Ask the Expert Bagaimana Menciptakan Program Komunikasi ‘Event’ yang Berhasil

Program komunikasi adalah salah satu output dalam kajian Ilmu Komunikasi, dikemas dalam mata kuliah Manajemen Komersil biasanya mahasiswa menciptakan event sesuai kebutuhan komunitas tertentu.

Secara umum program komunikasi berbasis event adalah rangkaian strategis terintegrasi yang memanfaatkan acara sebagai media utama dalam menyampaikan pesan, membangun pemahaman dan engagement kepada spesifik audiens.

Skill ini cukup vital bagi lulusan Ilmu Komunikasi, selain melatih manajemen event juga aplikasi praktis teori dalam dunia kerja. Mahasiswa dituntut menjadi problem solver hingga membangun hubungan strategis dengan para stakeholder.

Dalam edisi Ask the Expert kali ini, salah satu dosen Ilmu Komunikasi UII yakni Ibnu Darmawan, S.I.Kom., M.A. memberikan argumen mendalam terkait keberhasilan program komunikasi.

Strategi Pemasaran untuk Meningkatkan Partisipasi Audiens

Langkah awal dalam strategi komunikasi pemasaran yang efektif dimulai dengan riset mendalam. Melalui data demografi yang diperoleh untuk menentukan media paling tepat untuk melakukan pemasaran.

“Untuk strategi pemasaran yang paling penting dilakukan oleh teman-teman adalah riset dulu. Riset ini nanti menggunakan data demografi kemudian bisa menyimpulkan kecenderungan dari data tersebut,” ucapnya.

Berdasarkan pengalamannya, di era digital yang masif media pemasran tidak hanya bergantung dengan platform digital. Pendekatan langsung berbasis komunitas ternyata cukup efektif menggaet audiens.

“Uniknya di era digital sekarang channel untuk pemasaran itu tidak hanya bergantung pada platform digital aja. Nah digital itu apa sih sebetulnya dari social media melalui konten-konten yang menarik. Nah tapi teman-teman bisa menggunakan pendekatan langsung juga berkolaborasi dengan komunitas yang spesifik yang relevan dengan programnya,” tambahnya.

Untuk meningkatkan efektivitas strategi pemasaran secara keseluruhan, menggabungkan kedua metode ini terbukti ampuh meningkatkan partisipasi.

Manajemen Stakeholder untuk Keberhasilan Komersial

Stakeholder dalam program komunikasi disebut sebagai kolaborator yang terdiri dari sponsor dan komunitas. Keduanya memiliki peran krusial sebagai mitra strategis, sponsor berperan dalam pendanaaan sementara komunitas akan membawa audiens relevan.

“Sponsor adalah mereka yang bisa menyediakan bantuan baik dari pendanaan atau peralatan dengan nilai yang signifikan untuk mengurangi anggaran pembelajaran setiap program komunikasi. Kemudian komunitas mereka adalah sekelompok orang dengan interest yang spesifik yang relevan dengan program komunikasi,” ungkapnya.

Stakeholder tak sekedar pendukung pasif namun membantu penentu kesuksesan program komunikasi. Keterlibatan dalam diskusi untuk memastikan semua pihak memiliki pemahaman yang sama terhadap program yang akan dilaksanakan.

“Yang pertama teman-teman perlu menyamakan persepsi dulu terkait dengan program komunikasi yang akan dijalankan. Kemudian yang kedua adalah menyampaikan tujuan yang jelas kepada mereka. Sehingga mereka tahu bagaimana mereka bisa berkontribusi secara strategis dalam program komunikasi teman-teman,” tambahnya.

Komunikasi Internal untuk Efisiensi Pelaksanaan

Hal sederhana yang kerap terabaikan adalah komunikasi internal. Padahal komunikasi efektif internal adalah pondasi utama dalam menjalankan program komunikasi. Metode partisipatoris sejak awal perencanaan menjadi kunci utama.

“Komunikasi internal ini juga sangat krusial dalam keberhasilan program komunikasi. Banyak sekali teman-teman tidak memperhatikan signifikansi dari perencanaan komunikasi internal ini. Padahal inilah yang akan sangat berperan penting kepada kelancaran seluruh proses program komunikasi. Teman-teman harus establish dulu proses kerja yang partisipatoris dari awal, mulai dari tahapan perencanaan program,” ucapnya.

Pendekatan tersebut krusial untuk membangun kedekatan personal, rasa kepemilikan bersama, hingga keterbukaan.

“Dari proses yang partisipatoris itu akan muncul perasaan bahwa program ini milik bersama seperti itu. Sehingga akan tercipta keterbukaan komunikasi yang berkualitas baik seperti itu. Nah kualitas keterbukaan informasi ini juga sangat berperan pada tingkat kolaborasi antar anggota tim seperti itu. Ketika tingkat kolaborasi nya tinggi, maka seluruh proses program komunikasi dapat dijalankan dengan baik,” tandasnya.

Orasi Kebudayaan FISB UII: Perguruan Tinggi dan Krisis Memori Kolektif terhadap Pelanggaran HAM di Indonesia dari Era Soeharto hingga Jokowi

Perguruan tinggi memiliki mandat moral dan historis sebagai ruang produksi pengetahuan, kritik, serta penjaga kesadaran publik. Kampus bukan hanya institusi pendidikan, tetapi juga aktor kultural dan politik-ingatan (memory politics) yang berperan dalam merawat memori kolektif bangsa. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia menghadapi gejala serius berupa krisis memori kolektif terkait pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).

“Salah satu indikator krisis ini tampak dalam diangkatnya Presiden Soeharto sebagai Pahlawan Nasional,” kata Prof. Masduki, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Budaya (FISB), Universitas Islam Indonesia (UII) sekaligus ketua Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PSAD), UII. Menurutnya, kebijakan ini menuai kontroversi luas karena dilakukan tanpa proses rekonsiliasi sejarah yang memadai dan tanpa penyelesaian hukum terhadap warisan pelanggaran HAM yang terjadi selama 32 tahun kekuasaan Soeharto.

