Evy Aprilia Ramadaningtyas

Universitas Islam Indonesia (UII) berpartisipasi dalam kompetisi internasional bertajuk Intervarsity Student Creativity and Digital Competition (ISCDC) yang berlangsung di Universiti Utara Malaysia (UUM) Sintok, Kedah, Malaysia, pada 25 November-1 Desember 2025. Kompetisi ini juga sekaligus menjadi ajang persahabatan dan pertukaran budaya bagi dua universitas antar negara, yakni Indonesia (UII) dan Malaysia (UUM).

Sebanyak 29 mahasiswa delegasi dari UII terdiri atas beberapa Program Studi, yaitu Psikologi, Pendidikan Bahasa Inggris, Hubungan Internasional, Ilmu Komunikasi, serta Magister Ilmu Komunikasi. Seluruh delegasi yang dibentuk menjadi tim bersama mahasiswa dari UUM mengikuti berbagai jenis lomba, seperti lomba membuat video reels dengan tema “Face of Friendship”, poster dengan tema “Designing Harmony”, artikel “Travel Feature Article”, serta lomba memasak masakan Malaysia, Canai Master Challenge 2025,

Selama 4 hari di Kedah, peserta mengikuti serangkaian lomba dengan proses liputan untuk membuat video reels, memproduksi karya, serta ditutup dengan praktek dan lomba memasak Roti Canai di dapur School of Tourism. Hospitality and Event Management (STHEM) UUM.

Peserta mengunjungi daerah wisata dan pusat belanja di Padang Besar, Perlis, Malaysia sebagai kegiatan untuk pengumpulan bahan membuat video reels. Berikutnya, peserta juga mendapatkan kesempatan untuk berinteraksi dengan mahasiswa UUM dengan mengunjungi kampus dan mall UUM. Selanjutnya, delegasi secara berkelompok mendapatkan waktu untuk memproduksi hasil liputan menjadi karya video reels, poster, serta artikel feature.

Dengan adanya kegiatan lomba secara tim ini, selain mendapatkan prestasi, delegasi juga mendapatkan kesempatan berinteraksi antar mahasiswa UII dan interaksi juga lintas budaya, seperti dengan mahasiswa dan juri dari UUM, serta interaksi dengan penduduk setempat di Kedah, Malaysia.

“Perjalanan ini membuat saya menjadi lebih faham terhadap bagaimana cara menangani sistem kerja sama dalam sebuah grup, terutama di pengalaman saya terdapat mahasiswa dari Malaysia dan Yaman. Bagaimana cara menjadi penengah dan menjadi leader dalam mengambil keputusan yang dilakukan secara langsung di lapangan,” ujar Annisa Putri Jiany, delegasi dari Magister Ilmu Komunikasi UII. Annisa memenangkan berbagai kategori lomba, seperti lomba membuat video reels dengan kategori Best Storytelling Video dan juara 3 lomba menulis Travel Feature Article.

Sementara itu, Muhammad Taqi Abdurrahman, yang juga mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi UII menyatakan, sebagai delegasi, kompetisi ini mengasah kemampuannya untuk mengamati dan mengemas pengalaman dalam tulisan, sekaligus mengenal budaya lain dan melihat harmoni dalam perbedaan. Menurut Taqi, berkompetisi dengan peserta dan juri asing menjadi pengalaman yang berharga. Taqi pulang ke tanah air dengan membawa prestasi yaitu sebagai juara 1 lomba menulis Travel Feature Article.

Evy Aprilia Ramadaningtyas, yang juga Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi yang menjadi delegasi ISCDC menyatakan dalam press rilis, perjalanan ini membuatnya menghargai akan indahnya otentisitas budaya dan kepribadian. Dengan adanya perbedaan budaya dan kepribadian, membuat pengalaman manusia menjadi lebih kaya, serta lebih menghargai arti perbedaan. Evy menjadi belajar menghargai perbedaan karakter baik dari sesama delegasi dari Indonesia, mahasiswa dan masyarakat setempat di Malaysia, menghargai ciri khas budaya asing, yang bisa memperkaya peluang interaksi dan komunikasi.

ISCDC Berlangsung Bersamaan dengan Cuaca Ekstrim di Asia Tenggara

Cuaca ekstrim pada akhir November dan awal Desember 2025 ini mengakibatkan banjir di Asia Tenggara, termasuk di Thailand, Malaysia, dan Indonesia. Kedah yang merupakan negara bagian tempat UUM berdiri di Malaysia termasuk menjadi wilayah yang terdampak banjir. Lokasi UUM yang dipenuhi oleh pepohonan termasuk yang aman dari banjir, sehingga peserta bisa aman mengikuti kegiatan di seputar kampus UUM. Namun, banyak bagian lain di Kedah ikut terdampak banjir. Akibatnya, pada kegiatan liputan dan tur. delegasi yang seharusnya mengunjungi Alor Setar di Kedah, berpindah lokasi menuju Padang Besar karena menghindari lokasi banjir.

Isu lingkungan layak menjadi perhatian bersama, mengingat delegasi sudah mendapatkan bekal pengalaman membuat video reels, poster, dan artikel fitur perjalanan. Kesempatan ini menjadi wadah bagi delegasi untuk menuangkan perhatian dan peringatan bagi warga dan pemerintah untuk tidak merusak lingkungan, seperti deforestasi untuk keperluan penanaman perkebunan sawit.

