Grand Launching Magister Ilmu Komunikasi (MIKOM) UII & Diskusi Buku “Social Media and Politics in Southeast Asia” bersama Prof Merlyna Lim

Grand Launching Magister Ilmu Komunikasi (MIKOM) UII & Diskusi Buku “Social Media and Politics in Southeast Asia” bersama Prof Merlyna Lim (Carleton University, Canada)

Selasa, 29 April 2025, jam 09.00-12.00 WIB

di GKU lantai 2, UII Yogyakarta

(lokasi: https://maps.app.goo.gl/yvsDpJvRHSsE6Zzp6?g_st=com.google.maps.preview.copy)

Registrasi gratis di:
bit.ly/HadirMIKOMUII

#MIKOMUII

Why Fake News Spreads Faster Than the True Ones

In today’s digital age, we are constantly exposed to overwhelming information. With just a click, we can access news from around the globe. However, not all of this information is accurate or reliable. As human beings, we naturally tend to quickly believe things, especially if they are dramatic, emotional, or align with our existing beliefs.

This instinct significantly contributes to the rapid spread of fake news compared to the truth (Beauvais, 2022). People often share information before verifying its accuracy, and in many cases, fake news is specifically designed to capture attention more effectively than real news.

Fake news is designed to trigger strong emotions, such as shock, fear, anger, or excitement, which is one of the primary reasons it spreads so quickly. Another reason is how social media makes it easy for people to click, share, and comment without hesitation, and the structure of such apps feels rewarding to users when different fake posts appear in their feed. True information, on the other hand, is frequently more difficult to verify, more complicated, or simply less entertaining.

Content that receives more interaction is also given preference by social media algorithms. This implies that a post becomes more visible the more people interact with it, even if it is a scam. Overall, in a digital world that thrives on speed and simplicity, fake news is not only easier to create but also more appealing and shareable.

The consequences of fake news can be dangerous. It can influence public opinion, cause panic, damage reputations, and even affect elections or public health. For example, during the COVID-19 pandemic, false information about cures and prevention methods led many people to take harmful actions. Fake news can also create division among communities, spreading hatred and misunderstanding (Madrid, 2023). When people can’t tell the difference between what’s true and what’s false, trust in media, government, and even science begins to fade.

Tackling the issue of fake news is all about personal responsibility and working together as a community. First off, individuals must pause and think critically before hitting that share button. Asking yourself questions like, “Is this from a reliable source?” or “Can I find this information verified elsewhere?” can go a long way in stopping misinformation in its tracks. Schools and local communities should focus on promoting media literacy, helping everyone learn how to spot fake news effectively. On a broader level, social media platforms need to step up their game by taking stronger measures to flag or remove false content and reduce its reach. Plus, we should support fact-checking organizations to ensure that accurate information is not only accessible but also engaging for the public.

Fake news spreads faster than the truth due to its emotional appeal and social media support, causing harm by misleading societies and eroding trust. To combat this, we need awareness, education, and accountability. If we are careful about what we read and share, and if tech platforms take responsibility, we can reduce the spread of fake news and promote the truth.

References

Beauvais, C. (2022). Fake news: Why do we believe it? Retrieved from Joint Bone Spine: https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC9548403/

Madrid, P. (2023, January 17). USC study reveals the key reason why fake news spreads on social media. Retrieved from USC Today: https://today.usc.edu/usc-study-reveals-the-key-reason-why-fake-news-spreads-on-social-media/

 

Written by: Thrya Abdulraheem Motea Al-aqab

Edited by: Meigitaria Sanita

Selamat Hari Kartini ‘Memotret Pengabdian Perempuan’

21 April menjadi momentum yang dirayakan di Indonesia sebagai Hari Kartini. Kartini adalah perempuan yang endapat gelar pahlawan nasional yang berjuang untuk kesetaraan gender terutama atas pendidikan perempuan.

Lahir pada 21 April 1879 dan meninggal di usia 25 tahun, Kartini telah membumikan makna emansipasi perempuan lewat pengorbanan-pengorbanan yang dilakukannya. Emansipasi menurut bahasa adalah pembebasan dari perbudakan, persamaan hak dalam aspek kehidupan masyarakat (persamaan hak perempuan dan laki-laki).

Untuk menghormati jasa-jasanya, pemerintah menetapkan 21 April sebagai Hari Kartini berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 108 Tahun 1964.

Melanjutkan perjuangan Kartini, kini perempuan di Indonesia juga harus bekerja keras demi mendapatkan hak-haknya. Tak hanya hak, untuk mengejar mimpi perempuan di Konoha (meme untuk menyebut Indonesia) masih menemui banyak hambatan.

Meski demikian, potret-potret pengabdian dan gerakan yang dilakukan layak kita sebar luaskan sebagai semangat dan inspirasi bagi perempuan lain yang tengah menghadapi kesulitan.

