The Influence of Cultural Background on Communication Styles: High and Low Context Cultures

Culture plays a vital role in shaping how people communicate. One of the most well-known frameworks for understanding cultural differences in communication is the concept of high-context and low-context communication, introduced by Edward T. Hall. In high-context cultures, much of the communication is implicit, relying on nonverbal cues and shared understanding. In contrast, low-context cultures value direct, clear, and explicit communication. Deeply rooted in cultural values and social norms, these differences can influence everyday interactions and impact intercultural communication, especially in global teams and diverse environments.

High-context cultures rely heavily on nonverbal signals, tone of voice, facial expressions, and shared experiences to convey meaning. Communication is often indirect, emphasizing harmony, relationships, and avoiding conflict. Countries like Japan, India, and Finland are often cited as high-context cultures. In these cultures, understanding a message requires reading between the lines and interpreting the broader context. On the other hand, low-context cultures such as the United States and Germany emphasize verbal clarity, directness, and efficiency. People in these cultures expect messages to be straightforward and self-contained, with little reliance on context or shared background.

Cultural Values and Their Influence

These communication styles are influenced by broader cultural values. High-context communication is often linked to collectivist cultures, where group harmony and social cohesion are prioritized. Individuals are expected to be sensitive to others’ feelings and to maintain social balance, which is why indirect communication is preferred. In contrast, low-context communication tends to be found in individualist cultures, where personal expression, autonomy, and efficiency are highly valued. As a result, communication becomes more task-oriented, and directness is seen as a sign of honesty and competence. These cultural dimensions affect not only how people speak but also how they interpret messages from others.

Implications for Intercultural Communication

Misunderstandings often occur when people from different communication cultures interact. For instance, a person from a low-context culture may find a high-context communicator vague or evasive, while the high-context individual may see the low-context style as blunt or insensitive. In international teams, such differences can lead to frustration or conflict if not properly managed. Developing intercultural competence—such as empathy, flexibility, and awareness of communication styles—can help reduce misunderstandings and foster better teamwork. Recognizing the difference between what is said and what is meant in different cultural contexts is crucial for building mutual respect and effective communication.

Cultural background has a profound influence on communication styles. High-context and low-context cultures represent two different approaches to sharing and interpreting messages, shaped by deeper cultural values such as collectivism and individualism. Understanding these differences is essential for successful intercultural communication. By being aware of how people from different cultures communicate, individuals can adapt their approach, reduce conflict, and create stronger relationships in diverse settings.

Reference

Levitt, S. R. (2022). Intercultural Competence in International Teamwork: Understanding High- and Low-context Communication Styles. COMMUNICATION AND MEDIA IN ASIA PACIFIC (CMAP), 1-13.

Shjio Nishimura, S. T. (2008). Communication Style and Cultural Features in High/Low Context Communication Cultures: A Case Study of Finland, Japan and India. researchgate, 1-15.

contributors, W. (2025, May 21). High-context cultures. Retrieved from Wikipedia: https://en.wikipedia.org/wiki/High-context_and_low-context_cultures

 

Ask the Expert: Memilih Film yang Tepat Sesuai Usia Anak

Memilih film untuk anak wajib hukumnya untuk mempertimbangakan berbagai aspek. Cara mudahnya adalah dengan mamatuhi ketentuan usia yang tertera. Namun, tak sesederhana itu banyak hal mesti orang tua dan pendamping anak pahami.

Akhir-akhir ini sedang Virang film animasi karya anak bangsa, Jumbo kini telah ditonton lebih dari 9,8 juta kali. Nampaknya akan terus bertambah. Dalam artikel ini tidak akan mengkristisi cerita tentang apa di dalam film Jumbo sendiri, melainkan saling belajar soal literasi.

Jumbo menjadi primadona, di tengah kehausan tontonan edukatif film garapan Ryan Adriandy menjadi pelepas dahaga yang menyejukkan. Bahkan soundtracknya Selalu Ada di Nadi menjadi favorit anak-anak di sekolah.

Bersama-sama belajar literasi, apa sebaiknya yang harus dilakukan oleh orang tua, guru, pendamping, hingga pembuat film? Dalam artikel Ask the Expert edisi ketiga, dosen Ilmu Komunikasi UII, Fatma Nurainai Zahra, S.Sos., M.A. yang mendalami kajian media menyampaikan beberapa hal yang penting dalam memilih tontonan untuk anak.

Memilih Tontonan (Film) untuk Anak

  1. Apa pentingnya belajar memilih tontonan yang baik untuk anak-anak?

Anak-anak meniru apapun di sekelilingnya, kita saja ketika melakukan sesuatu anak-anak langsung mengikuti. Jadi kalau mereka melihat film sebagai tontonan itu akan menjadi tuntunan bagi mereka. Sehingga kita sebagai orang di sekelilingnya, sebagai orang tua, guru, dan lainnya punya peran penting membersamai mereka dalam memilih mana tontonan yang bisa menjadi tuntunan untuk mereka.

