Ramadan

Ramadan is the most anticipated and cherished month for Muslims worldwide. It is a time of spiritual reflection, self-discipline, and devotion, but it is also a month of unity, generosity, and cultural expression. Across different regions, Ramadan traditions vary, yet one common element remains: food. More than just a source of nourishment after a long day of fasting, food during Ramadan carries deep cultural significance. It connects families and communities, and reflects a nation’s culinary identity. The dishes prepared and shared during this month tell the stories of generations, showcasing the richness of diverse Muslim cultures.

Different Cultural Approaches to Ramadan Preparation

As Ramadan approaches, every country has its own way of preparing for the holy month. In some regions, markets fill with special ingredients, while in others, families spend days preparing homemade treats that will last throughout the month.

Middle Eastern countries often prepare traditional dried fruits, nuts, and special drinks like qamar al-din (apricot juice) ahead of time.

In Southeast Asia, homes and mosques are decorated, and communities organize special food-sharing events.

In parts of Africa, large communal iftar gatherings are held, where neighbors cook and share meals together.

These pre-Ramadan preparations highlight how food is not just about eating but also about fostering a sense of belonging and unity.

Special Foods and Traditions Exclusive to Ramadan

While every culture has its special food, Ramadan brings out special dishes that are often prepared only during this time of the year. These meals are not just about flavor; they carry deep historical and cultural significance, passed down through generations.

Yemen: Ramadan in Yemen is incomplete without shafout, a unique dish made of lahoh (fermented bread) soaked in a spiced yogurt sauce. Another staple is sambosa, crispy triangular pastries filled with meat, cheese, or vegetables, which have become a Ramadan favorite across many countries.

Indonesia: Iftar in Indonesia often begins with kolak, a sweet coconut milk-based dessert with bananas or sweet potatoes.

Turkey: A special Ramadan bread called pide is prepared, often served warm with soup or meat dishes.

Morocco: Harira, a hearty tomato and lentil soup, is a Ramadan staple, often accompanied by chebakia, a flower-shaped sesame cookie.

Despite the variety, these dishes all share something in common: they bring families together and make Ramadan even more special.

Food as a Link to Heritage and Identity

Ramadan cuisine is more than just food—it is a powerful connection to cultural roots. Traditional cooking methods, unique spices, and regional ingredients showcase the heritage of different communities. Some dishes have been passed down for centuries, preserving the flavors of the past.

For many, the act of preparing and sharing Ramadan meals is a way to bring families together and maintain cultural traditions, especially for those living far from home.  Muslims recreate the tastes of their homeland, keeping their identity alive through food.

Ramadan is more than just fasting; it is a celebration of cultural richness. The unique dishes prepared during this holy month reflect the diversity of Muslim communities worldwide while reinforcing the shared values of togetherness and generosity. Through food, traditions are preserved, and connections are strengthened, making Ramadan a truly special time of the year.

Written by: Thrya Abdulraheem Motea Al-aqab

Edited by: Meigitaria Sanita

Abandoned and Beyond: Sebuah Buku Foto yang Merayakan Keterbengkalaian Ruang Kota

Jika buku karya dosen umumnya berisi rentetan teori dan “sangat akademis” berbeda dengan buku foto yang digarap Dr. Zaki Habibi. Tumpukan gambar yang dipotretnya lebih dari satu dekade akhirnya terbit menjadi buku foto berjudul Abandonded and Beyond.

Buku foto berkonsep artisanal photo book itu telah launching pada 2 Februari 2025 lalu dengan menggandeng beberapa pihak antara lain Gueari Galeri sebagai penerbit hingga yayasan riset visual Mata Waktu.

Dari catatan penulis, materi fotografi di dalamnya sebagian besar berasal dari proyek riset yang dilakukan di beberapa kota termasuk Yogyakarta. Pada momen itu, pemandangan ruang terbengkalai di kota menarik perhatiannya. Hingga, foto-foto yang terkumpul sempat dipamerkan pada gelaran COMART 2015 di Taman Budaya Yogyakarta (TBY).

Abandoned and Beyond: Sebuah Buku Foto yang Merayakan Keterbengkalaian Ruang Kota

Launching buku Abandoned and Beyond

“Kalau ditanya total prosesnya, 10 tahun,” ungkap Dr. Zaki Habibi, mengenang perjalanan panjangnya.

Setelah dibiarkan tersimpan cukup lama, pertengahan 2023 menjadi babak baru bagi foto-foto ruang terbengkalai. Workshop yang digagas Gueari Galeri bersama Zontiga di Kuala Lumpur menentukan nasib karya Abandonded and Beyond. Proses satu setengah tahun, dengan empat kali pembuatan dummy book beberapa elemen-elemen sensoris dan narasi diciptakan untuk menggugah pembaca.