Potret Pengabdian Perempuan

Departemen Ilmu Komunikasi UII, dengan semangat communication for empowerment kerap terlibat dalam program-program yang digagas perempuan. Belakangan, Puspita Bahari sebagai komunitas nelayan perempuan menjadi salah satu rekan yang beberapa kali dikunjungi.

Hubungan ini bermula dari dua dosen Ilmu Komunikasi yakni Puji Hariyanti, S.Sos., M.I.Kom dan Ratna Permata Sari, S.I.Kom., MA yang melakukan pemberdayaan di lokasi tersebut harapannya melalui berbagai program dampak banjir rob di pesisir Pantai Utara mendapat perhatian serius dari berbagai pihak.

Masnuah sebagai wajah Puspita Bahari adalah sosok yang memperjuangkan nasib perempuan di Demak, Jawa tengah. Krisis iklim ternyata berdampak serius pada kehidupan perempuan, mulai dari ekonomi, pendidikan, hingga nasib perkawinan.

Banjir rob yang terus meluas, membawa Masnuah untuk terus melakukan advokasi masyarakat di desa-desa pesisir Demak. Selain itu, ia juga melakukan berbagai edukasi kepada nelayan perempuan. Edukasi-edukasi yang dilakukan antara lain terkait dengan alat tanfkap ramah lingkungan, penanaman mangrove, pengelolaan sampah, hingga mengajarkan berwirausahaan untuk memulihkan kondisi ekonomi.

Langkah besar Masnuah juga tercatat pada puluhan KTP perempuan di Demak. Ia berhasil mendesak pemerintah untuk mengakui pekerjaan nelayan pada 31 perempuan yang sebelumnya tertulis buruh atau ibu rumah tangga pada kolom pencatatan pekerjaan. Pencatatan ini sangat penting demi mengakses program nelayan yang diberikan oleh pemerintah.

Budaya patriarki yang kuat membuat Masnuah yakin untuk terus berjuang untuk nelayan perempuan di Demak.

Departemen Ilmu Komunikasi UII ingin semua pihak turut membuka mata, salah satu cara adalah lewat beberapa film yang digarap antara lain Sweat Dripping in the Ripples of the River yang digarap uji Hariyanti, S.Sos., M.I.Kom, serta The Independence Day: Between Tears and Laughter karya Marjito Iskandar Tri Gunawan, M.I.Kom.

Berikut beberapa artikel yang membahas isu perempuan:

Screening dan Diskusi Film ‘Sweat Dripping in the Ripples of the River’, Perempuan Merajut Gerakan Menghadapi Krisis Iklim

Recap of ‘Communication for Empowerment’ from Sekon NTT to Nelayan Perempuan Demak 

Nasib Media Perempuan di Indonesia, Menolak Mati Meski Banyak Tantangan ‘Apa yang Bisa Dilakukan?’ 

Film Horor Paling Laris di Indonesia, Kenapa Hantunya Rata-rata Perempuan?

Dinamika Jurnalis Perempuan: Kekerasan Tinggi dan Diskriminasi Gaji

Resah dengan Kasus Pelecehan Seksual, Dua Mahasiswa Ilmu Komunikasi Ciptakan Komik Edukatif

Perjalanan Berliku di Dongi-Dongi Sulawesi Tengah Bersama YTBN

Menilik Tingginya Angka Pernikahan Dini di Sumenep Madura, Alasan Religi hingga Kurangnya Edukasi?

Pahami Jurnalisme Sensitif Gender Sebelum Menulis

Artikel-ertikel lainnya dapat diakses melaui laman communication.uii.ac.id dengan mengetikkan kata kunci Perempuan pada kolom search. Selamat membaca!

 

Hari Konsumen Nasional: Memahami Konsumen Melalui Pendekatan Komunikasi

Hari Konsumen Nasional di Indonesia diperingati setiap 20 April, momentum ini tertuang pada Keputusan Presiden Nomor 13 Tahun 2012. Sementara pemilihan tanggalnya mengacu pada UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan yang disahkan tanggal 20 April silam.

Konsumen dalam KBBI dimaknai sebagai subjek pemakai barang hasil produksi, penerima pesan iklan, dan pemakai jasa. Lantas apa urgensi terkait momentum ini?

Singkatnya, Hari Konsumen Nasional adalah bentuk apresiasi kepada konsumen yang menjadi kekuatan penentu kualitas produk dan pertumbuhan ekonomi. Tak hanya itu, harapannya konsumen menjadi sosok yang kritis, beretika serta memahami hak dan kewajibannya.

Di kajian Ilmu Komunikasi, konsumen menjadi subjek utama dalam konteks komunikasi pemasaran. Beberapa aspek yang didalami biasanya terkait perilaku konsumen, pemasaran (strategi, pesan, pengaruh), hingga kajian khusus yang mengarah pada konteks budaya dan digital.