Lebih memprihatinkan lagi, kebijakan tersebut tidak mendapatkan perlawanan yang kuat dan sistematis dari perguruan tinggi. Padahal kampus seharusnya berdiri di garda depan dalam membela kebenaran sejarah, menyampaikan kritik berbasis riset, dan mengedukasi publik. Diamnya sebagian besar institusi akademik dalam isu ini menunjukkan terjadinya penjinakan intelektual serta melemahnya fungsi kritis pendidikan tinggi. Padahal, yang diangkat menjadi menjadi pahlawan tersebut mempunyai rekam jejak yang tidak sedikit dalam pelanggaran HAM, di antaranya pembantaian pasca-1965; Petrus (Penembakan Misterius); Peristiwa Tanjung Priok 1984, yakni suatu enembakan terhadap massa sipil yang menewaskan banyak warga sipil; Penyerbuan aparat terhadap warga sipil dengan korban jiwa dan penghilangan paksa atau dikenal sebagai peristiwa Talangsari 1989; dan berbagai operasi militer.

Sejalan dengan itu, Prof. Asvi Warman Adam dalam Orasi Kebudayaannya berjudul Krisis Memori Kolektif  Pelanggaran Ham Berat Era Soeharto Sampai Kini (1965-2025), ini menyampaikan bahwa pahlawan nasional sebaiknya bukan sosok yang masih menimbulkan kontroversi atau pro dan kontra besar. Ia menambahkan, karena Presiden Prabowo telah menegaskan gerakan antikorupsi dalam pemerintahannya, maka pahlawan nasional ke depan idealnya sejalan dengan komitmen tersebut. Pernyataan ini ia sampaikan dalam Orasi Kebudayaan yang diselenggarakan Fakultas Ilmu Sosial dan Budaya (FISB) UII bersama Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PSAD) UII pada 12 Desember 2025 di Auditorium FK UII.

Acara orasi kebudayaan ini juga ditujukan sebagai peringatan Hari Hak Asasi Manusia Sedunia sekaligus momen peluncuran jurnal pengabdian masyarakat FISB UII bernama Community Transformation Review (CTR). Jurnal tersebut dipersiapkan sebagai wadah diseminasi bagi para akademisi dan aktivis sosial untuk mengomunikasikan aktivitas pemberdayaan serta gerakan sosial dalam format publikasi ilmiah. Orasi kebudayaan ini juga dihadirkan sebagai upaya menghidupkan kembali kesadaran sejarah, akal sehat akademik, dan tanggung jawab moral universitas, agar tidak terus menjadi penonton dalam sejarah yang dipalsukan.

Prof Asvi menambahkan, berkaitan dengan polemik pengangkatan Soeharto sebagai pahlawan nasional, ia telah menyatakan pendapatnya dalam seminar pengusulan pahlawan nasional bagi mantan Presiden Soeharto yang diselenggarakan oleh KNPI Surakarta pada 9 Juli 2009 di hotel Lor In Karanganyar. “Saya mengungkapkan ada pandangan seorang awam di Jakarta tentang Soeharto yang menarik dikaji karena bersifat paradoks. Beliau adalah “pembangun sekaligus perusak terbesar di Indonesia”. Apakah yang dimaksud pembangunan infrastruktur yang tampak sangat signifikan karena Orde Baru berkuasa tiga dasawarsa, sementara itu terjadi kerusakan lingkungan yang masif, dan berbagai pelanggaran HAM Berat?” ungkapnya kemudian.

“Sebenarnya sudah diusulkan sebagai pahlawan nasional tokoh-tokoh yang tidak diragukan lagi sikap dan perilaku anti korupsinya,” lanjut Prof Asvi. Ia mengatakan bahwa tokoh teladan tersbut yaitu Jenderal polisi Hugeng dan Soeprapto (Jaksa Agung 1950-1959). Hugeng ketika bertugas di Medan menyuruh buang furniture mewah yang disediakan pengusaha di rumah dinasnya. Soeprapto menyuruh kembalikan gelang emas yang dihadiahkan seorang saudagar kepada putrinya. Jaksa Agung Soeprapto yang menyeret ke pengadilan beberapa orang Menteri yang tersangkut kasus korupsi.

Masduki juga menambahkan bahwa pelanggaran-pelanggaran HAM yang belum diusut negara tersebut sebenarnya telah diakui dalam berbagai laporan investigasi resmi dan rekomendasi lembaga negara bahkan di level internasional, tetapi hingga kini mayoritas belum diselesaikan secara hukum. Dalam konteks inilah, pengangkatan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional bukan sekadar persoalan administratif, melainkan bentuk penghapusan sejarah penderitaan korban.

Di era Jokowi, situasi tidak banyak berubah. Pada era Presiden Joko Widodo, terdapat harapan besar atas penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu dan penguatan demokrasi. Namun, realitas menunjukkan bahwa banyak kasus pelanggaran HAM berat masa lalu belum dituntaskan secara yudisial, meskipun telah diakui sebagai pelanggaran HAM berat oleh lembaga negara. Sementara itu, kekerasan di Papua terus berlanjut, termasuk korban sipil, pembatasan ruang sipil, dan pendekatan militeristik, kriminalisasi aktivis, jurnalis, dan akademisi dengan pasal karet (misalnya UU ITE), dan masih banyak lagi. Situasi ini memperlihatkan bahwa krisis HAM bukan hanya warisan sejarah, tetapi masalah struktural yang berlanjut hingga kini, dan perguruan tinggi belum tampil cukup kuat sebagai kekuatan resistensi intelektual.

Terakhir, Prof. Asvi juga menambahkan bahwa Perguruan Tinggi secara historis memiliki peran penting dalam perubahan masa, pergantian rezim. Civitas akademika Perguruan Tinggi yang berpikir dan bertindak kritis perlu dibangun dan dikembangkan. Pada suatu ketika hanya ada beberapa Perguruan Tinggi yang tetap bergerak dalam pemberdayaan masyarakat dalam merawat demokrasi dan HAM, yang lain seakan terlena atau tertidur. “Jangan berkecil hati. Bangunkan mereka. Saya ingat media yang sangat berpengaruh dalam pemberontakan rakyat di Silungkang tahun 1927. Nama media yang diterbitkan oleh Serikat Rakyat itu adalah Jago! Jago!. Artinya dalam bahasa Minang, ayo bangun, bangun!” kata Asvi Warman Adam.

Penulis: A. Pambudi Wicaksono

Dari Peringatan Hari HAM Sedunia di FISB UII: Negara Gagal Menyelesaikan Pelanggaran HAM Berat

Penanganan pelanggaran HAM berat yang banyak terjadi di Indonesia selama ini belum kunjung tuntas.  Upaya untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu ini dapat dibagi atas beberapa koridor penyelesaian. Pertama, melewati koridor politik dan hukum. Lalu kedua, melalui kreativitas budaya. Jalur pertama ini tidak mudah dan menghadapi resistensi. Upaya untuk menuntut melalui pengadilan HAM adhoc tidak berjalan. Demikian pula dengan pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsilasi (KKR).

