghibur saja tapi tidak punya makna-makna yang lebih relate dengan kehidupan sosial yang lebih holistic,” jelasnya.

Resiliensi Otoritarianisme dan Kondisi struktural

Indonesia sebagai negara yang sempat mengimani sistem otoriter telah menganut sistem demokrasi. Sayangnya praktinya tak cukup melegakan. Salah satu tuntutan bersikap netral kepada dosen-dosen berstatus PNS justru langkahnya dalam sosial advokasi terkungkung.

“Apalagi dosen yang pegawai negeri (Status PNS) harus memiliki kepatuhan punya netralitas tapi itu artinya bukan berada netral tapi menjaga jarak dengan penyintas atau korban-korban,” jelasnya.

Selain kondisi tersebut, beban administrasi yang dibebankan membuat para akademisi absen dari berbagai peran kemanusiaan.

“Perguruan tinggi academia boro-boro memperhatikan isu pelanggaran HAM justru kita mengalami penyibukan luar biasa untuk urusan-urusan domestic pelaporan-pelaporan sebagaianya,” tambahnya.

Ditambah kebijakan dan regulasi yang diterapkan cenderung berujung ketidakpastian. Demokrasi di Indonesia seolah menjadi bingkai hibrida neoliberal. Artinya pendidikan tinggi bermula dari kebijakan semi publik disertai kontrol birokrasi yang terpusat di Kementerian.

“Sebenarnya membonceng kebijakan-kebijakan neoliberalisasi perguruan tinggi belakangan ini. perubahan menjadi BHMN ada perubahan kontraktual menjadi dosen yang tadinya tetap menjadi musiman dan sekarang ini yang paling rumit tidak ada yang tahu kapan kita bisa menjadi guru besar, kapan kita bisa naik Lektor Kepala karena ada kondisi peraturan jabatan fungsional bisa berubah setiap dua tahun dan menimbulkan ketidakpastian terhadap karier akademik dosen (fenomena neoliberalisasi),” tambahnya.

Akibatnya penyeragaman terhadap budaya kerja dilakukan demi menjaga stabilitas politik penguasa. Dosen dipaksa melakukan tumpukan kerja domestik administratif.

“Dibalik ini semua ada politik otoriter yang tumbuh subur menjaga engineering stability. Menjaga stabilitas politik otoriter dengan menjadikan perguruan tingginya menganut pola kerja-kerja liberal. Rangkingnya tinggi, dosennya sibuk melakukan tugas-tugas domestik.” tambahnya.

Jika di Indonesia akademisi ruang geraknya terbatas, berbeda dengan akademisi di Amerika dan Eropa Utara. Belakangan akademisi di negara tersebut megkampanyekan pelanggaran HAM dan genosida di Palestina walaupun mereka direpresi secara digital tapi berani menyuarakan ini ada masalah human rights secara global.

“Akademisi Di Indonesia tidak ada yang memperhatikan ini karena kita disibukkan oleh persoalan domestik,” pungkasnya.

Kebebasan Akademik

Perguruan tinggi idealnya menjadi ruang yang otonom dan progresif untuk melawan sistem kekuasaan yang tidak sehat. Alih-alih mewujudkan hal tersebut, pemaknaan kebebasan akademik di Indonesia masih cukup rumit.

Setidaknya ada tiga pemaknaan akademik yang menimbulkan masalah. Pertama sciencetific freedom yakni dosen bebas mengajar, meneliti, dan publikasi kemudian melaporkan secara administratif.

“Dalam bahasa lain dosen adalah birokrat (mengerjakan tugas dan melaporkan),” ujarnya.

Makna kedua adalah kebebasan akademik dengan perspektif utilitarian pragmatic. Artinya dosen harus bebas mengajar, meneliti, namun harus fokus menyiapkan lulusan atau mahasiswa yang siap kerja.

Terakhir, sebagai perspektif kepublikan atau demokrasi, tugas akademisi sejatinya memfasilitasi persoalan sosial ekonomi politik. Akademisi dan universitas adalah rujukan moral warga negara.

“Yang menjadi problem adalah pemaknaan atas kebebasan akademik terutama di Indonesia berhenti di kategori satu dan dua. Direduksi menjadi kebebsan otonomi akademik dalam mengembangkan IPTEK dosen bebas tapi harus bertanggung jawab. Mayoritas memahami kebebasan akdemik sebagai kebebasan scientific bukan yang bervisi kepublikan, implikasinya ketika ada represi negara terhadap akademisi untuk berbicara diluar kewenangannya itu dianggap tidak masalah itu tidak masuk dalam kebebasan akademik,” ucap Prof. Masduki.