Kajian tersebut populer di kalangan akademisi Ilmu Komunikasi, bagi mahasiswa yang ingin memahami lebih detail berikut beberapa hasil riset yang layak dijadikan referensi dalam memahami konsumen dengan pendekatan komunikasi.

  1. Pengaruh Aktivitas Customer Service dan Kepuasan Nasabah terhadap Loyalitas Nasabah Bank Riau Kepri Capem Panam Pekanbaru

Riset ini secara spesifik mendalami industri perbankan yang memiliki keterkaitan dengan nasabah. Bank sebagai penyedia jasa harus memberikan pelayanan terbaiknya demi menjaga hubungan dengan nasabah. Wajah utama tentu bagian front office, melalui customer service yang membantu pembukaan rekening, melayani pengaduan, serta menanggapi permintaan informasi. Loyalitas nasabah diukur melalui variable aktivasi customer service dan kepuasan nasabah. Hasilnya ada hubungan positif.

Selengkapnya: https://journal.uii.ac.id/jurnal-komunikasi/article/view/6467

Penulis: Puji Hariyanti dan Rahmy Utari

  1. Analisis Strategi Penanganan Keluhan pelanggan pada Guest Relations Desk di Hotel Swiss-Belboutique Yogyakarta dan Hotel Platinum Adisucipto Yogyakarta

Masifnya pertumbuhan jumlah hotel di Yogyakarta menimbulkan persaingan yang ketat. Layanan maksimal terkait strategi penangan keluhan melalui Guest Relations Desk menjadi salah satu opsi untuk bertahan. Riset ini menganalisis strategi handling complaint termasuk faktor penghambat dan pendukungnya dengan mengacu pada paradigma konstruktivisme. Dari pengamatan yang dilakukan Guset Relation berperan signifikan dalam menangani complain. Tahapan penanganan dimulai dari mendengarkan keluhan, permintaan maaf, crosscheck, dan recoveri.

Selengkapnya: https://scholar.google.com/citations?view_op=view_citation&hl=en&user=mEHWL2kAAAAJ&citation_for_view=mEHWL2kAAAAJ:IjCSPb-OGe4C

Penulis: Shadira Firdausi dan Nadia Wasta Utami

  1. Komunikasi Interpersonal dalam Customer Relationship Management (Studi Deskripstif Kualitatif Pengelolaan Hubungan Interpersonal dalam Customer Relationship Management oleh Sales Marketing PT. Antar Mitra Papua dengan Customer)

Penelitian ini fokus mendalami bagaimana pentingnya komunikasi interpersonal antara sales marketing dengan pelanggan sebagai bagian dari Customer Relationship Management (CRM). Komunikasi dilakukan secara langsung atau tatap muka maupun melalui media. Komunikasi ini bertujuan menciptakan hubungan baik yang berkelanjutan antara sales dengan pelanggan. Penelitian dilakukan dengan pendekatan kualitatif deskriptif yang menghasilkan bahwa komunikasi interpersonal yang efektif mampu membuat perusahaan dekat dengan pelanggan (memeprkuat hubungan bisni).

Slengkapnya: https://scholar.google.com/citations?view_op=view_citation&hl=en&user=RuAVRR0AAAAJ&cstart=20&pagesize=80&citation_for_view=RuAVRR0AAAAJ:Tyk-4Ss8FVUC

Penulis: Endah Pratiwi Nengtyas dan Puji Hariyanti dan

  1. Analysis integrated marketing communication by e-commerto to improve the customer loyality (Descriptive study in hijup.com and muslimarket.com)

Penelitian ini membahas strategi komunikasi pemasaran terpadu yang digunakan oleh dua e-commerce, Hijup dan Muslimarket, untuk meningkatkan loyalitas pelanggan. Hijup fokus pada fashion muslim, sementara Muslimarket menawarkan konsep pasar halal yang lengkap. Keduanya melakukan analisis pasar, persaingan, dan segmentasi sebelum menentukan strategi promosi. Hijup menggunakan berbagai strategi promosi seperti iklan, penjualan personal, pemasaran langsung, dan event, serta menawarkan layanan pelanggan yang baik dan pengiriman gratis. Sementara itu, Muslimarket lebih fokus pada media sosial, newsletter, serta kampanye personal selling seperti “Berinfak di Muslimarket.” Hasil penelitian menunjukkan bahwa masing-masing e-commerce memiliki keunikan dalam membangun loyalitas pelanggan.

Selengkapnya: https://scholar.google.com/citations?view_op=view_citation&hl=en&user=mEHWL2kAAAAJ&citation_for_view=mEHWL2kAAAAJ:qjMakFHDy7sC

Penulis: Nastiti Esti Wulandari dan Nadia Wasta Utami

Itulah beberapa riset yang mampu memberikan pemahaman lebih mendalam terkait konsumen dan bagaimana menangangi beberapa persolan yang kemungkinan terjadi di antara penyedia produk atau jasa dengan konsumen.

