Hari Film Nasional 2025: Merayakan dengan Membaca Hasil Riset Kajian Film

Hari film nasional yang dirayakan setiap 30 Maret menjadi momentum untuk berefleksi terkait proses dan perkembangan film di Indonesia. Singkatnya, perayaan ini mengacu pada film pertama Darah dan Doa yang diproduksi pada 30 Maret 1950 oleh 1950.

Beragam genre mewarnai bioskop tanah air, meski demikian data menyebut film horor mendominasi daftar judul film beberapa tahun terakhir. Tanpa agenda khusus sekalipun, setiap hari film selalu dirayakan.

Tercatat 80 juta penonton menyaksikan film di bioskop di tahun 2024. Sementara tahun 2025 diprediksi 150 hingga 200 judul film akan tayang. Terlepas dari jumlahnya yang fantastis, data yang dihimpun oleh Cinepoint (2024) genre paling mendominasi adalah horor 63 film, drama 54 film, komedi 18 film, sisanya dokumenter, aksi, dan animasi. Tentu film horor Indonesia paling banyak disorot hingga tuai kritik-kritik tajam.

Berbagai eksploitasi mulai dari perempuan hingga agama menjadi modal utama dalam pembuatan film horor. Di kajian Ilmu Komunikasi tentu ada kritik-kritik yang disampaikan untuk membangun film berkualitas. Tawaran solusi juga disampaikan dari berbagai riset.

Selengkapnya: https://communication.uii.ac.id/kritik-soal-film-horor-religi-dan-tawaran-solusi/

https://communication.uii.ac.id/eksplorasi-film-berdasarkan-kisah-nyata-hingga-riuhnya-respon-netizen/

https://communication.uii.ac.id/film-horor/

Bagi mahasiswa Ilmu Komunikasi yang tertarik dengan kajian film, berikut beberapa judul riset yang telah dilakukan oleh civitas akademika di Departemen Ilmu Komunikasi UII.

  1. Speak Out Your Films: When Asian Independent Film Festivals Send Messages to the World – Dr. Zaki Habibi

Riset ini fokus pada tiga festival film independen yang diadakan di tiga negara berbeda di Asia. Ketiga festival tersebut adalah (1) Jeonju International Film Festival (JIFF) di Jeonju, Korea Selatan, (2) Cinemalaya Philippine Independent Film Festival di Manila, Filipina, dan (3) Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) di Yogyakarta, Indonesia.

Dengan menganalisis penyelenggaraan festival film independen, beberapa temuannya meliputi film sebagai produk budaya, festival film independen, dan wacana budaya. Kesimpulannya menunjukkan bahwa ketiga festival film yang dianalisis menawarkan cara alternatif dalam distribusi film, kemudian menunjukkan cara pengorganisasian festival yang tidak konvensional, dan memperkuat kekuatan komunitas dan jaringannya sebagai basis pengembangan festival mereka.

Selengkapnya: https://journal.uii.ac.id/jurnal-komunikasi/article/view/6385

  1. Citra Indonesia dalam Film dan Serial Televisi Hollywood – Dr. Herman Felani

Penelitian ini bertujuan untuk membahas citra Indonesia dalam film dan serial televisi Hollywood. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan pendekatan poskolonialisme yang berdasarkan pada teori orientalisme dari Edward Said. Berdasarkan temuan penelitian ini, Indonesia digambarkan sebagai negara yang aneh, kacau, dan tertinggal, sarang penjahat, tempat yang eksotis, terpencil, mistis dan misterius, dan pusat teroris. Munculnya citra tersebut disebabkan oleh kurangnya pengetahuan orang Amerika tentang Indonesia yang disebabkan oleh distorsi media massa.

https://journal.uii.ac.id/jurnal-komunikasi/article/view/9805

  1. Pembungkaman Kaum Perempuan dalam Film Indonesia (Penerapan Teori Muted Group dalam Film “Pertaruhan”) – Ratna Permata Sari, M.A

Definisi gender kerap disamakan dengan jenis kelamin, padahal keduanya berbeda. Dalam artikel ini membahas detail bagaimana gender atau sifat yang melekat pada proses kultural yang memunculkan berbagai ketimpangan dalam masyarakat seperti marginalisasi, stereotip, kekerasan dan pelabelan negatif. Dari teori muted group, analisis dilakukan pada peran perempuan dan pembungkaman di ruang publik dalam film “At Stake (Pertaruhan)”. Film ini terdiri dari empat cerita pendek yaitu Usaha untuk Cinta, Apa Gunanya, Nona atau Nyonya, Harta Anak-Anak.

 https://journal.uii.ac.id/jurnal-komunikasi/article/view/6777

  1. Sinema Independen di Yogyakarta 1999-2008: Idealisme di Tengah Krisis Infrastruktur – Prof. Masduki

Pada periode 1999-2008, perfilman Indonesia berkembang dengan banyaknya karya kreatif dan bioskop alternatif berbasis komunitas, terutama di Yogyakarta. Penelitian di Yogyakarta menemukan tiga faktor utama: adanya komunitas independen di kalangan mahasiswa dan non-mahasiswa, munculnya bioskop alternatif seperti Kinoki dan Pusat Kebudayaan Prancis, serta adanya festival film lokal dan regional yang mendukung film indie. Produksi film independen didorong oleh kebebasan berekspresi dan kepedulian sosial-politik. Namun, keterbatasan infrastruktur dan dukungan publik menjadi tantangan yang perlu diatasi.

https://journal.uii.ac.id/jurnal-komunikasi/article/view/5649

Itulah beberapa riset yang bisa menjadi inspirasi dan rekomendasi bagi akademisi komunikasi yang tertarik dengan kajian film.

