Kunjungan dari Ilmu Komunikasi UMS ‘Benchmarking Pengelolaan Prodi hingga KTW Mahasiswa’

Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII), menerima kunjungan dari Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS). Kunjungan pada 21 Agustus 2025 tersebut secara spesifik bertujuan untuk benchmarking pengelolaan program studi, strategi peningkatan kelulusan tepat waktu mahasiswa (KTW) mahasiswa, luaran skripsi berbasis karya, hingga pengelolaan laboratorium.

Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi UII, Iwan Awaluddin Yusuf, S.IP., M.Si., Ph.D menyambut kedatangan rombongan dari UMS. Harapannya pertemuan ini mampu membuka berbagai peluang kolaborasi.

“Kita sama-sama belajar proses pertemuan ini membuka peluang kolaborasi yang strategis dan saling melengkapi. Tidak ada kampus yang serba sempurna, oleh karena itu kita perlu berdiskusi untuk membuka peluang kerja sama baik dalam aspek praktis maupun akademis, serta saling melengkapi kekurangan masing-masing. Beberapa inovasi dan keberhasilan lulusannya dapat menjadi bahan pembelajaran bersama,” ungkapnya.

Merespon sambutan, Sidiq Setyawan, M.I.Kom selaku Ketua Prodi Ilmu Komunikasi UMS memaparkan situasi di lembaganya. Khususnya terkait proporsi mahasiswa dan dosen, serta berbagai hambatan dalam kurikulum dan pengelolaannya.

“Kami memiliki 21 dosen (homebas), beberapa di antaranya sedang dalam proses melanjutkan studi,” jelasnya.

“Fakultas Komunikasi dan Informatika mendirikan Pusat Studi Informatika Sosial yang terbuka untuk kolaborasi riset, pengabdian masyarakat, skripsi, serta revisi kurikulum setiap lima tahun sekali guna mempersiapkan lulusan yang adaptif terhadap perkembangan teknologi dan informasi,” tambahnya.

Strategi Jurusan Ilmu Komunikasi Mempersiapkan KTW Mahasiswa

Poin dalam diskusi tersebut bertujuan untuk mengaplikasikan berbagai strategi kelulusan tepat waktu mahasiswa. Dr. Zaki Habibi, sebagai Kaprodi Ilmu Komunikasi UII menjelaskan secara detail penanganan persoalan tersebut.

Dimulai dengan proporsi dosen dan staf dengan berbagai keahlian termasuk sistem perekrutannya. Keterlibatan staf dalam kerja-kerja pendampingan mahasiswa serta pengelolaan laboratorium dan PDMA Nadim yang mendukung tugas akhir mahasiswa.

Di tengah regulasi dari pemerintah yang dinamis, kurikulum di Jurusan Ilmu Komunikasi UII mengacu pada kurikulum 2023.

“Kami terus belajar dan bertumbuh dengan pendekatan strategis dan kultural sekaligus, serta memahami logika dan regulasi kurikulum dan akreditasi yang kerap berubah,” jelasnya.

Kurikulum disesuaikan dengan kebutuhan mahasiswa dan zaman, hasilnya dapat diketahui melalui tracer study (survei). Jika pada beberapa institusi menempatkan magang sebelum tugas akhir, Jurusan Ilmu Komunikasi UII justru menempatkan di akhir. Selain membuat mahasiswa lebih fokus dengan tugas akhir, magang yang bersifat praktik kerap membuat mahasiswa lanjut untuk melakukan kerja profesional.

“Dalam merancang program dan regulasi, kami jujur bahwa kurikulum kami masih bersifat trial dan harus adaptif serta dapat disesuaikan. Kurikulum 2023 menghadirkan perubahan alur mata kuliah, namun bukan berarti substansinya hilang. Kami menempatkan skripsi dan magang di bagian akhir. Perubahan dari konsentrasi menjadi bidang minat ini kami evaluasi melalui hasil tracer study untuk memastikan cakupan kurikulum sudah memadai,” paparnya.

Strategi lainnya adalah menciptakan jalur kelulusan yang beragam mulai dari skripsi, projek karya komunikasi, karya bersama mitra internasional, penulisan artikel jurnal, hingga magang yang laporannya setara skripsi. Hal itu dilakukan untuk memperluas pilihan dan minat mahasiswa.

Usai berdiskusi, rombongan UMS diajak berkeliling dan melihat langsung bagaimana fasilitas pendukung untuk mahasiswa, mulai dari PDMA Nadim dengan berbagai karya dan koleksi, laboratorium, hingga ruang audio visual.

Pidato Pengukuhan Prof. Subhan Afifi: Komunikasi Publik Bidang Kesehatan ‘Kajian Empiris dan Arah Strategis di Era Digital

Komunikasi publik dalam bidang kesehatan di Indonesia masih termarjinalkan. Tak populer seperti komunikasi politik maupun ekonomi. Padahal komunikasi publik merupakan kunci pada mitigasi krisis. Gagasan ini tertuang dalam pidato pengukuhan Guru Besar Prof. Subhan Afifi, S.Sos., M.Si pada 14 Agustus 2025 di Auditorium Kahar Mudzakir UII.