Isu lingkungan ini semakin relevan ketika melihat kondisi Asia Tenggara pada periode yang sama. Selain Malaysia, sejumlah wilayah di Indonesia juga mengalami bencana hidrometeorologi, termasuk banjir bandang di berbagai daerah di Sumatera seperti Aceh, Sumatera Barat, dan Riau. Curah hujan ekstrem yang terjadi secara terus-menerus memicu meluapnya sungai, merusak pemukiman warga, dan memutus akses transportasi. Di beberapa titik, banjir tidak hanya merendam rumah, tetapi juga mengakibatkan longsor yang memperparah kerusakan.

Fenomena ini menunjukkan bagaimana perubahan iklim global dan kerusakan lingkungan semakin berdampak nyata pada kehidupan masyarakat. Pola cuaca tak menentu, musim hujan yang memanjang, serta meningkatnya intensitas badai tropis menjadi faktor yang memperparah risiko bencana. Banyak pakar lingkungan juga menyoroti adanya kontribusi aktivitas manusia, mulai dari pembukaan hutan secara besar-besaran, konversi lahan untuk perkebunan, tambang, hingga pengelolaan daerah aliran sungai yang tidak optimal.

Sejalan dengan itu, beberapa negara lain di Asia Tenggara juga mengalami kondisi serupa. Thailand utara dilanda banjir yang memaksa ribuan orang mengungsi, sementara Vietnam dan Filipina menghadapi badai tropis yang menyebabkan kerusakan infrastruktur dan gagal panen. Situasi ini menegaskan bahwa bencana tidak lagi dapat dipandang sebagai kejadian lokal, melainkan fenomena regional yang memerlukan kerja sama lintas negara.

Bagi para delegasi ISCDC, pengalaman menghadapi cuaca ekstrem dan penyesuaian lokasi kegiatan menjadi pembelajaran tersendiri. Kejadian ini membuka mata bahwa kreativitas, teknologi digital, dan kemampuan komunikasi tidak hanya digunakan untuk berkarya dalam kompetisi, tetapi juga dapat dijadikan sarana untuk menyuarakan kepedulian lingkungan. Melalui video reels, poster, hingga artikel yang dihasilkan, para mahasiswa dapat mengampanyekan pentingnya pelestarian alam, pengurangan deforestasi, serta edukasi publik tentang mitigasi bencana.

Dengan kesadaran bersama bahwa perubahan iklim adalah tantangan global, para delegasi menyadari bahwa generasi muda memiliki peran sentral dalam menyampaikan pesan lingkungan yang lebih kuat. Interaksi lintas negara yang mereka alami selama berada di Malaysia menjadi momentum untuk memahami bahwa permasalahan lingkungan tidak mengenal batas geografis. dan hanya dapat diatasi melalui kolaborasi, kepedulian, dan aksi nyata.

 

Penulis: Evy Aprilia Ramadaningtyas

Mahasiswa Ilmu Komunikasi UII Borong Prestasi dalam ISCDC 2025 di Malaysia

Empat mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII) dari program sarjana berhasil memborong prestasi dalam gelaran Intervasity Student Creativity and Digital Competition (ISCDC) 2025 di Malaysia. Digelar pada 26 – 30 November 2025 di School of Tourism, Hospitality and Event Management – Universiti Utara Malaysia (UUM) kompetisi ini fokus pada keterkaitan budaya antara Indonesia dan Malaysia.

Dari konteks ASEAN Reimagined ajang ini mempertandingkan tiga kategori lomba, yaitu essay, short video, dan poster design. Salah satu delegasi dari Ilmu Komunikasi program sarjana yakni Muhammad Alfarezi Fadilah menyebut jika kesempatan ini menjadi pengalaman yang berharga dalam meningkatkan kemampuan analisisnya.

“Mengikuti ISCDC memberikan pengalaman berharga untuk berkompetisi di tingkat internasional sekaligus melatih kemampuan analisis, komunikasi, dan kolaborasi di bawah tekanan,” ucapnya.

Mahasiswa angkatan 2025 itu berhasil memborong prestasi dalam ketiga kategori. Beberapa kataegori tersebut adalah “Best Poster Design”, “Best Video Reel”, dan “Best Essay” Ia menyebut kunci dari keberhasilan ini berkat kerja sama tim yang solid serta inovasi.

“Persaingan yang ketat mendorong peserta untuk terus berinovasi dan berpikir strategis, sehingga setiap tantangan menjadi peluang untuk berkembang. Persaingan yang kuat dalam perlombaan dan kebutuhan koordinasi tim yang baik,” tambahnya.

Selain kompetisi, para delegasi yang tiba di Malaysia mendapatkan bekal melalui berbagai workshop antara lain writing, storytelling, multimedia, dan culinary skills. Para delegasi juga berkesempatan menjelajah Padang Besar sebuah kota kecil di Malaysia yang berbatasan dengan Thailand.

