Hari Pendidikan Nasional ‘Esensi Menjadi Terdidik’

Terhitung 77 kali Hari Pendidikan Nasional yang jatuh pada tanggal 2 Mei dirayakan setiap tahunnya. Selain berterimakasih terhadap para tokoh yang membawa perubahan besar dalam sejarah pendidikan, sudah selayaknya melakukan refleksi.

Di momen Hari Pendidikan Nasional 2025 ini, Kaprodi Ilmu Komunikasi UII yakni Dr. Zaki Habibi memberikan gagasan menarik tentang esensi menjadi terdidik hingga bertumbuh dan survive dari setiap zeitgeist (semangat zaman yang merujuk pada pemikiran dominan yang mendominasi periode waktu tertentu).

“Siapa mereka (Ki Hajar Dewantoro) dan apa arti andilnya jelas, yaitu bahwa mereka sebagai juru pengingat, bahwa terdidik itu ternyata penting, tidak hanya soal bersekolah, tapi tentang menjadi orang yang lebih baik, menjadi bangsa yang tumbuh,” ucapnya membuka diskusi.

Pertanyaan besar setelah 77 tahun, apakah sebagai bangsa Indonesia semakin terdidik atau justru jauh dari esensi tersebut. menurutnya, inilah waktu yang tepat untuk berefleksi.

“Apa sih esensinya menjadi terdidik, itu bukan soal tinggi-tinggian gelar, tinggi-tinggian jenjang sekolah, tapi lebih ke titik berangkat kita dan titik muara kita itu ada bedanya,” Ucapnya.

Pendidikan adalah sarana dan proses bertumbuh, bagaiamana pola pikir dan nalarnya mampu beradaptasi dengan kondisi yang dihadapi. “Dalam cakrawala nalar, bernalar dan kemudian memahami situasi di sekitarnya, apapun disiplin ilmunya.”

Merefleksikan Hari Pendidikan Nasional, muncul pula pertanyaan mendalam, “sudahkah kita makin bernalar, sudahkah kita makin menggunakan nalar-nalar itu untuk menjadi orang yang lebih baik, komunitas yang lebih kokoh, bangsa yang lebih tangguh?”

Artinya, tak sekedar seremonial, mengingat sejarah saja. Bangsa terdidik mesti memiliki visi ke depan demi menjawab zeitgeist tadi. Jika di masa Ki Hajar Dewantoro memiliki tantangan di eranya, begitupun saat ini. bangsa Indonesia kini tengah dihujani dengan gelombang transformasi digital, kecerdasan buatan yang menyilaukan, hingga disrupsi berbagai sektor kehidupan.

 “Apakah kita tenggelam oleh tantangannya tanpa bisa merespon tantangan itu, atau justru kita bisa menaiki gelombang-gelombang tantangan itu untuk mengatasi?,” ungkapnya mempertanyakan.

Salah satu cara survive dengan tantangan zaman adalah melalui kreativitas. Kreativitas menjadi bagian penting dalam esensi terdidik. Kreativitas tak sekedar menciptakan sesuatu atau “bikin-bikin”, tapi terkait “daya survive manusia,” ungkap Dr. Zaki.

Hal ini digambarkan melalui cara manusia purba bertahan hidup, menciptakan lukisan di dinding goa sebagai bentuk komunikasi. tantangan serupa dengan bangsa saat ini, meski konteksnya berbeda.

“Itu sama rumitnya seperti manusia gua menghadapi dilema tetap di luar tapi dimakan hewan buas atau di dalam tapi ada dunia baru yang mereka belum tau mau diapakan,” tambahnya.

Maka, pendidikan hari ini dan ke depan harus mampu membentuk individu yang kreatif, bernalar, dan adaptif terhadap perubahan. Esensinya bukan pada di mana seseorang belajar, tapi pada seberapa jauh seseorang bertumbuh, bertahan, dan memberi jawaban atas tantangan zaman. “Jangan pernah menyepelekan bahwa esensi terdidik bukan sekolah di tempat seperti apa, lulus dari institusi se-keren apa. Tapi bagaimana kita bisa mengasah esensi kreativitas sebagai dasar dari survival of human and civilization.” Tandasnya.

Visiting Professor Merlyna Lim dalam Grand Launching MIKOM UII

Visiting professor menjadi salah satu program unggulan di Magister Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII). Resmi diluncurkan pada Selasa, 29 April 2025 di GKU Dr. Sardjito UII kali ini MIKOM kedatangan Prof. Merlyna Lim dari Carleton University, Canada.

Lahirnya MIKOM tercatat sebagai anak ke 60 bagi UII, dalam momen bersejarah ini Grand Launching dikemas apik melalui rangkaian acara Asia Tenggara dalam Membingkai Media Digital dan Aktivisme Sosial. Dihadiri oleh kolega dari akademisi dari berbagai penjuru, NGO, hingga rekan media, Grand Launching dilanjutkan dengan diskusi bedah buku “Social Media and Politics in Southeast Asia” dengan pembahas Prof. Merlyna Lim dan Prof. Masduki.