Beliau merupakan dosen sekaligus Ketua Program Studi Magister Ilmu Komunikasi, UII yang beberapa tahun terakhir fokus dalam kajian komunikasi publik bidang kesehatan. Dalam pidatonya yang bertajuk Komunikasi Publik Bidang Kesehatan ‘Kajian Empiris dan Arah Strategis di Era Digital kegagalan komunikasi publik pada pandemi Covid-19 memicu ketidakpercayaan masyarakat kepada pemerintah.

“Komunikasi publik merupakan pilar penting dalam mendorong partisipasi aktif masyarakat untuk menjaga kesehatan bersama. Namun, meskipun krisis kesehatan kerap muncul akibat kegagalan komunikasi, kajian komunikasi publik di Indonesia masih termarjinalkan, kalah dominan dibandingkan ekonomi politik dan health communication. Padahal, pengembangan kajian ini sangat krusial untuk menghadapi persoalan kompleks kesehatan secara efektif,” ujar Prof. Subhan Afifi.

Pandemi Covid-19 yang melanda dunia tahun 2020 hingga 2022 menjadi krisis besar yang tak hanya berdampak pada kesehatan, tetapi juga sosial, ekonomi, dan politik. Di Indonesia, tantangan komunikasi publik selama pandemi menunjukkan adanya pesan kontradiktif, ketidakkonsistenan, campur tangan politik dan ekonomi, hingga ketidakmampuan pemerintah membangun narasi yang efektif dan empatik.

“LP3ES (2020) mencatat adanya 37 pernyataan menyesatkan atau kontradiktif pada fase awal pandemi, yang berdampak pada erosi kepercayaan masyarakat,” ujarnya.

Kajian ini tak sekedar pertukaran pesan, melainkan sarana membangun kesadaran partisipasi masyarakat dalam mengubah perilaku kesehatan. Di era digital, komunikasi keseahatan mengalami berbagai tantangan seperti infodemic (terlalu banyak informasi), fragmentasi narasi, hingga misinformasi di media online. Dalam kondisi tersebut dibutuhkan solusi yang memadukan komunikasi risiko, literasi digital, hingga partisipasi masyarakat.

Prof. Subhan Afifi bersama tim telah melakukan kajian empriris bidang komunikasi kesehatan selama lima tahun terakhir. Penelitiannya telah dipublikasikan di jurnal internasional bereputasi, jurnal nasional terakreditasi, dan prosiding konferensi internasional ini mengkaji perilaku pencarian informasi kesehatan di media sosial, khususnya terkait stunting dan kesehatan perempuan Gen Z. Studi menyoroti pentingnya kredibilitas sumber, kemudahan akses, serta adaptasi pesan dengan budaya lokal.

Penelitian lain fokus pada perilaku pencegahan COVID-19, penggunaan media digital dalam komunikasi kesehatan, dan kepuasan pengguna layanan kesehatan digital, menekankan peran kualitas komunikasi dokter-pasien dan kepercayaan pada platform.

Pandemi COVID-19 memacu perubahan strategi komunikasi kesehatan ke media digital yang efektif bila dirancang kontekstual dengan teknik persuasi emosional dan visual. Model perilaku kesehatan yang dikembangkan menggabungkan faktor psikologis, sosial, dan teknologi dalam memahami perilaku pencegahan dan pencarian informasi.

Secara keseluruhan, kajian ini menegaskan bahwa komunikasi kesehatan di era digital memerlukan sinergi antara riset empiris, adaptasi budaya, dan inovasi teknologi, sebagai dasar strategi komunikasi kesehatan berkelanjutan, terutama di negara berkembang.

Menjawab tantangan komunikasi publik bidang kesehatan, berikut beberapa rekomendasi kebijakan yang ditawarkan.

Poin-Poin Rekomendasi Kebijakan

  1. Pemanfaatan Ekosistem Digital:

Optimalisasi media sosial sebagai kanal utama informasi kesehatan dengan kurasi ketat dan mekanisme mitigasi disinformasi berkelanjutan.

  1. Integrasi Behavioral Insights:

Rancang pesan komunikasi yang tidak hanya informatif tapi juga mampu membentuk keyakinan dan memotivasi tindakan sehat berdasarkan wawasan perilaku.

  1. Standarisasi Layanan Digital:

Perkuat kualitas komunikasi profesional di layanan kesehatan digital dengan menjaga sentuhan humanis untuk meningkatkan kepuasan dan kepercayaan pasien.

  1. Penguatan Kapasitas Riset dan Inovasi:

Dukungan kebijakan untuk memperkuat riset komunikasi kesehatan digital, inovasi, dan kolaborasi internasional agar relevan secara lokal dan global.

  1. Pemanfaatan Figur Publik Berbasis Etika:

Gunakan figur publik kredibel dalam kampanye kesehatan dengan prinsip etika komunikasi dan kesinambungan pesan.

  1. Permanenisasi Strategi Cyber PR:

Jadikan strategi cyber public relations sebagai bagian permanen dalam komunikasi kesehatan dan krisis untuk interaksi dua arah yang berkesinambungan antara pemerintah dan publik.