Sementara pada jurusan Ilmu Komunikasi di Indonesia justru fokus pada tingkat pemaknaan kedua, dan minim ilmu yang memberdayakan.

“Ilmu yang diarahkan murni scientific dan belakangan diarahkan ke utilitarian tapi tidak diarahkan sebagai ilmu yang memberdayakan alumninya memberikan otonomi alumninya. Aktivis kebebasn pers jarang dari lulusan Ilmu Komunikasi. Komunikasi selalu berhubungan dengan kuasa, era kolonialisme sebagai propaganda, era pembangunan Soeharto sama, sekarang Ilmu Komunikasi sebagai agen propaganda bisnis platform digital,” ujarnya lagi.

Catatan Rekomendasi

Setidaknya ada tiga catatan rekomendasi dalam menanggapi persoalan tersebut antara lain:

“Pertama perlu otoritas pendidikan, kemeterian baik institusi dibawahnya untuk berupaya keras mengembalikan Haluan pendidikan kita supaya sesuai dengan konstitusi agar mencerdaskan kehidupan bangsa bukan justru membodohkan.”

“Kedua, akademisi perlu menjaga kewarasan jangan sampai menjadi intelektual yang berkolaborasi tanpa kritik dengan pihak yang selama ini melakukan represi. Perguruan tinggi perlu segera meninjau berbagai standar penyelenggaraan kebebasn akademik. Banyak yang buat tapi tidak ada yang demokrasi.”

“Terakhir, kita perlu satu gerakan global (global movement) karena ada terminologi yang disebut the suistanibility of academic life. Perlu ada keberlanjutan kehidupan akademik yang sehat yang diawali kesadaran bahwa (foucalt) pengetahuan diciplinary power discourse bahwa pengetahuan akademi perguruan tinggi itu bukan sebagai alat untuk penundukan kritisisme politik. Dia bukan hanya homoeconomicus tapi homo ploticus yang kritis dan otonom.”

Milad
Reading Time: 2 minutes

Tema besar dalam agenda milad Prodi Ilmu Komunikasi UII ke 20 tahun adalah “Bertransformasi dan Memberdayakan”. Tema ini merupakan bagian dari landasan Communication for Empowerment yang digagas sepuluh tahun silam (2014).

Serangkaian agenda digelar sejak 21 Juni hingga 16 Juli 2024 mendatang, perayaan dibuka dengan Angkringan Guyub Keluarga Prodi Ilmu Komunikasi. Momen ini dihadiri oleh mahasiswa dan sivitas akademika di lingkungan FPSB.

Perjalanan menuju 20 tahun merupakan upaya dan kerja keras dari berbagai pihak, dalam sambutannya Kaprodi Ilmu Komunikasi, Iwan Awaluddin Yusuf, S.IP., M.Si., Ph.D menyebutkan bahwa pencapaian ini perlu disyukuri. Prodi Ilmu Komunikasi terus bertumbuh, baik dari segi kuantitas maupun kualitas.

Transformasi ini adalah wujud kerja keras kolektif, dengan semangat pemberdayaan harapannya Prodi Ilmu Komunikasi mampu hadir sebagai solusi dan pemecahan masalah ketidakadilan sosial, serta peningkatan kapasitas SDM melalui berbagai pemberdayaan dan riset.

“Perjalanan (pencapaian) dari tidak terakreditasi, akreditasi C, akreditasi A, akreditasi Unggul, dan kita Insya Allah akan membuka S2 dan seterusnya itu adalah pencapaian-pencapaian yang harus kita syukuri,” ujarnya memberi sambutan.

Menurut Wakil Dekan FPSB Bidang Keagamaan, Nizamuddin Shadiq, S.Pd., M.Hum, Ph.D. inovasi yang dilakukan Prodi Ilmu Komunikasi cukup progresif.

“Saya kira Prodi Ilmu Komunikasi salah satu pionir di fakultas (FPSB) yang geraknya itu sangat mantap. Beragam inovasi, kegiatan, program sudah dilakukan dan buktinya selalu bertumbuh, bergerak dan kita saksikan InsyaAllah tahun ini semoga program S2 bisa segera dibuka dan menerima mahasiswa baru,” jelasnya.

Usai merefleksikan perjalalan Prodi Ilmu Komunikasi selama 20 tahun, acara dilanjutkan dengan membunyikan kentongan. Sebanyak 20 kentongan dibunyikan serentak oleh mahasiswa, dosen, dan staf secara serempak.