Ask the Expert: Puasa Medsos hingga Rekomendasi Konten di Bulan Ramadan

Ask the Expert merupakan tajuk baru yang memuat gagasan dari para ahli sesuai bidangnya. Expert di sini merujuk kepada dosen-dosen di Jurusan Ilmu Komunikasi UII. Dalam seri perdana, tim menunjuk Iwan Awaluddin Yusuf, S.IP., M.Si., Ph.D untuk mengulik lebih dalam terkait puasa media sosial hingga konten alternatif di bulan Ramadan sesuai kepakarannya dalam isu media digital.

Menilik data yang dirilis Digital 2025 Global Overview Report oleh We Are Social menempatkan Indonesia di posisi ke sembilan sebagai negara dengan pengguna media sosial terlama yakni 188 menit per hari (3 jam 8 menit). Selain menjadi ruang mengekspresikan diri dan mencari informasi, nyatanya media sosial tak benar-benar memiliki dampak positif seutuhnya.

Pew Research Center menyebutkan 69 persen orang dewasa dan 81 persen remaja di U.S menggunakan media sosial, jumlah tersebut turut menyumbang peningkatan risiko cemas hingga depresi.

Sementara Indonesia-National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) menyampaikan hal serupa, 1 dari 20 atau 5,5 persen (2,45 juta remaja) terdiagnosis mengalami gangguan kesehatan mental, penyebab utamanya terletak pada penggunaan media sosial.

Salah satu agar berjarak dengan media sosial, puasa medsos bisa menjadi alternatif. Secara umum puasa medsos adalah mengurangi atau membatasi aktivitas interaksi di media sosial, atau berhenti sementara (menggunakan medsos) dalam jangka waktu tertentu.

Dalam kajian Ilmu Komunikasi, langkah ini masuk dalam ranah literasi media yang mengarah pada detoks digital hingga media diet. Tujuannya tentu untuk mengurangi ketergantunganterhadap teknologi dan meningkatkan kesehatan mental.

“Bisa juga dimaknai sebagai bentuk mengurangi untuk istirahat dari medsos atau yang paling ekstrim adalah berhenti total. Tapi yang namanya puasa ada jeda dan akan kembali lagi sehingga ini adalah sebuah konsep dalam literasi media yakni detoks digital atau dalam kajian literasi media tradisional namanya media diet,” jelas Iwan Awaluddin Yusuf, S.IP., M.Si., Ph.D.

Terbilang cukup kompleks, kebiasaan mengakses media sosial tentu tak serta merta bisa ditinggalkan. Namun jika dilakukan dengan penuh komitmen berbagai hal baik akan didapatkan.

Puasa medsos bukan berarti berhenti selamanya, langkah pertama yang bisa dilakukan adalah dengan merencanakan durasi dalam jangka waktu yang ditentukan

“Itirahat untuk berinteraksi dengan media sosial bisa mengambil jarak direncanakan atau dengan durasi tertentu bisa dalam hitungan minggu, bulan, bahkan dalam skala ekstrem bisa berhenti sampai sekian tahun,” ujarnya.

“Paling tidak kita akan lebih bijak memaknai betapa berharganya kehidupan sosial yang nyata tidak berkorelasi dengan dunia maya yang selama ini ditinggalkan,” tambahnya.

Setidaknya ada tiga manfaat yang akan mengubah banyak hal ketika puasa medsos benar-benar dilakukan. Pertama tentu soal produktivitas, dengan log out pada akun medsos kita tak akan dibanjiri notifikasi bahkan daya tarik dalam mengaksesnya tentu berkurang signifikan.

Kedua, berkaitan dengan kesehatan mental. Kecemasan atas informasi negatif, bullying, hingga kesempurnaan hidup yang tak realistis akan minim dijumpai. Dan terakhir tentu soal memaknai kehiduapan nyata yang lebih berharga. Merasa semakin terkoneksi dengan orang-orang terdekat dalam lingkungan sosial.

Lantas, jika benar-benar tak mampu berpuasa medsos apa yang sebaiknya dilakukan? mengingat bahwa kehidupan tak lepas dari gadget dari tangan. Alternatif yang bisa dikendalikan tentu soal saring menyaring konten.

Di bulan suci Ramadan, banyak alternatif konten yang justru akan bermanfaat. Beberapa tawaran solusi yang disampaikan antara lain sebagai berikut:

  1. Melihat relasi atau kaitan konten di media sosila relatable dengan kebutuhan kita. Usahakan mencari informasi yang sesuai. Disiplin dalam melakukan dan mencari informasi secara aktif bukan hanya scroll mengikuti apa yang muncul di feed, laman-laman sosial media, FYP dan seterusnya tapi kita kembali ke hastag yang diperlukan.
  2. Memanfaatkan waktu dalam bulan Ramadan, mencari informasi yang memang mendukung dan kita harapkan menganai informasi-informasi tentang ibadah. Ibadah sosial maupun ibadah mahdhoh ibadah khusus kita dengan tuhan. Maupun hal produktif yang menunjang kita dalam memaknai bulan Ramadan
  3. Hindari informasi yang bahkan sekecil mungkin kembali membuat kita terdistorsi dengan hal-hal negatif dari media sosial (gambar, kata, meme, dan lainnya).
  4. Beberapa konten yang bisa dipilih bisa terkait hadist, kehidupan muslim di negara lain, keistimewaan ramadan tahun ini dengan sebelumnya.