  1. ⁠Apakah anak hanya penonton pasif, atau mereka bisa berpikir kritis juga?

Pada dasarnya memang anak cenderung lebih pasif karena mereka akan mengikuti tanpa kemudian mempunyai kesadaran akan hal yang dia ikuti itu baik atau tidak, sesuai dengan nilai-nilai atau tidak, belum memiliki nalar yang sempurna (kritis) sehingga pendampingan dari orang tua sangat penting untuk bisa menumbuhkan nalar itu. Misalnya menemani mereka, mengajak diskusi ketika mereka mengkonsumsi sebuah film sehingga mereka bisa belajar dan menikmati secara pasif apa yang meraka tonton.

  1. ⁠Apa yang harus jadi pertimbangan saat membuat film untuk anak?

Film bagi anak tidak hanya sebagai media hiburan saja, tapi lagi-lagi menjadi media pembelajaran. Bisa mengembangkan kreativitas anak-anak, media belajar literasi, pengembangan nalar kritis, mengembangkan berbagai kemampuan diri mereka maka itu tentu harus dieseuaikan dengan fase perkembangan dan pertumbuhan anak-anak. Film bisa mengandung beberapa hal seperti nilai-nilai edukasi, nilai-nilai kebudayaan yang sesuai dengan mereka. Sehingga film bisa membersamai mereka dalam memahami dunia di sekitarnya.

  1. Apakah tontonan bisa menjadi alat belajar komunikasi untuk anak?

Bisa banget, apalagi anak-anak cenderung membayangkan yang di sekitarnya, lebih imajinatif, lebih kreatif sehingga ketika menerima pesan-pesan dari film apalagi anak yang sudah bisa menerima alur cerita panjang empat tahun ke atas itu sudah bisa memahami alur cerita panjang, sehingga ketika disampaikan lewat film pesan-pesan dan nilai yang ada di film bisa ditangkap oleh anak. Tetapi harus ada catatan ada diskusi yang dilakukan oleh anak dan orang tua, sehingga kita bisa memastikan apa yang dipahami oleh anak, apa yang diterima oleh anak dari film yang dikonsumsi. Sehingga tercipta pembelajaran yang baik, pembelajaran yang menyenangkan karena menonton film adalah sebuah memori yang menyenangkan yang akan disimpan oleh anak.

Staying Close from Afar: The Role of Social Media in Maintaining Long-Distance Relationships

In today’s globalized world, it’s increasingly common for people to be separated by distance, whether for school, work, or other life changes. But while physical distance can be challenging, emotional closeness doesn’t have to fade. Thanks to social media, staying connected with friends, family, and loved ones has never been easier. These platforms allow us to maintain relationships, share everyday moments, and feel close to those far away.

  1. Everyday Connection Through Shared Moments

One of social media’s most powerful roles in long-distance relationships is offering a way to share daily life. A simple Instagram story, TikTok video, or WhatsApp update can say a lot about how someone is doing. It creates a sense of involvement, like you’re living alongside each other even if you’re in different countries or time zones. For example, a person might post about a morning coffee, and their friend from another continent replies with a voice note sharing a similar routine. These small exchanges might seem insignificant, but over time, they build a sense of togetherness. Platforms like Snapchat encourage real-time updates, which can make relationships feel current and real.

  1. Deepening Communication with Creative Interaction

Beyond basic chatting, social media allows for more interactive and creative ways to bond. Long-distance friends can watch a show together using apps like Locket or stream on Instagram Live. Sharing funny memes or meaningful posts through DMs is a way of saying, “This reminded me of you.” Even creating joint content—such as collaborative TikTok’s or shared playlists, makes people feel closer. These virtual activities create shared memories, even if you’re not in the same place. They turn communication from routine check-ins into something fun, engaging, and meaningful. It helps keep the energy of the relationship alive and often brings joy into both people’s days.

  1. Building Trust and Emotional Presence

Long-distance relationships, especially romantic or family ones, rely heavily on trust and consistent communication. Social media helps build that trust by offering visibility and transparency. Features like “last seen,” read receipts, or shared posts can offer reassurance, though they should be used respectfully. Video calls, voice notes, and messages help to fill emotional gaps. Even a simple emoji reaction or comment can show, “I’m here. I care.” This digital presence, often called “ambient awareness,” means you don’t have to talk 24/7 to feel close; you just know the other person is around. However, it’s important to set healthy boundaries. Social media should be a bridge, not a pressure. Over-relying on it or misreading online behaviour can create misunderstandings. Open conversations about communication styles help avoid unnecessary conflict.

