Yayasan Darussalam Selokerto dan Prodi Ilmu Komunikasi UII Gelar Workshop Menjadi Guru di Era AI

Yayasan Darussalam Selokerto (YDS) dan Prodi Ilmu Komunikasi UII mengadakan Workshop bertema “Menjadi Guru di Era Artificial Intellegence (AI) & Produksi Media Pembelajaran dan Promosi Sekolah Berbasis AI.”

Workshop dilaksanakan pada Sabtu, 8 November 2025 di Restoran The Harjo’s Pancasari Yogyakarta yang dihadiri oleh pembina, pengawas, pengurus YDS, guru, tenaga kependidikan RA dan SDIT Darussalam Selokerto, serta beberapa mahasiswi Prodi Magister Ilmu Komunikasi UII. Kegiatan tersebut merupakan salah satu aktivitas dari rangkaian program pengabdian masyarakat Prodi Ilmu Komunikasi UII di RA dan SDIT Darussalam Selokerto.

Pemateri kegiatan ini adalah Prof. Dr Subhan Afifi, M.Si (Ketua Prodi Magister Ilmu Komunikasi UII)  dan Budi Yuwono, S.Sos, M.Sn.  (Dosen STSRD Visi Yogyakarta dan Praktisi Disain Komunikasi Visual).

AI Tidak Menggantikan Profesi Guru

Prof. Subhan Afifi menyampaikan dalam materinya, teknologi AI memberikan tantangan terhadap eksistensi profesi guru, dan juga profesi-profesi lainnya di masa depan. Prof. Subhan mengutip pernyataan Bill Gates yang memprediksi bahwa dalam 10 tahun mendatang, guru-guru akan tergantikan oleh AI. Bahkan saat ini sudah mulai muncul sekolah tanpa guru.

“Tentu agendanya adalah bagaimana para guru merespon tantangan ini,” ujar Prof. Subhan. “AI atau teknologi itu hanya tools saja. Kita meyakini bahwa guru tidak tergantikan oleh AI, tapi bagaimana para guru memanfaatkan AI untuk mendukung tugas mulianya. Tugas guru tidak hanya mengajarkan ilmu pengetahuan, tetapi mendidik keyakinan, karakter dan akhlak mulia dengan sentuhan personal dan manusiawi. Kemampuan itu yang tidak dimiliki AI,” tambahnya.

Selain pemaparan dari Prof. Subhan, pemateri berikutnya, Budi Yuwono menambahkan, kepintaran sebenarnya dimiliki oleh manusia, bukan AI. “AI  sebenarnya “bodoh”, karena AI hanya menerima data dan mengikuti instruksi atau prompt manusia untuk memproduksi sebuah karya, seperti video dan gambar,” jelas Budi Yuwono.

Budi Yuwono memberikan stategi produksi video pembelajaran dan promosi sekolah berbasis AI.  Kuncinya adalah membuat prompt atau instruksi untuk produksi video dengan teknologi AI harus secara detail untuk mendapatkan hasil optimal yang diharapkan. “Prompt dituliskan dengan menyertakan jenis visual, subjek, detail subjek, background setting, mood atau suasana, bahkan hingga ke teknik kamera. Di sinilah letak kreativitas manusia dalam mengupayakan pekerjaan dengan menggunakan teknologi AI,” ujar Budi Yuwono.

Manfaat-Mudharat AI

Prof. Subhan menyampaikan bahwa para guru dan tenaga kependidikan bisa mengoptimalkan teknologi AI dengan berbagai manfaat dan kelebihannya untuk mendukung proses pembelajaran di sekolah. “Manfaatnya sangat banyak, misal membatu guru dalam hal efisiensi waktu, personalisasi pembelajaran, inovasi media dan metode, analisis data pembelajaran, pengembangan profesional hingga menjadi pendamping/asisten guru dalam mengembangkan kualitas pembelajaran,” tambahnya.

Meski demikian, selain memberikan manfaat, AI memiliki potensi dampak buruk (mudharat) yang harus diwaspadai, seperti plagiarisme, berkurangnya kreativitas dan kemandirian, hilangnya nilai-nilai kemanusiaan, terancamnya privasi dan keamanan, bahkan terganggunya kesehatan mental pengguna yang menggunakannya secara berlebihan dan tidak terkontrol.