Dipandu oleh Kaprodi Ilmu Komunikasi UII, Dr. Zaki Habibi diskusi berlangsung responsif. Prof. Merlyna Lim sebagai penulis buku yang diterbitkan oleh Cambride University Press membedahnya dengan sangat detail.

Pemaparan dari Prof. Merlyna Lim

Pemaparan dari Prof. Merlyna Lim. Image: Desyatri Parawahyu

Buku tersebut ditulis untuk memperluas studi di Asia Tenggara dalam konteks hubungan kompleks antara media sosial dan politik. Peran ganda pada media sosial justru menjadi penyebab utama praktik otoriter melalui politik algoritmik. Termasuk dalam kontestasi pemilihan umum, di Indonesia adalah contoh nyata.

Secara tegas, Prof. Merlyna Lim menyebut bahwa media sosial tidak pernah diciptakan untuk mendukung sistem demokrasi suatu pemerintahan.

“Sosial media tidak pernah diciptakan untuk empowering dan pasrtisipasi untuk demokratis. Tapi dasarnya kapitalis bukan untuk semua orang untuk berkomunikasi secara sehat,” terangnya.

Dari politik algoritmik, kapitalisme komunikatif di media sosial justru lebih mengutamakan pemasaran algoritmik dibanding diskusi publik. Dampaknya kualitas demokrasi semakin memburuk.

Algoritma di media sosial benar-benar mengacaukan rasionalitas manusia, Prof. Merlyna Lim menyebutnya mobilisasi afektif biner, bagaimana “algoritma mendorong emosi ekstrem yang memperkuat dua sisi aktivisme yakni progresif dan regresif,” jelasnya.

Parahnya, dampaknya akan meluas mulai dari polarisasi filter bubble (kantong algoritmik), disinformasi, hingga tren otokratisasi.

Prof. Masduki sebagai pembahas selanjutnya menyebut fenomena politik di Indonesia. Contoh nyata yang terjadi adalah kecenderungan politik dinasti.

“Ada satu kecenderungan di Asia Tenggara politik dinasti. Masalah serius di Asia Tenggara, apalagi di Indonesia termasuk di kota-kota dan daerah,” ungkapnya.

Tak hanya itu, Prof. Masduki juga menunjukkan data bahwa hanya 8 persen dari populasi dunia yang hidup dalam demokrasi penuh, sisanya campuran termasuk Indonesia.

Menjawab persoalan tersebut, Prof. Masduki mencoba memberikan tiga tawaran solusi yakni melalui reformasi struktural politik, merebut dan merayakan kembali ruang digital (deliberasi isu kerakyatan, demokrasi substansial), dan memperdalam demokrasi yang tangguh untuk politik yang selalu ada.

A sacred space where the soul finds peace

Humans have always found different ways to express their thoughts, feelings, and experiences. Some people use writing, painting, music, or dance to share what is inside them. Each person has their style and way of communicating with the world. As Dissanayake, Ellen explains in her book Homo Aestheticus, artistic expression is a natural part of being human( Dissanayake, 199). Photography is one of these powerful tools. Through a camera lens, people can show their emotions, tell stories, and capture memories. It is a unique form of self-expression that speaks without using words.

There are numerous ways to convey various thoughts and emotions through photography. Some photographers express feelings like happiness, sadness, hope, or loneliness through their images. Others use their photographs to communicate stories about social issues, everyday life, or personal experiences. A photograph’s topics, lighting, colors, and angles all contribute to its deeper significance. Even a straightforward image can move people and convey a strong message.

Many people choose photography to express themselves because it feels natural and accessible. Unlike writing or painting, photography does not always need special training. A camera or even a smartphone can become a tool for creativity. Photography also allows people to capture real moments as they happen, freezing memories in time.

Susan Sontag (1977) explains that taking a photograph is a way for people to “possess” an experience, giving it personal meaning (Sontag, 1973). For many, it is easier to show how they feel through an image rather than trying to find the right words. Photography gives them a voice without having to speak.

There are many examples of self-expression through photography. The energy of busy towns is captured by street photographers to convey either chaos or belonging. Portrait photographers capture images that convey feelings, identity, or beauty. On social media, even regular people post pictures of themselves to convey their experiences and aspirations. During the Great Depression, photographers such as Dorothea Lange documented people’s hardships with their cameras. Her well-known image, Migrant Mother, captured the suffering endured by many families and conveyed a profound sense of empathy (Research guides, n.d.). Many people still use photography today to inspire others, spread awareness, and share personal tales.

In conclusion, photography is more than just taking pictures. It is a way for people to express who they are and what they believe in. Through images, they can share their thoughts, feelings, and experiences with others. Photography crosses the barriers of language and culture, making it a truly powerful tool for human expression.

References

Dissanayake, E. (199). Homo Aestheticus : Where Art Comes From and Why. University of Washington Press.