  1. Pengembangan Kurikulum Lintas Disiplin:

Perkuat pendidikan komunikasi kesehatan di perguruan tinggi dengan pendekatan lintas disiplin (komunikasi, kesehatan masyarakat, kedokteran, TI, psikologi, kebijakan publik).

  1. Pembentukan Pusat Studi Komunikasi Kesehatan:

Dirikan pusat riset, pelatihan, dan advokasi yang menjadi penghubung antara dunia akademik, pemerintah, praktisi media, dan sektor swasta.

Ask the Expert Bolehkah Mengerjakan Skripsi dengan AI

Skripsi atau tugas akhir berbasis riset menjadi salah satu persyaratan meraih gelar sarjana, termasuk di Universitas Islam Indonesia (UII). Setidaknya, proses menggarap skripsi memakan waktu satu semester atau lebih. Butuh kecermataan dan analisis mendalam untuk menyelesaikannya, jika menginginkan jalan pintas, bantuan AI jadi pilihan. Lantas bolehkah menulis skripsi dengan AI?

Data dari Chegg Survey tahun 2024 menunjukkan bahwa 67 persen mahasiswa di seluruh dunia menggunakan artificial intelligence (AI) untuk membantu menyelesaikan tugasnya. Peringkat pengguna tertinggi adalah mahasiswa Indonesia yakni 86 persen, disusul Malaysia dan Kenya 82 persen, dan India 75 persen.

Jika melihat data, nampaknya mahasiswa di Indonesia telah bergantung dengan AI. Benarkah asumsi tersebut? kebijakan soal penggunaan AI belum jelas di Indonesia, apakah menggunakan Ai sebagai bentuk plagiarisme?

Rektor UII, Prof. Fathul Wahid menjelaskan dalam sesi Ask the Expert bahwa menggunakan AI dalam menulis skripsi tidak dapat dibenarkan, porsi dominan menulis berada pada mahasiswa. Simak, berikut wawancara selengkapnya.

  1. Sebatas apa kita boleh menggunakan AI untuk membantu menulis skripsi atau riset?

Yang pertama, itu skripsi siapa? Kalau kita mengaku bahwa itu skripsi kita, maka kita yang menulis. Tapi kalau itu kita boleh akui sebagai skripsi (milik) AI, silahkan AI menulis. Nanti sampulnya adalah ditulis oleh AI kira-kira gitu. Sehingga porsi (dominan) penulisan itu harus tetap pada mahasiswa.

  1. Sudahkah ada aturan terkait penggunaan AI dalam bidang akademik?

Ada aturan atau tidak, secara etis itu bermasalah. Karena ini soal kemengakuan, authorship. Jadi kalau itu bukan karya kita, kita tidak boleh mengaku itu karya kita. Normanya seperti itu, apalagi jika sudah ada aturan.

  1. Apa saja pekerjaan di bidang akademik yang boleh menggunakan AI?

Ada porsi dimana kita bisa menggunakan AI misalkan untuk mencari inspirasi, memperbaiki bahasa, sampai level tertentu mungkin. Tapi tetap saja ada koridor yang harus disepakati. Yaitu masalah kerahasiaan, privasi, itu tidak perlu dilanggar. Ada ruang-ruang itu, dan menolak AI juga bukan pilihan pijak. Tapi bagaimana AI digunakan dalam kadar yang tepat secara bijaksana.

Dari statement, Pak Rektor di atas sudahkah jelas hukum menulis skripsi dengan AI? Bagaimana menurutmu Comms?

Visiting Professor: Mentorship Developing Conference Abstract Into a Journal Manuscript

Publikasi riset menjadi salah satu bentuk tanggung jawab dosen sebagai akademisi. Dalam proses pengembangan karya ilmiah, dari abstrak konferensi menjadi naskah jurnal, kolaborasi dan kemandirian menjadi kunci utama keberhasilan.

Hal ini ditekankan oleh Nico Carpentier, Extraordinary Professor in Media and Communication Studies, Centre for Media Studies, Institute of Communication Studies and Journalism, Faculty of Social Sciences, Charles University, Prague, Czech Republic.

Nico menegaskan bahwa alih-alih hanya mengandalkan mentor eksternal, peneliti perlu menciptakan sebuah lingkungan kolaboratif yang memungkinkan mereka berbagi pengalaman dan memberikan umpan balik konstruktif.

Pendekatan ini tidak hanya memperkaya proses belajar bersama tetapi juga membantu mengatasi berbagai tantangan umum dalam penulisan akademik, seperti penyusunan kerangka kerja teoretis yang jelas, menjaga alur narasi tetap logis, dan menangani persoalan metodologis tanpa bias.

Dalam menulis artikel akademik kejelasan dan struktur narasi sangat menentukan keberhasilan komunikasi riset. Menurutnya, inti argumen harus disampaikan sejak awal tulisan, bukan ditunda hingga bagian akhir.

Pendekatan ini membuat pembaca segera memahami fokus dan pentingnya penelitian yang dilakukan, serta mampu mengikuti perkembangan logis dari argumen yang disajikan. Sikap ini sangat membantu dalam proses peer-review karena memudahkan peninjau memahami kontribusi ilmiah yang ditawarkan.