Social media has transformed how we maintain long-distance relationships, turning what once felt impossible into something deeply possible—and even enjoyable. By sharing daily moments, engaging creatively, and building emotional presence, we can stay close to the people who matter, no matter how far they are. Distance doesn’t have to weaken bonds. With intention and care, social media can help love, friendship, and family thrive across continents.

References

Danielle Lippert, A. R. (2022). The Effects of Social Media on Long Distance Relationships. 15.

House, B. M. (n.d.). an you handle the distance? A look into social media and the effects on Long-Distance relationships. DigitalCommons@CSP, 25.

Kuske, M. R. (2020). Social Media Use in the Maintenance of Long-Distance Romantic. UWL Journal of Undergraduate Research XXIII, 14.

noel, D. S. (2024). The experiences of individuals in maintaining a long-distance relationship through social media. 8.

Written by: Thrya Abdulraheem Motea Al-aqab

Edited by: Meigitaria Sanita

Three Habits That Boost Productivity During University Exams

University life can be intense, especially during exam season when assignments, projects, and revisions gather at once. Good habits aren’t just helpful in these moments; they’re essential. Habits are powerful because they allow us to act without overthinking, saving time and mental energy. When developed intentionally, the right habits can help students stay organized, focused, and on track for academic success. Below are three of the most effective habits for staying productive during exams and managing a heavy workload (Carden, 2018).

  1. Plan Your Day Daily

Successful students don’t leave their days to chance. Building the habit of daily planning helps bring structure to chaos. Taking 10–15 minutes each morning or the night before to write down tasks, prioritize deadlines, and block time for studying makes a huge difference. A clear plan will help to reduce anxiety, improve time management, and make large projects feel more manageable. Whether you use a physical planner or a digital app, the key is consistency.

  1. Start the Day Early

Early mornings can be a secret weapon. Waking up early provides quiet, uninterrupted hours that are perfect for reviewing notes, reading, or completing assignments. Instead of rushing through the day or staying up too late, starting early promotes a calmer and more focused routine. It’s not about waking up at 5 a.m.—just an hour earlier than usual can make a big difference in how much you accomplish.

  1. Minimize Distractions

While goal setting is important, it’s even more powerful to create an environment that supports focus. One of the best productivity habits during exam season is minimizing distractions. This could mean studying in a quiet space, turning off phone notifications, or using tools like website blockers to stay on task. Even short periods of deep, undisturbed focus can lead to more efficient studying and better results.

Forming positive habits like daily planning, starting the day early, and minimizing distractions can significantly boost productivity during exams. These habits help students use their time wisely, reduce stress, and ultimately achieve better academic results. Start with one habit, stay consistent, and let the results speak for themselves.

References

Carden, L. (2018). Habit formation and change . researchgate, 20.

Written by: Thrya Abdulraheem Motea Al-aqab

Edited by: Meigitaria Sanita

Emotional Intelligence

“The greatest discovery of all time is that a person can change his own attitude by choosing his own thoughts,” said James Allen. This highlights the vital role of self-awareness in emotional intelligence. Mastering our emotions begins with recognizing and choosing how we respond to our surroundings and ourselves.

Emotional intelligence (EI) is the ability to recognize, understand, and manage our own emotions as well as those of others. It encompasses self-awareness, self-regulation, motivation, empathy, and social skills (contributors, 2025). Developing EI is crucial for handling challenges, building relationships, and making thoughtful decisions. In this article, I will explore why gaining emotional intelligence is essential for personal and social success.

Emotional Intelligence and Social Success

Being emotionally aware and capable makes people effective in social interactions, relevant to friends, professionals, and family members. Listening to emotional concerns helps professionals manage friends and family, allowing them to resolve problems efficiently. With the considered caring soft skills of reading social cues, they can think of solutions instead of reacting in a stupor to unpredictable issues. As a result, not only are connections deepened, but also conflicts are more respectfully managed.

Using and understanding others’ emotions is valuable in professional circumstances related to teams and organizations. Group coordination is effective if there is open communication from all parties, provided that one party submits to dealing with conflict more calmly. When it comes to interpersonal connections as well as workplaces, emotionally intelligent people have a profound impact on communities. Through their empathy and respect, they foster a culture of inclusivity where people feel accepted. In this regard, emotional intelligence improves professional achievements but adds to a more balanced society. (Emotional intelligence in Leadership: Why it’s important, 2019)

The Personal Impact of Emotional Intelligence

Emotional intelligence significantly impacts individuals on a personal level, primarily through self-awareness and self-regulation. Self-awareness ability to recognize and understand one’s own emotions foundational to emotional intelligence. It allows individuals to identify their feelings accurately and understand how these emotions influence their thoughts and behaviors. This insight leads to better decision-making, improved relationships, and greater self-confidence, enabling people to navigate life’s challenges more effectively.