“Undang-Undang KKR sempat dibuat setelah berjuang sekian lama, namun anggota KKR itu tidak kunjung diangkat Presiden dan kemudian Undang-Undang itu dirubuhkan oleh Mahkamah Konstitusi yang dipimpin Jimly Assidhiqie,” ungkap Prof. Asvi Warman Adam, dalam acara Orasi Kebudayaan yang diadakan oleh Fakultas Ilmu Sosial dan Budaya (FISB), Universitas Islam Indonesia (UII) dan Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PSAD), UII, pada 12 Desember 2025 di Auditorium FK UII. Selain itu, Prof. Asvi mengatakan, perbaikan kurikulum sejarah telah dilakukan tahun 2004 namun dimentahkan kembali pada kurikulum yang dikeluarkan Mendiknas tahun 2006. Class action yang dilakukan para korban pada tahun 2005 pun ditolak oleh pengadilan. Menurut Asvi, negara telah gagal menyelesaikan pelbagai bentuk pelanggaran HAM berat yang terjadi sejak negara ini merdeka.

Para peserta juga turut membubuhkan tanda tangan sebagai aksi solidaritas hari HAM sedunia. “Hadirin sekalian silakan ikut tanda tangan sebagai bentuk aksi solidaritas terhadap korban-korban pelanggaran HAM di Indonesia selama ini dan menuntut agar negara mengusut tuntas dan menyelesaikan beragam pelanggaran HAM berat yang sampai hari ini juga belum selesai,” kata Prof. Masduki, Dekan FISB UII sekaligus Ketua PSAD UII, dalam sambutannya di awal acara.

Aksi ini merupakan bukti bahwa publik banyak masih terus menggedor negara agar tidak menutup dan segera menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia yang tak kunjung usai, bahkan kini muncul dugaan sejarah pelanggaran HAM ini hendak direkayasa dan ditutupi oleh Kementerian Kebudayaan Republik Indonesia lewat pembuatan buku sejarah nasional versi pemerintah. Prof. Asvi Warman Adam mengatakan dalam teks orasinya berjudul Krisis Memori Kolektif  Pelanggaran Ham Berat Era Soeharto Sampai Kini (1965-2025), ini, “Yang menarik adalah tiga orang, Ketua Fadli Zon, Wakil Ketua Susanto Zuhdi dan anggota Agus Mulyana adalah tiga penanggungjawab buku Sejarah nasional. Bisa saja orang akan berpikir bahwa penulisan sejarah nasional dan pengangkatan Soeharto sebagai pahlawan nasional November 2025 merupakan satu paket.” Ia menambahkan bahwa belakangan santer dibicarakan lewat seminar dan penerbitan buku dua tokoh yaitu Soemitro Djojohadikoesomo (ayah Prabowo) dan Margono Djojohadikoesoemo (kakek Prabowo). Apakah ketiganya (mantan mertua, ayah dan kakek) sekaligus akan menjadi Pahlawan Nasional? Ada adagium yang populer “Sejarah ditulis oleh pemenang”. Namun ternyata sejarah itu bukan hanya ditulis tetapi juga dikuasai sepenuhnya, lanjut Prof. Asvi.

Pada masa Orde Baru, rekayasa sejarah itu dilakukan secara bertahap dan berkelanjutan. Misalnya buku “40 Hari setelah keguagalan G30S” diterbitkan militer 40 hari setelah kejadian itu berlangsung. Sementara itu buku putih Sekneg “Pemberontakan G30S/PKI terbit tahun 1995. Di lain pihak gebrakan menulis ulang sejarah yang satu paket dengan pengangkatan pahlawan nasional dilakukan dalam satu tahun pemerintahan Prabowo. Mengapa demikian terburu-buru ? Jawabnya tentu sudah bisa diduga. Soeharto menerima kekuasaan melalui Supersemar 11 Maret 1966 baru berusia 45 tahun. Sementara itu Prabowo kini berumur 74 tahun. Jadi perlu berkejaran dengan waktu, siapa tahu.

“Bagaimana jalan keluar dari kemelut sejarah ini?” tanya Prof. Asvi. Prof. Asvi mengatakan, Antoon de Baets, menulis buku Responsible History (New York, Berghann Books, 2009). Di dalam buku ini ia menguraikan tipologi rekayasa sejarah atau penyalahgunaan sejarah (abuses of history) yang terjadi pada level heuristik, epistemologik dan pragmatik.  Sebagai jalan keluarnya ia menawarkan sejarah yang bertanggungjawab. Ada dua persyarakatan utama yaitu keakuratan (to find the truth) dan kejujuran (to tell the truth) dan Perguruan Tinggi harus menjalankan peran tetap bergerak dalam pemberdayaan masyarakat dalam merawat demokrasi dan HAM.

Qurrotul Uyun, Dekan Fakultas Psikologi UII, juga mengatakan dalam sambutannya, dalam konteks psikologi klinis yang fokus pada riset individu misalnya, trauma harus diselesaikan. Jika trauma tidak dibersihkan secara tuntas, itu akan mempengaruhi dan muncul kembali di kehidupan-kehidupan masa depan, baik di keturunan, maupun generasi berikutnya dari individu tersebut. Qurratul Uyun mengatakan, orasi kebudayaan Prof. Asvi ini juga dapat menjelaskannya dalam konteks sosial yang lebih besar.

Acara orasi kebudayaan yang akan dijadikan agenda rutin setiap akhir tahun oleh FISB UII ini mengusung “Perguruan Tinggi dan Krisis Memori Kolektif terhadap Pelanggaran HAM di Indonesia dari Era Soeharto hingga Jokowi” sebagai tema. Acara ini juga sekaligus dimaksudkan sebagai peringatan Hari Hak Asasi Manusia Sedunia dan peluncuran jurnal pengabdian masyarakat FISB UII yang bernama Community Transformation Review. Sebuah jurnal yang didedikasikan sebagai ruang diseminasi para akademisi dan aktivis sosial mengkomunikasikan aktivitas pemberdayaan dan gerakan sosialnya dalam bentuk jurnal. Selain orasi kebudayaan, acara ini turut mengajak segenap sivitas akademik UII, dan para hadirin yang terdiri dari beragam aktivis dan kampus di Yogyakarta untuk memanjatkan doa bersama, dipimpin Khairul Munzilin (Dosen Hubungan Internasional UII), atas korban-korban kerusuhan politik yang terjadi di Indonesia pada peristiwa Agustus-September 2025 dan semua korban kekerasan oleh negara.

