Tag Archive for: Pusat Studi dan Dokumentasi Media Alternatif (PSDMA) NADIM

Reading Time: 2 minutes

Pandemic The pandemic has changed work patterns. There have been many new challenges. Like what? Monthly discussions held by the UII Communications Nadim try to raise it and find answers to these questions. Starting from changing online media strategies, and looking for various strategies and content tricks to win over readers, even amidst the Coronavirus siege.

This time, Nadim’s discussion invited a resource person named Muhammad Diast Reyhan Rafif to become a discussion partner for students at UII Communications. Diast is an alumnus of the 2017 batch of UII Communication Studies. His final research in his thesis examined Editorial Management in Reporting on the Cancellation of the National Football League Competition. Several media are used as research objects. Among them are detik.com, and okezone.com. Bolasport.com, Jawapos.com.

According to Diast, several online media are quite responsive and creative in dealing with reporting amid a pandemic. “Detik.com, for example, raised the human interest side during the pandemic. Regarding salary uncertainty amidst competition uncertainty, also player activities during the pandemic, including news of league I and league 2 uncertainties,” said Diast revealing one of his research results on Tuesday, 15 February 2022.

Another second, another dotcom media, and the rest. Bolasport, said Diast, provides football travel content, in the form of a timeline or memorable moments. That timeline is tracked year by year. Apart from that, bolasport also covers supporter activities during the pandemic. Even though it seems ordinary, you can see creative efforts meandering amidst the lack of events that could be sources of writing due to the cancellation of the National Football League competition.

Different Srategies from different medias

It’s no different, Okezone from the MNC group media has another strategy. “Okezone.com has soccertainment. It is a rubric that reports on player activities when the leagues haven’t started, for example, player support, federation support, health support when a player or coach is exposed to corona,” said Diast, who also served as Chair of the Communication Editor’s Journalism Club. this. According to Diast, this rubric talks a lot about international football because it still attracts a lot of interest from readers.

If Legal publishes a lot of international sports news because it is liked by many readers, Jawapos focuses more on national sports news. For example, the news raised is about the activities of coaching players outside the field. Or also the theme of the player transfer market because there are many players abroad. This includes not forgetting to also cover PSSI’s steps to run the league.

Ifa Zulkurnaini, the moderator of the discussion, also asked if there was further research that could be done in the context of sports journalism. Narayana, UII Communication Lecturer, who was also present as a participant in the discussion said that there was still something that could be researched about sports journalism. Not only what Diast did, in football, but other research could also be carried out on how other sports journalism media cover amid a pandemic, especially for sports other than football. “Football can still go on, but what about basketball, badminton, and others? How can sports journalists and the media cover and survive during a pandemic? Maybe that’s what can be continued,” said Nara trying to argue in the middle of the discussion.

Reading Time: 2 minutes

Pandemi membuat pola kerja berubah, Ada banyak tantangan baru. Seperti apa? Diskusi bulanan yang digelar Nadim Komunikasi UII mencoba mengangkatnya dan mencari jawab dari pertanyaan-pertanyaan itu. Mulai dari strategi media online yang berubah, mencari ragam strategi, dan trik konten untuk merebut pembaca, bahkan di tengah kepungan virus Corona.

Diskusi Nadim kali ini mengundang Narasumber bernama Muhammad Diast Reyhanrafif untuk menjadi mitra berdiskusi para mahasiswa di Komunikasi UII. Diast adalah alumni Ilmu Komunikasi UII angkatan 2017. Penelitian akhirnya dalam skripsi meneliti Manajemen Redaksional dalam Pemberitaan Pembatalan Kompetisi Liga Sepakbola Nasional. Ada beberapa media yang dijadikan objek riset. Di antaranya Detik.com, okezone.com. Bolasport.com, Jawapos.com.

Menurut Diast, beberapa media online cukup responsif dan kreatif mengatasi pemberitaan di tengah pandemi. “Detik.com misalnya, mereka mengangkat sisi human interest selama pandemi. Mengenai ketidakpastian gaji di tengah ketidakpastian kompetisisi, Juga kegiatan pemain selama pandemi, Termasuk juga berita ketidakpastian liga I dan liga 2,” kata Diast mengungkap salah satu hasil penelitiannya pada Selasa, 15 Februari 2022.