Pada dasarnya “Media sosial bagaimanapun tetap mebawa manfaat jika digunakan sebagaimana mestinya sesuai dengan tujuan kebutuhan (informasi dan hiburan),” tandasnya.

Itulah beberapa alternatif yang bisa dipertimbangkan. Bagaimana pendapatmu tentang gagasan tersebut Comms? Tertarik untuk mencoba puasa medsos?

Abandoned and Beyond: Sebuah Buku Foto yang Merayakan Keterbengkalaian Ruang Kota

Jika buku karya dosen umumnya berisi rentetan teori dan “sangat akademis” berbeda dengan buku foto yang digarap Dr. Zaki Habibi. Tumpukan gambar yang dipotretnya lebih dari satu dekade akhirnya terbit menjadi buku foto berjudul Abandonded and Beyond.

Buku foto berkonsep artisanal photo book itu telah launching pada 2 Februari 2025 lalu dengan menggandeng beberapa pihak antara lain Gueari Galeri sebagai penerbit hingga yayasan riset visual Mata Waktu.

Dari catatan penulis, materi fotografi di dalamnya sebagian besar berasal dari proyek riset yang dilakukan di beberapa kota termasuk Yogyakarta. Pada momen itu, pemandangan ruang terbengkalai di kota menarik perhatiannya. Hingga, foto-foto yang terkumpul sempat dipamerkan pada gelaran COMART 2015 di Taman Budaya Yogyakarta (TBY).

Abandoned and Beyond: Sebuah Buku Foto yang Merayakan Keterbengkalaian Ruang Kota

Launching buku Abandoned and Beyond

“Kalau ditanya total prosesnya, 10 tahun,” ungkap Dr. Zaki Habibi, mengenang perjalanan panjangnya.

Setelah dibiarkan tersimpan cukup lama, pertengahan 2023 menjadi babak baru bagi foto-foto ruang terbengkalai. Workshop yang digagas Gueari Galeri bersama Zontiga di Kuala Lumpur menentukan nasib karya Abandonded and Beyond. Proses satu setengah tahun, dengan empat kali pembuatan dummy book beberapa elemen-elemen sensoris dan narasi diciptakan untuk menggugah pembaca.

Satu hal yang diimani dalam buku foto garapannya, tidak seluruhnya berupa gambar. Dari workshop pentingnya desain dan kurasi serta mengurutkan foto menjadi tantangan tersendiri agar narasi sesuai. Sehingga dalam prosesnya tak semua foto terpakai.

“Hasil dari workshop itu yang membuka mata bahwa buku foto enggak harus isinya hanya foto. Bentuk workshopnya digali sama mentornya sampai peserta juga menggali sisi-sisi lainnya, yang paling sulit ada tahapnya mengkonsep, design thingking, selecting, curating, sequencing di fase mengurutkan ini baru ketahuan foto-foto yang kusubmit enggak semuanya bisa kepakai karena buku unu butuh elemen lain,” jelasnya.

90 persen foto yang termuat diambil menggunakan kamera analog yang saat itu tengah terbengkalai juga lantaran sebagian masyarakat beralih dengan kamera digital. Bagian ini menambah narasi pada keterbengkalaian ruang kota.

Pengalaman sensoris dalam buku ini diwujudkan melalui berbagai elemen non cetak seperti bungkus plastik terbakar, karton bekas hingga lakban terbakar yang dikumpulkan dari satu tahun terakhir.  Bahkan beberapa halaman dilengkai QR Code yang isinya track audio dari beberapa foto yang terpotret. Elemen sensoris itu mewakili sentuhan, bau, dan suara.

Dr. Zaki Habibi berujar “Tujuan bukunya bukan informatif, makanya tidak ada caption, tidak ada lokasinya,” ujarnya. Buku ini lebih berfungsi sebagai undangan untuk merenung dan ber-refleksi tentang kondisi kota yang sering terabaikan.

Dari aspek teknis, pendekatan artisanal handmade melibatkan beberapa ahli. Misalnya dalam penjilidan ada Tarlen Handayani atau Vitarlenology seorang ahli konservasi buku, untuk elemen-elemen yang menggunakan teknik pembakaran dibantu oleh Agung Wibowo seorang pengrajin, serta Haya Habibi sang putri yang bertugas menggoreskan efek sobekan-sobekan pada sampulnya.

Buku ini bukan hanya tentang foto atau dokumentasi visual semata, tetapi tentang bagaimana sebuah narasi dan pemikiran mendalam dapat dihadirkan dalam bentuk buku yang menggugah panca indera pembaca. Dengan elemen yang sangat personal dan penuh makna, karya ini adalah perwujudan dari perjalanan panjang yang telah digali selama lebih satu dekade.

Gara-gara Skripsinya yang Unik Alumni Ilkom Diundang Podcast Raditya Dika, Bagaimana Prosesnya?

Empat tahun berlalu skripsi alumni Ilmu Komunikasi UII menjadi perhatian publik. Riset berjudul Simbolisme Bromance Raditya Dika dan Pandu Winoto dalam Channel YouTube Raditya Dika membawa Pandu Bagus Pratama duduk di studio dalam podcast Raditya Dika.

