Tag Archive for: kekerasan seksual

gender equality
Reading Time: 2 minutes

Gender equality is fundamentally a human right. It means that all individuals regardless of their gender, race, or class should have equal opportunities, rights, and dignity in society. Beyond being a moral obligation, gender equality is essential for creating peaceful communities, unlocking human potential, and improving lives. In today’s digital era, social media has emerged as one of the most powerful tools for promoting gender equality.

Social media provides a platform for individuals to share their stories and experiences, which fosters advocacy, raises awareness, and drives systemic change. Its global reach and accessibility have contributed to significant shifts in how gender equality is perceived and addressed around the world.

Social media plays a significant role in promoting gender equality by offering a platform for marginalized groups.  For example, hashtags like #HeForShe and #EqualPay have sparked widespread discussions and mobilized action worldwide. Instagram, Twitter, and TikTok enable users to share personal experiences of discrimination and success stories, amplifying diverse voices.

For instance, the #MeToo movement, which originated in Hollywood, became a global phenomenon that exposed systemic harassment and discrimination across industries, including sports, media, and academia. It not only encouraged survivors to share their stories but also led to changes, such as stricter workplace harassment policies in countries like the United States, India, and France. Similarly, the #HeForShe campaign launched by UN Women encouraged men to take an active role in advocating for gender equality and challenging traditional gender norms.

Social media makes a significant contribution to gender equality, but it also has risks. One major issue is misinformation. When false information spreads, it can create confusion and harm the cause of gender equality. Also, insensitive posts can reinforce stereotypes or make light of serious issues, which can hurt people’s understanding of gender issues. For instance, false claims about gender pay gaps or exaggerated statistics on women’s participation in politics can undermine efforts for equality. In some cases, such misinformation is intentionally spread by groups opposing gender rights movements. This creates mistrust and diverts focus from real issues.

Another critical challenge is the prevalence of online harassment and hate speech. Platforms like Instagram and Twitter often become breeding grounds for trolls who target individuals advocating for gender equality. Survivors of gender-based violence, in particular, face threats, victim-blaming, and silencing tactics that discourage them from speaking out. For example, many women who share their experiences with harassment or assault online report receiving abusive comments, which can retraumatize survivors and deter others from joining the conversation.

To address these challenges, a multi-faceted approach is required:

  1. Platform Responsibility: Social media companies must take greater responsibility in moderating content. Implementing stricter policies against hate speech, increasing transparency in algorithm design, and promoting educational campaigns can create a safer online environment.
  2. Government Regulation: Governments can play a role in regulating online harassment by enacting and enforcing laws that protect individuals from cyberbullying, hate speech, and gendered abuse.
  3. Community Support: Encouraging online communities to support marginalized voices and report abusive behavior can help build a more inclusive digital space. Initiatives that celebrate positive narratives and allyship can shift othe nline discourse in a constructive direction.

Despite challenges posed by online harassment, and misinformation social media remains a vital tool for empowering people, allowing them to share their experiences and advocating for their rights. Ultimately, Its potential to unite people and challenge societal norms makes it essential for achieving gender equality.

 

References:

 

Written by: Thrya Abdulraheem Motea Al-aqab

Edited by: Meigitaria Sanita

Kekerasan seksual jurnalis perempuan
Reading Time: 4 minutes

Perempuan yang bekerja pada sektor media seperti jurnalis tentu memiliki peluang bersuara dengan lantang menanggapi isu kesetaraan. Ironisnya, jurnalis perempuan justru menerima banyak kekerasan hingga kelayakan upah yang tak setara dengan jurnalis pria. Jika dirimu perempuan yakin mau jadi jurnalis? Tingkat kekerasan tinggi, gaji masih belum mumpuni.

Dalam rangka merayakan “Hari Perempuan Internasional” 8 Maret 2023 sudah selayaknya kita tahu jika banyak perempuan yang mengalami kondisi mengerikan dan penuh diskriminasi. Perlu diketahui Hari Perempuan Internasional merupakan bentuk dukungan kepada seluruh perempuan di dunia yang memilih jalan hidupnya diberbagai bidang, mulai dari perempuan karier hingga ibu rumah tangga yang berhak untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Hari Perempuan Internasional juga diartikan sebagai titik balik untuk memperjuangkan hak mengingat perempuan memiliki pengaruh besar dalam advokasi berbagai isu.