Building on self-awareness, self-regulation involves managing and controlling emotional responses, especially in stressful or challenging situations. Those with strong self-regulation can pause, reflect, and choose constructive reactions rather than impulsive or negative ones, which helps maintain emotional balance and resilience. This ability reduces emotional strain and fosters adaptability and positive interactions with others, contributing to overall well-being and happiness. Together, self-awareness and self-regulation empower individuals to understand their emotional triggers, manage their moods, and respond thoughtfully, enhancing personal growth and life satisfaction. (Antonopoulou, 2024)

How Emotional Intelligence Can Be Developed

Emotional Intelligence isn’t a fixed thing, and can be slowly developed by these three simple ways:

  1. Practice Self-Awareness

Set aside time every day to label and pay attention to your feelings. Keeping a journal or taking a moment to think about the reasons for such emotions.

  1. Practice Self-Regulation

During moments of heightened feelings, take a break and breathe. Deep breaths or counting to ten are effective methods to calm the mind, which ensures one can manage their responses in stressful situations.

  1. Improve Empathy

Learn how to take other people’s viewpoints seriously. To better understand individuals, listen to others, along with considering their feelings. It makes it easier to understand people, as one can create better interpersonal relationships.

Emotional intelligence is a valuable skill that enhances many areas of life. It goes beyond just personal feelings or social interactions, helps us handle everyday challenges, make better decisions, and build stronger relationships. So, taking the time and effort to learn and gain such a skill won’t be a waste of time.

References

Antonopoulou, H. (2024). The Value of Emotional Intelligence: Self-Awareness, Self-Regulation, Motivation, and Empathy as Key Components. 15.

contributors, W. (2025, may 1). Emotional intelligence. Retrieved from https://en.wikipedia.org/wiki/Emotional_intelligence

Emotional intelligence in Leadership: Why it’s important. (2019, April 3). Retrieved from https://online.hbs.edu/blog/post/emotional-intelligence-in-leadership

 

Written by: Thrya Abdulraheem Motea Al-aqab

Edited by: Meigitaria Sanita

 

 

Hari Pendidikan Nasional ‘Esensi Menjadi Terdidik’

Terhitung 77 kali Hari Pendidikan Nasional yang jatuh pada tanggal 2 Mei dirayakan setiap tahunnya. Selain berterimakasih terhadap para tokoh yang membawa perubahan besar dalam sejarah pendidikan, sudah selayaknya melakukan refleksi.

Di momen Hari Pendidikan Nasional 2025 ini, Kaprodi Ilmu Komunikasi UII yakni Dr. Zaki Habibi memberikan gagasan menarik tentang esensi menjadi terdidik hingga bertumbuh dan survive dari setiap zeitgeist (semangat zaman yang merujuk pada pemikiran dominan yang mendominasi periode waktu tertentu).

“Siapa mereka (Ki Hajar Dewantoro) dan apa arti andilnya jelas, yaitu bahwa mereka sebagai juru pengingat, bahwa terdidik itu ternyata penting, tidak hanya soal bersekolah, tapi tentang menjadi orang yang lebih baik, menjadi bangsa yang tumbuh,” ucapnya membuka diskusi.

Pertanyaan besar setelah 77 tahun, apakah sebagai bangsa Indonesia semakin terdidik atau justru jauh dari esensi tersebut. menurutnya, inilah waktu yang tepat untuk berefleksi.

“Apa sih esensinya menjadi terdidik, itu bukan soal tinggi-tinggian gelar, tinggi-tinggian jenjang sekolah, tapi lebih ke titik berangkat kita dan titik muara kita itu ada bedanya,” Ucapnya.

Pendidikan adalah sarana dan proses bertumbuh, bagaiamana pola pikir dan nalarnya mampu beradaptasi dengan kondisi yang dihadapi. “Dalam cakrawala nalar, bernalar dan kemudian memahami situasi di sekitarnya, apapun disiplin ilmunya.”

Merefleksikan Hari Pendidikan Nasional, muncul pula pertanyaan mendalam, “sudahkah kita makin bernalar, sudahkah kita makin menggunakan nalar-nalar itu untuk menjadi orang yang lebih baik, komunitas yang lebih kokoh, bangsa yang lebih tangguh?”

Artinya, tak sekedar seremonial, mengingat sejarah saja. Bangsa terdidik mesti memiliki visi ke depan demi menjawab zeitgeist tadi. Jika di masa Ki Hajar Dewantoro memiliki tantangan di eranya, begitupun saat ini. bangsa Indonesia kini tengah dihujani dengan gelombang transformasi digital, kecerdasan buatan yang menyilaukan, hingga disrupsi berbagai sektor kehidupan.

 “Apakah kita tenggelam oleh tantangannya tanpa bisa merespon tantangan itu, atau justru kita bisa menaiki gelombang-gelombang tantangan itu untuk mengatasi?,” ungkapnya mempertanyakan.