Ia diundang oleh Raditya Dika untuk melakukan rekaman podcast pada 17 Februari 2025, akhirnya podcast bertajuk Saya dan Pandu Jadi Objek Penelitian tayang pada 28 Februari lalu.

Menariknya, banyak hal-hal yang tak terungkap dalam podcast tersebut. Ia mengaku gugup harus berhati-hati untuk menghindari komentar yang tak diinginkan oleh netizen di kolom komentar.

Hal yang tak terungkap di Podcast Raditya Dika

Menariknya, sejak awal Pandu ingin memberitahu Raditya Dika tentang skripsi yang telah digarap. Namun, keinginan itu dikubur dalam-dalam karena ia berfikir tak akan direspon. Ternyata, keinginannya justru terwujud lewat unggahan Raditya Dika di Instagram.

Selengkapnya: https://communication.uii.ac.id/simbolisme-bromance-raditya-dika-dan-pandu-winoto-dalam-channel-youtube-raditya-dika/

“Dari dulu sebenarnya sudah ingin mengirim DM Bang Radit tapi kayaknya enggak mungkin deh. Gak mungkin direspon segala macem,” ujarnya saat dihubungi lewat Zoom Meeting.

Selain itu, Pandu yang terlihat banyak lupa dengan isi skripsinya bukan karena tak membaca ulang hal itu dilakukan agar podcast berjalan natural. Empat tahun berlalu akan sangat tidak realistis jika hafal keseluruhan.

“Sebenarnya lupanya bukan karena aku lupa udah lama, lupanya karena nervous. Sedikit (membaca ulang) enggak terlalu, karena aku memang ingin natural,” ucapnya.

Proses pembuatan podcast berlangsung singkat, tim dari Raditya Dika hanya memberikan briefing untuk mengikuti alur pertanyaan yang dilontarkan Raditya Dika maupun Pandu Winoto.

“Itu benar-benar natural banget, sama tim debriefing dulu “kamu nanti ikuting Bang Radit saja”. Sebelumnya juga enggak ngobrol dulu sama Bang radit Bang Pandu. Dan setelah itu juga enggak ketemu lagi, ngobrol dikit selesai,” katanya mengingat proses take video podcast.

Pembawaan Pandu yang malu-malu dan sedikit gugup bukan tanpa alasan. Podcast tersebut akan ditonton netizen di seluruh Indonesia.

“Itu memang aku ditanya malu-malu, memang aku tidak mau ngebuka semuanya. Malu lah, kalo semua dijawab. Aku bawa diriku sendiri dan ada nama kampus, nama-nama teman aku takutnya mereka kebawa aku jadi beban, aku enggak mau,” jelas Pandu

Meski demikian, undangan dari raditya Dika tak disia-siakan. Baginya itu merupakan peluang dan kesempatan emas.

“Yang aku harapkan enggak usah muluk-muluk itu priviledge banget, aku juga ngefans sama bang Radit sama bang Pandu dan suka nonton kontennya. Dan ke depannya pasti aku dapet relasi dari hal itu, mungkin ada kerjaan atau sekedar kenalan saja tidak apa-apa. Dan ternyata memang benar setelah diundang ada yang hubungin, kenal juga sama timnya beberapa. Jadi lebih banyak orang yang tahu,” tandasnya.

Ternyata setelah podcast tayang, jumlah pengikutnya di media sosial mengalami kenaikan mesti tak banyak.

“Pasti (followers Instagram meningkat) meskipun tidak banyak, ratusan sih. Tapi trafficnya naik banget. Tiba-tiba ada orang random mengirim DM,” tandasnya.

Bagi kamu yang penasaran dengan podcast alumni Ilmu Komunikasi, klik laman berikut ya Comms: https://www.youtube.com/watch?v=cQZqoUI2PDo

Battle of the Best 2025

Mahasiswa Ilmu Komunikasi UII, Dzaki Muhammad Arafat berhasil membawa pulang medali perak dalam kompetisi nasional sepatu roda.

Ia menempati posisi kedua kategori freestyle slide senior men dalam “Battle of the Best 2025” yang digelar di PTC Mall Palembang pada 21-25 Februari 2025 lalu.

Battle of the Best 2025 merupakan Inline Freestyle National Championship yang cukup populer dalam komunitas sepatu roda di Indonesia.

Beberapa bulan terakhir Dzaki tercatat wara-wiri dalam berbagai kompetisi sepatu roda. Mulai dari Piala Ibu Negara di Bandung hingga PON Aceh September lalu. Meski demikian langkahnya tak selalu mulus, kegagalan juga sempat dialaminya. Maka, prestasi di Battle of the Best 2025 menjadi hadiah atas kegigihannya.

“Sudah ke sekian kalinya (mengikuti kompetisi), Sebelumnya mengikuti kejuaraan Piala Ibu Negara di Bandung membawa provinsi DI Yogyakarta dengan meraih medali perak dan Bulan September lalu mengikuti Pekan Olahraga Nasional (PON) XXI di Aceh membawa provinsi DI Yogyakarta,” ujarnya.

Mahasiswa angkatan 2021 tersebut mengaku telah menekuni olahraga sepatu roda sejak duduk di bangku sekolah dasar. Ia juga pernah bergabung dalam sebuah klub untuk mengasah skillnya.

“⁠Semenjak kelas 3 SD saat di Lampung usia 9 tahun,” tambahnya.