“Untuk itu diperlukan peningkatan literasi digital di kalangan para guru untuk memanfaatkan AI dengan bijak dan menegakkan etika, sekaligus mengembangkan kemampuan berfikir kritis dan kreatif, agar terhindar dari dampak buruk AI” pungkas Prof Subhan.  (**)

UU PDP

Diskusi Online

UU Perlindungan Data Pribadi dan Ancaman Kebebasan Akademik di Indonesia

Senin, 10 November 2025, pukul 16.00-18.00 WIB

Via Zoom: https://uii.zoom.us/j/98675770553

Free – terbuka untuk umum

Pemantik Diskusi:

  1. Herlambang P. Wiratraman

Akademisi Fak. Hukum UGM, Direktur PSJ FH UGM, Board KIKA (Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik)

  1. Masduki

Akademisi Komunikasi UII, Direktur Pusat Studi Agama dan Demokrasi UII, Prinsival Judisical Review UU PDP ke Mahkamah Konstitusi RI

  1. Gema Gita Persada

Pengacara Publik LBH Pers Jakarta, Kuasa Hukum Pemohon Judicial Review UU PDP ke MK

Moderator

Meigitaria Sanita (IAMCR Indonesia, Prodi Ilmu Komunikasi UII)

Diskusi ini diselenggarakan atas kerja sama antara PSAD UII, IAMCR Indonesia, PSJ FH UGM, dan LBH Pers.

Through Different Eyes: How Perspective Shapes Film Interpretation

No two people watch a film in the same way. Each viewer brings their own background, emotions, and beliefs into the experience. These factors act like filters that shape how we understand the story, its characters, and its meaning. Because of this, a film never has just one single interpretation. Instead, it becomes a space where different perspectives meet and create new understandings. This idea reflects the interpretation theory, which suggests that meaning depends not only on the creator but also on the audience who experiences the work.

For most viewers, personal experiences and age play an important role in how they interpret a film. A teenager might relate to a character’s struggle for independence, while an older person might focus on themes of memory or regret. Family films, for example, often work on multiple levels where children enjoy the humor and adventure, while adults notice the emotional depth or social message behind the story. These differences happen naturally because every viewer connects the story to their own life and emotions.

Film and Communication Students

Students who study film or communication approach movies with a more analytical perspective. They are trained to look at how films are made, how the camera moves, how lighting sets the mood, and how editing builds rhythm. They also understand concepts like mise-en-scène, sound design, and symbolism. When they watch a film, they can identify the director’s creative choices and interpret how these choices express ideas or emotions. Their understanding goes beyond the story itself; they see the film as a structured message built through visual and sound techniques.

Critics

Professional film critics view movies with both personal insight and a broad knowledge of cinema history and culture. They compare films with others, discuss how they contribute to society or the art form, and evaluate the quality of storytelling and production. While critics aim to be objective, their interpretations still reflect their own perspectives. Their reviews often influence how the public views a movie, showing how one person’s interpretation can shape others’ understanding.

Films are living works of art that change with every viewer. Whether it’s a casual audience member, a film student, or a critic, each person brings a different way of seeing. These perspectives remind us that a film’s meaning is not fixed, and it grows and transforms through the eyes and minds of those who watch it.

References

(n.d.). Reception theory – Wikipedia. Retrieved November 3, 2025, from https://en.wikipedia.org/wiki/Reception_theory

Bordwell, D. (1989). Making meaning: inference and rhetoric in the interpretation of cinema. Harvard University Press.

 

Written by: Thrya Abdulraheem Motea Al-aqab

Edited by: Meigitaria Sanita

Dosen Ilmu Komunikasi UII Berikan Materi Literasi Digital untuk Siswa SD ‘Upaya Menciptakan Ruang Aman untuk Anak’

Data yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024 menyebutkan sebanyak 39,71 persen anak usia dini di Indonesia telah menggunakan telepon seluler, sementara 35,57 persen tercatat mengakses internet. Lantas bagaimana dengan anak usia Sekolah Dasar (SD)?

Bisa diprediksi angkanya pasti akan lebih tinggi, anak usia 7 hingga 17 tahun tercatat 74,85 persen telah mengakses internet (data tahun 2024). Masalahnya adalah apakah mereka sudah cukup bijak menggunakan telepon seluler yang tersambung dengan internet? Dengan sangat mudah anak-anak bebas menjelajah dunia, bahkan bisa tersesat.

Demi menciptakan ruang digital yang aman untuk anak, salah satu dosen Ilmu Komunikasi UII, Puji Hariyanti, S.Sos., M.I.Kom. melakukan pengabdian ke SDIT Hidayatullah yang berlokasi di Sleman, Yogyakarta. Literasi digital diberikan kepada anak-anak kelas 1 dan 2 secara bertahap, pada 24 dan 31 Oktober 2025.

Hampir 200 anak yang ditemui menyebutkan telah memiliki smartphone, sementara sedikit yang dipinjami oleh oleh orangtuanya karena belum diizinkan memelikinya secara pribadi.

“Sekarang ini anak-anak SD sudah banyak yang menggunakan gawai baik untuk hiburan (main game atau menonton video) maupun untuk mendukung pembelajaran. Namun banyak kasus di mana anak-anak memainkan game atau menonton video yang tidak sesuai untuk usia mereka,” ujar dosen Ilmu Komunikasi tersebut.

