Tag Archive for: Pusat Studi dan Dokumentasi Media Alternatif (PSDMA) NADIM

Reading Time: 3 minutes

Bagaimana riset praproduksi film bisa membuat filmmaker menemukan banyak fakta yang mencengkan? Apa saja temuan sineas ini ketika menelisik lika-liku wajah TKI di tanah kelahirannya itu?

Pada 2019,Muhammad Heri Fadli, mulai menjejaki beragam dokumen dan data. Pasalnya, ia ingin memahami lanskap dunia buruh migran dan lika-likunya. Meski ia sehari-hari, bahkan sejak kecil, hidup di lingkungan terbanyak pengirim buruh migram ke Malaysia, tapi itu tak membuatnya urung membaca puluhan bahkan ratusan angka soal TKI dari Lombok. Beginilah temuan Heri ketika melakukan riset praproduksi filmnya bertajuk Jamal dan Sepiring Bersama. Film-film itu bercerita tentang Tenaga Kerja Indonesia (TKI) asal Lombok, tempat lahirnya.

Heri hadir pada kesempatan diskusi bulanan Pusat Studi dan Dokumentasi Media Alternatif (PSDMA) Nadim pada Kamis (25/2) di awal 2021 ini. Sebagai alumni Komunikasi UII, ia berbagi dan menceritakan fakta dan temuan mengagetkannya, bahkan mengesalkan untuk bahan produksi filmnya. Tak hanya itu, ia juga ceritakan bagaimana proses kerja produksi filmnya itu . Uniicoms TV menyiarkan secara Live diskusi ini yang rutin digelar PSDM Nadim Komunikasi UII.

Heri menceritakan bagaimana persoalan TKI di Lombok begitu pelik hingga sulit ditangani oleh pemerintah. Heri heran setelah mengetahui rumitnya penyelesaian soal migrasi tenaga kerja ini terutama di Lombok. Ia menyitir beberapa temuan data dari riset awalnya sebelum membuat film. Misalnya, jumlah pemulangan TKI NTB pada 2019 mencapai 766 orang. Tiga kabupaten di NTB bahkan masuk dalam 10 besar penyumbang Buruh Migran Indonesia/BMI di Indonesia.

Fakta dan Lumbung  Segala Masalah

Kabupaten Lombok Timur adalah kabupaten tertinggi, di Indonesia khususnya, sebagai penyumbang TKI dengan jumlah 28 ribu TKI per tahun. Lalu menyusul Lombok Tengah sebesar 16 ribu per tahun. Di urutan ketiga baru Lombok Barat masuk daftar.

Data-data ini membuatnya kaget becampur heran. Seketika lalu memantiknya memiliki ide membuat film soal ini. Menurut Heri dan produsernya, Ida Bagus, “inilah lumbung semua masalah di NTB. Mulai dari stunting, begal, angka putus sekolah, kemiskinan,” katanya.

Pada gilirannya Heri menemukan data lain yang juga membuat tercengang. “Akhirnya saya menemukan sejumlah 73 jenazah BMI dipulangkan pada 2019,” katanya. “Namun ketika saya ke bandara, justru saya menemukan tiap hari ada saja jenazah yang dipulangkan. Itu yang ilegal. Mereka tidak masuk di data Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) pada 2019,” sambungnya.

Menurutnya, ketika melihat fakta ini, ia tak bisa tinggal diam. “Angka-angka ini yang bikin saya merasa ini benar nggak sih kalau saya diam saja?” Batinnya berkecamuk kemudian.

Heri menambahkan sederet data lagi yang membuatnya geram. “Ada satu fakta yang buat saya kesal. Lombok Tengah ini selalu dapat juara satu untuk penanganan BMI. Namun di sisi lain, dapat nomor satu pengiriman BMI ilegal,” keluhnya sembari heran.

Ada satu kebiasaan masyarakat yang mengakar di masyarakat, kata Heri. Orang-orang yang tidak bisa berangkat lewat Lombok Tengah, maka dia berangkat melalui pintu Lombok Timur. “Orang lombok ini nekat-nekat. Tanpa modal skill mereka berani berangkat ke Malaysia. Di keberangkatan kedua, mereka melancong, tinggal di hutan. Jarang ke kota,”kata Heri. “Sampai-sampai mereka kalau sakit, nggak ke pelayanan kesehatan. Jadi diurus teman-temannya,” tambahnya.