Salah satu cara survive dengan tantangan zaman adalah melalui kreativitas. Kreativitas menjadi bagian penting dalam esensi terdidik. Kreativitas tak sekedar menciptakan sesuatu atau “bikin-bikin”, tapi terkait “daya survive manusia,” ungkap Dr. Zaki.

Hal ini digambarkan melalui cara manusia purba bertahan hidup, menciptakan lukisan di dinding goa sebagai bentuk komunikasi. tantangan serupa dengan bangsa saat ini, meski konteksnya berbeda.

“Itu sama rumitnya seperti manusia gua menghadapi dilema tetap di luar tapi dimakan hewan buas atau di dalam tapi ada dunia baru yang mereka belum tau mau diapakan,” tambahnya.

Maka, pendidikan hari ini dan ke depan harus mampu membentuk individu yang kreatif, bernalar, dan adaptif terhadap perubahan. Esensinya bukan pada di mana seseorang belajar, tapi pada seberapa jauh seseorang bertumbuh, bertahan, dan memberi jawaban atas tantangan zaman. “Jangan pernah menyepelekan bahwa esensi terdidik bukan sekolah di tempat seperti apa, lulus dari institusi se-keren apa. Tapi bagaimana kita bisa mengasah esensi kreativitas sebagai dasar dari survival of human and civilization.” Tandasnya.

Visiting Professor Merlyna Lim dalam Grand Launching MIKOM UII

Visiting professor menjadi salah satu program unggulan di Magister Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII). Resmi diluncurkan pada Selasa, 29 April 2025 di GKU Dr. Sardjito UII kali ini MIKOM kedatangan Prof. Merlyna Lim dari Carleton University, Canada.

Lahirnya MIKOM tercatat sebagai anak ke 60 bagi UII, dalam momen bersejarah ini Grand Launching dikemas apik melalui rangkaian acara Asia Tenggara dalam Membingkai Media Digital dan Aktivisme Sosial. Dihadiri oleh kolega dari akademisi dari berbagai penjuru, NGO, hingga rekan media, Grand Launching dilanjutkan dengan diskusi bedah buku “Social Media and Politics in Southeast Asia” dengan pembahas Prof. Merlyna Lim dan Prof. Masduki.

Dipandu oleh Kaprodi Ilmu Komunikasi UII, Dr. Zaki Habibi diskusi berlangsung responsif. Prof. Merlyna Lim sebagai penulis buku yang diterbitkan oleh Cambride University Press membedahnya dengan sangat detail.

Pemaparan dari Prof. Merlyna Lim

Pemaparan dari Prof. Merlyna Lim. Image: Desyatri Parawahyu

Buku tersebut ditulis untuk memperluas studi di Asia Tenggara dalam konteks hubungan kompleks antara media sosial dan politik. Peran ganda pada media sosial justru menjadi penyebab utama praktik otoriter melalui politik algoritmik. Termasuk dalam kontestasi pemilihan umum, di Indonesia adalah contoh nyata.

Secara tegas, Prof. Merlyna Lim menyebut bahwa media sosial tidak pernah diciptakan untuk mendukung sistem demokrasi suatu pemerintahan.

“Sosial media tidak pernah diciptakan untuk empowering dan pasrtisipasi untuk demokratis. Tapi dasarnya kapitalis bukan untuk semua orang untuk berkomunikasi secara sehat,” terangnya.

Dari politik algoritmik, kapitalisme komunikatif di media sosial justru lebih mengutamakan pemasaran algoritmik dibanding diskusi publik. Dampaknya kualitas demokrasi semakin memburuk.

Algoritma di media sosial benar-benar mengacaukan rasionalitas manusia, Prof. Merlyna Lim menyebutnya mobilisasi afektif biner, bagaimana “algoritma mendorong emosi ekstrem yang memperkuat dua sisi aktivisme yakni progresif dan regresif,” jelasnya.

Parahnya, dampaknya akan meluas mulai dari polarisasi filter bubble (kantong algoritmik), disinformasi, hingga tren otokratisasi.

Prof. Masduki sebagai pembahas selanjutnya menyebut fenomena politik di Indonesia. Contoh nyata yang terjadi adalah kecenderungan politik dinasti.

“Ada satu kecenderungan di Asia Tenggara politik dinasti. Masalah serius di Asia Tenggara, apalagi di Indonesia termasuk di kota-kota dan daerah,” ungkapnya.

Tak hanya itu, Prof. Masduki juga menunjukkan data bahwa hanya 8 persen dari populasi dunia yang hidup dalam demokrasi penuh, sisanya campuran termasuk Indonesia.

Menjawab persoalan tersebut, Prof. Masduki mencoba memberikan tiga tawaran solusi yakni melalui reformasi struktural politik, merebut dan merayakan kembali ruang digital (deliberasi isu kerakyatan, demokrasi substansial), dan memperdalam demokrasi yang tangguh untuk politik yang selalu ada.