Lain Detik, lain media dotcom sisanya. Bolasport, kata Diast, memberikan sajian konten perjalanan sepakbola, Bentuknya timeline atau momen memorable. Timeline itu dilacak dari tahun ke tahun. Selain itu, bolasport juga meliput kegiatan supporter selama pandemi. Meski terkesan biasa, tapi terlihat upaya kreatif berkelok di tengah minimnya peristiwa yang bisa jadi sumber tulisan karena adanya pembatalan kompetisi Liga Sepakbola nasional.

Tak beda, Okezone dari grup MNC punya strategi lain. “Okezone.com memiliki soccertainment, Itu adalah rubrik yangmemberitakan kegiatan pemain saat liga-liga belum mulai, Misalnya dukungan pemain, dukungan federasi, dukukangan kesetahan saat ada pemaian atau pelatih terkena corona,” papar Diast yang juga pernah menjabat sebagi Ketua Klub Jurnalistik Redaksi Komunikasi ini. Menurut Diast, rubrik ini banyak bicara bola international karena masih bayak diminati pembaca.

Jika okezone banyak melansir berita olahraga internasional karena disukai pembaca banyak, Jawapos justru lebih banyak Fokus berita olahraga nasional. Misalnya berita yang diangkat adalah seputar aktifitas pemain pelatih di luar lapangan. Atau juga tema bursa transfer pemain karena banyak pemain di luar negeri. Termasuk tak lupa juga melakukan peliputan tentang langkah PSSI dalam upaya menjalankan liga.

Ifa Zulkurnaini, moderator diskusi juga sempat bertanya, apa ada lagi riset lanjutan yang bisa dilakukan dalam konteks jurnalisme olahraga ini. Narayana, Dosen Komunikasi UII, yang juga hadir sebagai peserta diskusi mengatakan, bahwa masih ada yang bisa diteliti berkaitan dengan jurnalisme olahraga. Tak hanya yang dilakukan Diast, di olahraga sepak bola, tapi juga bisa dilakukan riset lain bagaimana media-media jurnalisme olahraga lain meliput di tengah pandemi khususnya untuk olahraga selain sepak bola. “Sepak bola masih bisa jalan pertandingannya, tapi basket, badminton, dan lain-lain gimana? bagaimana jurnalis olahraga dan medianya meliput dan bertahan di tengah pandemi? mungkin itu ya yang bisa dilanjutkan,” kata Nara mencoba berpendapat di tengah diskusi.

Reading Time: < 1 minute

[Diskusi NADIM] Menjadi Penulis Artikel dan Wartawan Sejak Mahasiswa

Ingin nulis artikel di media tapi bingung harus memulai dari mana? Jangan khawatir, PSDMA Nadim akan membahas hal ini.

Di hari Rabu, 15 Desember 2021 kita akan kembali mengadakan diskusi dengan tema yang berbeda dari sebelumnya.

Ke dua teman kita, @sitifauz_ dan @nfjrk akan berbagi pengalaman serta pengetahuan di dunia kepenulisan, sesuai dengan kiprah mereka selama menjadi wartawan dan kontributor di beberapa media.

Jangan lewatkan diskusi dengan tema Menjadi Penulis Artikel dan Wartawan di Media Sejak Mahasiswa! ini, ya!

Klik Zoom Link di:

 

Reading Time: < 1 minute

Keinginan adanya lingkungan hidup yang baik terkadang terbentur oleh kemampuan untuk mengelola lingkungan itu sendiri.

Deforestasi, sampah plastik, dan polusi menjadi masalah yang kerap terjadi dan sulit untuk diatasi.

Gery Cahya Peranginangin, Mahasiswa Ilmu Komunikasi UII, lewat Tugas Akhirnya, mengajak kita untuk menumbuhkan kesadaran bahwa lingkungan perlu kita jaga dan lestarikan agar kebermanfaatan alam dapat berjangka panjang melalui karya yang dibuatnya, berjudul “Makhluk Hidup dan Lingkungan dalam Karya Fotografi Konseptual”.