“If your core argument appears only at the end, it risks being missed. Academic writing demands clarity from the start—readers must know early what your research is about and why it matters. Present your key idea up front, not as a hidden conclusion, but as a guiding thread throughout.” Pesan ini menguatkan pentingnya kemampuan komunikasi yang efektif dalam akademik.

Lebih jauh, Nico menekankan bahwa peneliti  tidak selalu membutuhkan bimbingan langsung dari dirinya “Because all the competences are here,” peneliti dapat saling membimbing dan mendukung satu sama lain berdasarkan pengalaman bersama. Dengan demikian, kemandirian akademik sekaligus budaya kolaboratif dapat terbangun secara berkelanjutan. “You share a lot of problems, some of you are more experienced than others, so you can also share these experiences and work with each other. You can mentor each other. So that’s the conclusion. Do it yourself!” ujarnya.

Dalam sesi visiting professor yang dihelat MIKOM UII beberapa pendampingan dilakukan seperti mapping and finding doctoral positions and postdoctoral fellowships untuk para dosen-dosen Ilmu Komunikasi UII. Sementara kegiatan inti selanjutnya adalah international seminar bertajuk ”Citizen Parliament on Media and Democracy: A Tool for Democratic Renewal” dengan pembicara Nico Carpentier dan Vaia Doudaki pada Kamis, 24 Juli 2025. Selengkapnya:

Melacak Jejak Sejarah Penyiaran: Prof. Masduki Berbagi Ilmu di University of Amsterdam

Pada tanggal 17 Juni 2025, Prof. Masduki, dosen Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII), diundang sebagai pembicara dalam sebuah seminar yang dihelat oleh Amsterdam School of Historical Studies di University van Amsterdam (UvA), Belanda. Berlangsung di gedung bersejarah Bushuis, Kloveniersburgwal 48, pusat kota Amsterdam, agenda ini menjadi ruang dialektika akademik bertema “Politics of International Broadcasting on the End of Dutch Colonialism, Japanese Occupation, and Post-Independence Period in Indonesia.”

Turut hadir para peneliti media, mahasiswa doktoral, dan dosen senior, termasuk Vincent Kuitenbrouwer, akademisi UvA yang selama ini aktif meneliti sejarah media cetak-radio pada era kolonial di Afrika dan Asia.

Prof. Masduki mengawali presentasi berdurasi 1,5 jam tersebut dengan mengajak peserta untuk menyegarkan kembali ingatan tentang perjalanan sejarah, struktur, dan dinamika politik penyiaran di Indonesia sejak akhir masa kolonial hingga pasca-kemerdekaan. Ia menyoroti bagaimana struktur politik kolonial membentuk orientasi dan tata kelola dunia penyiaran, menciptakan kontestasi abadi antara negara, media, dan masyarakat.

“Saya tidak hanya mendapat pertanyaan tapi tambahan data dan analisa/kritik yang tajam,” ungkapnya.

Melalui pendekatan historical comparative, presentasi ini juga mengulas keberlanjutan nuansa persinggungan antara semangat resistensi Timur dan pengaruh Barat dalam regulasi penyiaran sejak era kolonial hingga revisi UU Penyiaran dalam 15 tahun terakhir.

Di tengah diskusi yang serius namun dinamis, kehadiran empat mahasiswa doktoral asal Indonesia menambah warna tersendiri, khususnya tiga di antaranya yang terinspirasi riset Prof. Masduki mengenai cybertroops di Asian Journal of Communication (2022). Mereka kini meneliti fenomena eco-Islam dalam gerakan anak muda ormas Islam di Indonesia salah satu bukti nyata pengaruh kajian lintas disiplin komunikasi-politik.

Lebih jauh, Prof. Masduki juga berbagi kisah penelitiannya yang tertuang dalam disertasi S3 di University of Munich, kini telah diterbitkan menjadi buku “Public Service Broadcasting and Post-Authoritarian Indonesia” (2021). Ia memperlihatkan pola-pola pengawasan mulai dari duopoli terbatas di era Belanda, monopoli di masa Jepang, hingga pola hibrida pada masa Sukarno, Suharto, dan era reformasi. Dinamika antara kontrol negara melalui anggaran dan sumber daya manusia dengan tuntutan kebebasan serta otonomi media menjadi benang merah sejarah berdarah penyiaran Indonesia.

Diskusi semakin menarik saat para peserta menyoroti pentingnya pendekatan dekolonial dalam membaca arsip-arsip suara dan visual, bukan sekadar teks. Vincent Kuitenbrouwer secara khusus menekankan pentingnya meneliti artefak audio-visual sebagai sumber sejarah dalam perspektif dekolonisasi, sekaligus merayakan situs-situs radio kolonial di Jakarta, Yogyakarta, dan Solo termasuk kiprah SRV Solo sebagai pusat perlawanan terhadap dominasi radio kolonial.

Seminar ini bukan hanya mempererat jejaring akademik lintas negara, melainkan menjadi pemanasan bagi proyek kolaboratif multiyears yang berjudul ‘Distant Voices: Uncovering the Agency of Indonesian Broadcasters at Radio Netherlands Wereldomroep (1945-1965)’, yang didanai oleh NWO Belanda dan melibatkan peneliti dari UII, UGM, Filipina, serta UvA. Dengan menjelajah situs sejarah tanpa bias romantisme atau jebakan Eurocentrism, Prof. Masduki dan kolega berkomitmen membuka horizon baru studi media lintas disiplin dan lintas bangsa.