Dosen Ilmu Komunikasi UII Berikan Materi Literasi Digital untuk Siswa SD ‘Upaya Menciptakan Ruang Aman untuk Anak’

Siswa-siswi SDIT Hidayatullah

Sementara fasilitas yng mumpuni kerap kali tak diimbangi dengan pengawasan dari orang tua tentu akan berisiko. Tanpa aturan yang jelas, anak-anak dengan rasa penasaran yang tinggi tentu akan mudah mengakses konten apapun, termasuk konten yang tak sesuai uisa.

Dari laporan Komdigi yang merujuk pada survei National on Missing and Exploited Children (NCMEC), Indonesia menempati posisi keempat secara global dalam kasus pornografi anak di ruang digital.

“Banyak orang tua yang hanya memberikan fasilitas gawai ke anaknya tanpa memberikan aturan pembatasan penggunaan gawai,” jelasnya.

“Sehingga anak menggunakan gawai secara berlebihan tanpa pengawasan. Hal ini menyebabkan anak menjadi kurang bertanggung jawab terhadap tugas dan kewajibannya untuk belajar, bahkan cenderung kurang peduli dengan lingkungannya,” tambahnya.

Dalam penyampaian edukasi ini dilakukan dengan berbagai metode, mulai dari penjelasan secara sederhana yang fun hingga menonton berbagai video edukasi. Berbagai tayangan seperti animasi yang menjelaskan dampak yang tidak baik dalam penggunaan smartphone secara berlebihan hingga tawaran solusi.

Anak-anak diajak untuk mengenal alam, seperti bermain di luar rumah bersama teman sebaya, membantu orang tua, belajar hingga berolahraga. Dalam literasi ini, anak-anak tetap diperbolehkan menggunakan smartphone namun dengan batasan yang jelas.

“Sebagai media literasi lainnya diberikan ular tangga internet sehat yang di dalamnya terdapat informasi sederhana diantaranya menjadikan internet sebagai tempat seru mencari ilmu, menambah pengetahuan dan pengalaman, tidak memberi tahu teman informasi yang tidak benar (hoax), tetap waspada karena di internet juga ada orang jahat yang berpura-pura baik, jangan mau jika diajak janjian bertemu dengan orang yang dikenal lewat internet, selalu bercerita dengan orang tua tentang pengalaman di internet, tidak melakukan pembullyan di dunia maya serta informasi positif lainnya,” tandasnya.

6th Annual Workshop on Globalisation 2025: How Does Local Culture Fit into the Global Context in the Digital Age?

Local culture is often considered conservative and outdated, but the digital age brings a different perspective. Although many believe that technology poses a threat to traditions and cultural heritage, in the right hands, the digital age presents a huge opportunity for the development of local culture.

This topic was discussed in the 6th Annual Workshop on Globalisation (AWG) programme, which focused on the topic From Local Culture to Global Connection: Multimedia and Communication in a Digital World. It was held on Wednesday, 29 October 2025, in the Auditorium Room on the 3rd floor of the Soekiman Wirasandjadja Building, UII.

In general, AWG is an annual programme held by the International Program, Department of Communications Science, UII. This time, there were three speakers who shared their insights with IPC 2022-2025 students and several students from the Faculty of Computing and Multimedia, University Poly-Tech Malaysia. Two of them were academics from Malaysia, and one was an alumnus of Communication Studies, UII, who specialises in a related field.

The event was opened by the Dean of the Faculty of Social and Cultural Sciences, UII, Nizamuddin Sadiq, S.Pd., M.Hum., Ph.D. He welcomed the guests from UPTM and conveyed a message of mutual collaboration for a bright future. “The AWG Annual Event is a platform where ideas, creativity, and collaboration from various countries come together. The relationship between Indonesia and Malaysia may sometimes be warm and at other times challenging, but as neighbours, we must always be kind, supportive, and cooperative. In Islam, it is said that a close neighbour is better than a distant relative, a principle we should embody to build a brighter future for our students,” he said.

The Dean of UPTM also expressed his hope that his visit to UII would provide him with new insights and perspectives from two interrelated cultures. UPTM even openly invited UII students and lecturers to collaborate. Several programmes offered include visiting lecturers, student exchanges, and several other programmes.

“Today, collaboration is more important than ever as it serves as a valuable way to strengthen partnerships. We have many ideas for future collaborations,” said Dr. Saifuddin Bin Haji Mohtaram.

“For next year, we would like to invite UII to join mobility programmes, conferences, and visiting lectures. Through these initiatives, we can continue to learn and share more kinds of knowledge as we expand together in this fast-changing environment,” he added.