Satu hal yang diimani dalam buku foto garapannya, tidak seluruhnya berupa gambar. Dari workshop pentingnya desain dan kurasi serta mengurutkan foto menjadi tantangan tersendiri agar narasi sesuai. Sehingga dalam prosesnya tak semua foto terpakai.

“Hasil dari workshop itu yang membuka mata bahwa buku foto enggak harus isinya hanya foto. Bentuk workshopnya digali sama mentornya sampai peserta juga menggali sisi-sisi lainnya, yang paling sulit ada tahapnya mengkonsep, design thingking, selecting, curating, sequencing di fase mengurutkan ini baru ketahuan foto-foto yang kusubmit enggak semuanya bisa kepakai karena buku unu butuh elemen lain,” jelasnya.

90 persen foto yang termuat diambil menggunakan kamera analog yang saat itu tengah terbengkalai juga lantaran sebagian masyarakat beralih dengan kamera digital. Bagian ini menambah narasi pada keterbengkalaian ruang kota.

Pengalaman sensoris dalam buku ini diwujudkan melalui berbagai elemen non cetak seperti bungkus plastik terbakar, karton bekas hingga lakban terbakar yang dikumpulkan dari satu tahun terakhir.  Bahkan beberapa halaman dilengkai QR Code yang isinya track audio dari beberapa foto yang terpotret. Elemen sensoris itu mewakili sentuhan, bau, dan suara.

Dr. Zaki Habibi berujar “Tujuan bukunya bukan informatif, makanya tidak ada caption, tidak ada lokasinya,” ujarnya. Buku ini lebih berfungsi sebagai undangan untuk merenung dan ber-refleksi tentang kondisi kota yang sering terabaikan.

Dari aspek teknis, pendekatan artisanal handmade melibatkan beberapa ahli. Misalnya dalam penjilidan ada Tarlen Handayani atau Vitarlenology seorang ahli konservasi buku, untuk elemen-elemen yang menggunakan teknik pembakaran dibantu oleh Agung Wibowo seorang pengrajin, serta Haya Habibi sang putri yang bertugas menggoreskan efek sobekan-sobekan pada sampulnya.

Buku ini bukan hanya tentang foto atau dokumentasi visual semata, tetapi tentang bagaimana sebuah narasi dan pemikiran mendalam dapat dihadirkan dalam bentuk buku yang menggugah panca indera pembaca. Dengan elemen yang sangat personal dan penuh makna, karya ini adalah perwujudan dari perjalanan panjang yang telah digali selama lebih satu dekade.

Interpersonal Communication Challenges While Fasting

Communication is a fundamental aspect of human interaction that shapes our relationships with others and ourselves. However, during Ramadan, fasting affects both interpersonal communication (the way we interact with others) and intrapersonal communication (our inner dialogue) in unique ways. Ramadan Is a sacred month that fosters spiritual growth, yet It also introduces challenges in maintaining effective communication due to changes In physical and mental states. According to Communication Accommodation Theory (Giles & Coupland, 1991), individuals adjust their communication” styles based on their psychological and physiological conditions. Understanding these differences and finding ways to navigate them can help ensure smoother and more meaningful interactions throughout Ramadan.

Interpersonal Communication During Ramadan vs. Other Months

Interpersonal communication—our interactions with others—is deeply affected by fasting. Throughout the rest of the year, people communicate without significant physical restrictions. However, during Ramadan, fasting alters our energy levels, emotions, and patience, which can influence the way we interact.

  1. Irritability and Short Temper

Outside of Ramadan, people often rely on food and drinks to regulate their mood, making it easier to manage stress and frustration. During Ramadan, hunger and dehydration can make individuals more prone to irritability, leading to misunderstandings and conflicts in daily conversations. According to “Islamic Fasting and Health” by WikiIslam, fasting can cause fluctuations in blood sugar levels, resulting in temporary cognitive impairment, mood swings, and decreased energy levels. These physiological effects explain why individuals might struggle with patience, attentiveness, or effective communication while fasting.

Solution: Practicing patience, using gentle speech, and reminding ourselves of the spiritual purpose of fasting can help maintain positive interactions.

  1. Workplace and Academic Communication

In normal circumstances, productivity and engagement in meetings or discussions are consistent. While fasting, energy levels may drop, especially in the afternoon, leading to reduced focus, miscommunication, or difficulty expressing thoughts clearly.

Solution: Scheduling important discussions earlier in the day when energy is higher and being understanding towards colleagues who are fasting can create a more supportive environment.