The Silent Treatment: Why Not Speaking is Also Communication

“Saying nothing sometimes says the most,” wrote Emily Dickinson. In this statement, silence is portrayed not as emptiness, but as a powerful force. It can shape the world and express what words often cannot. While the silent treatment is commonly viewed as passive-aggressive or emotionally manipulative, from a communication and semiotic perspective, silence itself is a sign. This article explores how the silent treatment functions not simply as a breakdown in communication, but as a meaningful form of expression, rich with its own signs, codes, and cultural interpretations.

In semiotics, everything that conveys meaning is considered a sign, including silence. According to semiotic theory, a sign consists of two components: the signifier (the form the sign takes) and the signified (the concept it represents). When it comes to silence, the signifier might be the absence of speech, reflecting disapproval, anger, or anxiety.

The signified, in turn, could be the emotional response to someone’s actions, such as feeling hurt or upset. Silence doesn’t mean “nothing”; like spoken language, it is interpreted within a specific context, carrying layered meanings that can be just as powerful as words.

The cultural context of silence differs from one society to another, as it is shaped by previously learned social codes. In some cultures, silence can be a sign of respect, especially toward elders or authority figures. In others, it may be interpreted as avoidance, rejection, or even punishment. However, in the context of relationships—particularly intimate ones—silence is often seen as a form of emotional punishment or a means of self-protection. Its meaning shifts depending on the cultural and interpersonal framework in which it occurs.

 The Psychological Impact and Intent Behind the Silent Treatment

The silent treatment can have a significant impact, often more than people realize. While it does communicate a message, it frequently causes confusion, emotional distress, or even self-harm in the person on the receiving end. It places a heavy burden on the receiver, who is left to interpret the silence without context, often leading to anxiety or misunderstanding. Sometimes, the silent treatment is used as a defensive mechanism, but it may be perceived as an act of aggression. For this reason, open and direct communication is usually a healthier and more constructive alternative.

Silence may be wordless, but it is never meaningless. As seen through semiotics and cultural contexts, the silent treatment communicates powerful emotions and intentions. While it can serve as a form of expression, it often leads to misunderstanding and emotional harm. Choosing clear, direct communication is a more mindful path toward connection and understanding.

References

contributors, W. (2025, April 8). wikipedia. Retrieved from silent treatment : https://en.wikipedia.org/wiki/Silent_treatment

Golden, B. (2022, september 11). It’s not the same as healthy disengagement. Retrieved from Psychology Today: https://www.psychologytoday.com/us/blog/overcoming-destructive-anger/202209/why-the-silent-treatment-is-such-destructive-form-passive

 

Written by: Thrya Abdulraheem Motea Al-aqab

Edited by: Meigitaria Sanita

Influencer: Kekuatan Opini dan Kepercayaan Publik

Mengapa masyarakat lebih percaya dengan influencer di media sosial dibandingan sumber kredibel lainnya? Ini adalah pertanyaan pragmatis yang sebenarnya sederhana dan memiliki berbagai versi jawaban.

Jika dikaitan dengan fenomena sosial, hal ini berkaitan dengan ketergantungan masyarakat pada media sosial. Ketergantungan ini menempatkan Indonesia sebagai pengguna media sosial terlama dengan durasi 188 menit per hari. Selengkapnya: https://communication.uii.ac.id/ask-the-expert-puasa-medsos-hingga-rekomendasi-konten-di-bulan-ramadan/

Fenomena ini menjadi peluang emas bagi tumbuhnya influencer di Indonesia, dari data KOL.id jumlahnya mencapai 1,1 juta akun. Influencer di Indonesia dibagi menjadi beberapa kategori yakni nano influencer sebanyak 980 ribu (followers kurang dari 10.000), micro influencer sebanyak 130 ribu, 14,5 ribu macro influencer, dan sisanya selebritas yang turut aktif menjadi influencer digital.

Jumlahnya yang masif, influencer ternyata membawa dampak signifikan dalam kehidupan masyarakat. Dampaknya tak hanya pada sosial ekonomi akibat endorsement juga berpengaruh pada pilihan politik.

Paling nyata, perpolitikan di Indonesia tahun 2024 menjadi dampaknya. Kampanye-kamapnye unik menjadi pemenangnya apalagi didukung oleh influencer-influencer kenamaan. Selengkapnya: https://communication.uii.ac.id/gen-z-disebut-pemilih-fomo-dalam-pemilu-2024-begini-penjelasan-pakar-ilmu-komunikasi/

Mengapa Masyarakat Lebih Percaya influencer?