From Local Culture to Global Connection: Multimedia and Communication in a Digital World

Moderated by UII Communication Science lecturer Ibnu Darmawan, S.I.Kom., M.I.Kom., the discussion explored how digital platforms open up enormous opportunities for cultural change. Not only do they emphasise innovation, but also challenges in management.

Three speakers from various fields of expertise presented diverse perspectives. Dr. Nadiah binti Yusof from the Faculty of Computing and Multimedia, UPTM, presented a theme entitled ‘Pattern Recognition in Songket Motifs to Explore Local Wisdom’. Linking local culture, especially songket motifs, to global connections in the digital world, she introduced in depth the subject of information retrieval in the context of information science.

‘The development of centralised databases and information retrieval systems has transformed user access to information. As technology advances, integrating diverse media forms such as audio, video, and graphics is crucial, enhancing user experience and enabling more dynamic exploration of information,’ she said.

‘Malaysia’s cultural heritage includes two types: tangible heritage, which consists of physical items such as graves and tombstones, and intangible heritage, which involves knowledge and skills expressed through oral traditions, customs, language, and textile arts. This study focuses on the intangible cultural heritage of textile arts, particularly songket motifs,’ he added.

Another interesting topic was Character Archetype, presented by Hafizz Al-Amirul bin Mohd Zanial from UPTM. With the case study of Upin & Ipin animation, the students seemed very enthusiastic and connected.

In general, Character Archetype is based on personal experiences and the shared culture of Indonesia and Malaysia. ‘The figures of Upin and Ipin, which reflect the collective behaviour and values of the people in the region, show how personal storytelling can strengthen the appeal of characters,’ he said.

In his explanation, Carl Jung introduced the concept of archetypes in 1919. According to Jung, archetypes are innate, universal patterns or models of thought and behaviour present in the collective unconscious.

The success of the Upin & Ipin animation is supported not only by technology but also by a deep understanding of specific characters and cultures. ‘The characters reflect values, identity, and cohesion that resonate deeply across Malaysian and regional audiences,’ he added.

The final material was presented by Bagoes Kresnawan, an alumnus of Communication Studies at UII who now works as a film director and content creator who explores local culture through cuisine. He also builds communities and brings authenticity to digital content.

‘My content isn’t the usual food review. I add a twist, a story, music, and thoughtful editing. Food Patrol is a documentary series about food, history, and people, short, calming, and impactful. I’m not chasing views or trends; I’m documenting stories that matter,’ said Bagoes.

He also added that the purpose of creating content is not just about viewer numbers. There is an idealism that is beautifully constructed. “I don’t chase views, I document stories. Food Patrol isn’t just about food, it’s about culture, history, and people,” he concluded.

AWG

✨ The 6th AWG is here! ✨

The Annual Workshop on Globalization (AWG) 2025 is an annual global workshop that invites international speakers in particularly on global-related issues and up-to-date topics in communication perspective!

In this 6th AWG, we explore the topic of “From Local Culture to Global Connection: Multimedia and Communication in A Digital World” with guests ranging from academics to practitioners, offering insights that combine theory and practice. ✨

The event would be on:
Wednesday, 29 October 2025
3rd Floor Auditorium of the Faculty
08.00 – 12.00 ☝

This event is specially intended for IPC active students batch 2022 – 2025, so come aboard and let’s learn together!

See you there!

Summer course

This experience was written by Thrya, a student from Yemen who joined IPC UII batch 2024. During the last semester break, she participated in an inspiring activity.

During my university holiday, I decided to spend my time differently by joining several international short courses that offered not only learning experiences but also meaningful connections. I participated in the NUNI Presidential Forum & Student Camp 2025 at Universitas Andalas in Padang, the UNESA Summer Camp 2025 in Surabaya, and the ITroSCo 2025 (International Tropical Summer Course) in Jepara. Each program had its own uniqueness, but all shared one common goal, which is promoting the Sustainable Development Goals (SDGs) and encouraging youth to take part in creating a better and more sustainable world.

The first program I joined was the NUNI Student Camp, which focused on innovation in food and agriculture, health and medicine, advanced materials and AI, and disaster risk mitigation to accelerate the achievement of the SDGs. I was honored to receive the Best Student Category Award during the Bridging Inauguration Night, an achievement that deeply motivated me to continue learning and sharing ideas with others. Throughout the camp, I collaborated with students from various Indonesian universities to discuss how young people can actively contribute to sustainability efforts. It was eye-opening to see how interdisciplinary collaboration can turn global goals into actionable ideas. I learned that meaningful change starts from our immediate environment and that youth engagement plays a vital role in making sustainability a shared responsibility.

Next, I joined the UNESA Summer Camp, a seven-day cultural and educational program designed to immerse international students in Indonesia’s cultural legacy and inclusivity. The program included exciting activities such as learning Bahasa Indonesia and local languages, inclusive education (including sign language), traditional sports and games, cooking Indonesian dishes, and city tours.