 

Penulis: A. Pambudi Wicaksono

Why Students Should Join ISCDC 

ISCDC 2025 is a seven-day interdisciplinary program that brought together 70 students and staff from Universitas Islam Indonesia with participants from various faculties at Universiti Utara Malaysia. Held at UUM in Sintok, Kedah, the event created a dynamic space for cultural exchange, creative collaboration, and academic development. The program featured four main competition categories: essay writing, reel challenge, cooking, and poster design, each designed to showcase participants’ creativity and analytical skills. Its purpose was to strengthen institutional partnerships between UUM and UII, enrich interdisciplinary learning through cultural immersion, and develop students’ abilities in research, writing, multimedia production, design, and culinary arts, while highlighting Alor Setar’s cultural richness as a reflection of ASEAN values. Managed by UUM’s SCIMPA, SOIS, and STHEM, the event combined several activities, academic mentoring, student buddies support, and cultural performances.

Within this program, I participated in an interdisciplinary competition as part of a six-member group, and our teamwork played a crucial role in our success. We collaborated across all categories but divided tasks according to our individual strengths, ensuring that each member could contribute effectively. As a Communication student, I focused mainly on the poster design category alongside one of my other teammates, while also supporting others in preparing their essay and reel competition entries. This shared effort not only strengthened our group dynamics but also improved the quality of our work. Our combined effort resulted in a rewarding outcome, as we won third place in both the Reel Challenge and the Essay Competition, which made the overall experience motivating and memorable.

Participating in such competitions that align with a student’s academic background is important because it helps strengthen confidence and deepen one’s skills in a meaningful way. When students choose categories that match their interests—such as communication students working on posters or international relations students focusing on essays—they feel more motivated, engaged, and capable. This alignment allows them to apply what they learn in class to real projects, think more creatively, and improve at a faster pace. Even without winning, the process itself becomes valuable, as it directly supports their academic development and future career path.

Equally important is joining programs like ISCDC, which offer learning experiences that cannot be gained from classroom lessons alone. Traveling to a new environment, observing different cultures, and interacting with people from diverse backgrounds make learning more vivid and meaningful. Students gain a deeper understanding of communication, identity, and cultural dynamics simply by being present and noticing how people behave and live. These programs also help students grow personally by teaching them how to work in teams, manage time, handle pressure, and adapt to unfamiliar situations. Through collaboration and cultural immersion, students return with new perspectives, stronger skills, and greater confidence that benefits both their academic journey and future professional opportunities.

 In the end, for any student who pushes themselves to join such programs, just know that it will be a meaningful step that you take toward becoming more mature, more skilled, and more confident. It is an experience that will stay with you long after the competition or program ends, because it will teach you lessons that continue to shape your academic and personal journey.

Written by: Thrya Abdulraheem Motea Al-aqab

Edited by: Meigitaria Sanita

 

Islamic Work Ethics as a Moderating Factor in the Relationship Between Knowledge Sharing Behavior, Servant Leadership, and Organizational Citizenship Behavior Among Educators

Penelitian berjudul “Islamic Work Ethics as a Moderating Factor in the Relationship Between Knowledge Sharing Behavior, Servant Leadership, and Organizational Citizenship Behavior Among Educators” yang digarap oleh dosen Prodi Ilmu Komunikasi UII, Puji Hariyanti, S.Sos., M.I.Kom dan beberapa dosen lainnya telah terbit di International Journal of Innovative Research & Scientific Studies (IJIRSS), Scopus Q3.

Riset ini mengungkap servant leaderhip mendorong perilaku berbagi pengetahuan (knowledge sharing behavior), yang mengacu pada etika kerja Islam sebagai moderasi utama. Sebanyak 205 guru SMA dan SMK di Yogyakarta terlibat dalam riset ini, dengan menyoroti dinamika unik di lingkungan pendidikan berbasis nilai Islam.

Hubungan servant leadership terkait dengan gaya kepemimpinan yang memprioritaskan pelayanan bawahan dengan knowledge sharing behavior mencakup kontribusi tertulis, komunikasi organisasional, interaksi pribadi, dan praktik komunitas.

Selain itu peran mediasi organizational citizenship behavior juga dilibatkan, yaitu perilaku sukarela (altruisme, sportsmanship) yang menekankan usaha, kompetisi, transparansi, dan tanggung jawab. Data ini dihimpun melalui skala teruji yakni KSBS Yi dan SLS Van Dierendonk serta dianalisis melalui mode; moderasi-mediasi Hayes di JASP. Sampel didominasi oleh guru perempuan sebanyak 62 persen, berpendidikan S1 68 persen, dengan pengalaman kerja variatif.

Hasilnya servany leadership berpengaruh positif terhadap knowledge sharing behavior, terutama saat Islamic work ethic tinggi efeknya naik dari 0,079 hingga 0,248. Dapat diartikan nilai Islam memperkuat dampak kepemimpinan pelayan dalam mendorong kolaborasi.

Temuan dari riset ini selaras dengan riset sebelumya yakni Newman et.al yang menyoroti bagaimana kepemimpinan pelayan membangun budaya kolaboratif di lingkungan etis yang kuat. Di Indonesia, nilai Islam mendominasi sehingga sekolah memanfaatkan praktik workshopberbagi pengajaran maupun diskusi informal.

Secara keseluruhan, studi ini membuktikan etika kerja Islam bukan sekadar nilai moral, tapi pendorong nyata kolaborasi pendidik. Bagi kepala sekolah, adopsi servant leadership dikombinasikan Islamic work ethic bisa tingkatkan performa guru dan daya saing institusi.

Keywords:

Islamic work ethics, Organizational citizenship behavior, Servant leadership, Sharing knowledge

Penulis:

Puji Hariyanti merupakan dosen di Prodi Ilmu Komunikasi UII, yang memiliki fokus klaster riset Komunikasi Pemberdayaan dan Public Relations

Selengkapnya:

https://www.ijirss.com/index.php/ijirss/article/view/4998

Local Television and Cultural Dynamics: Assessing Contributions to Indonesia’s Cultural Sphere

Artikel ilmiah garapan dosen Prodi Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Indonesia (UII) yakni Puji Rianto, S.IP., M.A. yang berjudul “Local Television and Cultural Dynamics: Assessing Contributions to Indonesia;s Cultural Sphere” berhasil menembus jurnal internasional terindeks Scopus Q3. Artikel tersebut dipublikasikan dalam jurnal Studies in Media and Communication, Redfame Publishing pada September lalu.