Daftar Delegasi dan Prestasi Mahasiswa Ilmu Komunikasi UII dalam ISCDC 2025

  1. Muhammad Alfarezi Fadilah – Mahasiswa Ilmu Komunikasi, Program Sarjana angkatan 2025
    Best Poster Design Competition – ‘Hand in Unity’
    Best Video Reel – ‘Beyond Just Friends’
    2nd Winner Prize Essay – ‘Explore, Eat, Enjoy Padang Besar’s Best Experience’
  2. Akhsya Asyfa Azieda – Mahasiswa Ilmu Komunikasi, Program Sarjana angkatan 2023
    Best Visual Harmony Poster – ‘Harmoni Serumpun’
    Best Intercultural Moment Video – ‘Beyond Borders, We Found Us’
  3. Thrya Abdulraheem Motea Al-aqab – Mahasiswa Ilmu Komunikasi, International Program Communication (IPC) Batch 2024
    3rd Winner Prize Essay – ‘Sintok Serenity of Diversity at Malaysia Utara University’
  4. Arif Ardiansyah – Mahasiswa Ilmu Komunikasi, International Program Communication (IPC) Batch 2025
    Best Poster Concept and Message – ‘Cross Road’

Salah satu dosen dari Prodi Ilmu Komunikasi UII, Dr. Herman Felani yang aktif melakukan pendampingan kepada para delegasi menyebut jika kompetisi yang diikuti dua negara ini membawa isu yang begitu relate dengan kedua negara.

“Intinya adalah kita melakukan kompetisi bersama dengan mahasiswa di Universiti Utara Malaysia terkait isunya tentang koneksi dua negara, Indonesia dan Malaysia,” ujar Dr. Herman Felani.

Proses yang tak mudah serta waktu persiapan yang singkat menjadi tantangan, namun berkat kolaborasi dan kreativitas para delagasi semua dapat dilalui dengan lancar dan pulang dengan deretan prestasi.

“Tantangan terbesar adalah dalam waktu sangat singkat, tim itu harus berkolaborasi sekaligus berkompetisi untuk membuat karya mereka dengan tema yang itu, dengan penjurian yang ketat di Universiti Utara Malaysia,” tandasnya.

Prestasi yang diraih oleh mahasiswa Ilmu Komunikasi dalam ISCDC 2025 menambah deretan prestasi tingkat internasional untuk Universitas Islam Indonesia tahun ini.

MIKOM UII Hadirkan Pakar Media untuk Bedah Tantangan Industri Penyiaran dan Jurnalisme Digital

Yogyakarta, 29 November 2025 – Program Studi Magister Ilmu Komunikasi (MIKOM) Fakultas Ilmu Sosial dan Budaya, Universitas Islam Indonesia (UII), sukses menyelenggarakan Kuliah Umum bertajuk “Disrupsi, Ekosistem Digital, dan Tantangan Sustainability Media.” Acara yang diselenggarakan pada hari Sabtu, 29 November 2025, mulai pukul 09.00 hingga 12.00 WIB ini bertempat di Auditorium Dr. Soekiman Wirdjosandjojo, UII, dan dihadiri oleh mahasiswa MIKOM UII, akademisi, peneliti, jurnalis, serta praktisi media dari berbagai institusi di Yogyakarta. Suasana diskusi berlangsung interaktif dan penuh antusiasme, menciptakan ruang pertukaran ide yang vital dalam menyikapi perubahan fundamental lanskap media saat ini.

Acara dibuka dengan sambutan penuh semangat dari Ketua Pelaksana, Dr. Anang Hermawan, S.Sos., M.A. Dalam pidatonya, “Hari ini dalah pertemuan untuk berdiskusi kemudian saling menyatukan kembali vision kita ilmu komunikasi termasuk bagaimana kesinambungan dengan media digital dengan satu topik ‘Distrupsi dan sustaibility’, terimakasi teman teman semua dari MIKOM kita Angkatan pertama, Jadi memang ini dari mahasiswa untuk mahasiswa dengan mengundang semua kolega kolega mitra dari MIKOM UII dan Ilmu Komunikasi UII, terima kasih saya haturkan kepada bapak ibu semua yang ikut hadir,” ungkapnya membuka agenda.

Sambutan dilanjutkan oleh Kaprodi MIKOM, Prof. Dr. Subhan Afifi, M.Si. yang mengambil kesempatan untuk memperkenalkan keunggulan Program Studi Magister Ilmu Komunikasi UII sebagai sentra kajian komunikasi yang relevan dengan perkembangan zaman. “Kami mepersiapkan program ini lumayan Panjang perjalanannya, mulai merintis sejak tahun 2023 dan di release pada bulan April tahun 2025. Kami mencoba mencari apa sih sebenarnya kajian Tingkat magister yang lira-kira jadi pembeda, sehingga tercetuslah bahwa kami ingin focus di Digital and environmental Communication, alasanya ada persoalan ingin menjawab tantangan zaman terkait dengan isu-isu lingkungan juga digitalisasi sebagai sebuah keniscayaan” ujarnya, mempromosikan peran strategis Program Studi tersebut.

Disrupsi, Ekosistem Digital, dan Tantangan Sustainability Media

Sesi inti menghadirkan dua pembicara utama yang menyajikan perspektif berbeda namun saling melengkapi. Pembicara pertama, Wisnu Nugroho, Vice President Sustainability, Kompas Gramedia Group of Media, memaparkan tantangan yang dihadapi jurnalisme klasik. Dalam pemaparannya, “Kalau berkaca dengan lebih jauh lagi sebenarnya distrupsi itu bukan hal yang baru setiap saat ada perubahan, saya menemukan fakta dan kenyataan dalam 10 tahun terakhir ini, kita hidup di era mudah sekali memuja dan membenci lantas rebut karenanya di media sosial,” ungkapnya.

“Apa yang membuat orang mudah terpecah belah, dikarenakan mereka tidak punya sikap Spekptis,” tambahnya.

Sementara itu, pembicara kedua, Puji Rianto, S.IP., M.A. Dosen Program Studi Ilmu Komunikasi UII, fokus membahas nasib media penyiaran konvensional. Dalam penyampaiannya menyoroti urgensi adaptasi bagi Radio dan TV Indonesia.