Beyond cultural exploration, the camp subtly linked every activity with values of inclusivity and sustainability. It was inspiring to see how cultural exchange can foster global understanding. I truly enjoyed meeting participants from diverse countries and backgrounds, which helped me appreciate how different cultures can unite under shared global missions.

The final program I joined was the International Tropical Summer Course (ITroSCo 2025) organized by Universitas Diponegoro. This program focused on Sustainable Aquaculture and Coastal Ecosystems — addressing environmental challenges while highlighting the importance of marine conservation and sustainable resource management. I had the chance to learn directly from experts and collaborate with international peers. The experience allowed me to see how local practices in coastal cities can connect with global efforts to protect our planet. It strengthened my passion for learning how environmental sustainability is being implemented in Indonesia and inspired me to explore how similar approaches could be applied in my own country.

Reflecting on these experiences, I feel grateful for the opportunity to learn beyond the classroom. Each short course taught me valuable lessons about leadership, teamwork, cultural understanding, and sustainability. What inspired me the most was seeing how Indonesia integrates the SDGs into higher education and youth programs, showing that universities play a crucial role in shaping global-minded, socially responsible youth. These experiences also deepened my passion for learning how other countries address global issues and how they connect local culture and innovation with sustainability in everyday life.

These short courses did more than just teach me about the SDGs; they showed me what it means to live them. They reminded me that every small action, when shared and multiplied, can create a lasting impact. I will carry these lessons with me as I continue to grow, connect, and contribute to a more sustainable and united world.

KalFest Hub Seri #8: Behind Story Pemenang Film ReelOzInd! 2025

Kaliurang Festival Hub (KalFest Hub) seri #8 yang berkolaborasi dengan ReelOzInd! telah berlangsung pada Kamis, 23 Oktober 2025 di di Ruang Audio Visual Balai Layanan Perpustakaan Grhatama Pustaka DPAD DIY, telah menampilkan 9 film yang menang ReelOzInd! 2025.

Dua pertemuan festival ini menjadi saksi premier screening sekaligus pertemuan penonton dengan praktisi dan akademisi pengkaji film. Banyak cerita mendalam dibalik film-film terpilih, semuanya tersaji dalam satu acara kalFest Hub seri #8 x ReelOzInd!.

Penonton diajak menon 9 film secara simultan, dan berlanjut dengan diskusi. Sesi ini menghadirkan dua pembicara yakni Kevin Evans (Indonesia Director The Australia-Indonesia Centre) dan Dr. Dyna Herlina S (Film Researcher, Universitas Negeri Yogyakarta, Ketua KAFEIN).

ReelOzInd! tahun ini mengambil tema Imajinasi, bagi Kevin Evans kata tersebut mudah dipahami oleh kedua negara. “Tiap tahun kita ambil tema satu kata, sedikit dan dimengerti dua negara. gampang menyambung,” ujarnya.

ReelOzInd! adalah kompetisi dan festival film pendek yang ditujukan kepada sineas dari Australia dan Indonesia. Kevin menyebut lewat film mampu menyatukan berbagai hal dengan sederhana.

“Melalui film banyak orang di Australia dan Indonesia berfikir sama atau ralate oh pikirannya sama. Seringkali saya lupa, ini Indonesia atau Australia. Relate yang dialami, melihat dari lingkungan yang berbeda, dengan aspek primordial yang berbeda, dan kemanusiaan yang sama,” tambahnya.

Selain itu, film juga menjadi media pembelajaran yang menarik dan atraktif di Australia, terlebih kini banyak institusi pendidikan yang mengajarkan bahasa Indonesia.

Sementara Dr. Dyna Herlina, menyebut KalFest Hub mampu menjadi ruang strategis yang mampu menghubungkan festival dari berbagai negara. Salah satunya Australia yang selama ini tidak memiliki hubungan intensif dengan Indonesia. “KalFest Hub platform yang strategic to connect yang sebenarnya tidak terkoneksi. Saya berpikir ReelOzInd bisa kita undang, as well as festival,” ujarnya.

Behind Story Film-Film Pemenang ReelOzInd!

Tiga pemenang menyempatkan hadir dalam momen ini, cerita unik datang dari Firman Widyasmara kreator film berjudul Leleng, dengan teknik stop motion yang terkesan arkais menciptakan berbagai efek yang dinamis. Ternyata film animasi ini sempat tertunda bertahun-tahun lantaran berbagai situasi yang mendukung.

“Tantangannya karena ini film pertama jadi masih acakadut (berantakan), tapi di balik keterbatasan waktu cukup panjang, file sempat terserak karena pandemi Covid-19. Tahun 2023 mulai saya rapikan kembali seperti yang teman-teman saksikan,” ungkap Firman Widyasmara.