Oleh karena itu, kami mengundang semua sahabat PSDMA Nadim Komunikasi UII untuk hadir dalam diskusi terkait karya fotografi ini, agar terwujudlah pembaruan baik dari konteks akademis maupun praktis.

Jangan sampai tertinggal karena diskusi akan berjalan asyik dengan turut menghadirkan Achmad Oddy Widyantoro sebagai praktisi yang akan mengulas karya ini.

Reading Time: 2 minutes

The Ambyar generation is closely related to the famous indonesian keroncong dangdut singer named Didi Kempot. The popularity of Didi Kempot has occurred in recent years. It has changed the image of dangdut music which is considered “villager.” Nowadays dangdut changed into a genre that is popular across generations and across segments. This is Didi Kempot’s second popularity after the popularity of his first era in the 80-90s.

Didi Kempot, nicknamed the Godfather of Broken Heart, has songs that generally have a broken heart theme. Even so, the feeling of heartbreak can actually be enjoyed and can be celebrated by dancing. Didi Kempot also took part in popularizing the word “ambyar” to represent feelings of heartbreak.

“Didi Kempot was the first to link how ‘ambyar’ is to represent us: pieces, a broken heart, a heart that hurts to tell stories,” said Michael HB Raditya, speaker in the discussion “Reading the Ambyar Generation: New Dangdut and Communication Problems” on Thursday, 27 May 2021. Nadim Communications UII, the Center for Alternative Media Studies and Documentation (PSDMA), held this discussion online and broadcast live by Uniicoms TV (the first online TV at UII).

New Dangdut and Its Problems

The popularity of Didi Kempot’s songs with the theme of heartbreak made many young dangdut singers follow this style and gave birth to what Michael calls “New Dangdut.”

According to Michael, the characteristics of the new dangdut are the dominating broken heart lyrics. Not to mention that they also have the awareness to make their own music. In addition, other characteristics are the charm of young people who continue to be built, as well as the making of simple but powerful video clips.

“But there are two problems in the new dangdut. First, this is pop music, the opposite of pop music is boredom. How is the sustainability of this new dangdut,” said Michael.

“Whether the dangdut era will continue or will it be temporary, and secondly, there is no new innovation in the new dangdut itself,” said Michael, who is the founder of the Dangdut Studies Center and also a musician at the dangdut band named Jarang Pulang.

The new dangdut has changed a lot of dangdut music culture. Male singers are becoming more common, and also audiences are free to cry while listening to heartbreak songs. Music are also widely distributed digitally. The image of dangdut has also changed. It is changed from music that is considered “village” to contemporary music that can be enjoyed by anyone. Instantly shifting the popularity of old dangdut a la Rhoma, Meggy Z, to a new wave of ‘ambyar’ dangdut. It is now contemporary and identically to Didi Kempot’s style: Congdut/ Keroncong Dangdut.

 

 

Reading Time: 2 minutes

Generasi Ambyar memiliki keterkaitan erat dengan penyanyi dangdut keroncong kenamaan bernama Didi Kempot. Popularitas Didi Kempot yang terjadi di beberapa tahun akhir ini telah mengubah citra musik dangdut yang dianggap “kampungan” menjadi genre yang populer lintas-generasi dan lintas segmentasi. Ini menjadi popularitas kedua Didi Kempot setelah popularitas era pertamanya pada era 80-90an.

Didi Kempot yang dijuluki Godfather of Broken Heart memiliki lagu-lagu yang umumnya bertemakan patah-hati. Meski begitu, perasaan patah hati tersebut justru dapat dinikmati dan dapat dirayakan dengan berjoget. Didi Kempot pun ikut andil dalam mempopulerkan kata “ambyar” untuk mewakili perasaan patah hati.

“Didi Kempot ini yang pertama kali menautkan bagaimana ‘ambyar’ itu untuk mewakili kita.: serpihan-serpihan, hati yang pecah, hati yang tersakiti untuk menceritakan,” ujar Michael HB Raditya, pembicara dalam diskusi “Membaca Generasi Ambyar: Dangdut Baru dan Problem Komunikasi” pada Kamis, 27 mei 2021. Diskusi yang diselenggarakan oleh Pusat Studi dan Dokumentasi Media Alternatif (PSDMA) Nadim Komunikasi UII, ini dilaksanakan secara daring dan disiarkan langsung oleh Uniicoms TV (TV Daring pertama di UII).