Pengalaman Prof. Masduki di Amsterdam menegaskan betapa kolaborasi, kebebasan akademik, dan keterbukaan terhadap pendekatan kritis menjadi kunci untuk menghidupkan kembali sejarah media dan komunikasi di Indonesia. Segenap penghargaan layak disematkan kepada semua pihak terutama Vincent, Barbara, dan Amsterdam School of Historical Studies yang membuka ruang tersebut.

Visiting Professor: Method Workshop Arts-based Research

Pertanyaan sederhana dalam workshop kedua “apakah seni mampu menyadi alat dalam penelitian akademik?” jawabannya bisa. Menarik untuk ditelisik.

Sesi diskusi bersama Nico Carpentier, Extraordinary Professor in Media and Communication Studies, Centre for Media Studies, Institute of Communication Studies and Journalism, Faculty of Social Sciences, Charles University, Prague, Czech Republic mengiyakan bahwa kajian ini dibahas mendalam dalam art-based research.

Workshop art-based research fokus pada penelitian berbasis seni. Di Jurusan Ilmu Komunikasi UII, sebagian dosen telah melakukannya. Hasilnya bermacam-macam mulai dari film, buku foto, dan kekaryaan lainnya.

Art-based research sebuah pendekatan yang kerap disebut pergeseran-artistik di dunia akademik lantaran seni dan penelitian saling beririsan. Seolah menantan metode tradisional, art-based research menawarkan untuk memperluas pengetahuan dengan melampau rasionalitas (unsur perasaan, emosi, pengalaman indrawi).

Pendekatan ini menerima kompleksitas dan hibriditas. Disaat bersamaan peneliti harus menyeimbangkan perannya sebagai seniman sekaligus akademisi.

“Arts-Based Research is not only about knowledge but about feeling, experience, and the complexity of being both artist and academic—interacting without hierarchy, embracing hybridity as a source of insight,” jelas Nico.

Seni menjadi alat untuk penyelidikan dan komunikasi, bahasa berperan untuk mengekspresikan pengalaman manusia. Arts-based research menyoroti pentingnya interaksi, kolaborasi, dan kerendahan hati (tidak ada posisi superior).

Dalam penerapannya, art-based research digunakan dalam berbagai tahap mulai pengumpulan data, analisis, interpretasi, hingga presentasi (baik dalam riset seni maupun ilmu sosial). Biasanya hasilnya tentu adalah fitu-fitur estetika.

Dengan menggabungkan kepekaan artistik dan ketelitian akademik, mampu memberikan pemahaman dan representasi yang baru.

Meski nampaknya menarik, art-based research memiliki tantangan terutama soal ekspektasi politi dan epitemologis, hingga pengembangan keterlibatan kritis.

Tujuan Art-based Research

  1. Mengkomunikasikan hasil akademik menggunakan cara non tekstual
  2. Menjangkau audiens non-akademis
  3. Merangsang perdebatan masyarakat

Perbedaan Art-Based Research dengan Metode Lainnya

Quantitative Qualitative Art-based
Numbers Words Stories, images, sounds, scenes, sensory
Data discovery Data collection Data or content generation
Measurement Meaning Evocation
Tabulating writing (Re)presenting
Value neutral Value laden Political, consciousness-raising, emancipation
Realiability Process Authenticity
Validity Interpretation Truthfulness
Prove/convince Persuade Compel, move, aesthetic power
Generalizability Transferability Resonance
Diciplinary Interdisciplinary Transdisciplinary

Usai workshop, para peserta yakni para dosen dan staf Jurusan Ilmu Komunikasi UII diajak berkeliling untuk menyaksikan Photomontage Exhibition: The Construction of Europeanity in the House of European History by Nico Carpentier.

Workshop Art-based Research dalam sesi visiting professor dihelat oleh Magister Ilmu Komunikasi (MIKOM) UII.

Visiting Professor: #1 Workshop Participatory Action Research

Participatory Action Research (PAR) merupakan pendekatan penelitian yang memprioritaskan nilai pengetahuan pengalaman untuk menyelesaikan masalah yang disebabkan ketidakadilan sistem sosial.

Workshop Participatory Action Research dalam sesi visiting professor yang dihelat oleh Magister Ilmu Komunikasi (MIKOM) UII difasilitasi oleh Nico Carpentier, Extraordinary Professor in Media and Communication Studies, Centre for Media Studies, Institute of Communication Studies and Journalism, Faculty of Social Sciences, Charles University, Prague, Czech Republic.

Nico menyebut jika PAR penuh dengan “kolaboratif dan reflektif” yang melampaui kekuasaan tradisional di dunia akademis. Ada pembagian wewenang antara peneliti dan peserta (narasumber).

“Participation is not simply an invitation to contribute; it is a collaborative process that challenges traditional authority and power structures, fostering a shared journey of reflection and action,” jelas Nico.

Proses PAR bersifat jangka panjang dan siklikal, Nico menyebut “plan – action – observe – reflect” dan begitu seterusnya hingga mendapatkan hasil.