Research guides. (n.d.). Retrieved from Dorothea Lange’s “Migrant Mother” Photographs in the Farm Security Administration Collection: Migrant Mother Series of Images: https://guides.loc.gov/migrant-mother/images

Sontag, S. (1973). ON PHOTOGRAPHY. The New York Review of Books.

 

Written by: Thrya Abdulraheem Motea Al-aqab

Edited by: Meigitaria Sanita

Mikom UII

Tercatat 20 tahun berdiri Departemen Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII) akhirnya secara resmi lakukan grand launching Magister Ilmu Komunikasi (MIKOM) pada Selasa, 29 April 2025 di GKU UII. Fokus pada kajian Digital and Environmental Communication harapannya mampu menjadi solusi dari permasalahan bangsa.

Iwan Awaluddin Yusuf, Ph.D selaku Ketua Jurusan menyampaikan rangkuman perjalanan lahirnya program MIKOM yang akan segera beroperasi September mendatang.

“Momentum bersejarah untuk Departemen Ilmu Komunikasi UII, setelah sekian lama berproses dengan bangga dan senang hati melahirkan MIKOM. Semoga ini menjadi bagian dari proses lahirnya solusi dari permasalahan bangsa,” jelasnya membuka acara.

Sebelumnya benchmarking ke beberapa universitas yang menjalankan magister komunikasi dilakukan, mulai dari UI, UMN, LSPR, hingga NTU Singapura. Dari perjalanan tim pendiri berdiskusi panjang dan menentukan arah kajian yakni Digital and Environmental Communication.

MIKOM UII

Pemaparan MIKOM UII oleh Prof. Subhan Afifu. Image: Desyatri Parawahyu

Penjelasan detail dipaparkan oleh Prof. Subhan Afifi selaku Kaprodi MIKOM UII, “Belum banyak kajian yang melibatkan perspektif kemanusiaan environmental humanities, bukan hanya mengkaji namun juga mengarahkan mahasiswa pada tindakan nyata dalam menanggapi isu digital dan ekologi,” ujarnya.

Rektor UII, Prof. Fathul Wahid hadir untuk menandai grand launching MIKOM UII, beliau memberikan berbagai contoh dinamika politik di dunia yang dipengarui oleh komunikasi dan media digital.

Mulai dari kasus korupsi di Filipina soal korupsi tahun 2001 yang menimbulkan aksi melalui mobilisasi pesan SMS dan memblokade salah satu jalan, hingga penciptaan kesan positif pada perpolitikan di Indonesia 2024 lalu.

Lahirnya MIKOM menambah pilihan kajian humaniora di UII, “Kehadiran MIKOM menambah portofolio dan menjadi pilihan anak bangsa untuk kuliah di UII,” pungkasnya.

Setelah sesi Grand Launching MIKOM usai, dilanjukan dengan diskusi buku “Social Media and Politics in Southeast Asia” bersama Prof. Merlyna Lim, Canada dari Carleton University, Canada beserta Prof. Masduki.

Berikut lima alasan mengapa mengambil fokus Digital and Environmental Communication:

Transformasi Digital dalam Pola Pikir, Interaksi, dan Komunikasi

  • Teknologi digital mengubah pola pikir, perilaku, dan komunikasimanusia secara radikal, termasuk munculnya media baru yang menggantikan media lama.

Kebutuhan Literasi Digital dan Kemampuan Analitis Tingkat Lanjut

  • Tidak cukup mahir teknis; perlu kemampuan analitis untuk memahami perubahan sosial-budaya dan mengembangkan strategi kampanye isu lingkungan.

Krisis Ekologis Global dan Pentingnya Perspektif Kemanusiaan: Environmental Humanities

  • Krisis lingkungan (perubahan iklim, punahnya spesies); Indonesia: Mega Biodiversity vs Biodiversity Hotspot.
  • Akar krisis: relasi timpang manusia-alam dalambudaya modern; kontestasi kuasa dalam isu lingkungan di media digital.
  • Dibutuhkan pendekatan lintas disiplin berbasis budaya dan kemanusiaan (ecocriticism, political ecology, dll)

Digitalisasi dan Lingkungan: Konstruksi Sosial dan Tindakan Nyata

  • Teknologi digital membentuk persepsi masyarakat tentang lingkungan.
  • Kampanye digital mendorong aksi nyata seperti Urban Farming, Gerakan Zero Waste, Penanaman Pohon, Climate Diet, Bersih Pantai/Sungai, Donasi Konservasi, dan Kampanye Transportasi Ramah Lingkungan.

Kontribusi KajianKomunikasi: Dari Representasi ke Intersubjektivitas

  • Komunikasi perlu bergeser dari sekedar membicarakan lingkungan menjadi berkomunikasi dengan lingkungan.
  • Paradigma more-than-human communication mengakui non-human sebagai subjek komunikasi.
  • Diperlukan pendekatan komunikasi dan humaniora untuk memperkaya studi lingkungan di Indonesia.