Catatan kasus para TKI ini juga banyak sekali. Ketika Heri bertemu dengan Kepala BP3TKI (Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia) Mataram, pemda urusan TKI ini mengatakan bahwa ia sudah kerepotan bagaimana menangani orang yang berangkat menjadi BMI. “Ada satu fakta pada 2019 saat Suriah sedang konflik, ada tiga orang lombok dikirim ke sana,“ kata Heri menirukan kata Kepala BP3TKI itu. “Duta Besar RI di sana bilang, kenapa kok Lombok malah kirim ke sini. Saat dicek di Lombok sini keberangkatan mereka juga tak tercatat,” imbuh Heri.

Heri menuturkan, banyak kisah-kisah aneh juga yang ia dapatkan. Banyak orang yang nggak punya keterampilan dan pengalaman. “Mereka cuma diantar ke pulau-pulau sekitar. Seperti Sumbawa, Gili, dan lain-lain. Lalu uang mereka bagaimana? Mereka sudah nggak tau, udah dimakan penyalur jasa. Ini ternyata sudah berlangsung sejak 1980an,” tuturnya.

Tren dan Perubahan Sosial Keluarga TKI

Risky Wahyudi, moderator diskusi kali ini, mencoba memerdalam kajian ini dengan bertanya tentang tren sosial yang berkembang di Lombok beberapa tahun terakhir. Secara historis, kata Heri Fadli yang juga lahir di Lombok, mengungkapkan, tren berangkat ke menjadi TKI di Malaysia sudah menjadi hal biasa. Misalnya pada 2000an, anak muda semua berangkat ke Malaysia,” kata Heri menjawab pertanyaan Risky. “Termasuk di sebelah kampung saya, itu berangkat semua.”

Namun, seiring waktu, semuanya akhirnya lambat laun berubah. Meskipun tak semua kampung. “Sekarang misalnya, dari sekira 60an anak muda, hanya 4 yang berangkat malaysia, sisanya sudah mulai menjalani tren kuliah, sarjana dan bahkan, master. Kalau di kampung saya alhamdulillah sekarang sudah berubah trennya,” katanya menjelaskan.

Pada zaman dulu juga, pada era 1980an sampai 2000an, menurut tuturan Heri, paradigma dan tren masih tidak seperti sekarang. Orang dianggap sukses kalau anaknya bisa kirim uang banyak. Maka TKI jadi pilihan. Belakangan tren itu mulai berubah. Yang dulunya orang sarjana tidak dianggap, karena tak kirim uang banyak, tapi akhirnya berangsur-angsur kini mulai berbondong-bondong anak muda berkuliah. “Ada yang di Jogja seperti saya, Malang, Semarang, Bandung, dan lain-lain.”

Meski begitu, di kampung sebelah rumah tinggalnya, masih saja ada yang merasa penting mencari nafkah di Malaysia, kata Heri. Sampai-sampai di daerahnya, orang sudah merasa seakan Malaysia bukan luar negeri. Cuma seperti tempat melancong imbuhnya.

Reading Time: < 1 minute

Pusat Studi dan Dokumentasi Media Alternatif (PSDMA) Nadim, Prodi Ilmu Komunikasi UII, membuka lowongan magang bagi mahasiswa.

Tawaran yang disediakan di antaranya:
1. Kegiatan internal
2. Dokumentasi Data Digital
3. Project foto dokumenter media warga di Yogyakarta
4. Project foto dokumenter di luar Yogyakarta

Silahkan bergabung bagi yang berminat. Info lebih lanjut bisa menghubungi kontak yang tertera di poster.