Dalam PAR mengakui subjektivitas dan bias sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan. Sehingga dalam pelaksanaanya penggunaan bahasa (fungsional) saat wawancara perlu dilakukan secara hati-hati demi mengatur dinamika kekuasaan. Karena bahasa mampu mempengaruhi hubungan bahkan memperkuat otoritas.

Pada dasarnya, participatory action research menghormati pengalaman semua pihak yang terlibat. Di Indonesia bisa disederhanakan dengan kalimat “tidak sok tau”.

Karakter PAR

  1. Didorong oleh peserta (sekelompok orang yang memiliki kepentingan dalam isu lingkungan yang diteliti).
  2. Bukan oleh sponsor, pemberi dana, atau akademisi dari luar (meskipun mereka mungkin diundang untuk membantu).
  3. Menawarkan model demokratis tentang siapa yang dapat memproduksi, memiliki, dan menggunakan pengetahuan.
  4. Kolaboratif di setiap tahap, melibatkan diskusi, menggabungkan keterampilan, dan bekerja sama.
  5. Ditujukan untuk menghasilkan tindakan, perubahan, atau perbaikan terhadap isu yang diteliti.

Prinsip-prinsip PAR 

  1. Penelitian tindakan adalah proses pemecahan masalah yang direncanakan dan dapat berlangsung dalam jangka waktu tertentu. Tujuannya adalah untuk mengkaji dan memecahkan masalah sosial dan organisasional.
  2. Penelitian tindakan adalah proses di mana hubungan antara peneliti dan semua pihak yang terlibat dalam proses tersebut dikelola secara demokratis, kooperatif, dan egaliter.
  3. Kelompok kecil berfungsi sebagai sarana utama untuk mencapai perubahan sosial.
  4. Penelitian tindakan adalah proses yang memanfaatkan pengetahuan ilmiah dari ilmu sosial dan perilaku, dan disesuaikan secara cermat dengan konteks di mana intervensi dilakukan. Proses ini menciptakan dan menerapkan metode intervensi yang relevan serta mengukur dampaknya.

Harapannya dalam workshop ini peserta yakni para dosen Ilmu Komunikasi UII mampu melakukan riset dan mengaplikasikan metode tersebut agar koneksi lebih mendalam, dialog berkelanjutan, dan pemberdayaan yang mutual.

Photomontage Exhibition

Setelah dipamerkan pada konferensi IAMCR di Singapura pekan lalu, 19 fotomontase karya Nico Carpentier dipamerkan di selasar FISB dan FPsi UII mulai 21 – 25 Juli 2025. Bertajuk “A visual essay on the House of European History’s constructions of Europeanity” exhibition ini mengusung konsep esai visual tentang pembentukan identitas Eropa melalui refleksi visual dengan 19 fotomontase.

Nico Carpentier merupakan Extraordinary Professor in Media and Communication Studies, Centre for Media Studies, Institute of Communication Studies and Journalism, Faculty of Social Sciences, Charles University, Prague, Czech Republic.

Walk in Exhibition

Terbagi menjadi empat bagian, pengunjung akan diajak membaca lebih dalam terkait Europeanity, atau apa artinya menjadi eropa yang beragam makna. Pada bagian pertama sebuah tulisan berjudul “A visual essay on the House of European History’s constructions of Europeanity” akan menyambut pengunjung.

Singkatnya, House of European History (HEH) mengungkap ke-Eropa-an adalah konsep yang diperdebatkan, esensi yang dinamis. Dari pameran Nico Carpentier, metode fotomontase esai visual mengungkap narasi HEH bagiamana menyeimbangkan keragaman, menyoroti ketegangan (eksklusi) kelompok termarjinalkan di wilayah pinggiran.

Nico nampaknya ingin menyampaikan perjuangan politik dalam membentuk identitas Eropa. HEH berusaha memunculkan sejarah yang “polysemic dan inklusif”. Meski demikian masih ada celah, memicu refleksi kritis “apa artinya menjadi Eropa?”.

Setelah menyelesaikan esai pertama, saatnya menyusuri deretan foto-foto yang diawali dengan narasi-narasi hasil riset yang dilakukan Nico dan tim.

European Fluidities

Setelah menyelesaikan esai pertama, pengunjung akan menemukan ke-kakuan Eropa. Ada batas geografis Eropa yang tidak jelas seperti kasus ambigu seperti Rusia, Turki, dan Ukraina hingga muncul status yang kompleks wilayah UE dan non-UE. Pameran ini menekankan bahwa Eropa menjadi ruang politik yang diperebutkan. Bahkan ketegangan terus berlanjut dalam membentuk identitas Eropa.

Limits to fluidity (part 1)

HEH bertujuan menampilkan identitas Eropa (dinamis dan non esensialistis). Meski demikian melalui asosiasi Eropa seperti nilai kebebasan, demokrasi, supermasi hukum, hak asasi manusia unsur esensial masih terlihat. Tercermin pada patung “Vortex of History” tentang sejarah sebagai perkembangan menuju kemajuan.