Beberapa alasan masyarakat sangat percaya dengan influencer pertama karena kedekatan emosional. Hubungan ini dibangun oleh influencer kepada pengikut dengan tampil seolah apa adanya lewat keseharian, cerita pribadi, hingga membagikan opini secara langsung.

Kesan keaslian atau authenticity menjadi kekuatan influencer yang mampu menarik pengikut untuk menyepakati opininya.

Faktor lain adalah relevansi konten, setiap influencer fokus pada niche tertentu misalnya konten kecantikan, kuliner, parenting, kuliner, teknologi, hingga edukasi. Konten-konten tersebut terasa personal dan tepat sasaran. Bagi pengikut konten-konten tersebut tak hanya menghibur tapi juga informatif bahkan membantu dalam pengambilan Keputusan.

Bahkan data yang dirilis oleh grup riset dan data analisis global YouGov menyebut 94 persen pengguna internet di Indonesia mengakui bahwa influencer berpengaruh dalam perilaku dan Keputusan terutama dalam pembelian produk. Sementara 87 persen tertarik membeli produk karena rekomendasi influencer.

Seperti disebut di awal, influencer tak berhenti pada ranah konsumsi. Mereka mampu membentuk tren sosial dan budaya populer. Tren-tren tersebut berganti setiap hari dan sangat dinamis.

Kekuatan opini influencer semakin menguat dan menjadi kepercayaan publik, menariknya jika kualitas influencer tak cukup memadai tentu akan menjadi boomerang bagi pengikut. Sehingga peting bagi pengguna media sosial untuk mencari tahu lebih detail background dari influencer.

Singkatnya, jika memang mencari informasi seputar kesehatan pastikan influencer yang diikuti memiliki pendidikan memadai dan memiliki kapabilitas dalam dunia kesehatan. Begitupun soal perpolitikan yang mudah digoreng. Bagaimana menurutmu Comms?

The psychology of colors: How Brands Use Colors to Influence Us

When thinking of small yet powerful tools commonly used daily, color should be one of the first to come to mind. Colors play a more influential role in our lives than many people realize. They are used in various aspects of daily life, but their psychological impact is especially significant in marketing and branding.  Since it’s not just about making things look visually appealing, it’s about influencing emotions, shaping decisions, and guiding behavior. This is where the concept of color psychology comes into play.

Color psychology is the study of how colors influence human emotions and behavior. Each color carries its psychological meaning. For example, blue often evokes feelings of trust and calmness, which is why it’s commonly used in corporate branding. Red, on the other hand, can create a sense of urgency or excitement, while green is typically associated with health, freshness, and growth. A great example of this is Whole Foods, which uses green as the primary color in its logo to reflect its commitment to offering fresh, high-quality products. This demonstrates how marketers strategically use emotional triggers to connect with their audiences on a deeper level.  (Whole Foods Market Logo, 2024)

Colors are an essential part of a brand’s identity. Companies use specific colors in their logos and marketing materials to reflect their values and communicate with their target audience. A great example is Coca-Cola. Its iconic red logo is not just eye-catching, it’s designed to evoke energy, excitement, and passion. The bold red also helps it stand out on store shelves, creating instant recognition. (Coca‑Cola Red: Our Second Secret Formula, n.d.)

Beyond logos, colors are strategically used in marketing campaigns, advertisements, and packaging to influence consumer decisions. For example, in Indonesia, Indomie, a beloved instant noodle brand, uses vibrant red and yellow in its packaging. These colors are not random; they create a feeling of warmth and hunger, making the product more appealing and plays an important role in the sales promotion. (Amadi, 2018)

Color is more than just a visual element—it’s a psychological tool that shapes how we feel, think, and act. When used effectively, color can boost brand recognition, influence emotions, and drive consumer behavior. In the competitive world of marketing, understanding and applying color psychology gives businesses a powerful advantage.

References

Amadi. (2018). Assessing the effectiveness of product packaging in sale promotion . Academia.edu, 64.

Coca‑Cola Red: Our Second Secret Formula. (n.d.). Retrieved from coca-colacompany: https://www.coca-colacompany.com/about-us/history/coca-cola-red-our-second-secret-formula

Whole Foods Market Logo. (2024, April 05). Retrieved from 1000logos: https://1000logos.net/whole-foods-logo/

Written by: Thrya Abdulraheem Motea Al-aqab

Edited by: Meigitaria Sanita

Hari Film Nasional 2025: Merayakan dengan Membaca Hasil Riset Kajian Film

Hari film nasional yang dirayakan setiap 30 Maret menjadi momentum untuk berefleksi terkait proses dan perkembangan film di Indonesia. Singkatnya, perayaan ini mengacu pada film pertama Darah dan Doa yang diproduksi pada 30 Maret 1950 oleh 1950.