A sacred space where the soul finds peace

Humans have always found different ways to express their thoughts, feelings, and experiences. Some people use writing, painting, music, or dance to share what is inside them. Each person has their style and way of communicating with the world. As Dissanayake, Ellen explains in her book Homo Aestheticus, artistic expression is a natural part of being human( Dissanayake, 199). Photography is one of these powerful tools. Through a camera lens, people can show their emotions, tell stories, and capture memories. It is a unique form of self-expression that speaks without using words.

There are numerous ways to convey various thoughts and emotions through photography. Some photographers express feelings like happiness, sadness, hope, or loneliness through their images. Others use their photographs to communicate stories about social issues, everyday life, or personal experiences. A photograph’s topics, lighting, colors, and angles all contribute to its deeper significance. Even a straightforward image can move people and convey a strong message.

Many people choose photography to express themselves because it feels natural and accessible. Unlike writing or painting, photography does not always need special training. A camera or even a smartphone can become a tool for creativity. Photography also allows people to capture real moments as they happen, freezing memories in time.

Susan Sontag (1977) explains that taking a photograph is a way for people to “possess” an experience, giving it personal meaning (Sontag, 1973). For many, it is easier to show how they feel through an image rather than trying to find the right words. Photography gives them a voice without having to speak.

There are many examples of self-expression through photography. The energy of busy towns is captured by street photographers to convey either chaos or belonging. Portrait photographers capture images that convey feelings, identity, or beauty. On social media, even regular people post pictures of themselves to convey their experiences and aspirations. During the Great Depression, photographers such as Dorothea Lange documented people’s hardships with their cameras. Her well-known image, Migrant Mother, captured the suffering endured by many families and conveyed a profound sense of empathy (Research guides, n.d.). Many people still use photography today to inspire others, spread awareness, and share personal tales.

In conclusion, photography is more than just taking pictures. It is a way for people to express who they are and what they believe in. Through images, they can share their thoughts, feelings, and experiences with others. Photography crosses the barriers of language and culture, making it a truly powerful tool for human expression.

References

Dissanayake, E. (199). Homo Aestheticus : Where Art Comes From and Why. University of Washington Press.

Research guides. (n.d.). Retrieved from Dorothea Lange’s “Migrant Mother” Photographs in the Farm Security Administration Collection: Migrant Mother Series of Images: https://guides.loc.gov/migrant-mother/images

Sontag, S. (1973). ON PHOTOGRAPHY. The New York Review of Books.

 

Written by: Thrya Abdulraheem Motea Al-aqab

Edited by: Meigitaria Sanita

Mikom UII

Tercatat 20 tahun berdiri Departemen Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII) akhirnya secara resmi lakukan grand launching Magister Ilmu Komunikasi (MIKOM) pada Selasa, 29 April 2025 di GKU UII. Fokus pada kajian Digital and Environmental Communication harapannya mampu menjadi solusi dari permasalahan bangsa.

Iwan Awaluddin Yusuf, Ph.D selaku Ketua Jurusan menyampaikan rangkuman perjalanan lahirnya program MIKOM yang akan segera beroperasi September mendatang.

“Momentum bersejarah untuk Departemen Ilmu Komunikasi UII, setelah sekian lama berproses dengan bangga dan senang hati melahirkan MIKOM. Semoga ini menjadi bagian dari proses lahirnya solusi dari permasalahan bangsa,” jelasnya membuka acara.

Sebelumnya benchmarking ke beberapa universitas yang menjalankan magister komunikasi dilakukan, mulai dari UI, UMN, LSPR, hingga NTU Singapura. Dari perjalanan tim pendiri berdiskusi panjang dan menentukan arah kajian yakni Digital and Environmental Communication.

MIKOM UII

Pemaparan MIKOM UII oleh Prof. Subhan Afifu. Image: Desyatri Parawahyu

Penjelasan detail dipaparkan oleh Prof. Subhan Afifi selaku Kaprodi MIKOM UII, “Belum banyak kajian yang melibatkan perspektif kemanusiaan environmental humanities, bukan hanya mengkaji namun juga mengarahkan mahasiswa pada tindakan nyata dalam menanggapi isu digital dan ekologi,” ujarnya.

Rektor UII, Prof. Fathul Wahid hadir untuk menandai grand launching MIKOM UII, beliau memberikan berbagai contoh dinamika politik di dunia yang dipengarui oleh komunikasi dan media digital.

Mulai dari kasus korupsi di Filipina soal korupsi tahun 2001 yang menimbulkan aksi melalui mobilisasi pesan SMS dan memblokade salah satu jalan, hingga penciptaan kesan positif pada perpolitikan di Indonesia 2024 lalu.

