Tag Archive for: ilmu komunikasi

Kunjungan dari Ilmu Komunikasi UMS ‘Benchmarking Pengelolaan Prodi hingga KTW Mahasiswa’

Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII), menerima kunjungan dari Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS). Kunjungan pada 21 Agustus 2025 tersebut secara spesifik bertujuan untuk benchmarking pengelolaan program studi, strategi peningkatan kelulusan tepat waktu mahasiswa (KTW) mahasiswa, luaran skripsi berbasis karya, hingga pengelolaan laboratorium.

Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi UII, Iwan Awaluddin Yusuf, S.IP., M.Si., Ph.D menyambut kedatangan rombongan dari UMS. Harapannya pertemuan ini mampu membuka berbagai peluang kolaborasi.

“Kita sama-sama belajar proses pertemuan ini membuka peluang kolaborasi yang strategis dan saling melengkapi. Tidak ada kampus yang serba sempurna, oleh karena itu kita perlu berdiskusi untuk membuka peluang kerja sama baik dalam aspek praktis maupun akademis, serta saling melengkapi kekurangan masing-masing. Beberapa inovasi dan keberhasilan lulusannya dapat menjadi bahan pembelajaran bersama,” ungkapnya.

Merespon sambutan, Sidiq Setyawan, M.I.Kom selaku Ketua Prodi Ilmu Komunikasi UMS memaparkan situasi di lembaganya. Khususnya terkait proporsi mahasiswa dan dosen, serta berbagai hambatan dalam kurikulum dan pengelolaannya.

“Kami memiliki 21 dosen (homebas), beberapa di antaranya sedang dalam proses melanjutkan studi,” jelasnya.

“Fakultas Komunikasi dan Informatika mendirikan Pusat Studi Informatika Sosial yang terbuka untuk kolaborasi riset, pengabdian masyarakat, skripsi, serta revisi kurikulum setiap lima tahun sekali guna mempersiapkan lulusan yang adaptif terhadap perkembangan teknologi dan informasi,” tambahnya.

Strategi Jurusan Ilmu Komunikasi Mempersiapkan KTW Mahasiswa

Poin dalam diskusi tersebut bertujuan untuk mengaplikasikan berbagai strategi kelulusan tepat waktu mahasiswa. Dr. Zaki Habibi, sebagai Kaprodi Ilmu Komunikasi UII menjelaskan secara detail penanganan persoalan tersebut.

Dimulai dengan proporsi dosen dan staf dengan berbagai keahlian termasuk sistem perekrutannya. Keterlibatan staf dalam kerja-kerja pendampingan mahasiswa serta pengelolaan laboratorium dan PDMA Nadim yang mendukung tugas akhir mahasiswa.

Di tengah regulasi dari pemerintah yang dinamis, kurikulum di Jurusan Ilmu Komunikasi UII mengacu pada kurikulum 2023.

“Kami terus belajar dan bertumbuh dengan pendekatan strategis dan kultural sekaligus, serta memahami logika dan regulasi kurikulum dan akreditasi yang kerap berubah,” jelasnya.

Kurikulum disesuaikan dengan kebutuhan mahasiswa dan zaman, hasilnya dapat diketahui melalui tracer study (survei). Jika pada beberapa institusi menempatkan magang sebelum tugas akhir, Jurusan Ilmu Komunikasi UII justru menempatkan di akhir. Selain membuat mahasiswa lebih fokus dengan tugas akhir, magang yang bersifat praktik kerap membuat mahasiswa lanjut untuk melakukan kerja profesional.

“Dalam merancang program dan regulasi, kami jujur bahwa kurikulum kami masih bersifat trial dan harus adaptif serta dapat disesuaikan. Kurikulum 2023 menghadirkan perubahan alur mata kuliah, namun bukan berarti substansinya hilang. Kami menempatkan skripsi dan magang di bagian akhir. Perubahan dari konsentrasi menjadi bidang minat ini kami evaluasi melalui hasil tracer study untuk memastikan cakupan kurikulum sudah memadai,” paparnya.

Strategi lainnya adalah menciptakan jalur kelulusan yang beragam mulai dari skripsi, projek karya komunikasi, karya bersama mitra internasional, penulisan artikel jurnal, hingga magang yang laporannya setara skripsi. Hal itu dilakukan untuk memperluas pilihan dan minat mahasiswa.