Berdasarkan riset yang dilakukan oleh PR2Media dengan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) sebanyak 82,6 persen jurnalis perempuan mengalami kekerasan seksual. Riset dilakukan kepada 852 jurnalis perempuan yang tersebar di 34 provinsi di Indonesia. Setidaknya 704 perempuan memiliki pengalaman kekerasan seksual sepanjang menjalani kariernya.

Bagaimana fakta ini cukup mencengangkan bukan? Ternyata di tengah upaya kesetaraan gender yang digaungkan oleh berbagai pihak masih banyak perempuan yang posisinya tidak aman dan menerima perlakuan diskriminatif.

Lantas apa saja bentuk kekerasan serta tindakan diskriminatif yang diterima jurnalis perempuan selama menjalani profesinya, simak hasil laporan riset berikut ini.

Baca juga: “Riset: jurnalis perempuan masih menjadi target rentan kekerasan”

Kekerasan yang dialami jurnalis perempuan di Indonesia relatif tinggi

Meski memiliki kesempatan untuk bersuara lantang nyatanya jurnalis perempuan masih tidak aman dalam belenggu kekerasan seksual. Tingginya kasus kekerasan seksual tentu menjadi masalah besar yang perlu mendapatkan perhatian dari berbagai pihak.

704 dari 852 jurnalis dari 34 provinsi di Indonesia mengaku memiliki pengalaman kekerasan seksual selama bekerja.  Dari riset yang dilakukan PR2Media dan AJI mereka mengalami pelecehan seksual ataupun serangan seksual di kantor dan luar kantor, bahkan di lokasi liputan. Perlu diketahui kekerasan seksual dialami secara daring maupun luring. Fakta selanjutnya, pelaku kekerasan terhadap jurnalis perempuan juga berasal dari rekan kerja sebesar 20,9 persen dan atasan 6,9 persen.

Berikut data yang ditemukan oleh PR2Media dan AJI terkait kekerasan seksual yang dialami jurnalis perempuan.

  1. Body shaming secara luring (58,9% dari total responden),
  2. Catcalling secara luring (51,4%),
  3. Body shaming secara daring (48,6%),
  4. Menerima pesan teks maupun audio visual yang bersifat seksual dan eksplisit secara daring (37,2%),
  5. Sentuhan fisik bersifat seksual yang tidak diinginkan secara luring (36,3%),
  6. Komentar kasar atau menghina bersifat seksual secara luring (36%),
  7. Komentar kasar atau menghina bersifat seksual secara daring (35,1%),
  8. Diperlihatkan pesan teks maupun audio visual yang bersifat seksual dan eksplisit secara luring (27,2%),
  9. Dipaksa menyentuh atau melayani keinginan seksual pelaku secara luring (4,8%), dan
  10. Dipaksa melakukan hubungan seksual secara luring (2,6%).

Sementara itu, terkait ranah daring dan luring, sebagian besar jurnalis mengalami kekerasan di ranah daring sekaligus luring (37% dari total responden), lalu daring saja (26,8%), dan luring saja (18,2%). Hanya 17,4% (148) responden yang tidak pernah mengalami kekerasan seksual apa pun dalam karier jurnalistik mereka.

Diskriminatif dan gaji yang belum mumpuni

Jika kekerasan masih menjadi pil pahit bagi sebagian besar jurnalis perempuan ternyata masih ada pola diskriminatif yang tumbuh subur. Isu soal gaji yang lebih rendah daripada pria hingga diskriminatif tugas di lapangan hanya karena persoalan gender.

Hasil riset yang dilakukan AJI Jakarta soal Survei Upah Layak 2021 ternyata masih ada jurnalis perempuan yang diberi gaji lebih rendah. 5 dari 99 jurnalis perempuan yang bekerja maksimal 5 tahun mengaku ada perbedaan signifikan terkait gaji jurnalis perempuan dengan laki-laki. Sedangkan 41 responden mengaku tidak ada perbedaan gaji, dan 54 lainnya tidak mengetahui sama sekali ada atau tidaknya perbedaan gaji.

Berdasarkan upah layak bagi jurnalis tahun 2022 yakni sekitar Rp 8,3 juta, faktanya sebagian jurnalis digaji dengan ketentuan UMP. Padahal gaji yang rendah tentu akan berpengaruh terhadap profesionalisme jurnalis seperti isu suap dan lainnya. Sementara etika dalam jurnalis dituntut untuk bekerja secara profesional , memihak kebenaran, serta kepentingan masyarakat luas.