Reading Time: < 1 minute
0Days0Hours

Forum Amir Effendi Siregar – Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia menggelar:

Serial Bincang Sejarah Komunikasi (Sesi 14)

Topik:

Hoedjin Tjamboek Berdoeri: Sejarah Mikro sebagai Pendekatan Membaca Koran

Pembicara:

Eunike Gloria Setiadarma

Sedang menempuh studi doktoral di Departemen Sejarah di Northwestern University. Tertarik meneliti sejarah intelektual dan sejarah sosial pembangunan. Sebelumnya memperoleh pendidikan master Pembangunan Internasional dari University of Manchester.

Jadwal:
Jumat, 17 Oktober 2020
Pukul 09:30 WIB
Via Zoom

atau

Registrasi:

Reading Time: 3 minutes

Kasus kejahatan seksual bukan kasus kriminal biasa. Dalam pemberitaan, jurnalis berperan meluruskan pandangan itu kepada masyarakat.

Oleh MEDIANA

Tulisan ini pernah diterbitkan di Kompas 1 September 2020. Website kami menerbitkan ulang tulisan ini untuk kepentingan edukasi dan pengarusutamaan Jurnalisme Sensitif Gender. Terima kasih pada Kompas atas ringkasan yang baik untuk diskusi ini pada perhelatan rutin Forum Amir Effendi Siregar yang kami adakan pada 29 Agustus 2020 lalu.

Perspektif korban perlu selalu menjadi penekanan dalam pemberitaan kasus kejahatan seksual. Perspektif ini hingga sekarang tidak mudah dibangun oleh media. Pengurus Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bidang Jender, Anak, dan Kelompok Marjinal, Nani Afrida, Selasa (1/9/2020), di Jakarta mengatakan, framing media terhadap kasus kejahatan seksual dipengaruhi oleh berbagai faktor. Budaya patriarki selama ini masih menjadi faktor utama.

Untuk pemberitaan kejahatan seksual terhadap anak, misalnya, kebanyakan pemberitaan masih menempatkan mereka sebagai obyek. Semua identitas yang menempel dalam diri anak diungkap. Media tidak mewawancarai anak, tetapi mengungkap identitas anak melalui peliputan ke sekolah dan lingkungan
masyarakat.

Beberapa pemberitaan memuat detail-detail yang justru mengorbankan korban. Sebagai contoh, penulisan ”korban anak memakai pakaian tanpa lengan”, ”korban sukarela diajak pergi oleh pelaku”, dan ”korban sudah kenal dengan pelaku”.

Jurnalis dan organisasi media berdiri di tengah masyarakat yang masih dipenuhi stigma dari budaya patriarki. (Nani Afrida)

”Jurnalis dan organisasi media berdiri di tengah masyarakat yang masih
dipenuhi stigma dari budaya patriarki,” ujar Nani. Dengan selalu berpegang pada perspektif korban, media berarti memilih data fakta yang tidak menambah trauma korban. Menuliskan detail keadilan juga ditonjolkan, seperti penggunaan narasumber dari lembaga peduli hak asasi manusia dan kesetaraan jender.

Nani menyampaikan, AJI sudah mengembangkan kode etik meliput dan memberitakan kasus kejahatan seksual bagi anggotanya. Salah satu isinya, anggota AJI menyamarkan identitas semua korban dan pelaku kejahatan seksual yang berkaitan dengan anak. Kode etik ini bersifat menajamkan peliputan dan pemberitaan yang mengedepankan perspektif korban. ”Saya harap jurnalis dan media tidak terbebani peraturan ataupun kode etik. Kasus kekerasan dan eksploitasi seksual bukan kriminal biasa,” ucapnya.

Manajer Program Lembaga End Child Prostitution, Child Pornography & Trafficking Of Children For Sexual Purposes (ECPAT) Indonesia Andy Ardian berpendapat, dengan berperspektif dari sudut pandang korban, jurnalis ataupun organisasi media dapat berempati kepada korban. Ketika kasus kejahatan seksual melibatkan sosok terkenal, perspektif korban membuat jurnalis semestinya tidak gentar.
”Kerja jurnalis seperti investigator. Jurnalis tetap bisa menelusuri perkembangan penegakan hukum meskipun sejumlah laporan kasus sering kali dicabut oleh pengadilan. Peliputan tetap harus berjalan sehingga masyarakat bisa ikut memantau dan teredukasi,” katanya.

Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII), Iwan Awaluddin Yusuf, mengamati, pascareformasi 1998 terjadi peningkatan jumlah wartawan perempuan, perempuan pengambil kebijakan di media, media berbasis feminisme, serikat jurnalis untuk keberagaman, dan forum jurnalis perempuan.
Beberapa media massa nasional bahkan memiliki wartawan yang idealis terhadap pendekatan jurnalisme sensitif jender. Pendekatan ini kian masif diterapkan, terutama meliput dan memberitakan kasus kejahatan seksual.

Kolaborasi antarmedia untuk liputan berspektif jender juga mulai muncul, seperti #namabaikkampus yang baru-baru ini meraih penghargaan Public Service Journalism Award from the Society of Publishers in Asia. Contoh ini melengkapi perkembangan positif lainnya. Di tengah situasi itu, Iwan mengamati, kebanyakan editor dan reporter saat ini sudah memiliki pengetahuan tentang masalah dan pentingnya jurnalisme sensitif jender, tetapi tidak pada tingkat praktis.

”Pemahaman pendekatan jurnalisme sensitif jender juga belum merata lintas departemen,” ujar Iwan saat menghadiri Serial Bincang Sejarah Komunikasi yang diselenggarakan Forum Amir Effendi Siregar-Program Studi Ilmu Komunikasi UII, Sabtu (29/8/2020).

Prinsip-prinsip kesetaraan jender secara informal diperkenalkan jurnalis senior kepada yunior. Sisanya, wartawan mencari sendiri pengetahuan seputar pendekatan jurnalisme sensitif jender. Petunjuk umum peliputan kesetaraan jender sudah tersedia, tetapi tidak spesifik untuk jurnalisme sensitif jender. Hal ini tidak mengherankan karena jurnalis juga dihadapkan dengan isu menguatnya pasar bebas, oligarki media,
dan internet.

Tantangan lainnya adalah potensi kekerasan wartawan, orientasi pemberitaan ”page views”, pendanaan media, eksistensi klub laki-laki di internal, dan perusahaan aplikasi internet (OTT) yang enggan bertanggung jawab terhadap konten non-sensitif jender.

Iwan berpendapat, pemahaman dan keterampilan jurnalisme sensitif jender perlu dilatih. Jika diperlukan, pembekalan itu dilakukan melalui formal dan informal. ”Penerapan jurnalisme sensitif jender harus terus diperjuangkan. Hal yangharus diingat adalah perjuangan ini bukan eksklusif milik wartawan perempuan,” ujarnya.

Editor:ALOYSIUS BUDI KURNIAWAN

Reading Time: 3 minutes

Tourism Journalism – Elements of Journalism is a Must. Even though tourism journalism is look like a trivial think, a good standard on the elements of journalism should be applied on every tourism journalism writing. Now if you surf in cyberspace, no doubt you will find tourism news content, travel, touring, trips to exotic areas, to unspoiled tourist places. The reason is, the spread of content like this cannot be separated from the increasing use of social media and the level of tourism literacy in Indonesian society, especially young people.

The popularity of tourist attractions like this has made many content providers and news portals uphold tourism journalism as the primary content of their content. Although this kind of journalism is synonymous with travel and tourism, it is claimed that it is not just traveling.

That was the discussion that emerged from the Monthly Discussion of the PSDMA (Center for Alternative Media Studies and Documentation) Nadim of Communication Science Department, Universitas Islam Indonesia (UII). Risky Wahyudi  became the host of the event inviting Nur Rizna Feramerina.

Feramerina is an UII Communication Science student who conducts research on the phenomenon of Tourism Journalism and its current developments. She researched several portals. Apart from research, he is also active in writing on Detik Travel Indonesia.

Elements of Tourism Journalism

Are there any tips or special characters for becoming a journalist or contributing traveling content writer? How many people are there behind the scenes on this travelling website?

That question was asked by Risky Wahyudi, the host  of this discussion program. Feramerina said there were approximately 50 people more, for example in the Travellindo website in which she researched. Even Feramerina is also surprised that there are more than 5,000 contributors of traveling content that they had.