Di tengah-tengah kesibukannya menggarap skripsi Dzaki mengaku kesulitan membagi waktu untuk berlatih. Meski demikian keduanya menjadi prioritasnya, ia berlatih secara rutin setiap malam.

“Mengatur waktu kuliah dengan latihan sangat sulit dan harus mempertimbangkan banyak hal tetapi kalau semua bisa di manage dengan baik pasti bisa dijalani dengan teratur, seperti kuliah dari pagi sampai sore dan waktu latihan pada malam hari,” ucap Dzaki.

Belajar dari pengalaman sebelumnya, kompetisi ini berhasil ditaklukkan. Pada kesempatan ini Dzaki mengaku senang. Pengalaman bertemu dengan atlet-atlet nasional menambah wawasan dan relasi baru untuknya.

“Kesan dalam kompetisi ini sangat senang dan meriah karna bisa bertemu dengan teman-teman dari berbagai provinsi,” tandasnya.

Saat ini Dzaki tak tergabung dalam klub manapun sehingga ia bisa mewakili provinsi manapun dengan perjanjian kontrak. Dalam Battle of the Best 2025 dirinya menerima kontrak dari klub Joglos Yogyakarta.

Komik

Kasus pelecehan seksual di Indonesia menjadi isu yang terus disuarakan. Berbagai gerakan untuk penuntasan dan penegakan keadilan berkali-kali dilakukan oleh masyarakat sipil.

Data yang ditampilkan pada Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni-PPA) sepanjang tahun 2025 (1 Januari – 4 Maret) jumlah kasus kekerasan seksual yang tercatat (dilaporkan) mencapai 1.721 dengan korban perempuan maupun laki-laki.

Resah dengan kondisi kekerasan seksual yang tak kunjung mereda, dua mahasiswa Ilmu Komunikasi memilih membuat komik edukatif terkait pelecehan seksual sebagai syarat kelulusan atau setara dengan skripsi.

Dua mahasiswa tersebut adalah Hanifatul Ilmi (Ilmi) yang menciptakan komik berjudul Tiga Permata Luxiya. Segmentasi dalam komik ini adalah anak-anak, ceritanya yang unik perpaduan fiksi dan keseharian memberikan contoh yang mudah diterima.

Komik selanjutnya berjudul The Unbearable Unkindness: Sexual Violence Educational Comic yang digarap olehKiko Javier (Kiko). Menyasar pembaca usia 18 tahun ke atas, cerita yang disajikan cukup beragam mulai dari pelecehan di tempat kerja hingga bullying di tempat umum.

Meet the Authors

Kenapa memilih komik sebagai tugas akhir kamu? apakah kamu sudah lama menekuni bidang ini?

Ilmi       : Pemilihan komik sebagai tugas akhir karena melihat peluang berkarya lewat komik dari karya terdahulu milik Bang Rosi yang berjudul Tata Basa. Dulu saya tidak tau kalau di UII bisa projek komik juga, saya baru mengetahui di UII bisa membuat komik dari Pak Ali di kelas Penulisan Kreatif. Kebetulan saya hobi gambar dari kecil, dan beberapa kali menerbitkan komik pemula di Webtoon Canvas.

Kiko       : Saya memilih komik karena saya merasa komik adalah medium yang sangat efektif untuk menyampaikan pesan. Visual dan narasi dalam komik dapat membuat topik yang berat atau kompleks lebih mudah diakses dan dipahami oleh banyak orang. Saya sudah tertarik dengan komik sejak lama, baik sebagai pembaca maupun sebagai pembuat, dan saya merasa bahwa menggabungkan minat saya dengan tugas akhir bisa menjadi cara yang baik untuk mengeksplorasi lebih dalam dan memperdalam keterampilan saya.

Alasan utama kamu mengabil isu pelecehan seksual?

Ilmi       : Karena marak banget pelecehan seksual baik di media online maupun lingkungan saya. Menargetkan anak usia sekolah dasar, karena banyak kejadian anak sekolah yang “dianggap remeh”, namun berdampak besar dikemudian hari. Seperti pada episode mengibaskan rok, itu baru satu contoh kejadian di sekolah yang saya tuangkan dalam komik, masih banyak yang belum saya tuangkan.

Kiko       : Isu pelecehan seksual adalah masalah yang sangat relevan dan penting untuk dibahas, terutama dalam konteks kesadaran sosial yang terus berkembang. Saya merasa banyak orang yang masih belum sepenuhnya memahami dampak yang ditimbulkan oleh pelecehan seksual, dan banyak korban yang merasa kesulitan untuk berbicara tentang pengalaman mereka. Dengan memilih isu ini, saya berharap bisa memberikan ruang bagi percakapan tentang trauma dan pentingnya empati, serta mengedukasi masyarakat tentang cara-cara mencegahnya.

Inspirasi membuat komik tersebut dan prosesnya berapa lama?

Ilmi       : Inspirasi karya ini, dari kejadian tahun 2009 di sekolah dasar, saya melihat kakak kelas yang mengangkat rok teman sekelasnya dan dilihat banyak anak. Lama pengerjaan komik 1,5 tahun, dengan semua yang saya lalui, kerja offline, dan masih banyak lainnya.