Dangdut Baru dan Masalahnya

Kepopuleran kembali lagu-lagu Didi Kempot yang bertemakan patah hati membuat banyak penyanyi-penyanyi muda dangdut mengikuti gaya tersebut dan melahirkan apa yang Michael sebut sebagai “Dangdut Baru.”

Ciri-ciri khas dangdut baru menurut Michael di antaranya adalah lirik patah hati yang mendominasi. Belum lagi mereka pdangdut baru juga memiliki kesadaran untuk membuat musik sendiri. Selain itu, ciri lain adalah pesona anak muda yang terus dibangun, serta pembuatan video klip yang sederhana namun berdaya.

“Namun terdapat dua masalah di dangdut baru. Pertama, ini adalah musik pop, lawannya musik pop adalah kebosanan. Bagaimana keberlanjutan dangdut baru ini,” Papar Michael. “Apakah era dangdut akan terus berlanjut atau akan hanya sementara, dan kedua, belum adanya inovasi baru di dangdut baru itu sendiri,” ujar Michael yang merupakan pendiri Dangdut Studies Center dan juga pemain musik di Orkes Melayu Jarang Pulang.

Dangdut baru telah banyak mengubah beberapa budaya musik dangdut. Contohnya, penyanyi laki-laki menjadi lebih umum, penonton yang bebas menangis sambil mendengarkan lagu-lagu patah hati, serta distribusi musik secara digital. Citra dangdut pun telah berubah dari musik yang dianggap “kampungan” menjadi musik kekinian yang dapat dinikmati siapa saja. Seketika menggeser popularitas dangdut lawas ala Rhoma, Meggy Z, dan menjadi gelombang baru dangdut ‘ambyar’ yang kekinian dan khas Didi Kempot.

 

Reading Time: 3 minutes

Setahun belakangan Covid-19 menjadi fokus. Ia mengubah banyak hal. Termasuk pemberdayaan sosial yang selama ini rutin digelar oleh Prodi Ilmu Komunikasi UII. Mahasiswa dan akademisi, sebagai agen perubahan, adalah aktor utama dalam pemberdayaan dan perubahaan sosial di tengah-tengah masyarakat. Namun kala pandemi mendera, bagaimana pemberdayaan bisa tetap terlaksana?

Salammatul Putri dan empat kawannya dari Komunikasi UII angkatan 2018 hadir dengan solusi digital. Ia menggagas pemberdayaan digital. Sasarannya adalah menerobos beragam kendala dalam pembelajaran jarak jauh (PJJ) kata Salam pada Selasa (23/03/2021). “

Awalnya ada dua ide, tapi akhirnya kami memilih melakukan edukasi literasi digital lewat instagram,” kata Salam, ketika hadir secara daring di Pusat Studi dan Dokumentasi Media Alternatif (PSDMA) Nadim Komunikasi UII. Menurutnya, Ia melihat PJJ selama ini tidak efekti. Apalagi hanya menggunakan WhatsApp (WA), sebuah aplikasi perpesanan terpopuler di Indonesia saat ini versi Laporan Survei Internet Apjii 2019–2020. Selain lewat Instagram, Salam juga berbagi keterampilan menggunakan beragam aplikasi dari Google pada guru-guru dengan protokol kesehatan yang ketat.

Salam dan tim mensistematiskan gagasan pemberdayaannya dengan tajuk Digitalisasi & Pandemi: Kampanye Penggunaan Media Digital di MTSN 1 Pasir Talang, Solok Selatan. Gagasan yang akhirnya diwujudkan satu bulan ini mendapat respon yang tidak sedikit dari peserta diskusi. Misalnya Pambudi, salah satu peserta bertanya, bagaimana proses kemunculan ide ini. Apalagi jika dicermati, antaranggota timnya, bernama sfh_online, saling terpaut jarak karena kebijakan jaga jarak selama pandemi Covid-19. Bagaimana menyatukan ide dengan tim yang berbeda ide dan jarak.