“Permasalahan keberlanjutan di Radio dan TV Indonesia tidak hanya berkutat pada audiens yang tergerus, melainkan juga pada model regulasi dan inovasi konten yang harus berpacu dengan moda siaran baru di platform digital. Jika tidak segera beradaptasi total, media penyiaran berisiko kehilangan relevansi sosialnya secara permanen di era disrupsi ini,” pungkasnya, menutup sesi presentasi dengan pesan mendalam.

Kuliah umum ini berhasil mencapai tujuannya untuk memperkaya pemahaman mengenai dinamika digital dan mengidentifikasi praktik adaptif media. Diskusi terbuka yang menyusul presentasi kedua pembicara berlangsung sangat aktif. Pertukaran gagasan konstruktif tidak hanya terjadi di kalangan mahasiswa magister, tetapi juga melibatkan kolega-kolega ilmu komunikasi dari dosen dan praktisi yang hadir. Sesi ini menjadi wadah perdebatan ilmiah mengenai cara media menjaga fungsi sosialnya di tengah tekanan komersial dan digital. Acara ditutup dengan sesi foto bersama, dan memberi cindera mata berupa bibit tanaman Sukun Mentega atau Kluwih. menyisakan semangat kolaborasi yang kuat antara akademisi dan praktisi untuk merancang masa depan media yang lebih adaptif, inklusif, dan berkelanjutan di Indonesia.

 

Penulis: Hafsatul Mubarokah Wahyu Syukron

Edward Hall

Intercultural communication refers to the process through which people from different cultural backgrounds interact, exchange ideas, and create shared meaning. As globalization expands, understanding cultural differences has become essential for reducing misunderstandings and improving cooperation. One of the most influential scholars in this field is Edward T. Hall, whose work in the mid-20th century introduced key concepts about how culture shapes communication, from an anthropological perspective.

Hall’s ideas remain central today and are supported by modern research, which highlights how cultural dimensions continue to influence communication styles in everyday interactions. This essay explores three of Hall’s major dimensions: time context, space context, and high- vs. low-context.

Communication Context

Hall’s explanation of high- and low-context communication describes how cultures differ in the amount of information that must be explicitly spoken versus understood through shared background, tone, or gestures. This concept became clearer when I discussed it with my Moroccan friend, who described Morocco as a high-context culture but also emphasized that people communicate in a “direct, cold, and clear” manner. Her observation shows that high-context communication does not always mean softness or indirectness; instead, meaning often lies in shared norms, emotional tone, and nonverbal signals. She further explained that feedback becomes more subtle when the relationship is close, revealing how interpersonal closeness influences how messages are delivered.

When studying in Indonesia, she experienced this dimension differently during a group project. She preferred clear and direct instructions for efficiency, while her Indonesian classmates relied on softer and more implied forms of communication. This contrast reflects how both Morocco and Indonesia are high-context cultures but express this in different ways: Morocco places emphasis on direct clarity supported by context, while Indonesia emphasizes harmony and indirectness. Through her experience, Hall’s concept becomes practical, showing how cultural expectations shape classroom communication among international students.

Time Orientation

Hall’s distinction between monochronic and polychronic time patterns explains how cultures view scheduling, multitasking, and punctuality. This idea was reflected very clearly in my conversation with my Pakistani friend, who described Pakistan as generally flexible with time. She mentioned that “time isn’t that important, but people won’t be extremely late,” which fits with a polychronic orientation that values relationships, allows multitasking, and treats schedules more flexibly.

She also noted that people often manage several tasks at once without seeing it as a problem. When she compared this with her experience living in Jogja, she felt that daily life in Indonesia is “much slower” than what she is used to. This difference shows how Indonesia also operates with a relaxed time rhythm. Her description helps demonstrate how Hall’s time dimension operates in real life: international students must adjust not only to academic deadlines but also to the general pace of life and people’s expectations of punctuality. The contrast between Pakistan’s polychronic flow and Indonesia’s slower relationship-centered rhythm highlights how time becomes a cultural message that shapes daily behavior.

Space and Contact

Hall’s dimension of space and contact examines how cultures use physical distance, touch, and expressiveness when communicating, and this was strongly reflected in the experiences shared by my Yemeni friend. She explained that in Yemen, people tend to be a high-contact culture, where expressive gestures, emotional tone, and closer physical distance are common, especially with family and friends. She also mentioned that people adjust their expressiveness based on familiarity, which shows how personal relationships influence spatial behavior.

Her experience in Indonesia highlighted a different pattern: she noticed that Indonesians generally prefer low-contact communication, using gentle tone, soft gestures, and polite physical distance. She found herself needing to reduce her expressiveness to match the comfort level of her Indonesian classmates. This shift demonstrates how space and contact operate differently across cultures and how international students naturally adjust their behavior to avoid misunderstandings. Through her comparison, Hall’s concept becomes visible in daily life, revealing the contrast between Yemen’s expressive interpersonal style and Indonesia’s reserved, low-contact approach.

Edward Hall’s intercultural dimension provides a useful framework for understanding how culture shapes communication. Recognizing these dimensions helps individuals navigate multicultural environments with greater awareness, reducing misunderstanding and encouraging more effective communication. Understanding these patterns also highlights a key conclusion: communication is never only about words. It is shaped by time, space, tone, and cultural expectations in which all is influenced by how messages are sent, received, and interpreted across cultures.