Informasi pendaftaran selengkapnya dapat diakses melalui link berikut: https://communication.uii.ac.id/magister/

Ask the Expert: Opini Bisa kena Pasal? Ancaman Nyata di Balik Revisi UU TNI

Ramai-ramai penolakan revisi UU TNI terus bergulir. Teranyar, deretan media nasional melaporkan beberapa mahasiswa meminta Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan hasil revisinya.

Laporan dari Tempo tentang Aktor, Modus, dan Motif Revisi Undang-Undang TNI pada 23 Maret 2025 menyebut jika Presiden RI, Prabowo Subianto telah lama (sejak 2023 sebelum menjabat Menteri Pertahanan) ingin merombak UU TNI dengan tujuan memperluas peran tentara.

Masyarakat khawatir UU TNI kembali seperti Orde Baru soal dwifungsi ABRI. Sementara motif pokok revisi UU TNI adalah perbaikan pertahanan. Beberapa perubahan antara lain penambahan bidang operasi militer selain perang, penambahan jabatan sipil oleh TNI aktif, dan perpanjangan batas pensiun.

Ketakutan lain tentu soal lumpuhnya demokrasi, kewenangan TNI tentu akan mengancam kebebasan publik dalam menyuarakan opini dan kritik termasuk di ruang digital. Dalam sesi Ask the Expert, gagasan menarik terkait Opini Bisa kena Pasal? Ancaman Nyata di Balik Revisi UU TNI dibahas oleh salah satu dosen Ilmu Komunikasi UII yakni Puji Rianto, S.IP., M.A yang mendalami kajian Regulasi dan Kebijakan Media – Kajian Khalayak.

Opini Bisa kena Pasal? Ancaman Nyata di Balik Revisi UU TNI

  1. Apa sebenarnya yang berubah dari UU TNI dari sebelumnya?

Concern itu kan salah satunya adalah perluasan peran TNI atau dalam konteks undang-undang itu adalah lembaga-lembaga yang bisa diduduki oleh TNI. Yang ini menimbulkan keresahan di kalangan sipil karena dikhawatirkan kembali ke era Orde Baru, kembalinya ke dwifungsi ABRI.

  1. Lantas jika demikian, apa dampaknya terhadap masyarakat khususnya kebebasan beropini di ruang publik termasuk media digital?

Dampak sesungguhnya dari undang-undang ini masih harus diuji, karena undang-undang ini kan masih pada tahap disahkan.

Sebetulnya bukan pada undang-undangnya. tetapi mental TNI di dalam menghormati hak-hak sipil warga negara, terutama di bidang komunikasi itu yang penting. Kecenderungannya sebetulnya ada undang-undang atau tidak, spirit otoritarianisme itu pelan-pelan mulai kembali. Jadi ada undang-undang atau tidak undang-undang, kalau kultur otoritarian ini kembali itu buruk bagi demokrasi.

  1. Apakah opini kritis terhadap lembaga negara, termasuk TNI, masih bisa dianggap sebagai bagian dari komunikasi politik yang sehat di masyarakat?

Ini saya kritik saya terhadap seluruh pejabat yang mengatakan demokrasi itu gaduh. Segala sesuatu itu harus diperdebatkan dengan menggunakan rasio (rasionalitas). Karena dengan perdebatan rasio itulah kita akan menemukan cara yang paling bagus. Karena kalau kita berdebat secara rasional itu pasti gaduh. Karena setiap orang punya perspektif, punya pendekatan.

Nanti kita akan menemukan pada akhirnya argumen mana yang paling masuk akal, argumen mana yang paling kuat Itulah yang kemudian kita akan ambil. Tanpa ada adu argument maka kebijakan itu akan diambil oleh satu kelompok atau satu pihak.

Di dalam masyarakat yang sangat plural dan komplek itu tidak bagus. Oleh karena itu, di dalam masyarakat itu harus ada perdebatan. Nah, oleh karena itu, concern kita sebetulnya adalah pada apakah ruang publik ini, public sphere itu masih tetap dijaga. Hampir semua penelitian tentang demokrasi di Indonesia dan demokrasi di lingkup global memang mengalami penurunan.

Mungkin di Indonesia penurunan jauh lebih cepat. karena apa? Institusionalisasi demokrasinya bermasalah.

Jadi kita

Misalnya, lolosnya KUHP yang punya potensi untuk melanggar kontitusi karena mengambat kebebasan perpendapat warga negara. Undang-undang ITE yang sudah sangat lama, meskipun kemudian direvisi tetapi tetap saja spiritnya Punya potensi untuk membungkam kebebasan perpendapat.

  1. Dalam ilmu komunikasi, kita belajar soal framing dan agenda setting. Apakah UU ini bisa memengaruhi cara media membingkai isu-isu terkait TNI?