Salam menjawab, ide pemberdayaannya mulanya ada dua. Pertama, kampanye literasi digital SFH. Kedua adalah penguatan UMKM di tengah keterpurukan ekonomi kala pandemi. Namun setelah dilihat dari beragam pertimbangan, Salam dan tim merasa lebih cocok mendapuk SFH sebagai rencana utama dalam pemberdayaan.

Tentunya tak mudah menggarap pemberdayaan sosial yang mulanya luring sekarang secara daring. Salam berbagi tips dan langkah-langkah agar bisa melakukan pemberdayaan digital.

Pertama, Anda harus peka dahulu pada lingkungan. Salam mengatakan peka terhadap lingkungan adalah kunci. “Kita kan makhluk sosial, dengan kepeduliaan kita bisa tahu masalah di sekeliling kita. Barulah kita bisa melakukan pemberdayaan dan menciptakan perubahan,” katanya.

Kedua, lakukan perubahan sekarang. Tidak ditunda. “Ya walaupun sedikit, yang penting bisa bermanfaat di masyarakat,” imbuhnya. Ketiga, “Kita butuh dan membutuhkan orang lain dalam tim. Kunci bekerja dalam tim adalah menghargai pendapat tiap anggota,” paparnya membeberkan pengalamannya berembuk dalam tim. Pandemi tidak bisa menjadi alasan. Banyak sarana yang bisa digunakan untuk berdiskusi menentukan program pemberdayaan. Salam menggunakan Zoom atau juga bertelepon.

Keempat, “ketahui dulu permasalahan dari lokasi atau tempat sasaran pemberdayaan,” kata Salam mewanti-wanti. Pada gilirannya, pemetaan masalah di sasaran pemberdayaan dapat membantu merancang program. Sebaliknya, keliru memetakan, bisa jadi salah pula dalam menentukan program. Salam menjelaskan bahwa pengabdian masyarakat yang ia lakukan di MTSn 1 Pasir Talang, Solok Selatan, ini mengajarkan penggunakan google classroom. Selama ini PJJ dilakukan lewat WA dirasa kurang efektif.

Meski begitu, tidak hanya menggunakan google classroom, melainkan juga pembelajaran fitur google classroom, kahoot, dll. Jadi ada pembelajaran yg tidak monoton atau tidak membosankan kata Salam.

Respon Peserta

Ada pelbagai testimoni dari guru setelah program pemberdayaan ini dilakukan oleh Salam dan tim. Beberapa dari mereka sangat berterima kasih dengan program ini. Tak hanya itu, Salam juga selalu memperbarui perkembangan penggunaan aplikasi para peserta pascapelatihan dan sosialisasi. Di tengah praktik pembelajaran, ada juga guru-guru yang masih bertukar pesan menghubungi dan berkonsultasi ketika ada kendala menggunakan aplikasi.

Misalnya, ada seorang guru yang lupa cara menggunakan aplikasi Kahoot. Ia berikan solusi lewat pesan WA, atau telepon. Salam juga menyarankan untuk mengikuti beragam pembaruan konten di akun instagram Sfh_online.

Salam berpesan pada seluruh mahasiswa Komunikasi UII, program sosial seperti ini harus terus dilakukan. Sebab sangat penting dan memberi solusi atas beragam permasalahan masyarakat. “Kalau ada pemberdayaan lain, lakukan semaksimal mungkin, karena ke depannya itu akan banyak berguna untuk kita semua, nantinya,” pesan Salam di akhir sesi diskusi.


Reporter/ Penulis: Indria Juwita (Mahasiswa Ilmu Komunikasi UII angkatan 2017, Magang PSDMA Nadim Ilmu Komunikasi UII) dan A. Pambudi W

Reading Time: 2 minutes

Pandemi menjadi tantangan baru bagi sekolah. Pasalnya, belum semua guru memiliki keterampilan dan literasi digital yang memadai dalam menggunakan media pembelajaran jarak jauh (PJJ). Sekolah daring menjadi kendala. Belajar menjadi kurang efektif. Maka dari itulah pemberdayaan digital bertajuk School From Home (SFH) hadir menjawab tantangan tersebut.