Intrapersonal Communication: The Inner Dialogue in Ramadan vs. Other Months

Communication isn’t just about talking to others—it’s also about how we communicate with ourselves. Intrapersonal communication shapes our thoughts, emotions, and actions, and Ramadan brings a shift in this inner dialogue.

  1. Balancing Physical and Mental Well-Being

On normal days, physical comfort often dictates mental state—feeling energized after eating or being irritable when hungry. In Ramadan, fasting teaches self-control, requiring individuals to regulate their thoughts and emotions despite physical hunger or tiredness.

The Prophet (peace be upon him) said: “Whoever does not give up false speech and evil actions, Allah is not in need of his leaving his food and drink.” (Sahih al-Bukhari, 1903)

Solution: Recognizing that emotions are temporary and focusing on spiritual goals rather than physical discomfort can strengthen self-discipline.

  1. Increased Self-Reflection

Outside of Ramadan, people often engage in self-talk that revolves around daily responsibilities, stress, and future plans.In Ramadan, there is a stronger focus on self-reflection, spirituality, and personal growth, as emphasized in the Qur’an:

 “you who have believed, fasting has been prescribed for you as it was prescribed for those before you, that you may attain Taqwa (consciousness of Allah).” (Surah Al-Baqarah 2:183)

Solution: Using this time for positive self-talk, gratitude, and setting meaningful intentions can enhance both spiritual and emotional well-being.

Ramadan presents both unique challenges and opportunities for interpersonal and intrapersonal communication. While fasting may test our patience and energy, it also fosters deeper self-awareness and encourages stronger, more meaningful connections with others. By practicing patience, adjusting our communication styles, and being mindful of our inner dialogue, we can navigate conversations more effectively.

As we embrace the essence of Ramadan, let’s make a conscious effort to communicate with kindness, understanding, and self-awareness. Whether engaging in conversations with others or reflecting within our own minds, effective communication will not only make fasting easier but also enhance the true spirit of this sacred month.

 

Written by: Thrya Abdulraheem Motea Al-aqab

Edited by: Meigitaria Sanita

This was the first Ramadan for Thrya, an IPC student. It was a different experience from where he lives in Yemen.

This was the first Ramadan for Thrya, an IPC student. It was a different experience from where she lives in Yemen.

Ramadan away from home can be a bittersweet experience, but there is something truly special about observing it in Indonesia. While it may be different from what I was used to back home, the warmth and welcoming atmosphere of Ramadan around campus make it a memorable experience. The spirit of togetherness, the sense of community, and the shared excitement for iftar and Tarawih prayers create a unique vibe that makes this Ramadan stand out.

A Ramadan Unlike Any Other

This Ramadan is unlike any I have experienced before. For the first time, I find myself balancing university classes, assignments, and cooking meals, all while trying to maintain the spiritual essence of the holy month. Back home, Ramadan felt easier with family support—meals were prepared, and daily schedules were adjusted to accommodate fasting. However, as an international student, I now have to manage my time efficiently to ensure I don’t miss out on the blessings of this month. Finding time for Tarawih prayer after long, busy days is challenging, but it’s a commitment that strengthens my faith and discipline.

The Beauty of Iftar Gatherings

One of the things I love the most about Ramadan in Indonesia is the way people come together for iftar. Many students, like me, are away from their families, yet they make an effort to recreate the warmth of home by breaking their fast with friends. Whether it’s in dormitories, rented rooms, or university spaces, the joy of sharing meals brings comfort and a sense of belonging. The university also organizes special Ramadan activities, fostering a strong community spirit. Seeing people from different backgrounds unite in the spirit of Ramadan is truly heartwarming.

Lessons Learned from Ramadan in Indonesia

Beyond the spiritual significance, the first days of  Ramadan in Indonesia has been a learning experience. It has taught me:

  1. Independence and Time Management – Managing fasting, studies, and personal responsibilities requires discipline and organization.
  2. The Importance of Community – Even when far from home, the kindness and generosity of people around can make Ramadan fulfilling.
  3. Patience and Gratitude – Witnessing the way Indonesians celebrate Ramadan with simplicity and devotion has deepened my appreciation for the essence of this month.

Despite the differences, I feel this  Ramadan in Indonesia is going to be an enriching and unforgettable experience. The warmth of the people, the beauty of shared iftar moments, and the spiritual growth I have seen makes it truly special. While I may miss home, I have found a new kind of family here, and that is the essence of Ramadan—unity, gratitude, and faith.

 

Written by: Thrya Abdulraheem Motea Al-aqab

Edited by: Meigitaria Sanita

Gara-gara Skripsinya yang Unik Alumni Ilkom Diundang Podcast Raditya Dika, Bagaimana Prosesnya?