“They also have a contributor group in the Telegram application to foster contributors to produce better, more creative, quality content in accordance with the elements of journalism,” he said.

According to her research, there is no special character to become a writer or journalist for this Travel Writer. All the same. Writing must conform to journalism standards or elements. So you cannot write just randomly without understanding the elements of journalism. So, more than 5000 contributors must also fulfill the principles and basic elements of journalism in writing content with the tourism journalism genre.

Recommendations for Advanced Research on Tourism Journalism

Feramerina and Risky reach the conclusion that not much research has been done on Tourism Journalism. You can do research on this, for example, Risky’s idea, how  traveling websiite manages thousands of contributors, or like Feramerina said, no one has yet compared the content of tourism journalism on various news website.

Different portals, different standards. That’s how important it is to be researched. Feramerina shared her experience writing this travelling content for example. She writes on two portals: detik travel and Travellindo. Both have the same focus, but according to her experience, Travellindo is more selective and rigid in writing content, even photos.

According to her, there are not many references that talk about the genre in this journalism. She herself had to find and trace foreign sources who discussed this. This search finally found results. The primary reference that examines the tourism journalism genre that she is researching is a book entitled Specialist Journalism, edited by Barry Turner and Richard Orange.

Besides discussing technical coverage and how to do this, this main book also contains reflections on the fields of journalism. Such as journalism in sports, culinary, music, law, media, war, art and tourism. This book also discusses including how to write complex data from science research.

 

Reading Time: 2 minutes

Kini jika anda berselancar di dunia maya, tak ayal anda akan menemui konten berita pariwisata, perjalanan, touring, perjalanan ke daerah-daerah eksotik, hingga tempat-tempat wisata yang belum terjamah. Pasalnya, merebaknya konten seperti ini tak bisa dipisahkan dari meningkatnya penggunaan media sosial dan tingakt literasi wisata pada masyarakat indonesia, khususnya kaum muda.

Popularitas tempat wisata seperti ini membuat banyak content provider dan portal berita menegakkan jurnalisme pariwisata sebagai primadona kontennya. Meski jurnalisme ini identik dengan perjalanan dan wisata, ia diklaim bukan sekadar jalan-jalan.

Begitulah diskusi yang muncul dari gelaran Diskusi Bulanan PSDMA (Pusat Studi dan Dokumentasi MEdia Alternatif) Nadim Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII). Risky Wahyudi kali ini menjadi pembawa acara mengundang Nur Rizna Feramerina. Feramerina adalah Mahasiswa Ilmu Komunikasi UII yang melakukan riset tentang fenomena Jurnalisme Pariwisata dan perkembangannya saat ini. Ia meneliti beberapa portal. Selain riset, ia juga aktif menulis di Detik Travel Indonesia.

Apakah ada tips atau karakter khusus untuk menjadi jurnalis atau kontributor penulis konten travelling? Tim di balik layarnya ada berapa orang di portal travelling ini?

Pertanyaan itu dilontarkan oleh Risky Wahyudi, pembaca acara diskusi ini. Feramerina mengatakan ada sekira 50 orang lebih misalnya di portal travellindo di portal konten travelling yang ia teliti. Bahkan Feramerina juga kaget ada 5000 lebih orang kontributor konten travelling.

“Mereka juga punya grup kontributor di aplikasi Telegram untuk membina kontributor aga dapat menghasilkan konten yang lebih bagus, kreatif, bermutu, sesuai dengan elemen jurnalisme,” katanya.

Menurut penelitiannya ini, tidak ada karakter khusus untuk menjadi penulis atau jurnalis Travel ini. Semuanya sama. Tulisan harus sesuai dengan standar atau elemen-elemen jurnalisme. Jadi tidak bisa juga sembarang menulis tanpa memahami standar jurnalisme. Jadi, lebih dari 5000 kontributor juga harus memnuhi kaidah dan elemen dasar jurnalisme dalam menulis konten dengan genre jurnalisme pariwisata.