Limits to fluidity (part 2)

Bagian ini menampilkan bahwa migrasi digambarkan dari sudut pandang imigran adalah minoritas. Dalam pandangan Eropa sebagai entitas rasial homogen, dianggap tak mewakili masyarakat asli misalnya Roma.

Bagi anda yang ingin mengetahui lebih detail pameran fotomentase dari Nico Carpentier, bisa mengunjungi selasar Gedung FISB dan FPsi.

Pak Rektor Mengajar: Prinsip Etika dalam Pemanfaatan Akal Imitasi

Pemanfaatan artificial intelligence (AI) dalam dunia akademik nampaknya perlu mendapat perhatian khusus. Alih-alih menyelesaikan tugas secara efisien, justru AI semakin mengambil peran dominan dan menguasai cara berfikir. Bagaimana seharusnya?

Dalam sesi kuliah pakar bersama Rektor Universitas Islam Indonesia (UII), Prof. Fathul Wahid, S.T., M.Sc., Ph.D. pada Sabtu, 19 Juli 2025 keabu-abuan AI dalam bidang akademik dibahas mendalam dalam materi bertajuk “Prinsip Etika dalam Pemanfaatan Akal Imitasi”. Dibuka dengan ilustrasi suasana ruang kelas SD, salah satu siswa menggunakan kalkulator sementara siswa lainnya mengerjakan tanpa bantuan alat.

Sekitar lima menit ratusan mahasiswa Ilmu Komunikasi diajak menganalisis ilustrasi tersebut. “Bagaimana pendapat anda terkait ilustrasi yang saya buat dengan AI ini?” ujar Pak Rektor. Jawaban beragam, mulai dari cara cepat mendapatkan hasil, ketergantungan terhadap alat, hingga perspektif ketidakadilan.

Pertanyaan dilempar ulang, “kalau yang menggunakan kalkulator adalah pedagang di pasar?” seluruh mahasiswa sepakat menjawab tak keberatan. Sama halnya dengan AI, ada etika dalam pemanfaatannya.

Meski demikian, Pak Rektor menekankan bahwa kehadiran AI tidak untuk ditolak melainkan menempatkan AI sebagai mitra kolaborasi yang adil.

“Pendekatan etis dan kolaboratif untuk mengembangkan AI sebagai mitra, bukan pengganti,” ujarnya.

“Perlu perdebatan kritis dan partisipatif untuk arah perkembangan AI yang adil,” tambahnya.

Sementara realita penggunaan AI dalam bidang akademik semakin menjauh dari etika. Secara sadar beberapa mahasiswa memanfaatkannya untuk mengambil alih pengerjaan proyek riset. Riset dari Tirto.id bersama Jakpat tahun 2024 menunjukkan jika 86,21 persen responden (mahasiswa dan siswa SMA) menggunakan AI untuk meyelesaikan tugasnya.

Menyerahkan sepenuhnya tugas pada AI sangat berdampak, secara umum manusia akan kehilangan otonomi berfikir.

“Membuat kalimat saja tidak otonom, membuat kalimat saja diserahkan ke AI. Kita kehilangan kemampuan pengambilan Keputusan,” jelas Pak rektor kepada mahasiswa.

Lebih luas, dampak dalam masyarakat akan menyebabkan terganggunya demokrasi, ekonomi, hingga keadilan. Di Hollywood beberapa pekerja seni, perawat, dan pekerja lainnya melakukan pemogokan kerja selama lima bulan lantaran sistem pengumpulan informasi pada mesin AI mengmbil karya dan riset mereka tanpa persetujuan.

“Karena model AI menggunakan rujukan karya mereka tanpa concern. Ada basis data untuk belajar, dari sini akan digunakan untuk rujukan. Memuat referensi karya-karya tanpa persetujuan,” jelasnya.

Etika Kecerdasan Buatan (AI): Nilai-Nilai Dasar

Empat nilai dasar yang menjadi landasan bagi sistem AI yang bekerja untuk kebaikan umat manusia, individu, masyarakat, dan lingkungan.

  1. Menghormati, melindungi, dan mempromosikan hak asasi manusia, kebebasan dasar, dan martabat manusia
  2. Hidup dalam masyarakat yang damai, adil, dan saling terhubung
  3. Menjamin keragaman dan inklusivitas
  4. Kesejahteraan lingkungan dan ekosistem

Etika Kecerdasan Buatan (AI): Prinsip-Prinsip

  1. Berproporsi dan tidak merugikan
  2. Keamanan dan keselamatan
  3. Keadilan dan non-diskriminasi
  4. Keberlanjutan
  5. Hak privasi dan perlindungan data
  6. Pengawasan dan keputusan manusia
  7. Transparansi dan keterjelaskan
  8. Tanggung jawab dan akuntabilitas
  9. Kesadaran dan literasi
  10. Pemerintahan dan kolaborasi multi-pihak yang adaptif

Lantas, apakah mahasiswa boleh menggunakan AI dalam menyelesaikan tugasnya? Jawaban Pak Rektor “jangan sampai kehadiran AI menginjak martabat manusia,” jawabnya lugas.

AI

Peran artificial intelligence (AI) dalam industri kreatif memiliki dampak yang signifikan, di media sosial para kreator berlomba-lomba menciptakan karakter-karakter animasi yang menarik perhatian publik.