Salammatul Putri, Mahasiswa Ilmu Komunikasi UII Angkatan 2018, mengatakan, bahwa PJJ selama ini menuntut guru dan siswa harus mampu tak hanya beradaptasi melainkan juga berkreasi dan berinovasi di tengah pandemi. Jika tidak, belajar di sekolah bisa berujung kebosanan bahkan ketidakefektifan. Salam, karenanya, bersama keempat rekannya sesama mahasiswa Komunikasi UII, berinisiatif membuat program Literasi Digital di MTSN 1 Pasir Talang, Solok Selatan.

“Program ini adalah salah satu bentuk pemberdayaan yang diharapkan memberikan manfaat dan menciptakan perubahan pembelajaran di tengah PJJ,” kata Salam, pada Selasa (23/03/2021), via Zoom Meeting dalam diskusi bulanan Pusat Studi dan Dokumentasi Media Alternatif (PSDMA) Nadim Komunikasi UII.

Salam menuturkan, “Mulanya idenya beragam. Saya sempat riset kecil-kecilan. Saya lihat sistem pembelajaran di sekolah sepupu saya hanya menggunakan media WhatsApp,”  Ujar Salam, dalam diskusi berjudul Digitalisasi & Pandemi: Kampanye Penggunaan Media Digital di MTSN 1 Pasir Talang, Solok Selatan.

Apa yang Salam dan kawan-kawannya lakukan adalah hasil dari matakuliah Manajemen Program Pemberdayaan Nonkomersil. Program pemberdayaan ini dilakukan dengan dua model. Pertama, dengan melakukan kampanye literasi digital penggunaan beragam aplikasi digital untuk mempermudah PJJ. Kedua, dengan sosialisasi dan pendampingan penggunaan aplikasi digital untuk pembelajaran di MTSN 1 Pasir Talang.

Lewat Daring dan Luring

Salam dan tim kemudian berinisiatif membuat konten literasi digital di Instagram bernama sfh_online. Konten-konten ini mencoba mengatasi kendala-kendala PJJ yang selama ini bersliweran di jagat maya. Salam juga bekerja sama dengan Komunitas Remaja Solok Selatan bernama Share To Care untuk membantu mempromosikan konten-konten tersebut.

Program yang dilaksanakan selama satu bulan ini memuat konten instagram yang beragam. Misalnya, ada konten soal tips penggunaan aplikasi Google Classroom, tips belajar dan sukses menghadapi ujian, dan juga beberapa konten menarik seperti curhatan pelajar selama bersekolah di tengah pandemi. Curhatannya variatif. Mulai dari sakit mata hingga sakit pinggang.

Kemudian ada pula konten fakta unik dan kata motivasi. Tujuannya agar menambah pengetahuan pelajar dan memotivasi siswa agar belajar terasa menyenangkan. Tentu tidak melulu tips, ada juga kuis. Kutipan-kutipan inspiratif dari tokoh-tokoh besar juga tak ketinggalan.

Selain kampanye digital, sosialisasi juga dilakukan guna memperkenalkan aplikasi belajar mengajar online kepada guru di sekolah. Aplikasi itu misalnya Google Classroom dan Google Meet. Tak hanya itu, guru-guru MTSN 1 Pasir Talang juga berlajar bersama membuat kuis lewat aplikasi Kahoot. Berjalan beberapa hari, dampak dari program Salam dan tim mulai dirasakan. Ada perubahan sedikit demi sedikit dari proses belajar mengajar. Guru-guru mulai ada yang telah menggunakan aplikasi online yang Salam perkenalkan. Guru dan siswa juga belakangan juga memberi respon baik. Mereka melontarkan ucapan terima kasih atas manfaat pengetahuan sekaligus keharuan atas manfaat dari program pemberdayaan ini.


Reporter/ Penulis: Indria Juwita (Mahasiswa Ilmu Komunikasi UII angkatan 2017, Magang PSDMA Nadim Ilmu Komunikasi UII)

Editor: A. Pambudi W

Reading Time: < 1 minute

Program Studi Ilmu Komunikasi UII kembali menggelar diskusi bulanan.