Kalau revisi undang-undang itu kemudian dimaknai oleh TNI untuk masuk terlalu jauh dalam kehidupan sipil demokrasi, masuk ke kampus, menekan kampus-kampus, baik kerjasamanya lebih luas dengan tentara, maka, kekhawatiran bahwa dia akan menciptakan cara orang berkomunikasi, cara orang membingkai, iya, jelas itu. Karena akan menimbulkan efek ketakutan.

Di dalam militer dan masyarakat sipil, kultur di dalam militer itu kan sebenarnya kontradiksi interminis dengan demokrasi. Kalau kultur militer masuk ke sipil, tidak bagus. Apalagi dalam satu masyarakat yang komplek, yang segala sesuatu harus diperdebakan secara rasional, secara demokratis, di mana segala macam perspektif bisa muncul di situ, maka kultur TNI yang komando itu tidak kompatibel dengan sipil, apalagi di dalam masyarakat kampus. Yang mensyaratkan kebebasan akademik.

  1. Bagaimana mahasiswa komunikasi bisa tetap vokal dan kritis tanpa harus takut terkena pasal, terutama ketika menyampaikan opini di ruang digital?

Pertama ketika kita beropini di ruang digital, maka kita akan perhatikan aturan di ruang digital. Salah satunya adalah undang-undang ITI, informasi dan transaksi elektronik. Dan ini sudah banyak korbanya, ya kan? Terutama kasus-kasus pencemaran nama baik.

Saran saya kepada mahasiswa, Pertama adalah mahasiswa itu wajib kritis karena anda punya kemerdekaan berfikir.

Kedua adalah, sampaikan fakta, sampaikan data. Kalau anda menyampaikan fakta dan data, maka kecil kemungkinan bahwa anda akan kena undang-undang ITI. Anda tidak akan dituduh menyebarkan hoax, menyebarkan misinformasi atau disinformasi. Kalau nanti ada orang menuduh anda melakukan misinformasi sementara anda menyebarkan data atau menyampaikan fakta, menyampaikan informasi yang benar, faktual, tinggal diuji di pengadilan. Siapa yang berbohong.

Lalu yang ketiga, selalu mengupdate ilmu pengetahuan. karena data kita baca dengan ilmu pengetahuan. dengan melakukan ini, insyaallah, mahasiswa itu akan tetap bisa kritis.

Itulah gagasan terkait RUU TNI, bagaimana pendapatmu Comms?

Grand Launching Magister Ilmu Komunikasi (MIKOM) UII & Diskusi Buku “Social Media and Politics in Southeast Asia” bersama Prof Merlyna Lim

Grand Launching Magister Ilmu Komunikasi (MIKOM) UII & Diskusi Buku “Social Media and Politics in Southeast Asia” bersama Prof Merlyna Lim (Carleton University, Canada)

Selasa, 29 April 2025, jam 09.00-12.00 WIB

di GKU lantai 2, UII Yogyakarta

(lokasi: https://maps.app.goo.gl/yvsDpJvRHSsE6Zzp6?g_st=com.google.maps.preview.copy)

Registrasi gratis di:
bit.ly/HadirMIKOMUII

#MIKOMUII

Why Fake News Spreads Faster Than the True Ones

In today’s digital age, we are constantly exposed to overwhelming information. With just a click, we can access news from around the globe. However, not all of this information is accurate or reliable. As human beings, we naturally tend to quickly believe things, especially if they are dramatic, emotional, or align with our existing beliefs.

This instinct significantly contributes to the rapid spread of fake news compared to the truth (Beauvais, 2022). People often share information before verifying its accuracy, and in many cases, fake news is specifically designed to capture attention more effectively than real news.

Fake news is designed to trigger strong emotions, such as shock, fear, anger, or excitement, which is one of the primary reasons it spreads so quickly. Another reason is how social media makes it easy for people to click, share, and comment without hesitation, and the structure of such apps feels rewarding to users when different fake posts appear in their feed. True information, on the other hand, is frequently more difficult to verify, more complicated, or simply less entertaining.

Content that receives more interaction is also given preference by social media algorithms. This implies that a post becomes more visible the more people interact with it, even if it is a scam. Overall, in a digital world that thrives on speed and simplicity, fake news is not only easier to create but also more appealing and shareable.

The consequences of fake news can be dangerous. It can influence public opinion, cause panic, damage reputations, and even affect elections or public health. For example, during the COVID-19 pandemic, false information about cures and prevention methods led many people to take harmful actions. Fake news can also create division among communities, spreading hatred and misunderstanding (Madrid, 2023). When people can’t tell the difference between what’s true and what’s false, trust in media, government, and even science begins to fade.

Tackling the issue of fake news is all about personal responsibility and working together as a community. First off, individuals must pause and think critically before hitting that share button. Asking yourself questions like, “Is this from a reliable source?” or “Can I find this information verified elsewhere?” can go a long way in stopping misinformation in its tracks. Schools and local communities should focus on promoting media literacy, helping everyone learn how to spot fake news effectively. On a broader level, social media platforms need to step up their game by taking stronger measures to flag or remove false content and reduce its reach. Plus, we should support fact-checking organizations to ensure that accurate information is not only accessible but also engaging for the public.