Beragam genre mewarnai bioskop tanah air, meski demikian data menyebut film horor mendominasi daftar judul film beberapa tahun terakhir. Tanpa agenda khusus sekalipun, setiap hari film selalu dirayakan.

Tercatat 80 juta penonton menyaksikan film di bioskop di tahun 2024. Sementara tahun 2025 diprediksi 150 hingga 200 judul film akan tayang. Terlepas dari jumlahnya yang fantastis, data yang dihimpun oleh Cinepoint (2024) genre paling mendominasi adalah horor 63 film, drama 54 film, komedi 18 film, sisanya dokumenter, aksi, dan animasi. Tentu film horor Indonesia paling banyak disorot hingga tuai kritik-kritik tajam.

Berbagai eksploitasi mulai dari perempuan hingga agama menjadi modal utama dalam pembuatan film horor. Di kajian Ilmu Komunikasi tentu ada kritik-kritik yang disampaikan untuk membangun film berkualitas. Tawaran solusi juga disampaikan dari berbagai riset.

Selengkapnya: https://communication.uii.ac.id/kritik-soal-film-horor-religi-dan-tawaran-solusi/

https://communication.uii.ac.id/eksplorasi-film-berdasarkan-kisah-nyata-hingga-riuhnya-respon-netizen/

https://communication.uii.ac.id/film-horor/

Bagi mahasiswa Ilmu Komunikasi yang tertarik dengan kajian film, berikut beberapa judul riset yang telah dilakukan oleh civitas akademika di Departemen Ilmu Komunikasi UII.

  1. Speak Out Your Films: When Asian Independent Film Festivals Send Messages to the World – Dr. Zaki Habibi

Riset ini fokus pada tiga festival film independen yang diadakan di tiga negara berbeda di Asia. Ketiga festival tersebut adalah (1) Jeonju International Film Festival (JIFF) di Jeonju, Korea Selatan, (2) Cinemalaya Philippine Independent Film Festival di Manila, Filipina, dan (3) Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) di Yogyakarta, Indonesia.

Dengan menganalisis penyelenggaraan festival film independen, beberapa temuannya meliputi film sebagai produk budaya, festival film independen, dan wacana budaya. Kesimpulannya menunjukkan bahwa ketiga festival film yang dianalisis menawarkan cara alternatif dalam distribusi film, kemudian menunjukkan cara pengorganisasian festival yang tidak konvensional, dan memperkuat kekuatan komunitas dan jaringannya sebagai basis pengembangan festival mereka.

Selengkapnya: https://journal.uii.ac.id/jurnal-komunikasi/article/view/6385

  1. Citra Indonesia dalam Film dan Serial Televisi Hollywood – Dr. Herman Felani

Penelitian ini bertujuan untuk membahas citra Indonesia dalam film dan serial televisi Hollywood. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan pendekatan poskolonialisme yang berdasarkan pada teori orientalisme dari Edward Said. Berdasarkan temuan penelitian ini, Indonesia digambarkan sebagai negara yang aneh, kacau, dan tertinggal, sarang penjahat, tempat yang eksotis, terpencil, mistis dan misterius, dan pusat teroris. Munculnya citra tersebut disebabkan oleh kurangnya pengetahuan orang Amerika tentang Indonesia yang disebabkan oleh distorsi media massa.

https://journal.uii.ac.id/jurnal-komunikasi/article/view/9805

  1. Pembungkaman Kaum Perempuan dalam Film Indonesia (Penerapan Teori Muted Group dalam Film “Pertaruhan”) – Ratna Permata Sari, M.A

Definisi gender kerap disamakan dengan jenis kelamin, padahal keduanya berbeda. Dalam artikel ini membahas detail bagaimana gender atau sifat yang melekat pada proses kultural yang memunculkan berbagai ketimpangan dalam masyarakat seperti marginalisasi, stereotip, kekerasan dan pelabelan negatif. Dari teori muted group, analisis dilakukan pada peran perempuan dan pembungkaman di ruang publik dalam film “At Stake (Pertaruhan)”. Film ini terdiri dari empat cerita pendek yaitu Usaha untuk Cinta, Apa Gunanya, Nona atau Nyonya, Harta Anak-Anak.

 https://journal.uii.ac.id/jurnal-komunikasi/article/view/6777

  1. Sinema Independen di Yogyakarta 1999-2008: Idealisme di Tengah Krisis Infrastruktur – Prof. Masduki

Pada periode 1999-2008, perfilman Indonesia berkembang dengan banyaknya karya kreatif dan bioskop alternatif berbasis komunitas, terutama di Yogyakarta. Penelitian di Yogyakarta menemukan tiga faktor utama: adanya komunitas independen di kalangan mahasiswa dan non-mahasiswa, munculnya bioskop alternatif seperti Kinoki dan Pusat Kebudayaan Prancis, serta adanya festival film lokal dan regional yang mendukung film indie. Produksi film independen didorong oleh kebebasan berekspresi dan kepedulian sosial-politik. Namun, keterbatasan infrastruktur dan dukungan publik menjadi tantangan yang perlu diatasi.

https://journal.uii.ac.id/jurnal-komunikasi/article/view/5649

Itulah beberapa riset yang bisa menjadi inspirasi dan rekomendasi bagi akademisi komunikasi yang tertarik dengan kajian film.

