Tag Archive for: politik

CCCMS 2024: Masduki Sampaikan ‘Hybrid Media & Politics’ hingga Singgung Darurat Demokrasi Indonesia dalam Forum Internasional
Reading Time: 2 minutes

Masduki berkesmpatan menjadi keynote speaker dalam forum internasional 7th Conference on Communication, Culture and Media Studies (CCCMS) pada 29 Agustus 2024 di gedung Auditorium FPSB UII. Bertemakan Hybrid, Masduki menyampaikan materi bertajuk Hybrid Media & Politics (Democracy) in Post-Authoritarian Indonesia.

Dalam pembukaan presentasinya, poster runtuhan gedung Mahkamah Konstitusi hingga Presiden Jokowi dengan mahkota yang dikelilingi kerabat dan keluarganya diharapkan mampu menggugah audiens dari beragai negara.

“Very provocative, right? Tell us about Jokowi. I’m sure everyone knows Jokowi, our president. Ten years president. We got him in the funniest way as Mulyono, we call him. So, Jokowi is the father of the family oriented,” ujar Masduki membuka diskusi.

(Sangat provokatif, bukan? Ceritakan tentang Jokowi. Saya yakin semua orang tahu Jokowi, presiden kita. Presiden sepuluh tahun. Kami menyebutnya dengan sebutan yang paling lucu, Mulyono, kami memanggilnya. Jadi, Jokowi adalah bapak yang berorientasi pada keluarga)

Pernyataan ini dilempar atas respon kondisi darurat demokrasi di Indonesia. Istilah Raja Jawa dan Dinasti menyeruak lantaran aturan batas usia calon wakil presiden diacak-acak demi memuluskan langkah putranya maju dalam kontetasi politik.

Beranjak dari fenomena tersebut, darurat demokrasi di Indonesia sebenarnya dialami oleh semua masyarakat. Dalam konteks Hybrid, Masduki memberikan contoh soal penggunaan internet dan media digital. Di Indonesia masyarakat sah-sah saja memiliki akun media sosial ganda.

Bahkan dengan perasaan yang tenang, pengguna menganggap internet adalah ruang kolaboratif yang transparan akibat provokasi yang yang selama ini dilanggengkan.

So why we discuss about public spare? This is an idea of (quotation?) of wider context Indonesia with other countries. If you read about this decription this tell us in positive ways that internet is forum for public, can share global ownership, everyone can have social media account, right?

Sementara, yang terjadi di Indonesia adalah ketika masyarakat menyerukan sebagai oposisi dan mengkritik pemerintah tak lama pihak kepolisian akan meringkusnya. “Let say, the index like the opposite site internet is mythology or reality?, ” (“Katakanlah, indeks seperti situs internet yang berlawanan adalah mitos atau kenyataan?”)

Sementara dalam aksi unjuk rasa secara langsung, masyarakat Indonesia tak serta merta bisa melakukannya begitu saja. Persoalan administratif perizinan, jika tidak para aparata akan datang dan menghentikan dengan alasan tak berizin.

Menanggapi fenomena tersebut, Nico Carpentier yang juga terlibat dalam diskusi tersebut menegaskan jika kondisi di Indonesia sangat bermasalah, ia meyakini jika hybridity dan demokrasi seharusnya tidak melanggar hak asasi manusia.

“We shouldn’t celebrate hybridity anymore, we should definitely like get the problematic part, and I think there celebration of hybridity like we have some really good things in our society and we found human rights at that time, I think that the probably the limits,” ungkap Nico Carpentier.

(“Kita seharusnya tidak merayakan hibriditas lagi, kita seharusnya mendapatkan bagian yang bermasalah, dan saya pikir perayaan hibriditas seperti kita memiliki beberapa hal yang sangat baik di masyarakat kita dan kita menemukan hak asasi manusia pada saat itu, saya pikir itu mungkin batasnya,”)

Atas darurat demokrasi di Indonesia, Masduki menyebut jika negara Indonesia lebih cocok disebut sebagai negara dengan paham monarki.

“I do agree with many critical scholars that say Indonesia is not really republic, but this is monarchy,” tandasnya.

(“Saya setuju dengan banyak sarjana kritis yang mengatakan bahwa Indonesia tidak benar-benar republik, tetapi ini adalah monarki,”)

Nico Carpentier, Hubungan Media dengan Demokrasi hingga ‘Political Struggle’
Reading Time: 3 minutes

Nico Carpentier merupakan Extraordinary Professor dari Charles University yang ditunjuk menjadi keynote speaker dalam perhelatan The 7th Conference on Communication, Culture and Media Studies (CCCMS) 2024 dalam tema Hybrid pada 28 Agustus 2024 di Auditorium FPSB UII.