Fake news spreads faster than the truth due to its emotional appeal and social media support, causing harm by misleading societies and eroding trust. To combat this, we need awareness, education, and accountability. If we are careful about what we read and share, and if tech platforms take responsibility, we can reduce the spread of fake news and promote the truth.

References

Beauvais, C. (2022). Fake news: Why do we believe it? Retrieved from Joint Bone Spine: https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC9548403/

Madrid, P. (2023, January 17). USC study reveals the key reason why fake news spreads on social media. Retrieved from USC Today: https://today.usc.edu/usc-study-reveals-the-key-reason-why-fake-news-spreads-on-social-media/

 

Written by: Thrya Abdulraheem Motea Al-aqab

Edited by: Meigitaria Sanita

Selamat Hari Kartini ‘Memotret Pengabdian Perempuan’

21 April menjadi momentum yang dirayakan di Indonesia sebagai Hari Kartini. Kartini adalah perempuan yang endapat gelar pahlawan nasional yang berjuang untuk kesetaraan gender terutama atas pendidikan perempuan.

Lahir pada 21 April 1879 dan meninggal di usia 25 tahun, Kartini telah membumikan makna emansipasi perempuan lewat pengorbanan-pengorbanan yang dilakukannya. Emansipasi menurut bahasa adalah pembebasan dari perbudakan, persamaan hak dalam aspek kehidupan masyarakat (persamaan hak perempuan dan laki-laki).

Untuk menghormati jasa-jasanya, pemerintah menetapkan 21 April sebagai Hari Kartini berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 108 Tahun 1964.

Melanjutkan perjuangan Kartini, kini perempuan di Indonesia juga harus bekerja keras demi mendapatkan hak-haknya. Tak hanya hak, untuk mengejar mimpi perempuan di Konoha (meme untuk menyebut Indonesia) masih menemui banyak hambatan.

Meski demikian, potret-potret pengabdian dan gerakan yang dilakukan layak kita sebar luaskan sebagai semangat dan inspirasi bagi perempuan lain yang tengah menghadapi kesulitan.

Potret Pengabdian Perempuan

Departemen Ilmu Komunikasi UII, dengan semangat communication for empowerment kerap terlibat dalam program-program yang digagas perempuan. Belakangan, Puspita Bahari sebagai komunitas nelayan perempuan menjadi salah satu rekan yang beberapa kali dikunjungi.

Hubungan ini bermula dari dua dosen Ilmu Komunikasi yakni Puji Hariyanti, S.Sos., M.I.Kom dan Ratna Permata Sari, S.I.Kom., MA yang melakukan pemberdayaan di lokasi tersebut harapannya melalui berbagai program dampak banjir rob di pesisir Pantai Utara mendapat perhatian serius dari berbagai pihak.

Masnuah sebagai wajah Puspita Bahari adalah sosok yang memperjuangkan nasib perempuan di Demak, Jawa tengah. Krisis iklim ternyata berdampak serius pada kehidupan perempuan, mulai dari ekonomi, pendidikan, hingga nasib perkawinan.

Banjir rob yang terus meluas, membawa Masnuah untuk terus melakukan advokasi masyarakat di desa-desa pesisir Demak. Selain itu, ia juga melakukan berbagai edukasi kepada nelayan perempuan. Edukasi-edukasi yang dilakukan antara lain terkait dengan alat tanfkap ramah lingkungan, penanaman mangrove, pengelolaan sampah, hingga mengajarkan berwirausahaan untuk memulihkan kondisi ekonomi.

Langkah besar Masnuah juga tercatat pada puluhan KTP perempuan di Demak. Ia berhasil mendesak pemerintah untuk mengakui pekerjaan nelayan pada 31 perempuan yang sebelumnya tertulis buruh atau ibu rumah tangga pada kolom pencatatan pekerjaan. Pencatatan ini sangat penting demi mengakses program nelayan yang diberikan oleh pemerintah.

Budaya patriarki yang kuat membuat Masnuah yakin untuk terus berjuang untuk nelayan perempuan di Demak.

Departemen Ilmu Komunikasi UII ingin semua pihak turut membuka mata, salah satu cara adalah lewat beberapa film yang digarap antara lain Sweat Dripping in the Ripples of the River yang digarap uji Hariyanti, S.Sos., M.I.Kom, serta The Independence Day: Between Tears and Laughter karya Marjito Iskandar Tri Gunawan, M.I.Kom.

Berikut beberapa artikel yang membahas isu perempuan:

Screening dan Diskusi Film ‘Sweat Dripping in the Ripples of the River’, Perempuan Merajut Gerakan Menghadapi Krisis Iklim

Recap of ‘Communication for Empowerment’ from Sekon NTT to Nelayan Perempuan Demak 

Nasib Media Perempuan di Indonesia, Menolak Mati Meski Banyak Tantangan ‘Apa yang Bisa Dilakukan?’ 