Artikel ini membahas kontribusi televisi lokal terhadal cultural sphere yang minim dieksplorasi di Indonesia, tak sepopuler seperti public sphere Habermas. Konsep cultural sphere dari McGuigan menekankan tiga dimensi dalam budaya populer antara lain afektif, estetika, dan emosi. Konsep tersebut fokus pada rasionalitas politik dan jurnalisme.

Beragamnya budaya di Indonesia, cultural sphere menemui banyak tantangan pasca -kolonial dalam membangun budaya nasional baru sembari mempertahankan etnis lama. Hal ini menimbulkan ketegangan sejak era colonial hingga Orde Baru. Ditambah rezim otoriter yang menekan keragaman lokal demi budaya elit Jawa-sentris, ditambah media massa hanya terpusat seperti TV nasional memarginalkan budaya periferi.

Kondisi perlahan berubah, Reformasi 1998 dengan UU No. 32/2002 tentang penyiaran dan UU No 22/1999 tentang Otonomi Daerah mendorong munculnya televisi lokal, antara lain ADiTV di Yogyakarta hingga Bali TV. Televisi lokal tersebut memunculkan ekspresi identitas lokal yang tertindas.

Penelitian kualitatif ini menggunakan wawancara mendalam dengan manajer, pengamat budaya, observasi program, dan analisis dokumen. Temuan menunjukkan televisi lokal berperan sebagai platform ekspresi budaya dominan (Jawa di ADiTV, Bali di Bali TV), misalnya program Jenggleng Manasuka atau Ajeg Bali, tapi kontribusinya terbatas karena faktor politik-ekonomi dan konstruksi budaya. Komersialisasi menjadikan program budaya komoditas yang harus marketable, bergantung sponsor dan biaya rendah, sehingga membatasi akses kelompok minoritas dengan kapital sosial rendah.​

Faktor ekonomi diperparah dominasi TV nasional Jakarta yang oligopolistik, dengan jangkauan FTA luas dan kualitas superior, membuat televisi lokal kalah saing dan audiensnya terbatas (utamanya lansia). Konstruksi budaya esensialis memahami budaya sebagai milik etnis mayoritas statis dan teritorial, menolak hibridisasi serta memandang budaya lain sebagai ancaman seperti gerakan Ajeg Bali yang protektif terhadap pengaruh nasional/global. Hal ini menghambat inklusivitas, partisipasi, dan demokrasi budaya, di mana cultural sphere seharusnya aksesibel bagi semua, bukan didominasi kelompok dominan. Akibatnya, keragaman budaya tetap terpinggirkan, melanjutkan hegemoni pusat meski ada reformasi penyiaran.​

Secara keseluruhan, artikel menegaskan bahwa televisi lokal gagal membangun cultural sphere inklusif karena komodifikasi dan esensialisme budaya, yang membatasi ruang bagi minoritas dan mempertahankan bias sentralistik. Penelitian ini relevan bagi studi media di negara pluralistik, menyerukan kebijakan yang mendukung demokrasi budaya sejati melalui media lokal yang lebih beragam dan inklusif.

Keywords:

Cultural sphere, political economy of media, cultural construction, local television.

Penulis:

Puji Rianto merupakan dosen Prodi Ilmu Komunikasi UII yang fokus dengan klaster riset regulasi dan Kkbijakan media – kajian khalayak.

Selengkapnya dapat diakses melalui link:

https://redfame.com/journal/index.php/smc/article/view/7930/7052

Evy Aprilia Ramadaningtyas

Universitas Islam Indonesia (UII) berpartisipasi dalam kompetisi internasional bertajuk Intervarsity Student Creativity and Digital Competition (ISCDC) yang berlangsung di Universiti Utara Malaysia (UUM) Sintok, Kedah, Malaysia, pada 25 November-1 Desember 2025. Kompetisi ini juga sekaligus menjadi ajang persahabatan dan pertukaran budaya bagi dua universitas antar negara, yakni Indonesia (UII) dan Malaysia (UUM).

Sebanyak 29 mahasiswa delegasi dari UII terdiri atas beberapa Program Studi, yaitu Psikologi, Pendidikan Bahasa Inggris, Hubungan Internasional, Ilmu Komunikasi, serta Magister Ilmu Komunikasi. Seluruh delegasi yang dibentuk menjadi tim bersama mahasiswa dari UUM mengikuti berbagai jenis lomba, seperti lomba membuat video reels dengan tema “Face of Friendship”, poster dengan tema “Designing Harmony”, artikel “Travel Feature Article”, serta lomba memasak masakan Malaysia, Canai Master Challenge 2025,

Selama 4 hari di Kedah, peserta mengikuti serangkaian lomba dengan proses liputan untuk membuat video reels, memproduksi karya, serta ditutup dengan praktek dan lomba memasak Roti Canai di dapur School of Tourism. Hospitality and Event Management (STHEM) UUM.

Peserta mengunjungi daerah wisata dan pusat belanja di Padang Besar, Perlis, Malaysia sebagai kegiatan untuk pengumpulan bahan membuat video reels. Berikutnya, peserta juga mendapatkan kesempatan untuk berinteraksi dengan mahasiswa UUM dengan mengunjungi kampus dan mall UUM. Selanjutnya, delegasi secara berkelompok mendapatkan waktu untuk memproduksi hasil liputan menjadi karya video reels, poster, serta artikel feature.

Dengan adanya kegiatan lomba secara tim ini, selain mendapatkan prestasi, delegasi juga mendapatkan kesempatan berinteraksi antar mahasiswa UII dan interaksi juga lintas budaya, seperti dengan mahasiswa dan juri dari UUM, serta interaksi dengan penduduk setempat di Kedah, Malaysia.

“Perjalanan ini membuat saya menjadi lebih faham terhadap bagaimana cara menangani sistem kerja sama dalam sebuah grup, terutama di pengalaman saya terdapat mahasiswa dari Malaysia dan Yaman. Bagaimana cara menjadi penengah dan menjadi leader dalam mengambil keputusan yang dilakukan secara langsung di lapangan,” ujar Annisa Putri Jiany, delegasi dari Magister Ilmu Komunikasi UII. Annisa memenangkan berbagai kategori lomba, seperti lomba membuat video reels dengan kategori Best Storytelling Video dan juara 3 lomba menulis Travel Feature Article.