Lahirnya MIKOM menambah pilihan kajian humaniora di UII, “Kehadiran MIKOM menambah portofolio dan menjadi pilihan anak bangsa untuk kuliah di UII,” pungkasnya.

Setelah sesi Grand Launching MIKOM usai, dilanjukan dengan diskusi buku “Social Media and Politics in Southeast Asia” bersama Prof. Merlyna Lim, Canada dari Carleton University, Canada beserta Prof. Masduki.

Berikut lima alasan mengapa mengambil fokus Digital and Environmental Communication:

Transformasi Digital dalam Pola Pikir, Interaksi, dan Komunikasi

  • Teknologi digital mengubah pola pikir, perilaku, dan komunikasimanusia secara radikal, termasuk munculnya media baru yang menggantikan media lama.

Kebutuhan Literasi Digital dan Kemampuan Analitis Tingkat Lanjut

  • Tidak cukup mahir teknis; perlu kemampuan analitis untuk memahami perubahan sosial-budaya dan mengembangkan strategi kampanye isu lingkungan.

Krisis Ekologis Global dan Pentingnya Perspektif Kemanusiaan: Environmental Humanities

  • Krisis lingkungan (perubahan iklim, punahnya spesies); Indonesia: Mega Biodiversity vs Biodiversity Hotspot.
  • Akar krisis: relasi timpang manusia-alam dalambudaya modern; kontestasi kuasa dalam isu lingkungan di media digital.
  • Dibutuhkan pendekatan lintas disiplin berbasis budaya dan kemanusiaan (ecocriticism, political ecology, dll)

Digitalisasi dan Lingkungan: Konstruksi Sosial dan Tindakan Nyata

  • Teknologi digital membentuk persepsi masyarakat tentang lingkungan.
  • Kampanye digital mendorong aksi nyata seperti Urban Farming, Gerakan Zero Waste, Penanaman Pohon, Climate Diet, Bersih Pantai/Sungai, Donasi Konservasi, dan Kampanye Transportasi Ramah Lingkungan.

Kontribusi KajianKomunikasi: Dari Representasi ke Intersubjektivitas

  • Komunikasi perlu bergeser dari sekedar membicarakan lingkungan menjadi berkomunikasi dengan lingkungan.
  • Paradigma more-than-human communication mengakui non-human sebagai subjek komunikasi.
  • Diperlukan pendekatan komunikasi dan humaniora untuk memperkaya studi lingkungan di Indonesia.

Informasi pendaftaran selengkapnya dapat diakses melalui link berikut: https://communication.uii.ac.id/magister/

Ask the Expert: Opini Bisa kena Pasal? Ancaman Nyata di Balik Revisi UU TNI

Ramai-ramai penolakan revisi UU TNI terus bergulir. Teranyar, deretan media nasional melaporkan beberapa mahasiswa meminta Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan hasil revisinya.

Laporan dari Tempo tentang Aktor, Modus, dan Motif Revisi Undang-Undang TNI pada 23 Maret 2025 menyebut jika Presiden RI, Prabowo Subianto telah lama (sejak 2023 sebelum menjabat Menteri Pertahanan) ingin merombak UU TNI dengan tujuan memperluas peran tentara.

Masyarakat khawatir UU TNI kembali seperti Orde Baru soal dwifungsi ABRI. Sementara motif pokok revisi UU TNI adalah perbaikan pertahanan. Beberapa perubahan antara lain penambahan bidang operasi militer selain perang, penambahan jabatan sipil oleh TNI aktif, dan perpanjangan batas pensiun.

Ketakutan lain tentu soal lumpuhnya demokrasi, kewenangan TNI tentu akan mengancam kebebasan publik dalam menyuarakan opini dan kritik termasuk di ruang digital. Dalam sesi Ask the Expert, gagasan menarik terkait Opini Bisa kena Pasal? Ancaman Nyata di Balik Revisi UU TNI dibahas oleh salah satu dosen Ilmu Komunikasi UII yakni Puji Rianto, S.IP., M.A yang mendalami kajian Regulasi dan Kebijakan Media – Kajian Khalayak.

Opini Bisa kena Pasal? Ancaman Nyata di Balik Revisi UU TNI

  1. Apa sebenarnya yang berubah dari UU TNI dari sebelumnya?

Concern itu kan salah satunya adalah perluasan peran TNI atau dalam konteks undang-undang itu adalah lembaga-lembaga yang bisa diduduki oleh TNI. Yang ini menimbulkan keresahan di kalangan sipil karena dikhawatirkan kembali ke era Orde Baru, kembalinya ke dwifungsi ABRI.

  1. Lantas jika demikian, apa dampaknya terhadap masyarakat khususnya kebebasan beropini di ruang publik termasuk media digital?

Dampak sesungguhnya dari undang-undang ini masih harus diuji, karena undang-undang ini kan masih pada tahap disahkan.