Ask the Expert: Puasa Medsos hingga Rekomendasi Konten di Bulan Ramadan

Ask the Expert merupakan tajuk baru yang memuat gagasan dari para ahli sesuai bidangnya. Expert di sini merujuk kepada dosen-dosen di Jurusan Ilmu Komunikasi UII. Dalam seri perdana, tim menunjuk Iwan Awaluddin Yusuf, S.IP., M.Si., Ph.D untuk mengulik lebih dalam terkait puasa media sosial hingga konten alternatif di bulan Ramadan sesuai kepakarannya dalam isu media digital.

Menilik data yang dirilis Digital 2025 Global Overview Report oleh We Are Social menempatkan Indonesia di posisi ke sembilan sebagai negara dengan pengguna media sosial terlama yakni 188 menit per hari (3 jam 8 menit). Selain menjadi ruang mengekspresikan diri dan mencari informasi, nyatanya media sosial tak benar-benar memiliki dampak positif seutuhnya.

Pew Research Center menyebutkan 69 persen orang dewasa dan 81 persen remaja di U.S menggunakan media sosial, jumlah tersebut turut menyumbang peningkatan risiko cemas hingga depresi.

Sementara Indonesia-National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) menyampaikan hal serupa, 1 dari 20 atau 5,5 persen (2,45 juta remaja) terdiagnosis mengalami gangguan kesehatan mental, penyebab utamanya terletak pada penggunaan media sosial.

Salah satu agar berjarak dengan media sosial, puasa medsos bisa menjadi alternatif. Secara umum puasa medsos adalah mengurangi atau membatasi aktivitas interaksi di media sosial, atau berhenti sementara (menggunakan medsos) dalam jangka waktu tertentu.

Dalam kajian Ilmu Komunikasi, langkah ini masuk dalam ranah literasi media yang mengarah pada detoks digital hingga media diet. Tujuannya tentu untuk mengurangi ketergantunganterhadap teknologi dan meningkatkan kesehatan mental.

“Bisa juga dimaknai sebagai bentuk mengurangi untuk istirahat dari medsos atau yang paling ekstrim adalah berhenti total. Tapi yang namanya puasa ada jeda dan akan kembali lagi sehingga ini adalah sebuah konsep dalam literasi media yakni detoks digital atau dalam kajian literasi media tradisional namanya media diet,” jelas Iwan Awaluddin Yusuf, S.IP., M.Si., Ph.D.

Terbilang cukup kompleks, kebiasaan mengakses media sosial tentu tak serta merta bisa ditinggalkan. Namun jika dilakukan dengan penuh komitmen berbagai hal baik akan didapatkan.

Puasa medsos bukan berarti berhenti selamanya, langkah pertama yang bisa dilakukan adalah dengan merencanakan durasi dalam jangka waktu yang ditentukan

“Itirahat untuk berinteraksi dengan media sosial bisa mengambil jarak direncanakan atau dengan durasi tertentu bisa dalam hitungan minggu, bulan, bahkan dalam skala ekstrem bisa berhenti sampai sekian tahun,” ujarnya.

“Paling tidak kita akan lebih bijak memaknai betapa berharganya kehidupan sosial yang nyata tidak berkorelasi dengan dunia maya yang selama ini ditinggalkan,” tambahnya.

Setidaknya ada tiga manfaat yang akan mengubah banyak hal ketika puasa medsos benar-benar dilakukan. Pertama tentu soal produktivitas, dengan log out pada akun medsos kita tak akan dibanjiri notifikasi bahkan daya tarik dalam mengaksesnya tentu berkurang signifikan.

Kedua, berkaitan dengan kesehatan mental. Kecemasan atas informasi negatif, bullying, hingga kesempurnaan hidup yang tak realistis akan minim dijumpai. Dan terakhir tentu soal memaknai kehiduapan nyata yang lebih berharga. Merasa semakin terkoneksi dengan orang-orang terdekat dalam lingkungan sosial.

Lantas, jika benar-benar tak mampu berpuasa medsos apa yang sebaiknya dilakukan? mengingat bahwa kehidupan tak lepas dari gadget dari tangan. Alternatif yang bisa dikendalikan tentu soal saring menyaring konten.