Pada kesempatan itu Nico menjelaskan bagaimana hubungan media dengan demokrasi yang menjadi perjuangan politik atau political strunggle. Materi tersebut dipaparkan sesuai dengan konteks hybrid pada 7th CCCMS 2024.

“What I wanted to talk about is very much in line with the main theme of the conference, hybridity. Although I might once in a while translate it as a discussion on contingency, which is for me, quite close to the logics of hybridity,” ujar Nico membuka presentasinya.

(“Apa yang ingin saya bicarakan sangat sesuai dengan tema utama konferensi ini, yaitu hibriditas. Meskipun sesekali saya mungkin akan menerjemahkannya sebagai diskusi tentang kontingensi, yang bagi saya cukup dekat dengan logika hibriditas,”)

Baginya, demokrasi dalam konteks hybrid merupakan kontruksi sosial yang selalu mengikuti kondisi politik dan budaya suatu negara. Sementara, media memiliki peran ganda. Mulai dari ruang untuk menegosiasikan hingga perdebatan bagi elit politik, kritik masyarakat dan media itu sendiri, namun juga menjadi kekuatan perjuangan politik.

“And I will come back to the 2011 book, rest assured, but this is important for me. But I will also start by talking a bit about the discursive material, because that theoretical model, that (ontology?) will allow me to put emphasis on the role of hybridity and contingency. It’s actually a main theoretical framework that I can use to emphasize the importance of hybridity and contingency, together with, and that’s also in the title, the notion of political struggle. Because I would like to emphasize that when we start thinking about the relationship of media and democracy, we need to think about this issue from the perspective of political struggle,” tambahnya.

(“Dan saya akan kembali ke buku tahun 2011, yakinlah, tapi ini penting bagi saya. Tetapi saya juga akan memulai dengan berbicara sedikit tentang materi diskursif, karena model teoritis itu, (ontologi?) akan memungkinkan saya untuk menekankan peran hibriditas dan kontingensi. Itu sebenarnya adalah kerangka teori utama yang dapat saya gunakan untuk menekankan pentingnya hibriditas dan kontingensi, bersama dengan, dan itu juga ada di dalam judul, gagasan tentang perjuangan politik. Karena saya ingin menekankan bahwa ketika kita mulai berpikir tentang hubungan media dan demokrasi, kita perlu memikirkan masalah ini dari perspektif perjuangan politik,”)

Dalam perjuangan politik, peran berbagai pihak bisa jadi sangat besar, berbahaya, dan tak terduga. Jika elit politik bisa saja mengendalikan peran media, peran masyarakat juga demikian.

“In many cases, high level of democracy being more ethical, high citizen participation even high dangerous in some cases,” ungkapnya.

(“Dalam banyak kasus, tingkat demokrasi yang tinggi menjadi lebih etis, partisipasi warga yang tinggi bahkan berbahaya dalam beberapa kasus,”)

Fenomena tersebut kerap terjadi dalam dunia politik di Indonesia terutama, maka sudah selayaknya jurnalis bekerja atas dasar kebenaran. Bukan ikut turut sebagai buzzer politik untuk melanggengkan salah satu pihak yang ingn berkuasa.

“The journalists have power on it. But we have to point it that we ask them (journalists) not as journalist but deeply for community responsibilities,” tegasnya.

(“Para jurnalis memiliki kekuatan di dalamnya. Namun kami harus menekankan bahwa kami meminta mereka (jurnalis) bukan sebagai jurnalis, tetapi lebih kepada tanggung jawab kepada masyarakat,”)

Nico mengaku sangat bersyukur hadir dalam 7th CCCMS 2024 karena akan mendapatkan berbagai perspektif dan insight dari para presenter yang hadir dari berbagai negara.

“My pleasure to be able to listen to you. Because that’s obviously what conferences are about, is to create dialogues between many different voices. And it’s good to hear that people from many different countries have been, so thanks for making this possible,” ujaranya dalam sesi perkenalan.

(“Senang sekali bisa mendengarkan Anda. Karena memang itulah tujuan dari konferensi ini, yaitu untuk menciptakan dialog di antara banyak suara yang berbeda. Dan senang mendengar bahwa orang-orang dari berbagai negara telah hadir, jadi terima kasih karena telah membuat hal ini menjadi mungkin,”)

Penulis: Meigitaria Sanita

Kuliah umum
Reading Time: 2 minutes

Media Sosial dan Masa Depan Kemanusiaan menjadi tajuk pada pelaksanaan Kuliah Umum Pascasarjana Universitas Islam Indonesia (UII) pada 27 April 2024. Topik ini dipilih karena memiliki urgensi bagi kehidupan di masa mendatang. Secara sadar atau tidak, media sosial telah mengubah banyak hal termasuk dalam preferensi seseorang terhadap apapun termasuk politik.