Film Horor Paling Laris di Indonesia, Kenapa Hantunya Rata-rata Perempuan?

Dinamika Jurnalis Perempuan: Kekerasan Tinggi dan Diskriminasi Gaji

Resah dengan Kasus Pelecehan Seksual, Dua Mahasiswa Ilmu Komunikasi Ciptakan Komik Edukatif

Perjalanan Berliku di Dongi-Dongi Sulawesi Tengah Bersama YTBN

Menilik Tingginya Angka Pernikahan Dini di Sumenep Madura, Alasan Religi hingga Kurangnya Edukasi?

Pahami Jurnalisme Sensitif Gender Sebelum Menulis

Artikel-ertikel lainnya dapat diakses melaui laman communication.uii.ac.id dengan mengetikkan kata kunci Perempuan pada kolom search. Selamat membaca!

 

Hari Konsumen Nasional: Memahami Konsumen Melalui Pendekatan Komunikasi

Hari Konsumen Nasional di Indonesia diperingati setiap 20 April, momentum ini tertuang pada Keputusan Presiden Nomor 13 Tahun 2012. Sementara pemilihan tanggalnya mengacu pada UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan yang disahkan tanggal 20 April silam.

Konsumen dalam KBBI dimaknai sebagai subjek pemakai barang hasil produksi, penerima pesan iklan, dan pemakai jasa. Lantas apa urgensi terkait momentum ini?

Singkatnya, Hari Konsumen Nasional adalah bentuk apresiasi kepada konsumen yang menjadi kekuatan penentu kualitas produk dan pertumbuhan ekonomi. Tak hanya itu, harapannya konsumen menjadi sosok yang kritis, beretika serta memahami hak dan kewajibannya.

Di kajian Ilmu Komunikasi, konsumen menjadi subjek utama dalam konteks komunikasi pemasaran. Beberapa aspek yang didalami biasanya terkait perilaku konsumen, pemasaran (strategi, pesan, pengaruh), hingga kajian khusus yang mengarah pada konteks budaya dan digital.

Kajian tersebut populer di kalangan akademisi Ilmu Komunikasi, bagi mahasiswa yang ingin memahami lebih detail berikut beberapa hasil riset yang layak dijadikan referensi dalam memahami konsumen dengan pendekatan komunikasi.

  1. Pengaruh Aktivitas Customer Service dan Kepuasan Nasabah terhadap Loyalitas Nasabah Bank Riau Kepri Capem Panam Pekanbaru

Riset ini secara spesifik mendalami industri perbankan yang memiliki keterkaitan dengan nasabah. Bank sebagai penyedia jasa harus memberikan pelayanan terbaiknya demi menjaga hubungan dengan nasabah. Wajah utama tentu bagian front office, melalui customer service yang membantu pembukaan rekening, melayani pengaduan, serta menanggapi permintaan informasi. Loyalitas nasabah diukur melalui variable aktivasi customer service dan kepuasan nasabah. Hasilnya ada hubungan positif.

Selengkapnya: https://journal.uii.ac.id/jurnal-komunikasi/article/view/6467

Penulis: Puji Hariyanti dan Rahmy Utari

  1. Analisis Strategi Penanganan Keluhan pelanggan pada Guest Relations Desk di Hotel Swiss-Belboutique Yogyakarta dan Hotel Platinum Adisucipto Yogyakarta

Masifnya pertumbuhan jumlah hotel di Yogyakarta menimbulkan persaingan yang ketat. Layanan maksimal terkait strategi penangan keluhan melalui Guest Relations Desk menjadi salah satu opsi untuk bertahan. Riset ini menganalisis strategi handling complaint termasuk faktor penghambat dan pendukungnya dengan mengacu pada paradigma konstruktivisme. Dari pengamatan yang dilakukan Guset Relation berperan signifikan dalam menangani complain. Tahapan penanganan dimulai dari mendengarkan keluhan, permintaan maaf, crosscheck, dan recoveri.

Selengkapnya: https://scholar.google.com/citations?view_op=view_citation&hl=en&user=mEHWL2kAAAAJ&citation_for_view=mEHWL2kAAAAJ:IjCSPb-OGe4C

Penulis: Shadira Firdausi dan Nadia Wasta Utami

  1. Komunikasi Interpersonal dalam Customer Relationship Management (Studi Deskripstif Kualitatif Pengelolaan Hubungan Interpersonal dalam Customer Relationship Management oleh Sales Marketing PT. Antar Mitra Papua dengan Customer)

Penelitian ini fokus mendalami bagaimana pentingnya komunikasi interpersonal antara sales marketing dengan pelanggan sebagai bagian dari Customer Relationship Management (CRM). Komunikasi dilakukan secara langsung atau tatap muka maupun melalui media. Komunikasi ini bertujuan menciptakan hubungan baik yang berkelanjutan antara sales dengan pelanggan. Penelitian dilakukan dengan pendekatan kualitatif deskriptif yang menghasilkan bahwa komunikasi interpersonal yang efektif mampu membuat perusahaan dekat dengan pelanggan (memeprkuat hubungan bisni).