Empat tahun berlalu skripsi alumni Ilmu Komunikasi UII menjadi perhatian publik. Riset berjudul Simbolisme Bromance Raditya Dika dan Pandu Winoto dalam Channel YouTube Raditya Dika membawa Pandu Bagus Pratama duduk di studio dalam podcast Raditya Dika.

Ia diundang oleh Raditya Dika untuk melakukan rekaman podcast pada 17 Februari 2025, akhirnya podcast bertajuk Saya dan Pandu Jadi Objek Penelitian tayang pada 28 Februari lalu.

Menariknya, banyak hal-hal yang tak terungkap dalam podcast tersebut. Ia mengaku gugup harus berhati-hati untuk menghindari komentar yang tak diinginkan oleh netizen di kolom komentar.

Hal yang tak terungkap di Podcast Raditya Dika

Menariknya, sejak awal Pandu ingin memberitahu Raditya Dika tentang skripsi yang telah digarap. Namun, keinginan itu dikubur dalam-dalam karena ia berfikir tak akan direspon. Ternyata, keinginannya justru terwujud lewat unggahan Raditya Dika di Instagram.

Selengkapnya: https://communication.uii.ac.id/simbolisme-bromance-raditya-dika-dan-pandu-winoto-dalam-channel-youtube-raditya-dika/

“Dari dulu sebenarnya sudah ingin mengirim DM Bang Radit tapi kayaknya enggak mungkin deh. Gak mungkin direspon segala macem,” ujarnya saat dihubungi lewat Zoom Meeting.

Selain itu, Pandu yang terlihat banyak lupa dengan isi skripsinya bukan karena tak membaca ulang hal itu dilakukan agar podcast berjalan natural. Empat tahun berlalu akan sangat tidak realistis jika hafal keseluruhan.

“Sebenarnya lupanya bukan karena aku lupa udah lama, lupanya karena nervous. Sedikit (membaca ulang) enggak terlalu, karena aku memang ingin natural,” ucapnya.

Proses pembuatan podcast berlangsung singkat, tim dari Raditya Dika hanya memberikan briefing untuk mengikuti alur pertanyaan yang dilontarkan Raditya Dika maupun Pandu Winoto.

“Itu benar-benar natural banget, sama tim debriefing dulu “kamu nanti ikuting Bang Radit saja”. Sebelumnya juga enggak ngobrol dulu sama Bang radit Bang Pandu. Dan setelah itu juga enggak ketemu lagi, ngobrol dikit selesai,” katanya mengingat proses take video podcast.

Pembawaan Pandu yang malu-malu dan sedikit gugup bukan tanpa alasan. Podcast tersebut akan ditonton netizen di seluruh Indonesia.

“Itu memang aku ditanya malu-malu, memang aku tidak mau ngebuka semuanya. Malu lah, kalo semua dijawab. Aku bawa diriku sendiri dan ada nama kampus, nama-nama teman aku takutnya mereka kebawa aku jadi beban, aku enggak mau,” jelas Pandu

Meski demikian, undangan dari raditya Dika tak disia-siakan. Baginya itu merupakan peluang dan kesempatan emas.

“Yang aku harapkan enggak usah muluk-muluk itu priviledge banget, aku juga ngefans sama bang Radit sama bang Pandu dan suka nonton kontennya. Dan ke depannya pasti aku dapet relasi dari hal itu, mungkin ada kerjaan atau sekedar kenalan saja tidak apa-apa. Dan ternyata memang benar setelah diundang ada yang hubungin, kenal juga sama timnya beberapa. Jadi lebih banyak orang yang tahu,” tandasnya.

Ternyata setelah podcast tayang, jumlah pengikutnya di media sosial mengalami kenaikan mesti tak banyak.

“Pasti (followers Instagram meningkat) meskipun tidak banyak, ratusan sih. Tapi trafficnya naik banget. Tiba-tiba ada orang random mengirim DM,” tandasnya.

Bagi kamu yang penasaran dengan podcast alumni Ilmu Komunikasi, klik laman berikut ya Comms: https://www.youtube.com/watch?v=cQZqoUI2PDo

Battle of the Best 2025

Mahasiswa Ilmu Komunikasi UII, Dzaki Muhammad Arafat berhasil membawa pulang medali perak dalam kompetisi nasional sepatu roda.

Ia menempati posisi kedua kategori freestyle slide senior men dalam “Battle of the Best 2025” yang digelar di PTC Mall Palembang pada 21-25 Februari 2025 lalu.

Battle of the Best 2025 merupakan Inline Freestyle National Championship yang cukup populer dalam komunitas sepatu roda di Indonesia.