Cerita lain datang dari peraih Special Mention Young Filmmaker garapan Isla Ward. Filmnya berjudul Hurt People, Hurt People terispirasi dari kisah-kisah di sekililingnya. Bagaimana bullying terjadi pada murid-murid di sekolah. Ditemani dengan sang ayah, Isla menuju panggung KalFest Hub menceritakan di balik tema yang ia pilih.

“Why did I make that film? Because when I was 8 years old in green school. You have to do a project called a quest. Which is a passion project. Where you have to make something. Which is closer to something you like doing or something you like or appreciation or something like that. I don’t know there are people who make books, there are people who make songs. Everyone is doing something closer and I also made something more active. So I decided to make a film,” jelas Isla.

Terakhir, ada film Fighting for the Future pemenang Special mention Documentary, yang menyorot tinju yang dianggap dari kacamata anarkisme jalanan menjadi penyaluran hobi dan prestasi. Marjito Iskandar Tri Gunawan menyebut kelompok yang terbentuk informal menjadi ruang yang membawa kegelisahan menuju hal positif.

“Aku flashback lagi sekitar 20 tahun lalu, ini dunia mahasiswa dan remaja. Dicoba ditelusuri didalami lagi menjadi kegelisahan bersama. Dunia remaja adalah dunia penuh dengan energi,” tandasnya.

Final Film ReelOzInd! 2025 – Running Sheet

(Best Animation) Leleng | Zaenal Abidin (director) | Firman Widyasmara (producer) | Indonesia | 2025 | All Ages

(Best Documentary) Wadjemup Wirin Bidi | Glen Stasiuk (director/producer) | Australia | 2025 | All Ages

(Special Mention Fiction) Buried in Time | Deandrey Putra (director/producer) | Farhan Nugraha (producer) | Indonesia | 2025 | All Ages

(Special Mention Fiction) Fallow | Bonnie Van De Ven (director) | Andrew O’Keefe (producer) | Australia | 2024 | All Ages

(Special Mention Documentary) Fighting for the Future | Marjito Iskandar Tri Gunawan (director/producer) | Indonesia | 2025 | All Ages

(Special Mention Young Filmmaker) Hurt People, Hurt People | Isla Ayu Sri Ward (director/writer) | Indonesia | 2025 | All Ages

(Best Young Filmmaker) Running Away | Dari Justin (director/producer) | Australia | 2025 | All Ages

(Special Mention Animation) Elephant | Mia Innocenti (writer/director) | Phoebe Blanchard (writer) | Tenzin Kelly-hall (producer) | Australia | 2024 | All Ages

(Best Fiction/ Best Film) Kau, Aku, dan Kursi Itu (You and Me and that Chair) | Trivita Tiffany Winataputri (director/writer) | Matt Wallace (director) | Lawrence Phelan (producer) | Australia/Indonesia | 2023 | All Ages

KalFest Hub seri #8 ini menjadi momen spesial karena film-film pendek yang mendapatkan award akan diputar secara perdana dan serentak di Yogyakarta (Indonesia) dan Melbourne (Australia).

 

Pengalaman Unik Alumni Ilkom UII Kuliah S2 di India, dari Adaptasi hingga Culture Shock

Pengalaman unik datang dari alumni Ilmu Komuniasi UII, Rizqiyah Yusrinawati yang kini tengah melanjutkan studi lanjut di India. Ia memilih Journalism and Mass Communication di Punjab University melalui beasiswa pemerintah India. Lebih dari tiga bulan menjalani hidup di India, Qiya membagikan cara beradaptasi hingga culture shock yang dialaminya.

Sebagai mahasiswa internasional, tentu bahasa Inggris menjadi andalannya untuk berkomunikasi. Namun, di Punjab University bahasa pengantarnya adalah bahasa Punjab. Tentu ini membuat Qiya harus berusaha lebih keras. Ia adalah satu-satunya mahasiswa internasional di kelas itu. Tak jarang ia meminta dosen untuk mengulang penjelasan dengan bahasa Inggris.

“Karena mahasiswa internasional di kelas hanya saya, maka dosen akan mengajar menggunakan Punjabi atau Hindi,” ungkap Qiya.

“Tapi kalo belum paham beliau akan menjelaskan ulang dalam bahasa Inggris,” tambahnya.

Tak hanya di kelas, bahasa Punjabi menjadi bahasa utama, termasuk saat berada berbelanja di toko, memesan ojek online dan sebagainya.

Soal makanan juga tak kalah unik, ia pernah memesan jus buah. Di tengah panasnya suhu di India, Qiya sudah membayangkan akan minum jus mangga yang menyegarkan. Sayangnya, ekspektasinya berubah, jus mangga yang dipesannya terasa asin berempah masala khas India.