Slengkapnya: https://scholar.google.com/citations?view_op=view_citation&hl=en&user=RuAVRR0AAAAJ&cstart=20&pagesize=80&citation_for_view=RuAVRR0AAAAJ:Tyk-4Ss8FVUC

Penulis: Endah Pratiwi Nengtyas dan Puji Hariyanti dan

  1. Analysis integrated marketing communication by e-commerto to improve the customer loyality (Descriptive study in hijup.com and muslimarket.com)

Penelitian ini membahas strategi komunikasi pemasaran terpadu yang digunakan oleh dua e-commerce, Hijup dan Muslimarket, untuk meningkatkan loyalitas pelanggan. Hijup fokus pada fashion muslim, sementara Muslimarket menawarkan konsep pasar halal yang lengkap. Keduanya melakukan analisis pasar, persaingan, dan segmentasi sebelum menentukan strategi promosi. Hijup menggunakan berbagai strategi promosi seperti iklan, penjualan personal, pemasaran langsung, dan event, serta menawarkan layanan pelanggan yang baik dan pengiriman gratis. Sementara itu, Muslimarket lebih fokus pada media sosial, newsletter, serta kampanye personal selling seperti “Berinfak di Muslimarket.” Hasil penelitian menunjukkan bahwa masing-masing e-commerce memiliki keunikan dalam membangun loyalitas pelanggan.

Selengkapnya: https://scholar.google.com/citations?view_op=view_citation&hl=en&user=mEHWL2kAAAAJ&citation_for_view=mEHWL2kAAAAJ:qjMakFHDy7sC

Penulis: Nastiti Esti Wulandari dan Nadia Wasta Utami

Itulah beberapa riset yang mampu memberikan pemahaman lebih mendalam terkait konsumen dan bagaimana menangangi beberapa persolan yang kemungkinan terjadi di antara penyedia produk atau jasa dengan konsumen.

The Silent Treatment: Why Not Speaking is Also Communication

“Saying nothing sometimes says the most,” wrote Emily Dickinson. In this statement, silence is portrayed not as emptiness, but as a powerful force. It can shape the world and express what words often cannot. While the silent treatment is commonly viewed as passive-aggressive or emotionally manipulative, from a communication and semiotic perspective, silence itself is a sign. This article explores how the silent treatment functions not simply as a breakdown in communication, but as a meaningful form of expression, rich with its own signs, codes, and cultural interpretations.

In semiotics, everything that conveys meaning is considered a sign, including silence. According to semiotic theory, a sign consists of two components: the signifier (the form the sign takes) and the signified (the concept it represents). When it comes to silence, the signifier might be the absence of speech, reflecting disapproval, anger, or anxiety.

The signified, in turn, could be the emotional response to someone’s actions, such as feeling hurt or upset. Silence doesn’t mean “nothing”; like spoken language, it is interpreted within a specific context, carrying layered meanings that can be just as powerful as words.

The cultural context of silence differs from one society to another, as it is shaped by previously learned social codes. In some cultures, silence can be a sign of respect, especially toward elders or authority figures. In others, it may be interpreted as avoidance, rejection, or even punishment. However, in the context of relationships—particularly intimate ones—silence is often seen as a form of emotional punishment or a means of self-protection. Its meaning shifts depending on the cultural and interpersonal framework in which it occurs.

 The Psychological Impact and Intent Behind the Silent Treatment

The silent treatment can have a significant impact, often more than people realize. While it does communicate a message, it frequently causes confusion, emotional distress, or even self-harm in the person on the receiving end. It places a heavy burden on the receiver, who is left to interpret the silence without context, often leading to anxiety or misunderstanding. Sometimes, the silent treatment is used as a defensive mechanism, but it may be perceived as an act of aggression. For this reason, open and direct communication is usually a healthier and more constructive alternative.

Silence may be wordless, but it is never meaningless. As seen through semiotics and cultural contexts, the silent treatment communicates powerful emotions and intentions. While it can serve as a form of expression, it often leads to misunderstanding and emotional harm. Choosing clear, direct communication is a more mindful path toward connection and understanding.

References

contributors, W. (2025, April 8). wikipedia. Retrieved from silent treatment : https://en.wikipedia.org/wiki/Silent_treatment

Golden, B. (2022, september 11). It’s not the same as healthy disengagement. Retrieved from Psychology Today: https://www.psychologytoday.com/us/blog/overcoming-destructive-anger/202209/why-the-silent-treatment-is-such-destructive-form-passive

 

Written by: Thrya Abdulraheem Motea Al-aqab

Edited by: Meigitaria Sanita