Rekomendasi Riset Lanjutan Jurnalime Pariwisata

Feramerina dan Risky mencapai kesimpulan bahwa belum banyak riset yang membahsa tentang Jurnalisme Pariwisata. Anda bisa melakukan riset soal ini misalnya, ide Risky,  bagaimana portal travelling mengelola ribuan kontributor, atau kata seperti kata Feramerina,  belum ada yang membandingkan konten jurnalisme pariwisata pada beragam portal.

Beda portal, beda strandar. Begitulah pentingnya membandingkan. Feramerina berbagi pengalamannya menulis konten ini misalnya. Ia menulis di dua portal: detik travel dan Travellindo. Keduanya punya fokus yang sama, tapi menurut pengalamnnya, travellindo lebih selektif dan rigid dalam menulis konten, bahkan foto.

Menurut Feramerina, belum banyak referensi yang bicara soal genre dalam jurnalisme ini. Ia sendiri harus mencari dan melacak sumber-sumber asing yang membahas tentang ini. Pencariannya ini akhirnya menemukan hasil. Referensi induk (babon) yang mengkaji genre jurnalisme yang ia teliti ini adalah buku berjudul Specialist Journalism, suntingan Barry Turner dan Richard Orange.

Buku babon ini selain membahas tentang teknis peliputan dan bagaimana melakukannya, juga memuat refleksi pada bidang-bidang jurnalisme. Seperti jurnalisme di bidang olah raga, kuliner, musik, hukum, media, perang, seni, dan wisata.  Buku ini juga membahas termasuk bagaimana menulis data yang rumit dari penelitian sains.

 

 

View this post on Instagram

 

A post shared by PSDMA Nadim Komunikasi UII (@nadimkomunikasiuii) on

Reading Time: < 1 minute
0Days0Hours0Minutes

Forum Amir Effendi Siregar menggelar bincang sejarah komunikasi seri 3

Topik: Penelusuran Awal Sejarah Komunikasi Indonesia: Kasus Universitas Indonesia

Pembicara:

Ignatius Haryanto

Sabtu, 18 Juli 2020
Pukul 09:30 WIB
Via Zoom

Registrasi:

https://bit.ly/serialbincangsejarahkomunikasiseri3

atau tonton di kanal Uniicoms TV Prodi Ilmu Komunikasi UII

 

 

View this post on Instagram

 

A post shared by PSDMA Nadim Komunikasi UII (@nadimkomunikasiuii) on

Reading Time: < 1 minute
0Days0Hours0Minutes0Seconds

UNDANGAN DISKUSI
Forum Bang Amir Effendi Siregar

SERIAL BINCANG SEJARAH KOMUNIKASI

Pusat Studi dan Dokumentasi NADIM Prodi Ilmu Komunikasi UII


Sesi 1: Sejarah sebagai Metode Riset Komunikasi

Pembicara
Luthfi Adam, Ph.D

Disertasinya “Cultivating Power: The Buitenzorg Botanic Garden and Empire Building in Netherland East Indies, 1745-1919” adalah pemenang Harold Perkin Prize sebagai disertasi terbaik tahun 2019-2020 di Departemen Sejarah Northwestern University, Illinois, Amerika Serikat. Sebelumnya kuliah Jurnalistik Unpad dan Kajian Budaya Media UGM.

Jadwal

Minggu, 28 Juni 2020
09.30 WIB
via Zoom (in Bahasa)

 

Registrasi: tidak dipungut biaya

https://bit.ly/serialbincangsejarahkomunikasi

 

 

Reading Time: < 1 minute

​Dari pada ngabuburitnya bingung mau ngapain. Mending mantengin diskusi ini.
Nadim bersama @krisaljustin akan berbagi pengetahuan seputar Imaji Lingkungan di Sekolah Alam yang merupakan karya tugas akhirnya di perkuliahan. Sangat cocok buat kamu yang sedang menaruh perhatian terhadap isu lingkungan supaya bisa menambah wawasan kamu terkait imaji atas lingkungan tersebut 


“Terus hubungannya dengan komunikasi apa?” Nah di diskusi ini nantinya akan kamu temukan jawabannya lewat perspektif komunikasi geografi.