“Makanan ya, paling berat (adaptasi). Di India semua penuh rempah. Tapi semakin lama mulai terbiasa Pernah coba beli jus buah kan, ternyata asin dan berempah,” ujarnya.

Bertahan hidup di India menjadi tantangan baginya, termasuk dalam mencari tempat tinggal. Hampir semua kos di India khusus mereka yang vegan, artinya tak boleh memasak apapun di dapur kecuali makanan vegan. Dan ini juga berlaku di kantin kampusnya.

Tapi, kondisi ini cukup menguntungkan bagianya. Sebagai seorang muslim tak perlu terlalu was-was dalam memilih makanan.

Di luar pengalaman-pengalaman unik itu, Qiya bersyukur cita-citanya kuliah di India terwujud. India adalah negara impiannya, sejak S1 di Ilmu Komunikasi UII ia telah meyakinkan diri untuk belajar di negara yang kaya tradisi dan budaya itu.

Sistem pendidikan di India cukup berbeda dengan Indonesia. Budaya mencatat dan mengahafal teori begitu kuat. Hal ini memaksanya beradaptasi dengan cepat dan mencari strategi yang tepat.

“Jujur disini masih kebanyakan teori, jadi dosen akan menerangkan, dan kami mencatat. Tapi ada practical class tapi tidak banyak,” ungkapnya.

“Yang bikin greget, ujiannya tulis tangan (pena biru dan banyak aturan lainnya). Kalo bisa nulisnya 4-5 halaman. Jadi tergantung seberapa banyak mahasiwa menulis. Literally 3 jam tangan tidak berhenti menulis berlembar-lembar,” tambahnya lagi.

Selain itu, mahasiswa-mahasiswa di India sangat kompetitif dan semangat belajarnya tinggi. Hal ini membuatnya terpacu untuk terus beradaptasi. Melanjutkan studi di India adalah pilihan yang telah dipertimbangkan secara matang.

Alasannya karena udah cinta banget sama India. Terlebih suka tentang art and culture. Selain itu, mempertimbangkan kemampuan diri, dari segi mental dan finansial juga. India rupees dan Indonesia rupiah gak begitu jauh, harga makanan disini juga 11 12 lah sama di Indonesia,” teranya.

Ia juga membagikan tipsnya lolos mendapatkan beasiswa, memulai dari riset universitas dan negara tujuan.

Berikut bebrapa tips yang disampaikan Rizqiyah Yusrinawati sukses meraih beasiswa S2:

  1. Riset kampus dan negara. Kita bakal belajar di negeri orang, gak lucu kalo tiba-tiba gak cocok sama negaranya.
  2. Riset jurusan tentunya.
  3. Cek ketersediaan beasiswa (tanpa beasiswa pun gapapa- kembali lagi sesuaikan dengan kemampuan diri).
  4. Cek syarat-syarat dan dokumen yang harus diunggah (baik jalur beasiswa maupun non beasiswa ya).
  5. TOEFL/ DET/ IELTS/ PTE atau apapun itu. Kemampuan bahasa yang diminta apa. Ada kan kampus yang mengizinkan pakai sertifikat bahasa mereka (yang nonenglish) kayak German, Jepang, Korea dkk. Tapi ENGLISH penting banget.
  6. Essay (personal statment) CV, resume and so on. Ini masuknya ke dokumen yang perlu diunggah ya. Tapi kayaknya tips and trick penulisannya sangat diperlukan.
  7. Ngobrol sama awardee beasiswa atau alumni dari uni tersebut. Jadikan mentor, minta bantuan.
  8. Diskusi dengan orang tua dan jangan lupa berdoa.

Itulah cerita dan pengalaman menarik dari salah satu alumni Ilmu Komunikasi, harapannya kisah suksesnya mampu meberi inspirasi ya Comms.

PRESS RELEASE – KalFest Hub Seri #8 Berkolaborasi dengan ReelOZInd! ‘Menyatukan Film Pendek Indonesia-Australia di Jogja’

Menjadi agenda penutup tahun ini, Kaliurang Festival Hub (KalFest Hub) seri #8 berkolaborasi dengan ReelOzInd!. Festival digelar pada Kamis, 23 Oktober 2025 di Ruang Audio Visual Balai Layanan Perpustakaan Grhatama Pustaka DPAD DIY.

ReelOzInd! adalah kompetisi dan festival film pendek yang ditujukan kepada sineas dari Australia dan Indonesia. Tahun 2025, ReelOZInd! Yang digawangi oleh Jemma Purdey (Autralia) dan Gaston Soehadi (Indonesia) mengambil tema Imajinasi berhasil mendapatkan 9 pemenang dari berbagai kategori.