Sementara itu, Muhammad Taqi Abdurrahman, yang juga mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi UII menyatakan, sebagai delegasi, kompetisi ini mengasah kemampuannya untuk mengamati dan mengemas pengalaman dalam tulisan, sekaligus mengenal budaya lain dan melihat harmoni dalam perbedaan. Menurut Taqi, berkompetisi dengan peserta dan juri asing menjadi pengalaman yang berharga. Taqi pulang ke tanah air dengan membawa prestasi yaitu sebagai juara 1 lomba menulis Travel Feature Article.

Evy Aprilia Ramadaningtyas, yang juga Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi yang menjadi delegasi ISCDC menyatakan dalam press rilis, perjalanan ini membuatnya menghargai akan indahnya otentisitas budaya dan kepribadian. Dengan adanya perbedaan budaya dan kepribadian, membuat pengalaman manusia menjadi lebih kaya, serta lebih menghargai arti perbedaan. Evy menjadi belajar menghargai perbedaan karakter baik dari sesama delegasi dari Indonesia, mahasiswa dan masyarakat setempat di Malaysia, menghargai ciri khas budaya asing, yang bisa memperkaya peluang interaksi dan komunikasi.

ISCDC Berlangsung Bersamaan dengan Cuaca Ekstrim di Asia Tenggara

Cuaca ekstrim pada akhir November dan awal Desember 2025 ini mengakibatkan banjir di Asia Tenggara, termasuk di Thailand, Malaysia, dan Indonesia. Kedah yang merupakan negara bagian tempat UUM berdiri di Malaysia termasuk menjadi wilayah yang terdampak banjir. Lokasi UUM yang dipenuhi oleh pepohonan termasuk yang aman dari banjir, sehingga peserta bisa aman mengikuti kegiatan di seputar kampus UUM. Namun, banyak bagian lain di Kedah ikut terdampak banjir. Akibatnya, pada kegiatan liputan dan tur. delegasi yang seharusnya mengunjungi Alor Setar di Kedah, berpindah lokasi menuju Padang Besar karena menghindari lokasi banjir.

Isu lingkungan layak menjadi perhatian bersama, mengingat delegasi sudah mendapatkan bekal pengalaman membuat video reels, poster, dan artikel fitur perjalanan. Kesempatan ini menjadi wadah bagi delegasi untuk menuangkan perhatian dan peringatan bagi warga dan pemerintah untuk tidak merusak lingkungan, seperti deforestasi untuk keperluan penanaman perkebunan sawit.

Isu lingkungan ini semakin relevan ketika melihat kondisi Asia Tenggara pada periode yang sama. Selain Malaysia, sejumlah wilayah di Indonesia juga mengalami bencana hidrometeorologi, termasuk banjir bandang di berbagai daerah di Sumatera seperti Aceh, Sumatera Barat, dan Riau. Curah hujan ekstrem yang terjadi secara terus-menerus memicu meluapnya sungai, merusak pemukiman warga, dan memutus akses transportasi. Di beberapa titik, banjir tidak hanya merendam rumah, tetapi juga mengakibatkan longsor yang memperparah kerusakan.

Fenomena ini menunjukkan bagaimana perubahan iklim global dan kerusakan lingkungan semakin berdampak nyata pada kehidupan masyarakat. Pola cuaca tak menentu, musim hujan yang memanjang, serta meningkatnya intensitas badai tropis menjadi faktor yang memperparah risiko bencana. Banyak pakar lingkungan juga menyoroti adanya kontribusi aktivitas manusia, mulai dari pembukaan hutan secara besar-besaran, konversi lahan untuk perkebunan, tambang, hingga pengelolaan daerah aliran sungai yang tidak optimal.

Sejalan dengan itu, beberapa negara lain di Asia Tenggara juga mengalami kondisi serupa. Thailand utara dilanda banjir yang memaksa ribuan orang mengungsi, sementara Vietnam dan Filipina menghadapi badai tropis yang menyebabkan kerusakan infrastruktur dan gagal panen. Situasi ini menegaskan bahwa bencana tidak lagi dapat dipandang sebagai kejadian lokal, melainkan fenomena regional yang memerlukan kerja sama lintas negara.

Bagi para delegasi ISCDC, pengalaman menghadapi cuaca ekstrem dan penyesuaian lokasi kegiatan menjadi pembelajaran tersendiri. Kejadian ini membuka mata bahwa kreativitas, teknologi digital, dan kemampuan komunikasi tidak hanya digunakan untuk berkarya dalam kompetisi, tetapi juga dapat dijadikan sarana untuk menyuarakan kepedulian lingkungan. Melalui video reels, poster, hingga artikel yang dihasilkan, para mahasiswa dapat mengampanyekan pentingnya pelestarian alam, pengurangan deforestasi, serta edukasi publik tentang mitigasi bencana.

Dengan kesadaran bersama bahwa perubahan iklim adalah tantangan global, para delegasi menyadari bahwa generasi muda memiliki peran sentral dalam menyampaikan pesan lingkungan yang lebih kuat. Interaksi lintas negara yang mereka alami selama berada di Malaysia menjadi momentum untuk memahami bahwa permasalahan lingkungan tidak mengenal batas geografis. dan hanya dapat diatasi melalui kolaborasi, kepedulian, dan aksi nyata.

 

Penulis: Evy Aprilia Ramadaningtyas

Mahasiswa Ilmu Komunikasi UII Borong Prestasi dalam ISCDC 2025 di Malaysia

Empat mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII) dari program sarjana berhasil memborong prestasi dalam gelaran Intervasity Student Creativity and Digital Competition (ISCDC) 2025 di Malaysia. Digelar pada 26 – 30 November 2025 di School of Tourism, Hospitality and Event Management – Universiti Utara Malaysia (UUM) kompetisi ini fokus pada keterkaitan budaya antara Indonesia dan Malaysia.

Dari konteks ASEAN Reimagined ajang ini mempertandingkan tiga kategori lomba, yaitu essay, short video, dan poster design. Salah satu delegasi dari Ilmu Komunikasi program sarjana yakni Muhammad Alfarezi Fadilah menyebut jika kesempatan ini menjadi pengalaman yang berharga dalam meningkatkan kemampuan analisisnya.

“Mengikuti ISCDC memberikan pengalaman berharga untuk berkompetisi di tingkat internasional sekaligus melatih kemampuan analisis, komunikasi, dan kolaborasi di bawah tekanan,” ucapnya.