Riset AJI bersama Internasional Federation Journalist (IFJ) pada akhir 2020 ternyata upah minimum tak berpihak kepada jurnalis. Setidaknya respoden yang terdiri dari 700 jurnalis mengungkap 83,5 persen jurnalis terdampak ekonomi dari pandemi, berupa pemotongan honor (53,9 persen), pemotongan gaji (24,7 persen), Pemutusan Hubungan Kerja (5,9 persen), dan dirumahkan (4,1 persen).

Melihat banyaknya potongan gaji tersebut apa kabar dengan jurnalis perempuan yang sejak awal menerima upah lebih rendah?

Beralih dari diskriminasi gaji, ternyata jurnalis perempuan juga menerima diskriminasi soal tugas di lapangan. Menurut penuturan Erlina Fury Santika salah satu jurnalis media nasional di Jakarta mengaku pada saat dirinya menjadi reporter pembagian pos liputan juga berbasis gender.

Sejak awal kesempatan dan jenis pekerjaan yang dilakukan antara jurnalis perempuan dan laki-laki berbeda. Erlina menyebut paling sering mengalami diskriminasi soal tugas lapangan. Isu potensial lebih banyak diberikan kepada jurnalis laki-laki.

“Perbedaanya di pos liputan dan itu terasa sekali. Liputan yang dianggap berat diserahkan ke laki-laki misalnya soal hukum, politik selalu didominasi laki-laki,” terangnya saatdihubungi melalui pesan WhatsApp pada 8 Maret 2023.

Ia menambahkan kondisi itu membuatnya merasa tidak nyaman, terlebih jurnalis perempuan juga butuh pengembangan kualitas di bidang jurnalistik dan liputan yang beragam. Hingga akhirnya Ia mantap untuk selalu mengajukan diri.

“Ada (isu potensial dan urgen) tidak tercover karena semua jurnalis laki-laki gak ada yang lowong akhirnya mengajukan diri,” terangnya.

Ketimpangan yang dialami jurnalis perempuan masih terjadi padahal menurut Anggota Dewan Pers Ninik Rahayu kesenjangan gaji yang diberikan kepada jurnalis perempuan bias disebabkan adanya bias yang sistematis terhadap perempuan dalam bekerja. Misalnya saja, jurnalis perempuan yang memang selama ini “dibedakan” pekerjaannya dengan laki-laki, sehingga kesempatan yang berkaitan dengan promosi gaji atau bonus pun juga berbeda.

“Sejak awal jenis pekerjaannya sudah dibedakan, kenapa (bisa jadi) mendapatkan upah yang berbeda,” katanya dilansir dari konde.co.

Artikel ini ditulis untuk memperingati Hari Perempuan Internasional 2023

Penulis: Meigitaria Sanita

Reading Time: 2 minutes

Many say that the Japanese Population Age was a New Age, but it is also widely known as the Darkest Age of Colonialism. There are many stories of how the atrocities during the Japanese occupation were recorded in the oral history and the mass media published at that time.

On August 29, 2020, in the discussion of the Amir Effendi Siregar (AES) Forum, Iwan Awaluddin Yusuf, an UII Lecturer in Communication Science Department who has researched a lot about gender-sensitive journalism, shared his data findings on the Japanese colonization in Indonesia. This fact is widely published in the media reporting on women. How women are represented in Japanese media and journalistic techniques. Not only in newspaper coverage, but also in comics.

Afraid to be taken away

At that time Indonesian women were very afraid to look good. “They are afraid, so they will dress as badly as possible for fear of being taken away,” said Iwan. At that time women had to give their energy, thoughts, skills, and even possessions for the benefit of the Japanese colonizers.

So women who are good, beautiful, healthy, polite will be taken as jugun ianfu (comfort women who are actually prisoners for sex slaves during the Japanese occupation) or fujinkai (female soldiers who support Japan) who help the war to expand colonization in East Asia.

At that time, the media in Indonesia became a propaganda medium. In fact, not only journalistic media but also comics always portray women as beautiful, able to provide good and healthy meals for families, able to look after children.

Japan is also trying to drown out the narrative of American women. At that time, America wanted to show that women must have an equal position with men with various abilities and intelligence. Meanwhile, Japan, with advertisements in its media, depicts a good woman as being gentle and capable of taking care of  the household.