Di bulan suci Ramadan, banyak alternatif konten yang justru akan bermanfaat. Beberapa tawaran solusi yang disampaikan antara lain sebagai berikut:

  1. Melihat relasi atau kaitan konten di media sosila relatable dengan kebutuhan kita. Usahakan mencari informasi yang sesuai. Disiplin dalam melakukan dan mencari informasi secara aktif bukan hanya scroll mengikuti apa yang muncul di feed, laman-laman sosial media, FYP dan seterusnya tapi kita kembali ke hastag yang diperlukan.
  2. Memanfaatkan waktu dalam bulan Ramadan, mencari informasi yang memang mendukung dan kita harapkan menganai informasi-informasi tentang ibadah. Ibadah sosial maupun ibadah mahdhoh ibadah khusus kita dengan tuhan. Maupun hal produktif yang menunjang kita dalam memaknai bulan Ramadan
  3. Hindari informasi yang bahkan sekecil mungkin kembali membuat kita terdistorsi dengan hal-hal negatif dari media sosial (gambar, kata, meme, dan lainnya).
  4. Beberapa konten yang bisa dipilih bisa terkait hadist, kehidupan muslim di negara lain, keistimewaan ramadan tahun ini dengan sebelumnya.

Pada dasarnya “Media sosial bagaimanapun tetap mebawa manfaat jika digunakan sebagaimana mestinya sesuai dengan tujuan kebutuhan (informasi dan hiburan),” tandasnya.

Itulah beberapa alternatif yang bisa dipertimbangkan. Bagaimana pendapatmu tentang gagasan tersebut Comms? Tertarik untuk mencoba puasa medsos?

Ramadan in Palestina

Ramadan is a time of reflection, prayer, and gratitude—a month where families gather around the iftar table, breaking their fast with warmth and love. But in Gaza, Ramadan is totally different from what it should be . It is a month where the call to prayer is often drowned out by the sound of airstrikes, where families don’t know if they will live to see another sunset, and where the simple act of breaking fast is a struggle for survival.

On March 18, 2025, Israeli airstrikes struck Gaza, ending a two-month ceasefire that had given people a fragile hope for stability. The attacks claimed the lives of over 400 people, including children, turning it into a Ramadan that no human being deserves to go through.

A Ramadan of Loss and Fear

Imagine sitting with your family at suhoor, not knowing if this will be your last meal together. In Gaza, this fear is a daily reality. Families are torn apart in an instant, and the streets that once carried the laughter of children are now lined with grief. Children who should be spending Ramadan in the comfort of their homes are instead searching for shelter, their eyes reflecting a pain far beyond their years. Parents who should be providing for their loved ones are forced to beg for food, struggling to secure even a sip of clean water. The most necessities—food, water, medicine—have become luxuries.

Fasting on Empty Stomachs

For most of the world, fasting during Ramadan is a spiritual test, broken with a fulfilling meal at sunset. But for Palestinians in Gaza, fasting continues long after maghrib. There is no feast waiting for them—only scraps of whatever aid reaches them, if any at all. Some break their fast with nothing more than a sip of water, while others have nothing at all. This is not just hunger; this is forced starvation. The world watches as an entire population is denied the right to eat, to drink, to live.

Nowhere to Call Home

A home is more than just a shelter; it is a place of belonging, of safety, of love. But in Gaza, homes are destroyed as if they were never meant to exist. Families who once had a place to pray, to eat, to rest, now live in the open, exposed to the harsh cold of night and the unrelenting sun of the day.

What does Ramadan mean when there is no home to gather in? When there is no family left to sit beside? When every night could be the last?

Faith That Cannot Be Broken

Despite everything, the people of Gaza hold onto their faith with unshakable strength. Even as the world turns a blind eye, they continue to pray. Even as they lose everything, they hold onto hope. Their belief remains strong, their resilience unmatched.

These struggles is based on one of the experience and conditions of Palestinians, as shared by Esraa Abo Qamar on Aljazeera . Their pain is real, their struggles unimaginable ,yet their faith endures.

This Ramadan, while we sit in our homes, surrounded by family, with tables full of food, let us remember that what we have is a privilege. Let us not take for granted the things that millions in Gaza only dream of.We must speak up. We must pray. We must spread the truth. The people of Gaza do not need just our sympathy; they need action. They need the world to see their suffering, to demand justice, to ensure that no one has to endure another Ramadan like this.

To our brothers and sisters in Gaza: you are not forgotten. Your pain is seen, your voices are heard, and your strength is admired. May this Ramadan bring you ease, and may the world finally wake up to your struggle.

 

References:

https://www.aljazeera.com/opinions/2025/3/1/ramadan-in-gaza-ruins-and-unshakable-faith

https://www.middleeasteye.net/news/18-march-2025-day-183-children-gaza-were-massacred-israel

https://www.middleeasteye.net/news/west-bank-displaced-palestinians-face-ramadan-humiliation-and-uncertainty

Written by: Thrya Abdulraheem Motea Al-aqab

Edited by: Meigitaria Sanita