Kiko       : Inspirasi saya datang dari pengalaman korban pelecehan seksual yang bersuara di media sosial dan kisah nyata yang sering saya dengar dari teman-teman maupun berita yang ada di sekitar kita. Saya ingin menciptakan sebuah narasi yang bisa menggugah emosi dan membuat pembaca lebih peka terhadap isu ini. Proses pembuatan komik ini memakan waktu sekitar satu tahun, dari riset awal, penulisan cerita, hingga tahap ilustrasi dan finishing. Selama proses itu, saya banyak berdiskusi dengan dosen pembimbing untuk memastikan cerita yang saya angkat tetap akurat dan sensitif.

Harapanmu dengan terbitnya komik ini?

Ilmi       : Harapan saya, jika ada penerbit yang mau menerbitkan komik ini, saya harap dapat melibatkan idola saya, Ochi Rosdiana untuk mendapatkan royalti. Karena beliau, saya dapat menyelesaikan komik dengan penuh inspirasi hanya dengan memasukkan nama Rosdiana ke dalam komik saya.

Kiko       : Saya berharap komik ini bisa membuka mata banyak orang tentang pentingnya menghargai batasan dan mengenali tanda-tanda pelecehan seksual. Saya juga ingin komik ini bisa menjadi sarana edukasi dan refleksi diri bagi pembaca. Dengan terbitnya komik ini, saya berharap lebih banyak orang yang merasa terdorong untuk berbicara dan mendukung korban pelecehan, serta mendorong adanya perubahan dalam cara kita memperlakukan satu sama lain.

Penasaran dengan karya-karya yang diciptakan mahasiswa Ilmu Komunikasi UII? Kamu bisa mengaksesnya melalui PDMA Nadim ya Comms.

Mahasiswa Ilmu Komunikasi Exchange ke University of Pisa, ‘Mengenalkan Dangdut hingga Aksi Solidaritas Palestina’

Guevara Tamtaka Warih Sadana mahasiswa Ilmu Komunikasi UII telah menyelesaikan exchange program di University of Pisa, Italia pada akhir tahun 2024 lalu. Banyak cerita dan pengalaman menarik yang ia dapatkan. Mulai dari cerita tentang pengalaman akademik dan non akademik.

Kegiatan belajar di University of Pisa cukup berbeda dengan di Indonesia. Menurut pengakuan Guevara, ia tak mendapat tugas setelah usai kelas. Bahkan hampir seluruh ujian dilakukan secara lisan. Tentu saja ini tantangan mengasah skill komunikasi hingga memetakan konsep berfikir logis agar pertanyaan terjawab dengan tepat.

Soal kultur di Italia cara berkomunikasi antara mahasiswa dan dosen dinilai lebih luweh. Meski demikian menjaga etika adalah utama.

Hal menarik lain dari pengalaman 6 bulan di Italia adalah keterlibatannya dalam beberapa kegiatan sosial. Ia sempat menjadi konseptor suatu even dan memasukkan musik dangdut dalam program tersebut. Sementara untuk aksi sosial ia turut bergabung dalam solidaritas untuk hak saudara-saudara di Palestina.

Mahasiswa Ilmu Komunikasi Exchange ke University of Pisa, ‘Mengenalkan Dangdut hingga Aksi Solidaritas Palestina’

IISMA University of Pisa. Foto: Dok Pribadi

Penasaran dengan ceritanya? Simak cerita dari Guevara,

Insight yang kamu dapatkan dari exchange di University of Pisa?

Selama 6 bulan menjalani program pertukaran di Pisa, aku belajar banyak hal. Mulai dari komunikasi yang lebih cair, berpikir kritis dan reflektif (dari matkul filsafat), lebih peka terhadap budaya, dan sadar kalau belajar tidak hanya soal akademik, tapi juga tentang memahami diri sendiri.

Terkait kultuk akademik, apa hal yang berbeda dengan di Indonesia?

Untuk kultur belajar di sini aku rasa kurang lebih sama dengan Indonesia. Yang membedakan adalah di sini tidak ada tugas, mahasiswa diwajibkan untuk belajar mandiri (tapi tidak sedikit yang baru mulai belajar ketika mendekati ujian hahaha). Komunikasi ke dosen lebih luwes, mungkin karena di sini semua orang santai dan unggah-ungguhnya tidak sekeras Indonesia, tapi tetap aja nggak boleh semena-mena ke dosen, hahahah! Yang terakhir, semua ujian dilakukan dengan lisan (setidaknya semua ujianku lisan, walaupun ada satu atau dua matkul temanku yang ujian tertulis). Menurutku ini agak menyebalkan karena bisa saja dosennya bias terhadap siswanya sehingga nilainya tergantung mood dosen.

Selain kegiatan akademik, pengalaman sosial apa yang telah didapatkan?

Salah satu kegiatan yang aku lakukan di Pisa adalah menjadi panitia acara CULTURISE untuk memperingati hari pahlawan. Aku berperan di divisi kreatif, dan acaranya seru banget! Kami berbagi pengetahuan tentang pahlawan-pahlawan indonesia, menyajikan makanan tradisional, salah satunya pecel (ternyata orang luar negeri suka pecel juga, guys!), serta memperkenalkan budaya indonesia lewat berbagai booth, seperti batik (praktik nyanting), wayang, dan aksara kuno (lontara, sunda, dan jawa!). Yang terakhir, kami juga menampilkan seni tari Indonesia, lho! Aku bertanggung jawab mengonsep semua hal yang berhubungan dengan aspek kreatif dan (yang paling penting) mengajari bule lagu-lagu dangdut!