Menurut Prof. Dr. rer. soc. Masduki, S.Ag., M.Si., MA. aksi ini dipilih karena kentongan adalah simbol untuk terus bergerak dan bangkit.

“Ini bukan hanya art tapi simbolis, jumlahnya 20 aslinya 26 tahun reformasi tapi hari ini cukup 20 karena kita merayakan 20 tahun Program studi Ilmu Komunikasi. kentongan adalah simbol untuk selalu bangkit, bergerak,” tuturnya.

Meski banyak capaian yang telah diraih, harapannya Prodi Ilmu Komunikasi terus memperbaiki kualitasnya.

“Biasanya dipakai kalau ada kejadian emergency, peristiwa yang memaksa kita bersama-sama untuk bergerak. Hari ini 20 tahun maknanya Komunikasi UII, UII Indonesia dalam situasi yang harus bergerak, harus terus melihat ke depan. 20 tahun mungkin tidak terlalu muda tapi bisa jadi masih milenial. 20 tahun adalah suatu pencapaian, 20 tahun adalah kerinduan semangat untuk bergerak lebih baik lagi dari sekarang,” tandasnya.

Perayaan itu tentu disambut suka cita oleh seluruh sivitas akademika FPSB, setelah doa bersama agenda dirayakan makan siang bersama secara sederhana. Angkringan yang merakyat, duduk lesehan tanpa sekat.

Milad
Reading Time: 2 minutes

Memasuki usia ke 20 tahun, Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII) menggelar agenda yang berbeda. 21 Juni 2024 menjadi momen pertama kalinya perayaan milad, rangkaian agenda telah disusun hingga tema disiapkan dengan matang. Tajuk Bertransformasi dan Memberdayakan dipilih sebagai bentuk komitmen Communication for Empowerment yang selama ini menjadi landasan.

Agenda pembuka pada Jumat siang itu adalah Angkringan Guyub Keluarga Prodi Ilmu Komunikasi dihadiri oleh mahasiswa, dosen, hingga staf di lingkungan FPSB. Dibuka oleh Kaprodi Ilmu Komunikasi UII, Iwan Awaluddin Yusuf, S.IP., M.Si., Ph.D. sebuah puisi dibacakan sebagai bagian refleksi perjalanan dan perjuangan 20 tahun terakhir.

Beliau juga menyebut jika pencapaian yang telah diraih Prodi Ilmu Komunikasi merupakan kerja kolektif berbagai pihak.

Puisi ini menyiratkan bagaimana Prodi Ilmu Komunikasi sebagai ruang saling bertukar gagasan demi sebuah inovasi menembus zaman.

PUISI MILAD 20 Tahun Prodi Komunikasi UII

Oleh: Iwan Awaluddin Yusuf

Dari lereng Merapi tumbuh bersemi, Dua dasawarsa terus berinovasi

Betransformasi menempa diri, dengan semangat pemberdayaan untuk mengabdi

Berpikir kritis mengakar kuat, meskipun tak selalu lahir sepakat

Berkembang, bergerak,

Berbalut riak dan gejolak,

Seperti guntur dan kilat yang bergemuruh saat hujan

Prodi adalah rumah yang selalu memberi kehangatan

Lewat gagasan dan mimpi

Bersama berkolaborasi menajamkan visi

Berakhir satu muara, memohon ridho Ilahi, Agar prodi komunikasi semakin diberkahi, Selamat Milad Prodi Komunikasi UII.

Kaliurang, 21 Juni 2024

 

Rangkaian Agenda Milad ke-20

21 Juni 2024

Angkringan Guyub Keluarga Prodi Ilmu Komunikasi

25 Juni 2024

Peluncuran buku “Negara, Media, dan Jurnalisme di Indonesia Pasca Orde Baru”

25 Juni – 16 Juli 2024

Pameran Artefak Museum Digital Harian Kedaulatan Rakyat “Transisi Politik 1946, 1948, 1965, 1998, 2012”

27 – 28 Juni 2024

Kaliurang Festival Hub – Seri 5 bersama Festival Film Bahari, Cirebon

2 Juli 2024

Research Day “Media and Communication”

3 Juli 2024

Orasi Kebudayaan “Teknologi Digital dan Masa depan Manusia”

Itulah persembahan puisi dari Kaprodi Ilmu Komunikasi pada pembukaan rangkaian milad ke-20. Dua dasawarsa merupakan momentum yang patut dirayakan namun inovasi tetap terus dilakukan demi memperbaiki kualitas sebagai institusi pendidikan.