Sejak awal tahun 2025, konten-konten remake animasi yang mendekati realita ramai dibuat dengan berbagai aplikasi AI. Sebut saja akun Instagram @catatanfilm yang menampilkan karakter animasi asal Malaysia, Upin & Ipin yang direkayasa seolah diperankan aktor nyata seolah tak ada cacat.

Unggahan @catatanfilm seolah memberi referensi animasi Upin & Ipin jika diadaptasi menjadi film live-action dengan aktor manusia. Menariknya kinerja AI dalam pembuatan tokoh memiliki akurasi tingga dalam menyesuaikan karakter tokoh dalam animasi buatan Les Copaque.

Hal ini membuktikan jika perkembangan AI begitu masif, karya kreatif dari tulisan, gambar, video, hingga suara mampu diwujudkan menjadi sebuah karya kompleks yang meyakinkan. Menanggapi hal itu, dosen Ilmu Komunikasi UII, Anggi Arifudin Setiadi, S.I.Kom., M.I.Kom sebagai akademisi sekaligus praktisi menyebut jika AI tak sepenuhnya menghadirkan karya yang sesuai dengan ekspektasi manusia.

Ada sisi yang tak akan terganti, mulai dari human touch hingga logika kritis. Berikut wawancara terkait AI dalam industri kreatif yang dijawab langsung oleh praktisi bidang desain dan animasi:

  1. Sebagai seorang akademisi sekaligus praktisi dalam industri kreatif (desain grafis dan animasi) bagaimana pendapat anda tentang masifnya perkembangan AI?

Terkait dengan perkembangan AI sangat cepat, kemarin habis pelatihan AI juga kan, dan itu setelah seminggu sudah ada yang namanya Google VEO 3, saya melihat itu sangat cepat sekali. Ketika saya melihat potensi itu sebenarnya kita bisa menjadikan itu sebagai referensi. Jangan sampai AI ini benar-benar mengantikan. Karena saya pernah dengar dari quotes-nya CEO Nvidia, bahwa AI itu tidak mengantikan manusia, tapi bagaimana manusia itu bisa memperkerjakan AI itu sendiri. Menurut saya di era sekarang, paling tidak kita harus tahu bagaimana kinerja AI. Walaupun di AI itu kita harus tahu terkait dengan storytelling atau promptingnya seperti apa. Karena kalau tidak tahu, ya tidak akan bisa membuat sebuah karya AI yang bagus.

  1. Bagaimana melihat peluang perkembangan AI, atau justru semakin khawatir?

Kekhawatiran itu pasti ya, beberapa kali ini saya juga sempat khawatir terkait dengan desain. Karena beberapa aplikasi besarpun sudah menggandeng AI. Tapi ternyata setelah saya dalami, untuk AI ini sebagai dalam tanda kutip “membantu”. Membantu menyelesaikan pekerjaan kita. Sehingga ketika kita menggunakan AI, kita posisikan sebagai add-on-nya. Sehingga ketika kita mengerjakan desain misalnya, ya sudah kita buatkan draft-nya seperti apa, sehingga kita paham bagaimana menggunakan AI.

Apalagi di industri sekarang tidak hanya AI berupa tulisan.  Kita bisa menggunakan gambar, gambar menjadi bergerak, gambar menjadi bergerak kemudian bisa menambahkan dan membuat musik, musik dijadikan video klip, dan segala macam. Kita bisa mengkolaborasikan itu untuk referensi. Karena feel-nya tetap dapatnya ketika kita mengerjakan sendiri, jadi sisi humanisnya itu akan berbeda sekali.

  1. Lantas, artinya pentingbagi mahasiswa mengikuti perkembangan AI dalam membuat karya kreatif?

Untuk mahasiswa, saya rasa penting ya mengikuti trend itu. Karena lagi-lagi ini switching teknologi. Dulu kita belum ada smartphone, terus kita ke smartphone tiba-tiba. Tapi karena ini sangat masif AI itu kan cepat banget ya di era VUCA ini. Jadi sangat perlu kita mencoba elaborasi dengan AI sehingga teman-teman mahasiswa pun juga bisa mengkolaborasika. Misalnya teman-teman mau membuat storyboard, wah bingung nggak bisa gambar, ya sudah pakai AI saja itu juga sudah membantu. Tapi lagi-lagi ketika eksekusi, tentunya ketika kita menggunakan AI, coba deh beberapa scene misalnya itu akan berubah-ubah gambarnya tidak sesuai dengan kita.

Misalnya dari ke-actingannya, dari lighting-nya, dari cara pengambilan gambarnya itu sangat berbeda sekali. Tapi intinya buat mahasiswa, agar bisa menggunakan AI dengan baik, ya tentunya kita harus bisa berpikir kritis. Karena di AI itu tidak mungkin bisa berpikir kritis. Tentunya itu yang menjadi PR kita gitu ya. Apalagi di Ilmu Komunikasi, berpikir kritis itu sangat dibutuhkan ketika teman-teman akan menggunakan prompt untuk AI.

Lantas, bagaimana menurutmu Comms apakah kamu salah satu yang sudah mengelaborasikan AI dalam karya kreatif?