Selama 6 bulan, salah satu pengalaman yang paling berkesan adalah mengikuti protes solidaritas untuk Palestina, di mana kami berjalan cukup jauh untuk menyebarkan kesadaran akan penindasan saudara-saudari kita di sana. Viva Palestine!

Pesan untuk memberi semangat teman-teman di Prodi Ilmu Komunikasi UII

Kejarlah pengalaman sebanyak mungkin, sejauh mungkin. Keluarlah dari zona nyamanmu itu. Keluarlah dari desamu, kotamu, provinsimu, pulaumu, atau negaramu. Jangan biarkan kakimu mengakar, kobarkanlah, biarkan mengembara dan berlayar! Tetaplah kau hunus tekadmu macam semangat Sisifus, kepakkanlah harapanmu macam sayapnya Icarus! Penuhi hidupmu dengan momen-momen berharga! Kejar mimpimu!

Itulah secuil pengalaman seru dari Guevara selama menjalani exchenge program di Italia, bagaiamana tertarik mengikuti jejaknya, Comms?

 

Chandigarh University India

Dosen Prodi Ilmu Komunikasi UII, Dr. Herman Felani, S.S., M.A. berkesempatan menjadi guest lecture di Chandigarh University, India pada 1 hingga 14 Februari 2025. Berbagai agenda akademik dilakukan mulai pengajaran rutin, workshop, hingga mengisi podcast.

Program bertajuk International Faculty Exchange Program (IFEP) di Chandigarh University India tersebut merupakan momen bagi para akademisi khususnya dosen bidang tertentu yang akan melakukan pengajaran setidaknya dua minggu.

Dengan background pendidikan Sastra hingga American Studies, Dr. Herman Felani ditempatkan di program studi yang mempelajari sastra di University Institute of Liberal Arts and Humanities. Tugas utama di fakultas tersebut mengajar dua kelas yakni untuk kelas Master dan Doktoral.

“Bekerja lintas prodi, mereka melihat latar belakang American Studies jadi bertemu mahasiswa S3 jurusan (English) Sastra Inggris dan Masternya English literature. Tapi kajian riset mereka ada hubungannya dengan media,” ujarnya.

Di kelas Master, Dr. Herman Felani banyak memberikan materi terkait pengembangan penelitian yang akan dilakukan oleh mahasiswa. Secara umum riset sastra di Chandigarh University lebih banyak dilakukan pada objek printed material, melihat hal tersebut perspektif terkait objek visual dan media digital dibahas lebih mendalam. Sementara di program Doktoral yang berisi 12 mahasiswa, lebih dominan dengan sesi konsultasi terkait disertasi.

Culture Akademik India dan Segala Stereotypenya

Chandigarh University merupakan private university terbaik di India, berjarak sekitar 20 kilometer dari pusat kota 80 persen mahasiswa tinggal di asrama. Culture akademik di sana memungkinkan para mahasiswa mendapat pengalaman internasional. Pasalnya, lewat program IFEP ratusan dosen dan profesor di seluruh dunia dihadirkan setiap tahun.

Dari cerita Dr. Herman Felani inisiatif belajar yang tinggi tak hanya ditunjukkan oleh mahasiswa dan dosen saja, bahkan staf turut bergabung dalam beberapa workshopnya.

Dalam momen workshop Expert Talk: Real vs Reel ‘Perspectives on the Contemporary Digital’ yang dihadiri oleh mahasiswa, dosen, dan staf menjadi momen interaktif. Pro kontra media sosial hingga perkembangan AI yang akan mempengaruhi kreativitas manusia menjadi topik yang menarik untuk diperdebatkan.

Agenda lainnya yakni workshop khusus dosen dan mahasiswa yang akan mempublikasikan hasil risetnya pada jurnal internasional. Topiknya tentu masih berhubungan dengan kajian film dan media digital.

“Bagaimana memasukkan film, media digital, komunikasi visual ke dalam kajian riset sastra dan bahasa linguistik diberikan ke mahasiswa S3 dan dosen,” ucapnya.

“Kesempatan itu saya gunakan untuk networking mencari editor serta artikel untuk jurnal kita baik AJMC, Jurnal Komunikasi, dan Jurnal Cantrik. Dan ada beberapa dosen yang bersedia menjadi editor kita dari Jordan, Kazmir,” tambahnya.

Lantas bagaimana tentang stereotype di India yang banyak ditampilkan di media sosial? Nyatanya dari pengalaman Dr. Herman Felani semua itu terpatahkan.

“Selama ini kita punya stereotype tertentu tentang india di sosmed kita melihat makanannya yang tidak higienis, street food yang begitu, dan orangnya unik-unik. Menariknya stereotype buat saya yang datang sebagai educator melihatnya semua terpatahkan. Dari sisi keamanan juga sangat baik,” tandasnya.

Hari Peduli Sampah Nasional 2025, Bagaimana Ilmu Komunikasi Berkontribusi?

Tanggal 21 Februari diperingati sebagai Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN), momentum ini menjadi refleksi untuk bijak terhadap sampah yang kita hasilkan hingga dampaknya terhadap lingkungan.

HPSN diinisiasi oleh Kementeroan Lingkungan Hidup dan Kehutanan atas insiden longsornya gundukan sampah setinggi 60 meter dan panjang 200 meter di TPA Leuwigajah, Cimahi, Jawa Barat pada 21 Februari 2005. Akibatnya, puluhan rumah berjarak 1 kilometer tertimbun dan 157 orang dinyatakan meninggal dunia.