Beberapa bulan terakhir Dzaki tercatat wara-wiri dalam berbagai kompetisi sepatu roda. Mulai dari Piala Ibu Negara di Bandung hingga PON Aceh September lalu. Meski demikian langkahnya tak selalu mulus, kegagalan juga sempat dialaminya. Maka, prestasi di Battle of the Best 2025 menjadi hadiah atas kegigihannya.

“Sudah ke sekian kalinya (mengikuti kompetisi), Sebelumnya mengikuti kejuaraan Piala Ibu Negara di Bandung membawa provinsi DI Yogyakarta dengan meraih medali perak dan Bulan September lalu mengikuti Pekan Olahraga Nasional (PON) XXI di Aceh membawa provinsi DI Yogyakarta,” ujarnya.

Mahasiswa angkatan 2021 tersebut mengaku telah menekuni olahraga sepatu roda sejak duduk di bangku sekolah dasar. Ia juga pernah bergabung dalam sebuah klub untuk mengasah skillnya.

“⁠Semenjak kelas 3 SD saat di Lampung usia 9 tahun,” tambahnya.

Di tengah-tengah kesibukannya menggarap skripsi Dzaki mengaku kesulitan membagi waktu untuk berlatih. Meski demikian keduanya menjadi prioritasnya, ia berlatih secara rutin setiap malam.

“Mengatur waktu kuliah dengan latihan sangat sulit dan harus mempertimbangkan banyak hal tetapi kalau semua bisa di manage dengan baik pasti bisa dijalani dengan teratur, seperti kuliah dari pagi sampai sore dan waktu latihan pada malam hari,” ucap Dzaki.

Belajar dari pengalaman sebelumnya, kompetisi ini berhasil ditaklukkan. Pada kesempatan ini Dzaki mengaku senang. Pengalaman bertemu dengan atlet-atlet nasional menambah wawasan dan relasi baru untuknya.

“Kesan dalam kompetisi ini sangat senang dan meriah karna bisa bertemu dengan teman-teman dari berbagai provinsi,” tandasnya.

Saat ini Dzaki tak tergabung dalam klub manapun sehingga ia bisa mewakili provinsi manapun dengan perjanjian kontrak. Dalam Battle of the Best 2025 dirinya menerima kontrak dari klub Joglos Yogyakarta.

Komik

Kasus pelecehan seksual di Indonesia menjadi isu yang terus disuarakan. Berbagai gerakan untuk penuntasan dan penegakan keadilan berkali-kali dilakukan oleh masyarakat sipil.

Data yang ditampilkan pada Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni-PPA) sepanjang tahun 2025 (1 Januari – 4 Maret) jumlah kasus kekerasan seksual yang tercatat (dilaporkan) mencapai 1.721 dengan korban perempuan maupun laki-laki.

Resah dengan kondisi kekerasan seksual yang tak kunjung mereda, dua mahasiswa Ilmu Komunikasi memilih membuat komik edukatif terkait pelecehan seksual sebagai syarat kelulusan atau setara dengan skripsi.

Dua mahasiswa tersebut adalah Hanifatul Ilmi (Ilmi) yang menciptakan komik berjudul Tiga Permata Luxiya. Segmentasi dalam komik ini adalah anak-anak, ceritanya yang unik perpaduan fiksi dan keseharian memberikan contoh yang mudah diterima.

Komik selanjutnya berjudul The Unbearable Unkindness: Sexual Violence Educational Comic yang digarap olehKiko Javier (Kiko). Menyasar pembaca usia 18 tahun ke atas, cerita yang disajikan cukup beragam mulai dari pelecehan di tempat kerja hingga bullying di tempat umum.

Meet the Authors

Kenapa memilih komik sebagai tugas akhir kamu? apakah kamu sudah lama menekuni bidang ini?

Ilmi       : Pemilihan komik sebagai tugas akhir karena melihat peluang berkarya lewat komik dari karya terdahulu milik Bang Rosi yang berjudul Tata Basa. Dulu saya tidak tau kalau di UII bisa projek komik juga, saya baru mengetahui di UII bisa membuat komik dari Pak Ali di kelas Penulisan Kreatif. Kebetulan saya hobi gambar dari kecil, dan beberapa kali menerbitkan komik pemula di Webtoon Canvas.

Kiko       : Saya memilih komik karena saya merasa komik adalah medium yang sangat efektif untuk menyampaikan pesan. Visual dan narasi dalam komik dapat membuat topik yang berat atau kompleks lebih mudah diakses dan dipahami oleh banyak orang. Saya sudah tertarik dengan komik sejak lama, baik sebagai pembaca maupun sebagai pembuat, dan saya merasa bahwa menggabungkan minat saya dengan tugas akhir bisa menjadi cara yang baik untuk mengeksplorasi lebih dalam dan memperdalam keterampilan saya.