Reference:

Layes, G. (2010). 1.4 Cultural dimensions. In Vandenhoeck & Ruprecht eBooks (pp. 53–64). https://doi.org/10.13109/9783666403279.53

Kittler, M. G., Rygl, D., & Mackinnon, A. (2011). Special Review Article: Beyond culture or beyond control? Reviewing the use of Hall’s high-/low-context concept. International Journal of Cross Cultural Management, 11(1), 63–82. https://doi.org/10.1177/1470595811398797

Parade 16 Perahu ‘Di Tengah Laut, Perempuan Nelayan Menantang Kerusakan Pesisir’

16 perahu membawa nelayan perempuan bersama rombongan dari pesisir Morodemak, Jawa Tengah menuju laut. Sampai di tengah laut, satu per satu perahu mengambil posisi dan membentuk formsi lingkaran. Suara lantang diiringi sahut-sahutan, “Kita harus jaga laut, laut adalah ibu kita jangan dikotori dengan sampah plastik,” teriakan Masnuah menandai dimulainya aksi di tengah laut.

Aksi bertajuk “Parade 16 Perahu Perempuan Nelayan: Melawan Eksploitasi Pesisir yang Merusak Kehidupan” yang berlangsung pada Minggu, 31 Desember 2025 menjadi catatan sejarah untuk perempuan nelayan yang tergabung dalam komunitas Puspita Bahari, untuk pertama kalinya mereka menggelar aksi di tengah laut. Mereka mengadu pada ombak berharap suaranya didengar oleh penguasa yang berwenang.

Kalimat pembuka dari Masnuah adalah ajakan untuk bersama-sama menjaga laut yang kini telah rusak dan dieksploitasi secara serampangan. Teriakan atas rusaknya laut atas pembangunan yang tak memperhatikan lingkungan dampaknya dirasakan betul oleh mereka, penduduk pesisir.

Jalan tol yang dibangun di atas laut memperparah kondisi, ombak yang seharusnya terpencar merata justru mengarah menuju pemukiman hingga berujung kenaikan banjir rob. Kondisi ini sangat kompleks, tak hanya merusak lingkungan, kondisi sosial dan ekonomi dipertaruhkan.

Hal ini terlihat dari akses menuju Morodemak yang tak mudah, jalanan cor amblas tenggelam oleh banjir rob. Jalanan hanya bisa dilewati dengan motor, itupun butuh keahlian khusus agar tak tergelincir.

“Air pasang laut yang semakin parah, banjir rob semakinparah menenggelamkan banyak desa, desa pesisir yang hilang aksesnya, hidupnya, ekonominya itu adalah kesalahan kebijakan pembangunan yang selama ini merusak,” jelas Masnuah dalam aksinya.

Jeritan salah satu perempuan nelayan dari Timbulsoko menjadi inti dari aksi ini, Nurikah menyuarakan kegetiran hidupnya yang harus berkompromi dengan banjir. Ia juga menyuarakan tuntutan-tuntutan soal eksploitasi yang merusak laut.

“Kami adalah perempuan yang hidup bergantung pada laut, kami perempuan nelayan yang sampai hari ini masih berjuang untuk memastikan protein bangsa tercukupi. Kami adalah perempuan nelayan yang berjuang setiap hari dengan ombak tinggi, angin kencang, dan kami dipaksa hidup bersama banjir,” ujarnya.

Upaya ini menjadi salah satu harapan, yang selama ini terabaikan hingga tak mendapat solusi pasti dari pemerintah. Meski demikian sikap optimis masih ditunjukkan oleh Hidayah, perempuan paruh baya yang menggantungkan hidupnya kepada laut. Ia percaya masih ada peluang untuk hidup lebih baik.

“Kami tidak tahu mau mengadu ke siapa, suara kami tidak didengar. Kampanye ini membuka peluang bagi kami,” ungkap Hidayah yang masih menyimpan harapan besar.

Begitupun dengan Lasmi, jauh-jauh dari Timbulsloko menuju Morodemak dengan akses tak mudah ia datang untuk menyuarakan haknya. Ia mengecam keras pihak-pihak yang tak bertanggung jawab dalam mengeksploitasi laut dan berujung bencana.

“Saya menyuarakan larangan untuk pemerintah yang mengambil hak kami,” tandasnya.

Salah satu aksi dalam momen ini adalah mendesak pemerintah terkait banjir rob sebagai bencana nasional. Aksi ini juga digelar dalam rangka Kampanye Global 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16 HAKtP) pada 25 November hingga 10 Desember serta peringatan Hari Hak Asasi Manusia. Aksi ini diselenggarakan oleh komunitas perempuan nelayan Puspita Bahari dan didukung oleh GENERATE Project – University of Leeds dan berkolaborasi dengan Prodi Ilmu Komunikasi UII, serta NGO terkait lainnya.

Pelatihan Photovoice Warga Pesisir Demak untuk Advokasi Krisis Iklim

Di tengah ancaman banjir rob di wilayah pesisir utara Jawa, warga Dukuh Timbulsloko, Kabupaten Demak, terus mencari cara untuk menyuarakan pengalaman menghadapi perubahan iklim yang semakin nyata. Salah satu upaya yang kini semakin menunjukkan dampaknya adalah pelatihan photovoice yang mereka ikuti pada Oktober lalu. Pelatihan yang diselenggarakan oleh Program Studi Ilmu Komunikasi UII bermitra dengan Komunitas Perempuan Nelayan Puspita Bahari ini menjadi salah satu titik penting dalam memperkuat kapasitas warga, terutama anak muda, untuk menggunakan narasi visual sebagai alat advokasi. 