Data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tahun 2024, dari 277 kabupaten/kota si Indonesia mencatat timbunan sampah nasional mencapai 28,98 juta ton. Sementara timbunan sampah nasional 38,08 persen atau 11,03 juta ton.

Berbagai upaya penanganan sampah dilakukan, mulai dari pengelolaan sampah rumah tangga hingga inovasi Bank Sampah (di Indonesia sejak 2008), Mesin Prolisis (mengubah sampah menjadi bahan bakar), Startup Pengelolaan Sampah dan berbagai inovasi di setiap daerah.

Lantas bagaimana Ilmu Komunikasi turut berkontribusi dalam penyelesaian persoalan ini?

Dalam beberapa kajian seperti Komunikasi Pemberdayaan, Literasi Media, hingga Komunikasi Lingkungan cukup aplikatif dalam mengurai persoalan dan mampu memberi tawaran solusi.

Ilmu Komunikasi memang tidak menciptakan mesin penghancur sampah, namun dengan kajian ini mindset green skill menjadi modal awal.

Selengkapnya: https://communication.uii.ac.id/mengenal-green-skills-mindset-penting-untuk-dipahami-seluruh-generasi/

Kontribusi Ilmu Komunikasi dalam Isu Lingkungan

Di Prodi Ilmu Komunikasi UII, beberapa dosen aktif mendalami isu lingkungan dan pemberdayaan. Untuk mengetahui informasi tersebut dapat diakses pada link https://communication.uii.ac.id/dosen/

Beberapa pemberdayaan yang pernah dilakukan juga fokus dalam penyelesaian isu sampah di Yogyakarta. Misalnya Kampanye Media Sosial Guna Penanganan Sampah di Kota Yogyakarta yang dilakukan oleh Ida Nuraini Dewi Kodrat Ningsih, S.I.Kom, M.A.

Jumlah produksi sampah di DIY yang terus meningkat menjadi masalah yang tak terselesaikan. Data menunjukkan tahun 2019 produksi sampah mencapai 644,69 ton per hari, sementara 2023 meningkat menjadi 1.231,55 ton perhari. Jumlah tersebut didominasi oleh sampah sisa produksi rumah tangga. Sayangnya, hal ini tak menjadi perhatian serius bagi masyarakat.

Menggandeng Dinkominfosan Kota Yogyakarta untuk melakukan kampanye di media sosial terkait penanganan sampah. Hal ini dilakukan dengan pelatihan pembuatan konten video edukasi yang mendorong kesadaran masyarakat. Strategi yang digunakan adalah third party endorser, yakni sebuah lembaga menggunakan suara pihak ketiga guna mendukung program. Pemberdayaan ini dilakukan sejak April hingga Oktober 2024.

Pengabdian lainnya dilakukan oleh Narayana Mahendra Prastya, S.Sos, M.A yakni Sosialisasi Pengelolaan Sampah Secara Mandiri di Kota Yogyakarta. Dilatarbelakangi oleh ditutupnya TPA Piyungan membuat masyarakat di Yogyakarta kebingungan.

Sosialisasi yang dilakukan terkait pembuatan ecobrick, pengelolaan sampah plastik, serta promoting zero waste lifestyle dilakukan di tiga kelurahan (Wirobrajan, Karangwaru, Baciro) menggandeng mahasiswa Ilmu Komunikasi dilakukan pada mulai Mei hingga Juni 2024. Dengan sosialisasi tersebut harapannya, masyarakat di Yogyakarta mampu menangani masalah sampah secara mandiri.

Di UII, kampanye terkait kesadaran lingkungan turut dilakukan dengan tajuk UII Mengerti Bumi. UII Mengerti Bumi adalah sebuah inisiatif yang mengajak seluruh civitas akademika UII untuk lebih memahami dan menghargai bumi serta kelestariannya. Mengangkat isu pentingnya kesadaran akan pengelolaan lingkungan yang keberlanjutan, serta mendorong tindakan nyata untuk menjaga kelestarian bumi.

Dosen Prodi Ilmu Komunikasi Terima Gelar Profesor Bidang Komunikasi Publik

Kabar Bahagia datang dari civitas akademika Universitas Islam Indonesia (UII), salah satu dosen dari Prodi Ilmu Komunikasi menerima gelar akademik tertinggi profesor.

Melalui SK Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 136905/M/07/2024 tentang kenaikan jabatan akademik dosen Dr. Subhan Afifi, S.Sos., M.Si resmi meraih gelar guru besar atau profesor dengan kepakaran Komunikasi Publik.

Seremonial penerimaan SK Profesor telah dilakukan pada Selasa, 18 Februari 2025 oleh Rektor Universitas Islam Indonesia, Prof. Fathul Wahid di Gedung Kuliah Umum Sardjito.

Dengan capaian yang diraih Dr. Subhan Afifi, S.Sos., M.Si, Prodi Ilmu Komunikasi UII telah mencatatkan dua profesor dalam kurun dua tahun terakhir. Ini merupakan prestasi yang patut untuk disyukuri.

Prof. Dr. Subhan Afifi, S.Sos., M.Si.

Klaster Riset
Health Communication, Public Relations, Islamic Communication

Pendidikan
S1 Universitas Diponegoro
S2 Universitas Indonesia
S3 University of Malaya