Alasan utama kamu mengabil isu pelecehan seksual?

Ilmi       : Karena marak banget pelecehan seksual baik di media online maupun lingkungan saya. Menargetkan anak usia sekolah dasar, karena banyak kejadian anak sekolah yang “dianggap remeh”, namun berdampak besar dikemudian hari. Seperti pada episode mengibaskan rok, itu baru satu contoh kejadian di sekolah yang saya tuangkan dalam komik, masih banyak yang belum saya tuangkan.

Kiko       : Isu pelecehan seksual adalah masalah yang sangat relevan dan penting untuk dibahas, terutama dalam konteks kesadaran sosial yang terus berkembang. Saya merasa banyak orang yang masih belum sepenuhnya memahami dampak yang ditimbulkan oleh pelecehan seksual, dan banyak korban yang merasa kesulitan untuk berbicara tentang pengalaman mereka. Dengan memilih isu ini, saya berharap bisa memberikan ruang bagi percakapan tentang trauma dan pentingnya empati, serta mengedukasi masyarakat tentang cara-cara mencegahnya.

Inspirasi membuat komik tersebut dan prosesnya berapa lama?

Ilmi       : Inspirasi karya ini, dari kejadian tahun 2009 di sekolah dasar, saya melihat kakak kelas yang mengangkat rok teman sekelasnya dan dilihat banyak anak. Lama pengerjaan komik 1,5 tahun, dengan semua yang saya lalui, kerja offline, dan masih banyak lainnya.

Kiko       : Inspirasi saya datang dari pengalaman korban pelecehan seksual yang bersuara di media sosial dan kisah nyata yang sering saya dengar dari teman-teman maupun berita yang ada di sekitar kita. Saya ingin menciptakan sebuah narasi yang bisa menggugah emosi dan membuat pembaca lebih peka terhadap isu ini. Proses pembuatan komik ini memakan waktu sekitar satu tahun, dari riset awal, penulisan cerita, hingga tahap ilustrasi dan finishing. Selama proses itu, saya banyak berdiskusi dengan dosen pembimbing untuk memastikan cerita yang saya angkat tetap akurat dan sensitif.

Harapanmu dengan terbitnya komik ini?

Ilmi       : Harapan saya, jika ada penerbit yang mau menerbitkan komik ini, saya harap dapat melibatkan idola saya, Ochi Rosdiana untuk mendapatkan royalti. Karena beliau, saya dapat menyelesaikan komik dengan penuh inspirasi hanya dengan memasukkan nama Rosdiana ke dalam komik saya.

Kiko       : Saya berharap komik ini bisa membuka mata banyak orang tentang pentingnya menghargai batasan dan mengenali tanda-tanda pelecehan seksual. Saya juga ingin komik ini bisa menjadi sarana edukasi dan refleksi diri bagi pembaca. Dengan terbitnya komik ini, saya berharap lebih banyak orang yang merasa terdorong untuk berbicara dan mendukung korban pelecehan, serta mendorong adanya perubahan dalam cara kita memperlakukan satu sama lain.

Penasaran dengan karya-karya yang diciptakan mahasiswa Ilmu Komunikasi UII? Kamu bisa mengaksesnya melalui PDMA Nadim ya Comms.

Mahasiswa Ilmu Komunikasi Exchange ke University of Pisa, ‘Mengenalkan Dangdut hingga Aksi Solidaritas Palestina’

Guevara Tamtaka Warih Sadana mahasiswa Ilmu Komunikasi UII telah menyelesaikan exchange program di University of Pisa, Italia pada akhir tahun 2024 lalu. Banyak cerita dan pengalaman menarik yang ia dapatkan. Mulai dari cerita tentang pengalaman akademik dan non akademik.

Kegiatan belajar di University of Pisa cukup berbeda dengan di Indonesia. Menurut pengakuan Guevara, ia tak mendapat tugas setelah usai kelas. Bahkan hampir seluruh ujian dilakukan secara lisan. Tentu saja ini tantangan mengasah skill komunikasi hingga memetakan konsep berfikir logis agar pertanyaan terjawab dengan tepat.

Soal kultur di Italia cara berkomunikasi antara mahasiswa dan dosen dinilai lebih luweh. Meski demikian menjaga etika adalah utama.

Hal menarik lain dari pengalaman 6 bulan di Italia adalah keterlibatannya dalam beberapa kegiatan sosial. Ia sempat menjadi konseptor suatu even dan memasukkan musik dangdut dalam program tersebut. Sementara untuk aksi sosial ia turut bergabung dalam solidaritas untuk hak saudara-saudara di Palestina.