Mahasiswa angkatan 2025 itu berhasil memborong prestasi dalam ketiga kategori. Beberapa kataegori tersebut adalah “Best Poster Design”, “Best Video Reel”, dan “Best Essay” Ia menyebut kunci dari keberhasilan ini berkat kerja sama tim yang solid serta inovasi.

“Persaingan yang ketat mendorong peserta untuk terus berinovasi dan berpikir strategis, sehingga setiap tantangan menjadi peluang untuk berkembang. Persaingan yang kuat dalam perlombaan dan kebutuhan koordinasi tim yang baik,” tambahnya.

Selain kompetisi, para delegasi yang tiba di Malaysia mendapatkan bekal melalui berbagai workshop antara lain writing, storytelling, multimedia, dan culinary skills. Para delegasi juga berkesempatan menjelajah Padang Besar sebuah kota kecil di Malaysia yang berbatasan dengan Thailand.

Daftar Delegasi dan Prestasi Mahasiswa Ilmu Komunikasi UII dalam ISCDC 2025

  1. Muhammad Alfarezi Fadilah – Mahasiswa Ilmu Komunikasi, Program Sarjana angkatan 2025
    Best Poster Design Competition – ‘Hand in Unity’
    Best Video Reel – ‘Beyond Just Friends’
    2nd Winner Prize Essay – ‘Explore, Eat, Enjoy Padang Besar’s Best Experience’
  2. Akhsya Asyfa Azieda – Mahasiswa Ilmu Komunikasi, Program Sarjana angkatan 2023
    Best Visual Harmony Poster – ‘Harmoni Serumpun’
    Best Intercultural Moment Video – ‘Beyond Borders, We Found Us’
  3. Thrya Abdulraheem Motea Al-aqab – Mahasiswa Ilmu Komunikasi, International Program Communication (IPC) Batch 2024
    3rd Winner Prize Essay – ‘Sintok Serenity of Diversity at Malaysia Utara University’
  4. Arif Ardiansyah – Mahasiswa Ilmu Komunikasi, International Program Communication (IPC) Batch 2025
    Best Poster Concept and Message – ‘Cross Road’
    First Prize Winner of the travel feature article competition

Salah satu dosen dari Prodi Ilmu Komunikasi UII, Dr. Herman Felani yang aktif melakukan pendampingan kepada para delegasi menyebut jika kompetisi yang diikuti dua negara ini membawa isu yang begitu relate dengan kedua negara.

“Intinya adalah kita melakukan kompetisi bersama dengan mahasiswa di Universiti Utara Malaysia terkait isunya tentang koneksi dua negara, Indonesia dan Malaysia,” ujar Dr. Herman Felani.

Proses yang tak mudah serta waktu persiapan yang singkat menjadi tantangan, namun berkat kolaborasi dan kreativitas para delagasi semua dapat dilalui dengan lancar dan pulang dengan deretan prestasi.

“Tantangan terbesar adalah dalam waktu sangat singkat, tim itu harus berkolaborasi sekaligus berkompetisi untuk membuat karya mereka dengan tema yang itu, dengan penjurian yang ketat di Universiti Utara Malaysia,” tandasnya.

Prestasi yang diraih oleh mahasiswa Ilmu Komunikasi dalam ISCDC 2025 menambah deretan prestasi tingkat internasional untuk Universitas Islam Indonesia tahun ini.

MIKOM UII Hadirkan Pakar Media untuk Bedah Tantangan Industri Penyiaran dan Jurnalisme Digital

Yogyakarta, 29 November 2025 – Program Studi Magister Ilmu Komunikasi (MIKOM) Fakultas Ilmu Sosial dan Budaya, Universitas Islam Indonesia (UII), sukses menyelenggarakan Kuliah Umum bertajuk “Disrupsi, Ekosistem Digital, dan Tantangan Sustainability Media.” Acara yang diselenggarakan pada hari Sabtu, 29 November 2025, mulai pukul 09.00 hingga 12.00 WIB ini bertempat di Auditorium Dr. Soekiman Wirdjosandjojo, UII, dan dihadiri oleh mahasiswa MIKOM UII, akademisi, peneliti, jurnalis, serta praktisi media dari berbagai institusi di Yogyakarta. Suasana diskusi berlangsung interaktif dan penuh antusiasme, menciptakan ruang pertukaran ide yang vital dalam menyikapi perubahan fundamental lanskap media saat ini.

Acara dibuka dengan sambutan penuh semangat dari Ketua Pelaksana, Dr. Anang Hermawan, S.Sos., M.A. Dalam pidatonya, “Hari ini dalah pertemuan untuk berdiskusi kemudian saling menyatukan kembali vision kita ilmu komunikasi termasuk bagaimana kesinambungan dengan media digital dengan satu topik ‘Distrupsi dan sustaibility’, terimakasi teman teman semua dari MIKOM kita Angkatan pertama, Jadi memang ini dari mahasiswa untuk mahasiswa dengan mengundang semua kolega kolega mitra dari MIKOM UII dan Ilmu Komunikasi UII, terima kasih saya haturkan kepada bapak ibu semua yang ikut hadir,” ungkapnya membuka agenda.

Sambutan dilanjutkan oleh Kaprodi MIKOM, Prof. Dr. Subhan Afifi, M.Si. yang mengambil kesempatan untuk memperkenalkan keunggulan Program Studi Magister Ilmu Komunikasi UII sebagai sentra kajian komunikasi yang relevan dengan perkembangan zaman. “Kami mepersiapkan program ini lumayan Panjang perjalanannya, mulai merintis sejak tahun 2023 dan di release pada bulan April tahun 2025. Kami mencoba mencari apa sih sebenarnya kajian Tingkat magister yang lira-kira jadi pembeda, sehingga tercetuslah bahwa kami ingin focus di Digital and environmental Communication, alasanya ada persoalan ingin menjawab tantangan zaman terkait dengan isu-isu lingkungan juga digitalisasi sebagai sebuah keniscayaan” ujarnya, mempromosikan peran strategis Program Studi tersebut.

Disrupsi, Ekosistem Digital, dan Tantangan Sustainability Media

Sesi inti menghadirkan dua pembicara utama yang menyajikan perspektif berbeda namun saling melengkapi. Pembicara pertama, Wisnu Nugroho, Vice President Sustainability, Kompas Gramedia Group of Media, memaparkan tantangan yang dihadapi jurnalisme klasik. Dalam pemaparannya, “Kalau berkaca dengan lebih jauh lagi sebenarnya distrupsi itu bukan hal yang baru setiap saat ada perubahan, saya menemukan fakta dan kenyataan dalam 10 tahun terakhir ini, kita hidup di era mudah sekali memuja dan membenci lantas rebut karenanya di media sosial,” ungkapnya.