Materi kuliah umum ini disampaikan oleh Prof. Dr.rer.soc. Masduki, S.Ag., M.Si, dosen Prodi Ilmu Komunikasi UII yang fokus pada kajian Media Policy, Comparative Media System, Public Media and Journalism, serta Media Activism.

Sebelum kuliah umum dimulai Prof. Dr. Jaka Nugraha, S.Si., M.Si. sebagai Wakil Rektor Bidang Pengembangan Akademik dan Riset pada sambutannya menyampaikan terkait bagaimana media sosial tak cukup diimani dampak positifnya saja. Melainkan juga bagaimana berfikir kritis terhadap perkembangan teknologi digital dan bagaimana menyelesaiakan berbagai persoalan yang terjadi.

Sementara itu, sudah saatnya bagi tugas institusi pendidikan untuk terus memberi wadah saling belajar dan membuka diri demi masa depan kemanusiaan yang lebih baik

“Begitu dahsyatnya perpecahan polemik yang terjadi di media sosial masing-masing karena sudah terkungkung oleh sudut pandang masing-masing. Tentunya kita di dunia akademik ini harus membuka diri, membuka pemikiran kita bahwa suatu masalah bisa dilihat dari berbagai sisi,” ujarnya saat membuka Kuliah Umum Pascarjana, di Ruang Teatrikal Lantai 2, Gedung Kuliah Umum Dr. Sardjito UII.

Dipandu oleh Dr. Herman Felani, S.S., M.A. kuliah umum itu dimulai dengan statement yang cukup menggugah mahasiswa.

“Orang mengakses media sosial itu seperti dopamine, ngeposting sesuatu nunggu di-like, dikomen kalau engga nanti dia engga bahagia akhirnya generasi milenial banyak yang stres. Kalau begini masa depan kemanusiaan apakah bisa terwujud dengan sesuai harapan kita?” ujarnya.

Menjawab keresahan tersebut Prof. Masduki menyempaikan materi Media Sosial dan Dehumanisasi. Secara umum beliau menjelaskan dua perspektif terkait media sosial yakni digital optimist yang memandang perkembangan ini adalah peluang besar yang bisa dimanfaatkan secara maksimal. Kedua digital pesimis, bagaimana sebagai subjek pengguna tak hanya percaya dengan peluang namun percaya bahwa manusia adalah objek yang dimanfaatkan oleh platform.

Lebih dalam, beliau memaparkan bagaimana media sosial dalam kehidupan sosial politik mampu mengubah persepsi seseorang secara masif. Terbukti pada sepuluh tahun terakhir, akibat media sosial politik di Indonesia sangat mudah dinormalisasi.

“Medsos bukan penyubur demokrasi saat ini tapi pengubur demokrasi,” ujarnya.

Situasi mencekam terjadi di media sosial pada tahun 2017 terkait polarisasi politik pilkada DKI, hingga normalisasi politik dinasti Jokowi pada Pemilu 2024.

“Terjadi di Indonesia terjadi fabrikasi terhadap slogan Gemoy. Orang yang tadinya keras, militer, tiba-tiba di medsos isinya joget-joget dan anda suka mungkin bukan anda tapi keluarga kita jadi ini disinformasi,” ujarnya

“Saya enggak bicara politiknya, tapi media sosial membuat kita menormalkan yang tidak normal. Mungkin pak Jokowi tidak keliru sekali tapi orang yang berbisnis dengan media sosial, free rider orang ikut meramaikan begitu asal dia bisa klaim subcribernya berapa, viewersnya berapa akhirnya dapat duit,” tambahnya.

Demi masa depan manusia yang lebih baik, ada tiga solusi yang dirangkum oleh Prof. Masduki, pertama pendekatan regulasi ala Eropa: digital service act, digital citizenship act, publisher right, anti disinformation act; kedua, pendekatan akademik mendorong fakultas hukum dan sosbud atau isipol untuk mengkaji digital transformation and human right issues; ketiga pendekatan kultural: literasi digital dalam spirit kedaulatan digital.

Selengkapnya: https://www.youtube.com/watch?v=Y1aiZkuG8Z8

 

Penulis: Meigitaria Sanita