Pelatihan Photovoice untuk Warga Pesisir yang didukung oleh Asuransi JASINDO dan Social Impact & Sustainability Institute (SISI) ini dirancang sebagai bagian dari upaya berkelanjutan memperkuat suara warga yang hidup dalam kondisi banjir rob yang semakin ekstrem. Maka dari itu, proses pendampingan atas warga tetap dilakukan hingga saat ini oleh tim pengabdian dari Prodi Ilmu Komunikasi. 

Dua bulan pascapelatihan photovoice, tercatat ada lebih dari 60 unggahan di Instagram @timbulslokobangkit. Keberhasilan workshop tampak dari semakin beragamnya tema unggahan warga. Unggahan-unggahan itu menampilkan situasi harian masyarakat yang hidup berdampingan dengan banjir rob. Narasi visual menjadi saksi ketahanan warga menghadapi perubahan iklim sekaligus bentuk advokasi terhadap hak mereka atas lingkungan yang layak.

Instagram tersebut telah menjadi arsip sejarah bagaimana masyarakat beradaptasi dengan kerusakan lingkungan, aktivitasnya direkam, hingga suara-suara kegelisahan dimunculkan. Dari keterangan Masnu’ah, Ketua Komunitas Perempuan Nelayan Puspita Bahari menyebut jika tahun 2019 Timbulsloko nyaris seperti “kampung mati” genangan air yang terus meninggi memutus akses menuju luar daerah. Berbagai upaya bangkit dilakukan, dari sisi pembangunan fisik kerja kolektif warga membangun jembatan bambu, sisi ekonomi mereka beralih profesi dari petani menjadi nelayan. Namun, upaya lain perlu dilakukan agar pengalaman dan suara mereka didengar lebih luas. Di sinilah pelatihan photovoice menjadi relevan.

“Lewat photovoice, suara masyarakat yang selama ini tidak terdengar berubah menjadi gerakan advokasi terhadap isu lingkungan yang terjadi di Timbulsloko,” ungkap Iven Sumardiantoro, salah satu fasilitator dalam pelatihan ini. 

Selama dua hari, sebanyak 12 peserta berusia 16–25 tahun dari berbagai latar belakang—pelajar, mahasiswa, buruh pabrik, hingga pekerja serabutan—mengikuti pelatihan photovoice. Pada pelatihan ini, peserta diajak untuk mengeksplorasi pengalaman harian mereka hingga teknik dasar fotografi untuk kepentingan advokasi.

Metode photovoice yang digunakan berakar dari tradisi penelitian partisipatoris yang menempatkan warga sebagai subjek aktif dalam mendokumentasikan dan merefleksikan realitas sosial mereka. “Lewat foto, warga bisa bercerita tentang bagaimana kehidupan di tengah rob, kehilangan rumah, hingga cara mereka bertahan,” ujar Muzayin Nazaruddin, salah satu fasilitator. Dokumentasi tersebut diharapkan dapat menjadi alat advokasi berbasis bukti visual yang dapat menjangkau publik lebih luas melalui media sosial.

Bagi warga Timbulsloko, pelatihan ini tidak hanya memberikan keterampilan teknis, tetapi juga membuka ruang untuk membangun kesadaran publik. Di tengah rob yang kian meninggi, suara warga kini tidak lagi tenggelam. 

IPC Students Achieved 3rd Winner Beat the Prompt Competition the 2nd ASEAN School of Business Network 2025

Muhammad Atha Damario, a student of the International Program Communication (IPC) at UII batch 2022, won third place in the international competition ‘Beat the Prompt Competition the 2nd ASEAN School of Business Network 2025’ last August.

The competition, held from August 2 to 8, 2025, was an international event attended by contestants from the ASEAN region, including Malaysia and the Philippines. This competition was organised by the ASEAN School of Business Network (ASBN). With the theme ‘The Youth Potential to Create a Better Society’, Muhammad Atha Damario and his team were excited because the theme was relevant to this age.

The challenge of this competition was to create a video without using AI text for video tools, showcasing human storytelling in contrast to AI-generated content.

“Since it was an international competition, my partner and I felt that our knowledge of the theme, which was about AI, really supported us in participating in the competition,” said Atha.

This experience was not his first time; he is convinced that creating videos is his passion. “I have participated in and won many video competitions, so you could say that this is one of my passions,” he added.

He never worries about the result, just does his best because he is used to practising his editing skills. He has many video clips in his gallery and is really into this activity; recording videos may be a daily activity for him.

“I always try to prioritise my studies, no matter what activities I am involved in. After finishing my studies, I always have some free time, which I use to practise my editing skills, either through YouTube videos or by using my own footage to try out new editing techniques,” he said.

“I received a message that no matter how difficult the activity is, even if you lack confidence in the competition timeline and feel intimidated by the competition, just do it, you won’t know the outcome until you try,” he concluded.

For the information, this competition was eligible for international undergraduate students, with teams of up to five members allowed.

Sosialisasi dan Pembekalan Magang 2025 ‘Becoming a Young Professional Preparing Yourself for Internship Challenges’

Magang menjadi ruang mahasiswa tingkat akhir untuk menerapkan ilmu yang telah dipelajarinya di dunia kerja. Pemilihan kerja magang disesuaikan dengan keilmuan para mahasiswa, untuk mendukung hal ini Jurusan Ilmu Komunikasi, UII menggalar “Sosialisasi dan Pembekalan Magang 2025” untuk mahasiswa angkatan 2025.