Sebetulnya bukan pada undang-undangnya. tetapi mental TNI di dalam menghormati hak-hak sipil warga negara, terutama di bidang komunikasi itu yang penting. Kecenderungannya sebetulnya ada undang-undang atau tidak, spirit otoritarianisme itu pelan-pelan mulai kembali. Jadi ada undang-undang atau tidak undang-undang, kalau kultur otoritarian ini kembali itu buruk bagi demokrasi.

  1. Apakah opini kritis terhadap lembaga negara, termasuk TNI, masih bisa dianggap sebagai bagian dari komunikasi politik yang sehat di masyarakat?

Ini saya kritik saya terhadap seluruh pejabat yang mengatakan demokrasi itu gaduh. Segala sesuatu itu harus diperdebatkan dengan menggunakan rasio (rasionalitas). Karena dengan perdebatan rasio itulah kita akan menemukan cara yang paling bagus. Karena kalau kita berdebat secara rasional itu pasti gaduh. Karena setiap orang punya perspektif, punya pendekatan.

Nanti kita akan menemukan pada akhirnya argumen mana yang paling masuk akal, argumen mana yang paling kuat Itulah yang kemudian kita akan ambil. Tanpa ada adu argument maka kebijakan itu akan diambil oleh satu kelompok atau satu pihak.

Di dalam masyarakat yang sangat plural dan komplek itu tidak bagus. Oleh karena itu, di dalam masyarakat itu harus ada perdebatan. Nah, oleh karena itu, concern kita sebetulnya adalah pada apakah ruang publik ini, public sphere itu masih tetap dijaga. Hampir semua penelitian tentang demokrasi di Indonesia dan demokrasi di lingkup global memang mengalami penurunan.

Mungkin di Indonesia penurunan jauh lebih cepat. karena apa? Institusionalisasi demokrasinya bermasalah.

Jadi kita

Misalnya, lolosnya KUHP yang punya potensi untuk melanggar kontitusi karena mengambat kebebasan perpendapat warga negara. Undang-undang ITE yang sudah sangat lama, meskipun kemudian direvisi tetapi tetap saja spiritnya Punya potensi untuk membungkam kebebasan perpendapat.

  1. Dalam ilmu komunikasi, kita belajar soal framing dan agenda setting. Apakah UU ini bisa memengaruhi cara media membingkai isu-isu terkait TNI?

Kalau revisi undang-undang itu kemudian dimaknai oleh TNI untuk masuk terlalu jauh dalam kehidupan sipil demokrasi, masuk ke kampus, menekan kampus-kampus, baik kerjasamanya lebih luas dengan tentara, maka, kekhawatiran bahwa dia akan menciptakan cara orang berkomunikasi, cara orang membingkai, iya, jelas itu. Karena akan menimbulkan efek ketakutan.

Di dalam militer dan masyarakat sipil, kultur di dalam militer itu kan sebenarnya kontradiksi interminis dengan demokrasi. Kalau kultur militer masuk ke sipil, tidak bagus. Apalagi dalam satu masyarakat yang komplek, yang segala sesuatu harus diperdebakan secara rasional, secara demokratis, di mana segala macam perspektif bisa muncul di situ, maka kultur TNI yang komando itu tidak kompatibel dengan sipil, apalagi di dalam masyarakat kampus. Yang mensyaratkan kebebasan akademik.

  1. Bagaimana mahasiswa komunikasi bisa tetap vokal dan kritis tanpa harus takut terkena pasal, terutama ketika menyampaikan opini di ruang digital?

Pertama ketika kita beropini di ruang digital, maka kita akan perhatikan aturan di ruang digital. Salah satunya adalah undang-undang ITI, informasi dan transaksi elektronik. Dan ini sudah banyak korbanya, ya kan? Terutama kasus-kasus pencemaran nama baik.

Saran saya kepada mahasiswa, Pertama adalah mahasiswa itu wajib kritis karena anda punya kemerdekaan berfikir.

Kedua adalah, sampaikan fakta, sampaikan data. Kalau anda menyampaikan fakta dan data, maka kecil kemungkinan bahwa anda akan kena undang-undang ITI. Anda tidak akan dituduh menyebarkan hoax, menyebarkan misinformasi atau disinformasi. Kalau nanti ada orang menuduh anda melakukan misinformasi sementara anda menyebarkan data atau menyampaikan fakta, menyampaikan informasi yang benar, faktual, tinggal diuji di pengadilan. Siapa yang berbohong.

Lalu yang ketiga, selalu mengupdate ilmu pengetahuan. karena data kita baca dengan ilmu pengetahuan. dengan melakukan ini, insyaallah, mahasiswa itu akan tetap bisa kritis.

Itulah gagasan terkait RUU TNI, bagaimana pendapatmu Comms?