“Apa yang membuat orang mudah terpecah belah, dikarenakan mereka tidak punya sikap Spekptis,” tambahnya.

Sementara itu, pembicara kedua, Puji Rianto, S.IP., M.A. Dosen Program Studi Ilmu Komunikasi UII, fokus membahas nasib media penyiaran konvensional. Dalam penyampaiannya menyoroti urgensi adaptasi bagi Radio dan TV Indonesia.

“Permasalahan keberlanjutan di Radio dan TV Indonesia tidak hanya berkutat pada audiens yang tergerus, melainkan juga pada model regulasi dan inovasi konten yang harus berpacu dengan moda siaran baru di platform digital. Jika tidak segera beradaptasi total, media penyiaran berisiko kehilangan relevansi sosialnya secara permanen di era disrupsi ini,” pungkasnya, menutup sesi presentasi dengan pesan mendalam.

Kuliah umum ini berhasil mencapai tujuannya untuk memperkaya pemahaman mengenai dinamika digital dan mengidentifikasi praktik adaptif media. Diskusi terbuka yang menyusul presentasi kedua pembicara berlangsung sangat aktif. Pertukaran gagasan konstruktif tidak hanya terjadi di kalangan mahasiswa magister, tetapi juga melibatkan kolega-kolega ilmu komunikasi dari dosen dan praktisi yang hadir. Sesi ini menjadi wadah perdebatan ilmiah mengenai cara media menjaga fungsi sosialnya di tengah tekanan komersial dan digital. Acara ditutup dengan sesi foto bersama, dan memberi cindera mata berupa bibit tanaman Sukun Mentega atau Kluwih. menyisakan semangat kolaborasi yang kuat antara akademisi dan praktisi untuk merancang masa depan media yang lebih adaptif, inklusif, dan berkelanjutan di Indonesia.

 

Penulis: Hafsatul Mubarokah Wahyu Syukron

Edward Hall

Intercultural communication refers to the process through which people from different cultural backgrounds interact, exchange ideas, and create shared meaning. As globalization expands, understanding cultural differences has become essential for reducing misunderstandings and improving cooperation. One of the most influential scholars in this field is Edward T. Hall, whose work in the mid-20th century introduced key concepts about how culture shapes communication, from an anthropological perspective.

Hall’s ideas remain central today and are supported by modern research, which highlights how cultural dimensions continue to influence communication styles in everyday interactions. This essay explores three of Hall’s major dimensions: time context, space context, and high- vs. low-context.

Communication Context

Hall’s explanation of high- and low-context communication describes how cultures differ in the amount of information that must be explicitly spoken versus understood through shared background, tone, or gestures. This concept became clearer when I discussed it with my Moroccan friend, who described Morocco as a high-context culture but also emphasized that people communicate in a “direct, cold, and clear” manner. Her observation shows that high-context communication does not always mean softness or indirectness; instead, meaning often lies in shared norms, emotional tone, and nonverbal signals. She further explained that feedback becomes more subtle when the relationship is close, revealing how interpersonal closeness influences how messages are delivered.

When studying in Indonesia, she experienced this dimension differently during a group project. She preferred clear and direct instructions for efficiency, while her Indonesian classmates relied on softer and more implied forms of communication. This contrast reflects how both Morocco and Indonesia are high-context cultures but express this in different ways: Morocco places emphasis on direct clarity supported by context, while Indonesia emphasizes harmony and indirectness. Through her experience, Hall’s concept becomes practical, showing how cultural expectations shape classroom communication among international students.

Time Orientation

Hall’s distinction between monochronic and polychronic time patterns explains how cultures view scheduling, multitasking, and punctuality. This idea was reflected very clearly in my conversation with my Pakistani friend, who described Pakistan as generally flexible with time. She mentioned that “time isn’t that important, but people won’t be extremely late,” which fits with a polychronic orientation that values relationships, allows multitasking, and treats schedules more flexibly.

She also noted that people often manage several tasks at once without seeing it as a problem. When she compared this with her experience living in Jogja, she felt that daily life in Indonesia is “much slower” than what she is used to. This difference shows how Indonesia also operates with a relaxed time rhythm. Her description helps demonstrate how Hall’s time dimension operates in real life: international students must adjust not only to academic deadlines but also to the general pace of life and people’s expectations of punctuality. The contrast between Pakistan’s polychronic flow and Indonesia’s slower relationship-centered rhythm highlights how time becomes a cultural message that shapes daily behavior.

Space and Contact

Hall’s dimension of space and contact examines how cultures use physical distance, touch, and expressiveness when communicating, and this was strongly reflected in the experiences shared by my Yemeni friend. She explained that in Yemen, people tend to be a high-contact culture, where expressive gestures, emotional tone, and closer physical distance are common, especially with family and friends. She also mentioned that people adjust their expressiveness based on familiarity, which shows how personal relationships influence spatial behavior.

Her experience in Indonesia highlighted a different pattern: she noticed that Indonesians generally prefer low-contact communication, using gentle tone, soft gestures, and polite physical distance. She found herself needing to reduce her expressiveness to match the comfort level of her Indonesian classmates. This shift demonstrates how space and contact operate differently across cultures and how international students naturally adjust their behavior to avoid misunderstandings. Through her comparison, Hall’s concept becomes visible in daily life, revealing the contrast between Yemen’s expressive interpersonal style and Indonesia’s reserved, low-contact approach.

Edward Hall’s intercultural dimension provides a useful framework for understanding how culture shapes communication. Recognizing these dimensions helps individuals navigate multicultural environments with greater awareness, reducing misunderstanding and encouraging more effective communication. Understanding these patterns also highlights a key conclusion: communication is never only about words. It is shaped by time, space, tone, and cultural expectations in which all is influenced by how messages are sent, received, and interpreted across cultures.

Reference:

Layes, G. (2010). 1.4 Cultural dimensions. In Vandenhoeck & Ruprecht eBooks (pp. 53–64). https://doi.org/10.13109/9783666403279.53

Kittler, M. G., Rygl, D., & Mackinnon, A. (2011). Special Review Article: Beyond culture or beyond control? Reviewing the use of Hall’s high-/low-context concept. International Journal of Cross Cultural Management, 11(1), 63–82. https://doi.org/10.1177/1470595811398797

 

Written by: Thrya Abdulraheem Motea Al-aqab

Edited by: Meigitaria Sanita