Mengambil tema Becoming a Young Professional Preparing Yourself for Internship Challenges, kegiatan ini dilaksanakan pada 22 November 2025 di Ruang Auditorium, Lt. 5 Gedung KH. A Wahid Hasyim. Menghadirkan tiga pembicara dengan latar belakang berbeda, harapannya mahasiswa semakin memantapkan diri atas pilihan-pilihan magang yang akan dilajalankannya.

Sekretaris Prodi Ilmu Komunikasi, UII Muzayin Nazaruddin, S.Sos., M.A., Ph.D. menyampaikan kepada mahasiwa angkatan 2022 untuk menunjukkan potensi terbaik saat menjalankan magang, karena tak sedikit karir dimulai dari proses tersebut.

“Mahasiswa Ilkom sebaiknya menyelesaikan skripsi terlebih dahulu sebelum magang agar bisa fokus penuh dan menunjukkan potensi terbaik selama magang. Dengan begitu, mereka dapat memperoleh rekomendasi kuat, membangun kepercayaan diri, dan membuka peluang karier yang solid, karena magang adalah masa krusial yang menentukan kelulusan dan awal karir,” ujarnya.

Peluang Magang untuk Mahasiswa Ilmu Komunikasi

Tiga pembicara didtangankan, mulai dari pemerintahan, industri kreatif, hingga perusahaan yang bergerak dalam industri kecantikan.

Noer Cholik, Staf Divisi Pengelolaan Informasi Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) Yogyakarta menyampaikan tugas utama dalam penanganan Gunung Merapi. Beberapa peluang magang untuk mahasiswa Ilmu Komunikasi antara lain pembuatan konten kreatif, komunikasi publik, event edukasi, komunikasi risiko, hingga analisis infokom.

“Ngomongin Gunung Merapi bukan hanya soal gunungnya, tapi juga penghidupan dan budaya masyarakat di sekitarnya. Strategi mitigasi harus tepat dan informasi diberikan dengan bahasa yang mudah dipahami, di sinilah Ilmu Komunikasi menjadi kunci. Warga punya kesiapsiagaan tanpa kepanikan, dan komunikasi publik wajib melatih penanggulangan bencana. Di era informasi yang berlimpah, mahasiswa magang punya peluang besar untuk terlibat dalam konten kreatif, edukasi, komunikasi risiko, dan analisis informasi, dengan keberanian terjun langsung ke masyarakat,” ungkanya.

Pembicara kedua adalah Farell Adhitama, Human Resource Manager di Kenapa Creative. Bergerak dalam agency creative, ia menyampaikan bagaimana membuat CV yang bisa dilirik oleh company.

“Mahasiswa Ilmu Komunikasi harus memaknai setiap karya secara holistic demi memuaskan klien, bukan sekadar membuat campaign. Ada berbagai peran penting dalam tim, seperti strategic director, content creator, dan art director, yang menawarkan peluang sesuai minat, terutama bagi yang fokus pada visual. Dalam membangun CV dan portofolio, perlu menonjolkan konteks, masalah, solusi, dan hasil, serta mengedepankan riset, curiosity, inisiatif, dan growth mindset agar pengalaman magang lebih bermakna dan relevan,” pesannya kepada mahasiswa.

Sementara sesi terakhir disampaikan oleh Annisa Amalia Ramadhani, Head of People and Culture dari PT. AVO Innovation Technologhy menjelaskan detail program magang di perusahaanya, yakni Future League Internship Program (FLIP). Industri yang bergerak dalam bidang kecantikan ini selalu melakukan inovasi, sementara ide-ide segar dari Gen Z menjadi salah satu support terbesar dalam setiap kesuksesannya.

“Program Magang Future League Internship Program (FLIP) yang sudah berjalan delapan batch dengan 10-15 posisi memberikan bimbingan awal sebelum penempatan di divisi masing-masing. Program ini dipertahankan karena kedekatan CEO dengan mahasiswa, memungkinkan ide-ide segar kepada perusahaan dan keberagaman yang mengikuti tren saat ini. Di tengah persaingan, mahasiswa Ilmu Komunikasi yang relate dengan marketing communication dari berbagai brand di AVO bahkan dapat bekerja dalam satu tim dengan saya,” tandasnya.

Jurnal Internasional

Artikel ilmiah garapan dosen Ilmu Komunikasi, UII yakni Holy Rafika Dhona, S.I.Kom., M.A. yang berjudul “Decentering the discourse of ‘propaganda map’: The use of German Suggestive map as a Counter Colonial Tool in the Indonesian Newspaper Pewarta Deli (1935–1940)” telah terbit dalam jurnal Media History, Routledge – Taylor & Francis Group pada 5 November 2025.

Dalam artikel tersebut menjelaskan konsep jurnalisme kartografi yang fokus pada penggunaan peta persuasif atau propaganda yang menjadi populer selama periode antarperang dengan “peta sugestif” Reich ketiga. Meskipun Jerman Nazi terkenal memanfaatkan peta-peta tersebut sebagai senjata intelektual, para ahli berargumen bahwa narasi ini mengabaikan konteks yang lebih luas. Diskursus dominan menggambarkan jurnalisme kartografi era tersebut sebagai bagian dari propaganda Nasionalis-Sosialis Jerman, namun kritikus seperti John Pickles mengusulkan evaluasi yang lebih nuansatif, mempertimbangkan niat pembuat, konteks produksi, konten teks, dan penerimaan audiens. Artikel ini berusaha menantang fokus Eurosentris pada peta propaganda Jerman dengan menganalisis adopsi dan adaptasi peta-peta tersebut oleh jurnalis Indonesia selama masa kolonial Belanda.