Ke depannya Nadim juga akan menggelar diskusi seputar riset mahasiswa yang bisa jadi motivasi buat kamu mahasiswa tingkat akhir sedang kebingungan sama skripsinya supaya terus bisa tetep semangat.
Catat tanggalnya dan silahkan bergabung

#psdmanadimkomunikasiuii #mediaalternatif#diskusibulanan

Reading Time: 2 minutes

Sore itu, Vivi Mulia Ningrum dan Retyan Sekar Nurani, mahasiswa Ilmu Komunikasi (2015), mulai duduk di depan para peserta di Ruang Audio Visual (RAV Mini Theatre) Prodi Ilmu Komunikasi UII. Keduanya ditemani Risky Wahyudi, peneliti dan staf dari Pusat Studi dan Dokumentasi Media Alternatif (PSDMA) NADIM Program Studi (Prodi) Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia  (UII). Kali ini, Selasa, 9 April 2019, mereka bertiga adalah pusat perhatian dari para hadirin di Diskusi Rutin Bulanan Prodi Ilmu Komunikasi UII dengan tema Ruang dan Kuasa di Jogja. Diskusi ini adalah diskusi seri pertama dari diskusi seri penelitian mahasiswa dalam klaster Komunikasi Geografi.

 

Risky Wahyudi mengatakan, prodi punya harapan Diskusi Bulanan dengan model seperti ini dapat menguatkan kultur akademik, mimbar akademik, dan menjadi ruang pembelajaran atas kerja-kerja penelitian, pengabdian, dan dakwah terdahulu. Baik itu penelitian yang dilakukan dosen, mahasiswa, maupun sivitas akademika yang dapat dijadikan pembelajaran dan ruang apresiasi.

 

Vivi dan Retyan, dalam penelitian skripsinya, berusaha membongkar ideologi dan praktek produksi ruang di Jogja. Hasilnya beragam, Vivi misalnya, menemukan dalam risetnya bahwa Jogja Scrummy memproduksi ruang-ruang gerai dan outlet-nya sedemikian rupa secara serampangan hanya untuk membentuk ideologi bahwa Jogja dibentuk sebagai kota pariwisata. “Bagaimana bisa iklan Dude Herlino mengatakan Jogja Scrummy adalah produk khas Jogja tetapi ia memakai pakaian adat jawa yang beskapnya bukan khas jogja, melainkan Surakarta?” kata Vivi yang . Tagline yang dikemas berbunyi “Ingat Jogja, Ingat Jogja Scrummy” mengesankan bahwa konsumen mereka juga adalah wisatawan: orang yang berwisata. Jogja bukan lagi dibentuk sebagai kota pelajar, melainkan pariwisata, meski secara ngawur, katanya.

 

Desain ruang interiornya pun diatur sehingga konsumen yang datang tak hanya berbelanja tapi juga berswafoto. “Jadi foto artis Dude Herlino adalah sudah mediasi, lalu konsumen berswafoto juga sudah termasuk termediatisasi, dua kali termediatisasi ini,” tambah Vivi yang mengaku telah bolak-balik outlet Jogja Scrummy hampir lebih dari 15 kali. Mulai dari mewawancarai beragam pembeli di sana, Ia juga mencatat wawancara, melihat bentuk, menemukan pola, dan sekaligus mendaras makna di balik ruang di Jogja Scrummy.

Suasana diskusi pun menghangat saat kemudian Risky Wahyudi, moderator, mempertanyakan konsepsi konsumen sebagai wisatawan yang tidak sepenuhnya tepat. Baginya dan menurut pengamatannya tahun-tahun belakangan, konsumen Jogja Scrummy terlihat bukanlah wisatawan melainkan mahasiswa atau orang jogja yang membeli produknya untuk dijadikan oleh-oleh. Pembentukan Jogja sebagai kota wisata sepertinya belum tepat. Vivi menjawabnya dengan menjelaskan titik tekannya pada makna tafsir tagline Jogja Scrummy yang melihat seakan segmen konsumennya adalah wisatawan terlihat dari pilihan-pilihan kata dalam tagline.

 

Diskusi #SeriPenelitian Klaster Komunikasi Geografi