Milad
Reading Time: 2 minutes

Perjalanan Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII) selama 20 tahun tentu tidaklah sederhana. Mulai beroperasi pada 17 Juni 2004, institusi ini telah meluluskan lebih dari 1300 mahasiswa. Tak hanya itu, berbagai pencapaian telah diraih untuk menyempurnakan kualitasnya dalam bidang pendidikan.

Mimpi Prodi Ilmu Komunikasi UII di tahun 2030 yang tersurat pada visinya adalah menjadi program studi terkemuka di Asia Tenggara dalam pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat pada bidang kajian Ilmu Komunikasi.

Mimpi tersebut diwujudkan perlahan namun pasti melalui semangat “Communication for Empowerment” atau komunikasi pemberdayaan sejak 2014 lalu.

Sementara, inovasi yang diluncurkan tahun 2023 yakni “Follow Your Passion, Explore Your Opportunity” menjadi sugesti pamungkas untuk mahasiswa dan calon mahasiswa Gen Z yang memiliki jiwa dinamis untuk bertumbuh bersama Prodi Ilmu Komunikasi UII.

Inovasi akan terus dilakukan untuk mencapai target-target yang telah direncanakan, berikut berbagai catatan pencapaian yang telah dilalui Prodi Ilmu Komunikasi UII dalam kurun waktu 20 tahun terakhir.

Timeline Perjalanan Prodi Ilmu Komunikasi

Tahun 2004

Pada 17 Juni Prodi Komunikasi UII resmi beroperasi.

Tahun 2007

Untuk pertama kalinya Prodi Ilmu Komunikasi UII menerima mahasiswa asing pertama yakni Onn Mohd Zin asal Malaysia. Ia merupakan lulusan program diploma dadi salah satu universitas di Australia. Informasi terakhir alumni asal negeri Jiran bekerja sebagai Direktur Keuangan Les’ Copaque.

Tahun 2010

– Deretan dosen, staf, dan mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi berperan dalam kerelawanan Jalin Merapi saat erupsi Gunung Merapi.

– Menerbitkan buku Potret Manajemen Media di Indonesia, kala itu Prodi Ilmu Komunikasi UII menjadi satu-satunya jurusan Ilmu Komunikasi di Indonesia dengan peminatan manajamen media.

Tahun 2014

  • Setelah 10 tahun perjalannya dalam bidang pelayanan pendidikan, untuk pertama kalinya meraih akreditasi A.
  • CCCMS (Confecene on Communication, Culture and Media Studies), merupakan konferensi internasional pertama yang digelar 2 tahun sekali. Tahun ini merupakan gelaran ke-7.

Tahun 2016

  • Double degree pertama dengan Youngsan University, Korea Selatan yang diikuti 4 mahasiswa angkatan 2013.

Tahun 2018

Pembukaan International Program of Communication. Enam tahun berjalan program ini telah menerima mahasiswa asing dari berbagai negara mulai dari Thailand, Malaysia, hingga Yaman.

Tahun 2019

  • Kembali meraih dan mempertahankan akreditasi A yang diraih lima tahun sebelumnya
  • Doktor pertama di Prodi Ilmu Komunikasi UII

Tahun 2020

  • Pembentukan Forum Amir Effendi Siregar dibangun untuk merawat dan memperkaya wacana intelektual studi komunikasi dan media. Forum ini juga didedikasikan untuk Amir Effendi Siregar yang telah menghidupkan semangat intelektual, pegiat media, dan juga pendiri Departemen Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia.
  • Pojok Amir Effendi Siregar adalah daftar katalog buku warisan Amir Effendi Siregar. Mahasiswa, peneliti, dosen, jurnalis, aktivis, dan masyarakat umum dapat mengakses kekayaan intelektual ini. Sebagian besar di antaranya adalah karya tulis dan pemikiran Amir Effendi Siregar dalam berbagai tema: Pers Mahasiswa, Pers, Penyiaran, Media dan demokrasi, ekonomi politik media, media dan budaya, serta berbagai macam kajian komunikasi.

Tahun 2021

Tiga doktor lulus bersamaan dan kembali dari tugas belajar

Tahun 2022

  • Prodi dengan Kinerja Terbaik dalam Implementasi Sistem Penjaminan Mutu Universitas Islam Indonesia TAhun 2021 (penghargaan SK Rektor Februari 2022).

Tahun 2023

  • Memperoleh akreditasi unggul
  • Profesor pertama di Prodi Ilmu Komunikasi sekaligus di FPSB

Tahun 2024

  • Milad ke-20

Itulah catatan timeline pencapaian-pencapaian yang diraih Prodi Ilmu Komunikasi UII sebagai institusi pendidikan dalam 20 tahun terakhir.