Turut mengundang Pembicara kali ini adalah:

Vadhiya Rahma N. ( Mahasiswi Ilmu Komunikasi UII 2018)

Kali ini Vadhiya akan berbicara tentangpengabdian yang pernah ia lakukan
bersama teman-teman dalampendampingan pembuatan tie dye
di komunitas Difabelzone.id.

 

Jangan lupa merapat pada:
hari Rabu, 31 Maret 2021.
Pukul 14:00 WIB.

Via Zoom, ya!

 

Tautan:

Reading Time: 4 minutes

Seperti apa film yang mengangkat problematika TKI di daerah indonesia bagian timur? Bagaimana film soal TKI digarap oleh kru yang sama sekali belum pernah pegang kamera dan nonton bioskop?

Muhammad Heri Fadli, sineas muda asal Lombok, Nusa Tenggara Barat, yang pernah menimba ilmu di Prodi Ilmu Komunikasi UII, ini punya inisiatif bikin film soal keseharian di kampungnya: bekerja ke luar negeri jadi TKI. Ada yang legal, ada yang ilegal. Ia mengangkatnya dalam sebuah film dokumenter bertajuk Jamal dan Sepiring Bersama.

Kamis, 25 Februari 2021, Heri diundang dalam diskusi bulanan Pusat Studi dan Dokumentasi Media Alternatif (PSDMA) Nadim, Prodi Ilmu Komunikasi UII. Diskusi bulanan ini diselenggarakan dengan aplikasi Zoom dan disiarkan langsung di saluran resmi Komunikasi UII di Youtube: Uniicoms TV.

PSDMA Nadim Komunikasi UII adalah pusat studi yang menaruh fokus kajiannya pada upaya, sumber pengetahuan, dan medium alternatif. Sejak didirikan pada 2008, Nadim berupaya menjadi pengelola pengetahuan dan center of excellence dari beragam koleksi dan studi pelbagai sumber dan mengemasulangnya menjadi pengetahuan baru. Nama Nadim terinspirasi dari Ilmuwan cum pustakawan muslim bernama Ibn Al Nadim sebagai orang pertama di dunia yang melakukan proses dokumentasi, koleksi, dan temukenali pengetahuan pada 14 abad yang lalu.

Profesi Ibn Al Nadim inilah yang pada masa sekarang disebut sebagai ilmuwan cum pustakawan, bibliografer, atau bahkan lebih dari itu, sebagai pusat penelitian dan pengembangan: Knowledge Manager. Ibn Al Nadim membuat katalog pertama di dunia yang diberi judul Al Fihrist. Sebuah magnum opus dalam sejarah pengetahuan umat manusia. Kitab ini, menurut catatan sejarah, berisi katalog sekira 10 ribu koleksi dari 2000 penulis di era pertengahan islam.

Proses Kreatif Produksi Film Jamal

Alumni Ilmu Komunikasi UII ini mengatakan, film Sepiring Bersama digarap selama empat hari. Meski lamanya persiapan produksi justru melebihi masa produksi film, Heri justru mengapresiasi proses ini. Pasalnya semua kru filmnya adalah tetangga dan keluarga dekat yang sama sekali belum pernah terlibat produksi film. “Bahkan nonton bioskop saja belum pernah, tapi semangatnya itu besar sekali. Saya belum pernah menemui semangat besar mereka ini selama saya produksi film,” katanya.

Beberapa hal juga patut dijadikan pembelajaran bagi mahasiswa Komunikasi UII soal hal-hal tak terduga yang terjadi pada saat produksi film Jamal dan beberapa film lain yang digarapnya. Diskusi yang dipandu oleh Risky Wahyudi, ini membahas kepulangan para TKI dalam kondisi sudah tidak bernyawa dan produksi film Jamal yang tidak berjalan mudah.

Jamal merupakan film yang mengangkat permasalahan pemulangan TKI ke Lombok dalam keadaan tak bernyawa. Angka kepulangan terus meningkat sejak 2019 hingga 2021.

Pertanyaan yang mungkin akan muncul adalah siapa Jamal? Jamal merupakan gabungan suku kata yaitu “Janda Malaysia” atau bisa disebut sebagai wanita yang ditinggalkan oleh suaminya merantau ke negeri Jiran.