Mahasiswa Ilmu Komunikasi Exchange ke University of Pisa, ‘Mengenalkan Dangdut hingga Aksi Solidaritas Palestina’

IISMA University of Pisa. Foto: Dok Pribadi

Penasaran dengan ceritanya? Simak cerita dari Guevara,

Insight yang kamu dapatkan dari exchange di University of Pisa?

Selama 6 bulan menjalani program pertukaran di Pisa, aku belajar banyak hal. Mulai dari komunikasi yang lebih cair, berpikir kritis dan reflektif (dari matkul filsafat), lebih peka terhadap budaya, dan sadar kalau belajar tidak hanya soal akademik, tapi juga tentang memahami diri sendiri.

Terkait kultuk akademik, apa hal yang berbeda dengan di Indonesia?

Untuk kultur belajar di sini aku rasa kurang lebih sama dengan Indonesia. Yang membedakan adalah di sini tidak ada tugas, mahasiswa diwajibkan untuk belajar mandiri (tapi tidak sedikit yang baru mulai belajar ketika mendekati ujian hahaha). Komunikasi ke dosen lebih luwes, mungkin karena di sini semua orang santai dan unggah-ungguhnya tidak sekeras Indonesia, tapi tetap aja nggak boleh semena-mena ke dosen, hahahah! Yang terakhir, semua ujian dilakukan dengan lisan (setidaknya semua ujianku lisan, walaupun ada satu atau dua matkul temanku yang ujian tertulis). Menurutku ini agak menyebalkan karena bisa saja dosennya bias terhadap siswanya sehingga nilainya tergantung mood dosen.

Selain kegiatan akademik, pengalaman sosial apa yang telah didapatkan?

Salah satu kegiatan yang aku lakukan di Pisa adalah menjadi panitia acara CULTURISE untuk memperingati hari pahlawan. Aku berperan di divisi kreatif, dan acaranya seru banget! Kami berbagi pengetahuan tentang pahlawan-pahlawan indonesia, menyajikan makanan tradisional, salah satunya pecel (ternyata orang luar negeri suka pecel juga, guys!), serta memperkenalkan budaya indonesia lewat berbagai booth, seperti batik (praktik nyanting), wayang, dan aksara kuno (lontara, sunda, dan jawa!). Yang terakhir, kami juga menampilkan seni tari Indonesia, lho! Aku bertanggung jawab mengonsep semua hal yang berhubungan dengan aspek kreatif dan (yang paling penting) mengajari bule lagu-lagu dangdut!

Selama 6 bulan, salah satu pengalaman yang paling berkesan adalah mengikuti protes solidaritas untuk Palestina, di mana kami berjalan cukup jauh untuk menyebarkan kesadaran akan penindasan saudara-saudari kita di sana. Viva Palestine!

Pesan untuk memberi semangat teman-teman di Prodi Ilmu Komunikasi UII

Kejarlah pengalaman sebanyak mungkin, sejauh mungkin. Keluarlah dari zona nyamanmu itu. Keluarlah dari desamu, kotamu, provinsimu, pulaumu, atau negaramu. Jangan biarkan kakimu mengakar, kobarkanlah, biarkan mengembara dan berlayar! Tetaplah kau hunus tekadmu macam semangat Sisifus, kepakkanlah harapanmu macam sayapnya Icarus! Penuhi hidupmu dengan momen-momen berharga! Kejar mimpimu!

Itulah secuil pengalaman seru dari Guevara selama menjalani exchenge program di Italia, bagaiamana tertarik mengikuti jejaknya, Comms?

 

The Importance of Fact-Checking in Digital Journalism

Fact-checking is crucial in digital journalism as it ensures the accuracy, reliability, and authenticity of news. In an era of rapid information distribution, misinformation can spread quickly, shaping public opinion and influencing global events. Journalists must employ evidence-based verification methods to provide clear and factual accounts of current affairs.

Fact-checking involves several key steps to ensure the credibility of information. Journalists and fact-checkers use various verification techniques, such as cross-referencing sources, analyzing data, and consulting experts. Additionally, digital tools like reverse image searches, geolocation, and AI-assisted verification help detect misinformation and confirm authenticity.

Methods of Fact-Checking in the Digital Age

In the digital landscape, misinformation can spread rapidly through social media and other online platforms. To combat this, journalists utilize various methods, including:

– Identifying Claims: Monitoring news, social media, and press releases for potential misinformation.

– Validation Techniques: Utilizing tools like TinEye for reverse image searches and Google Fact Check Explorer to verify sources.

– Collaborative Review: Engaging editors and fact-checkers to review and verify claims.

– Transparency in Reporting: Providing citations and clear explanations of the verification process to enhance credibility.