KalFest Hub seri #8 ini menjadi momen spesial karena film-film pendek yang mendapatkan award akan diputar secara perdana dan serentak di Yogyakarta (Indonesia) dan Melbourne (Australia).

Menjadi tuan rumah, Dr. Zaki Habibi selaku Kaliurang Festival Hub Programmer menyebut bahwa kesempatan ini dapat tercapai karena telah membangun jejaring yang cukup intensif dengan Jemma Purdey, Direktor Festival ReelOzInd!.

“KalFest Hub telah lama membangun jejaring dengan programmer Jemma Purdey dari Melbourne, yang membuka kesempatan kolaborasi untuk memutar film ReelOzInd! di Jogja,” ucapnya.

Pada kesempatan ini selain menhadirkan premiere screening 9 film, juga akan dilanjutkan dengan diskusi bersma Kevin Evans (Indonesia Director The Australia-Indonesia Centre) dan Dr. Dyna Herlina S (Film Researcher, Universitas Negeri Yogyakarta, Ketua KAFEIN). Beberapa pemenang ReelOzInd! Juga akan hadir untuk mewarnai diskusi dari kacamata produksi.

“Dalam seri #8 yang menjadi penutup tahun 2025, pemutaran film diselenggarakan di Kaliurang Festival Hub, Jogja, dilanjutkan dengan diskusi bersama tamu spesial dan filmmaker,” ujar Dr. Zaki Habibi.

Bagi pecinta dan pengkaji film agenda ini adalah kesempatan berharga yang sayang untuk dilewarkan. “Festival ini menghadirkan Premiere Screening serentak di Melbourne dan di Jogja pada 23 Oktober 2025, memberikan akses film yang sama tanpa harus ke Melbourne,” tandasnya.

Berikut beberapa daftar film yang akan diputar pada KalFest Hub Seri #8 x ReelOzInd!:

Final Film ReelOzInd! 2025 – Running Sheet

(Best Animation) Leleng | Zaenal Abidin (director) | Firman Widyasmara (producer) | Indonesia | 2025 | All Ages

(Best Documentary) Wadjemup Wirin Bidi | Glen Stasiuk (director/producer) | Australia | 2025 | All Ages

(Special Mention Fiction) Buried in Time | Deandrey Putra (director/producer) | Farhan Nugraha (producer) | Indonesia | 2025 | All Ages

(Special Mention Fiction) Fallow | Bonnie Van De Ven (director) | Andrew O’Keefe (producer) | Australia | 2024 | All Ages

(Special Mention Documentary) Fighting for the Future | Marjito Iskandar Tri Gunawan (director/producer) | Indonesia | 2025 | All Ages

(Special Mention Young Filmmaker) Hurt People, Hurt People | Isla Ayu Sri Ward (director/writer) | Indonesia | 2025 | All Ages

(Best Young Filmmaker) Running Away | Dari Justin (director/producer) | Australia | 2025 | All Ages

(Special Mention Animation) Elephant | Mia Innocenti (writer/director) | Phoebe Blanchard (writer) | Tenzin Kelly-hall (producer) | Australia | 2024 | All Ages

(Best Fiction/ Best Film) Kau, Aku, dan Kursi Itu (You and Me and that Chair) | Trivita Tiffany Winataputri (director/writer) | Matt Wallace (director) | Lawrence Phelan (producer) | Australia/Indonesia | 2023 | All Ages

Dengan kolabarasi antara KalFest Hub seri #8 dengan ReelOzInd! Mampu mempererat relasi kedua negara. Selain itu film-film yang dihadirkan memberikan kesempatan berbagi cerita yang jauh dari stereorip dan drama politik. Festival ini bertujuan meningkatkan kesadaran dari kedua Negra lewat karya kreatif.

“Kolaborasi ini diharapkan memperkuat jaringan dan relasi antara Indonesia dan Australia, khususnya antara Jogja dan Melbourne, sesuai spirit KalFest Hubsebagai penghubung berbagai entitas.” Tandas Dr. Zaki Habibi.

Rundown KalFest Hub seri 8 x ReelOzInd!

No Pukul Kegiatan  Durasi
15.00-15.15 Registrasi Kehadiran  15 Menit 
15.15-15.25 Sambutan dari Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi, FISB, UII  10 Menit
15.25- 15.30 Sambutan dari Direktur Kaliurang Festival Hub.  5 Menit
15.30.17.00 Pemutaran film pemenang (Terbaik dan Penghargaan Khusus) dari setiap kategori kompetisi ReelOzInd.  120 Menit
17.00-18.00 Diskusi bersama perwakilan dari Australia Indonesia Center dan Akademisi pengkaji film.  60 Menit
18.00-18.45 Tanya jawab  45 Menit
18.45-18.50 Penyerahan souvenir kepada pembicara dan Foto bersama.  5 Menit
18.50-19.00 Penutup 10 Menit