Film Jamal terlahir dari kisah yang melekat di tempat Heri tinggal dan menjadi sebuah keresahan tersendiri buatnya. Untuk mengungkap permasalahan ini, Heri merasa harus membuat sebuah film terkait problematika tersebut.

Film Jamal menggunakan bahasa Sasak di keseluruhan film. Bahasa sasak merupakan bahasa utama yang digunakan di Pulau Lombok. Alur cerita Jamal yang minim dialog namun memiliki isyarat yang kuat dari para pemeran Jamal  membuat film ini tetap mampu menyampaikan perasaan nestapa yang terjadi pada film tersebut kepada penonton, tanpa harus mengerti bahasa sasak.

Produksi film Jamal ini menggunakan kru yang merupakan orang terdekat Heri di Lombok. Mayoritas kru film ini merupakan orang-orang yang ditinggalkan anggota keluarga mereka merantau menjadi TKI. Heri mengungkapkan bahwa para kru ini minim akan pengetahuan produksi film. Bermodal semangat yang tinggi, para kru merasa bahwa problematika TKI dalam film ini adalah hal penting yang harus dituntaskan dan dipublikasikan secara luas.

Tak hanya Jamal, film sebelumnya, Sepiring Bersama juga bercerita tentang TKI. Bedanya, jika Jamal masuk dalam pemutaran Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) pada 2020, Sepiring Bersama lebih dulu masuk JAFF pada 2018. Setelah pemutaran Sepiring Bersama, Heri melanjutkan bahwa dia mendapatkan sebuah serangan ataupun ancaman setelah pemuturan film Sepiring Bersama, film tentang TKI juga, milik Heri. Ancaman tersebut dari seorang pengantar pesan yang belakangan mengaku dari orang petinggi di NTB. Pesan tersebut berisi untuk Heri agar tidak sembarang memutar film Sepiring Bersama. Sepiring Bersama dianggap sebagai film yang menunjukkan cacatnya provinsi Nusa Tenggara Barat.

Harapan di Balik Proses Kreatif

Heri mengatakan, ada sekira 14 trilyun pemasukan dari BMI masuk menjadi pendapatan daerah NTB. Jumlah itu tidak terhitung sebagai sumbangsih Buruh Migran Indonesia (BMI) yang begitu besar. “Tapi saya pengin ayo kita pikirkan bareng-bareng, di atas sumbangsih mereka ini, tolong kasih jaminan untuk anak-anak mereka. Minimal jaminan pendidikan,” harap Heri pada saat diskusi dengan dipandu Risky Wahyudi, moderator sekaligus Dosen Ilmu Komunikasi UII.

“Karena saya bukan pengin mereka berhenti bekerja di luar negeri, setidaknya, ada keterampilan mumpuni yang mereka bawa di sana. Saya ingin mereka yang kerja di luar negeri ini membawa sesuatu,” katanya menjelaskan.

Heri bilang, kebanyakan TKI dari Lombok yang bekerja di Malaysia jadi kuli panggul sawit, tukang bangunan, yang notabene itu bisa mereka lakukan di rumahnya, di Lombok. “Sama saya berharap semua pihak tidak terkecuali di NTB atau di luar, dengan cara berdiskusi seperti ini, setidaknya ada pandangan baru dan solusi. Tidak hanya di NTB,tapi juga di daerah lain. Di jawa barat. Istri-istri ini jangan lagi disebut sebagai jamal. Karena itu rasanya seperti pelecehan. Dilabeli jamal padahal suaminya masih ada di Malaysia,” katanya.

Padahal, menurut Heri, mereka ini pasangan berani mengorbankan kebersamaan untuk menghidupi anak-anaknya. “Saya berharap semua pihak yang makan dari pengiriman BMI ilegal ini sadar diri, jangan sembarangan kita kirim orang ke luar negeri untuk bekerja,” katanya kemudian, sembari menilai banyak TKI berangkat kerja dengan hanya modal nekat.

————————————————

Penulis: Muhammad Malik Hamka Sukarman (Mahasiswa Ilmu Komunikasi 2014, Magang di PSDMA Nadim, Komunikasi UII) dan A. Pambudi W.