Fact-checking is essential for maintaining trust in journalism. By ensuring accurate reporting, it combats misinformation, enhances credibility, and holds public figures accountable. It also helps audiences make informed decisions based on reliable information rather than manipulated narratives.

Example: Fact-Checking in Conflict Reporting

A real-world example of fact-checking in journalism is the conflict in Yemen. When the war escalated in March 2015, various media outlets reported conflicting narratives. Fact-checkers played a vital role in verifying reports about airstrikes, humanitarian crises, and political developments. By cross-referencing information from multiple sources and using satellite imagery, fact-checkers provided a more accurate depiction of events, countering false or misleading claims.

The Future of Fact-Checking in Digital Journalism

As technology advances, fact-checking will continue to evolve. AI tools, blockchain verification, and improved data analysis methods will enhance the accuracy and efficiency of journalism. However, human expertise remains irreplaceable for interpreting context, ensuring ethical considerations, and maintaining accountability in reporting.

Fact-checking is an indispensable aspect of digital journalism, preventing misinformation and upholding the integrity of news reporting. As the media landscape evolves, journalists must remain vigilant, adapting to new challenges and technologies to ensure the public receives accurate and verified information.

Reference:

Dierickx, Laurence & Linden, Carl-Gustav. (2023). Journalism and Fact-Checking Technologies: Understanding User Needs

 

Written by: Thrya Abdulraheem Motea Al-aqab

Edited by: Meigitaria Sanita

The Fear of Missing Out: Why Gen Z Struggles with FOMO and How to Overcome It

Have you ever questioned the side effects of being part of this fast-paced generation? Growing up in a world dominated by social media and rapidly changing trends, it’s no surprise that FOMO (Fear of Missing Out) has become a defining issue for Gen Z, a generation often seen as materialistic and easily influenced. FOMO can be simply defined as the fear or anxiety of missing out on important events or life decisions that could have a positive impact. While this phenomenon can affect people of any age, Gen Z struggles with it the most due to the constant exposure to social media and the pressure to keep up with trends.

When exploring why FOMO is a common phenomenon among Gen Z, the main causes are social media influence and comparison culture. These factors make them feel as if they are constantly missing out, leading to dissatisfaction with their current lives. Moreover, FOMO can impact various aspects of life, including lifestyle choices and spending habits. A 2023 report by Credit Karma revealed that 40% of people—especially Gen Z—overspend and go into debt to keep up with their friends and escape the feeling of being left out.This cycle of comparison, spending, and dissatisfaction fuels a never-ending loop of FOMO, making it a defining struggle for Gen Z.

Beyond its effects on lifestyle and spending habits, FOMO also significantly impacts Gen Z’s productivity by making it difficult to focus on long-term goals. The constant urge to stay updated on social media or attend every event leads to frequent distractions, reducing their ability to concentrate on academic or professional tasks. Instead of dedicating time to self-improvement or career development, many prioritize short-term gratification, such as scrolling through social media or participating in unnecessary social activities. Additionally, FOMO can cause procrastination and indecisiveness, as individuals delay important tasks out of fear that they might miss out on something better. This cycle of distraction and hesitation not only lowers productivity but also increases stress and burnout.

I experienced this firsthand during my last year of high school. I felt pressured to take extra chemistry courses simply because most of my classmates were doing so. Even though I knew my school lessons were sufficient, I followed the crowd, which disrupted my study schedule and consumed more of my time. As a result, I became overwhelmed, and a month before my final exams, I was too burned out to study effectively. I had focused more on what others were doing instead of what actually worked for me.

Ultimately, FOMO doesn’t just affect emotions—it creates a pattern of inefficiency and lack of direction, making it harder for Gen Z to stay committed to personal and professional growth.

The best way to overcome FOMO is by practicing mindfulness and focusing on the present. Instead of constantly worrying about what others are doing, Gen Z should prioritize genuine experiences that bring them happiness, regardless of how they appear online. It is also essential to recognize that social media does not reflect reality—people only share their highlights, not their struggles. Understanding this can help shift the focus from comparison to self-acceptance. Additionally, setting healthy digital boundaries, such as limiting social media use or taking breaks, can reduce FOMO and improve overall well-being. By embracing self-awareness and personal fulfillment, Gen Z can break free from the cycle of constantly chasing what they think they’re missing out on.

FOMO has become a major issue for Gen Z due to social media and digital culture, fueling anxiety and dissatisfaction. However, by practicing mindfulness, setting digital boundaries, and prioritizing real-life experiences, it’s possible to break free from this cycle. Start small—take a social media break, practice gratitude, or focus on real connections. Embracing the present is the key to overcoming FOMO and living a more fulfilling life.

 

 

Written by: Thrya Abdulraheem Motea Al-aqab

Edited by: Meigitaria Sanita