Berfokus pada surat kabar Pewarta Deli di Hindia Belanda pada 1930-an, artikel ini mengeksplorasi bagaimana jurnalis Indonesia asli mengubah peta-peta sugestif yang terinspirasi oleh geopolitik Jerman menjadi alat diskursus anti-kolonial. Artikel ini menyoroti perbedaan antara peta-peta geopolitik Jerman dan peta-peta Nasional Sosialis, menekankan bagaimana Djamaludin Adinegoro, redaktur pelaksana Pewarta Deli, menggunakan teknologi pemetaan untuk menentang peta-peta kolonial imperial yang dominan. Dibagi menjadi empat bagian, makalah ini menguraikan dasar institusional Pewarta Deli dalam memproduksi peta, kemampuan teknologinya, dan bagaimana peta-peta sugestif tersebut secara kreatif diubah fungsi untuk menentang narasi kolonial Belanda, menempatkan peta-peta ini sebagai alat politik dan diskursif di luar sekadar propaganda.

Hasilnya, peta persuasif Jerman pada periode antarperang digunakan oleh jurnalis di wilayah jajahan seperti Hindia Belanda bukan karena simpati ideologis, tetapi karena kemudahan reproduksinya sesuai dengan konteks colonial. Penelitian ini mengusulkan agar peta-peta tersebut diakui sebagai fenomena global yang melampaui konteks Eropa dan berfungsi sebagai alat untuk melawan dominasi kolonial. Selain itu, penelitian ini menekankan pentingnya memperlakukan peta sebagai media yang signifikan dalam memahami kekuasaan kolonial dan perjuangan perlawanan, karena peta membentuk narasi dan realitas spasial, dengan masyarakat terjajah menggunakan praktik kartografi untuk mempolitisasi dan menentang kendali imperial. Pandangan yang lebih luas ini menantang narasi Eurosentris dan mengangkat peta sebagai alat kritis dalam sejarah media dan diskursus antikolonial.

Keywords: Adinegoro, Geopolitic School, history, Indonesia, journalistic cartography, suggestive map

Penulis:

Holy Rafika Dhona merupakan dosen Prodi Ilmu Komunikasi yang fokus dengan klaster riset communication geography, geomedia, communication history, Foucaultian Discourse, dan matrealist approach on Communication

Selengkapnya dapat diakses melalui link:

https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/13688804.2025.2581030

Kuliah Umum MIKOM UII: Disrupsi, Ekosistem Digital, dan Tantangan Sustainability Media

Program Studi Magister Ilmu Komunikasi (MIKOM) UII akan menyelenggarakan kuliah umum bertajuk “Disrupsi, Ekosistem Digital, dan Tantangan Sustainability Media” pada Sabtu, 29 November 2025 di Auditorium Dr. Soekiman Wirdosandjodo, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta.

Pesatnya perkembangan teknologi digital berdampak signifikan terhadap pergeseran model bisnis hingga pola konsumsi publik terhadap pilihan media. Kuliah umum ini menjadi ruang diskusi penting, membahas secara mendalam tantangan keberlanjutan media konvensional. 

Dihadapkan dengan tekanan yang kompetitif ekosistem media digital, media konvensional seolah menghadapi ketidakpastian masa depan. Dua pembicara dihadirkan, Wisnu Nugroho, Vice President Sustainability Kompas Gramedia Group of Media sebagai praktisi media akan mengupas topik “Disrupsi Bertubi-tubi, Classic Journalism, dan Upaya Sustainability Media”, serta Puji Rianto, selaku akademisi Ilmu Komunikasi UII akan melakukan analisis mendalam terkait “Sustainability Problems Radio dan TV Indonesia di Era Disrupsi”.

Perubahan signifikan dalam ekosistem media akibat disrupsi digital menuntut adanya ruang dialog yang menyatukan perspektif akademik dan pengalaman praktis industri. Perubahan model bisnis, pola produksi konten, dan karakter audiens memerlukan pemahaman yang mendalam agar media dapat bertahan sekaligus menjalankan fungsi sosialnya.

Hadirnya kuliah umum ini diharapkan mampu menebalkan pemahaman dinamika disrupsi dan dampaknya terhadap keberlanjutan media, memperluas pemahaman peluang dan hambatan keberlanjutan media, hingga mengidentifikasi tantangan serta praktik adaptif untuk mempertahankan eksistensi suatu media.

Sesi ini adalah momen perjumpaan antara aktivis, praktisi media, akademisi, hingga peneliti untuk saling bertukar perspektif yang berkaitan dengan disrupsi media.

Informasi:

Hari/Tanggal : Sabtu, 29 November 2025

Waktu : 09.00 – 12.00 WIB

Tempat : R. Auditorium Dr. Soekiman Wirdjosandjojo, Fakultas Ilmu Sosial Budaya, Universitas Islam Indonesia, Jl. Kaliurang 14,5, Sleman Yogyakarta

Kontak:

Program Studi Magister Ilmu Komunikasi (MIKOM)

Fakultas Ilmu Sosial Budaya – Universitas Islam Indonesia

Instagram : @mikom.uii

Telepon : 6282230921007

Link Kehadiran: s.id/StudiumGeneraleMIKOM2025 (Maksimal Kamis, 27 November 2025)