This is also confirmed by Galuh Ambar, who researched the construction of Indonesian women in the Japanese era. She, through the IVAA grant program, quoted the magazine Pandji Poestaka, which described the construction of new women’s ideas in the household. Pandji Poestaka, for example, wrote, “Now we are facing a new world, a new order, heading for greater east Asia under the leadership of old brother Nippon. Mothers are not the least of our obligations in achieving that noble ideal. Our first duty is to completely eliminate all bad western influences, to clean the household from the smell of the west. ”

At that time the comics became a propaganda tool. You can see the comic Sembadra and Srikandi. In the comic, the Suprapti-Sutarti brothers are depicted in different characters. Suprapti is a girl from home, while Sutarti is a girl who likes marching training, is brave, and manly. Two girls like that who would help Japan realize its dream of becoming Asian leaders at that time.

 

Reading Time: 2 minutes

Isu Sensitif Gender sudah ramai dibicarakan sejak mendekati milenium kedua.  Diawali oleh buku yang ditulis oleh Mukhotib di tahun 1998 berjudul Jurnalisme sensitif Gender diterbitkan oleh PMII. Tapi jika melihat lika liku sejarahnya, jurnalisme sensitif gender ini sudah dimulai jauh di jaman kolonial Belanda.

Iwan Awaluddin Yusuf, salah seorang dosen Ilmu Komunikasi UII yang sedang studi doktoral di Monash University, banyak memaparkan data yang begitu kaya dalam diskusi di Forum Amir Effendi Siregar (AES) pada  29 Agustus 2020.

Dalam diskusi itu ia banyak menceritakan konteks jurnalisme sensitif Gender, literatur, sejarah dan dinamika Jurnalisme sensitif gender serta beberapa kajian riset. Ia juga melihat jurnalisme sensitif gender ini tak sebatas di pemberitaan media, tapi juga terjadi dalam praktik keseharian yg melingkupi dunia jurnalistik.

Misalnya upah karyawan perempuan yang lebih rendah, tidak adanya perlindungan jurnalis perempuan, syarat rekrutmen, tidak adanya ruang laktasi, dan, “tidak adanya toleransi libur untuk perempuan dalam masa menstruasi,” kata Iwan mencontohkan.

Iwan berpendapat, wartawan perempuan dari sisi jumlah meningkat pascareformasi. Peran perempuan dan medianya mulai beragam. Mulai dari media dengan perspektif feminis bermunculan, lalu jurnalis perempuan yang menjadi pemimpin redaksi dan tentu saja bisa menentu kebijakan redaksi. “Tercatat ada 12 Perempuan yang menjadi pemimpin redaksi,” kata Iwan. Muncul juga perkumpulan jurnalis latar belakang perempuan dalam Forum Jurnalis Perempuan Indonesia yang diketuai Uni Lubis, dan Serikat sindikasi.

Ditambah lagi, Iwan juga mengatakan bahwa beberapa media arusutama berbasis di Jakarta bahkan punya jurnalis yang spesialisasi dan idealismenya kuat pada  jurnalisme sensitif gender. “Tak hanya idealisme, tapi juga memiliki pengetahuan dan keterampilan,” imbuhnya.  Merebaknya kasus kekerasan dan pelecehan seksual membuat pendekatan ini menjadi kian masif digunakan.

Perkembangan jurnalisme ini juga membaik. Muncul beragam liputan-liputan bagus menungkap kekerasa seksual sepertu liputan kolaboratif #namabaikkampus. Muncul komunitas yang menjadi media watch dalam peliputan yang sensitif gender. Misalnya remotivi, KNRP, dan mafindo.

Iwan juga mengamati, pada tataran praksis, jurnalis dan jajaran manajemen masih kesulitan dan kedodoran menerapkan jurnalisme ini. Meski pemahaman dan perspektif gender telah banyak dipahami. ”Di lintas departemen, perspektif jurnalisme sensitif gender tak sepenuhnya merata dipahami,” ungkapnya. Tidak ada pelatihan khusus dan kontrol rutin soal pengetahuan jurnalisme sensitif gender.

Dilihat dari babakan sejarah, secara periodisasi, Iwan memberikan bànyak data dan cerita yang melimpah tentang peran perempuan atau data sejarah yang didasarkan pada jurnalisme sensitif gender. Sebagai catatan bahwa Jurnalisme sensitif gender tidak melulu membicarakan perempuan, tetapi juga melihat konteks bagaimana gender dinarasikan dalam masa tertentu.

Dalam membagi sejarah perkembangan jurnalisme sensitif gender, Iwan membagi dalam lima periodisasi milestone Jurnalisme Sensitif Gender. Pertama Era kolonial, era social marxis di bawah Presiden Soekarno,  Era suharto, era transisi reformasi dan era paska reformasi hingga kini.