Usai berdiskusi, rombongan UMS diajak berkeliling dan melihat langsung bagaimana fasilitas pendukung untuk mahasiswa, mulai dari PDMA Nadim dengan berbagai karya dan koleksi, laboratorium, hingga ruang audio visual.

Pidato Pengukuhan Prof. Subhan Afifi: Komunikasi Publik Bidang Kesehatan ‘Kajian Empiris dan Arah Strategis di Era Digital

Komunikasi publik dalam bidang kesehatan di Indonesia masih termarjinalkan. Tak populer seperti komunikasi politik maupun ekonomi. Padahal komunikasi publik merupakan kunci pada mitigasi krisis. Gagasan ini tertuang dalam pidato pengukuhan Guru Besar Prof. Subhan Afifi, S.Sos., M.Si pada 14 Agustus 2025 di Auditorium Kahar Mudzakir UII.

Beliau merupakan dosen sekaligus Ketua Program Studi Magister Ilmu Komunikasi, UII yang beberapa tahun terakhir fokus dalam kajian komunikasi publik bidang kesehatan. Dalam pidatonya yang bertajuk Komunikasi Publik Bidang Kesehatan ‘Kajian Empiris dan Arah Strategis di Era Digital kegagalan komunikasi publik pada pandemi Covid-19 memicu ketidakpercayaan masyarakat kepada pemerintah.

“Komunikasi publik merupakan pilar penting dalam mendorong partisipasi aktif masyarakat untuk menjaga kesehatan bersama. Namun, meskipun krisis kesehatan kerap muncul akibat kegagalan komunikasi, kajian komunikasi publik di Indonesia masih termarjinalkan, kalah dominan dibandingkan ekonomi politik dan health communication. Padahal, pengembangan kajian ini sangat krusial untuk menghadapi persoalan kompleks kesehatan secara efektif,” ujar Prof. Subhan Afifi.

Pandemi Covid-19 yang melanda dunia tahun 2020 hingga 2022 menjadi krisis besar yang tak hanya berdampak pada kesehatan, tetapi juga sosial, ekonomi, dan politik. Di Indonesia, tantangan komunikasi publik selama pandemi menunjukkan adanya pesan kontradiktif, ketidakkonsistenan, campur tangan politik dan ekonomi, hingga ketidakmampuan pemerintah membangun narasi yang efektif dan empatik.

“LP3ES (2020) mencatat adanya 37 pernyataan menyesatkan atau kontradiktif pada fase awal pandemi, yang berdampak pada erosi kepercayaan masyarakat,” ujarnya.

Kajian ini tak sekedar pertukaran pesan, melainkan sarana membangun kesadaran partisipasi masyarakat dalam mengubah perilaku kesehatan. Di era digital, komunikasi keseahatan mengalami berbagai tantangan seperti infodemic (terlalu banyak informasi), fragmentasi narasi, hingga misinformasi di media online. Dalam kondisi tersebut dibutuhkan solusi yang memadukan komunikasi risiko, literasi digital, hingga partisipasi masyarakat.

Prof. Subhan Afifi bersama tim telah melakukan kajian empriris bidang komunikasi kesehatan selama lima tahun terakhir. Penelitiannya telah dipublikasikan di jurnal internasional bereputasi, jurnal nasional terakreditasi, dan prosiding konferensi internasional ini mengkaji perilaku pencarian informasi kesehatan di media sosial, khususnya terkait stunting dan kesehatan perempuan Gen Z. Studi menyoroti pentingnya kredibilitas sumber, kemudahan akses, serta adaptasi pesan dengan budaya lokal.

Penelitian lain fokus pada perilaku pencegahan COVID-19, penggunaan media digital dalam komunikasi kesehatan, dan kepuasan pengguna layanan kesehatan digital, menekankan peran kualitas komunikasi dokter-pasien dan kepercayaan pada platform.

Pandemi COVID-19 memacu perubahan strategi komunikasi kesehatan ke media digital yang efektif bila dirancang kontekstual dengan teknik persuasi emosional dan visual. Model perilaku kesehatan yang dikembangkan menggabungkan faktor psikologis, sosial, dan teknologi dalam memahami perilaku pencegahan dan pencarian informasi.

Secara keseluruhan, kajian ini menegaskan bahwa komunikasi kesehatan di era digital memerlukan sinergi antara riset empiris, adaptasi budaya, dan inovasi teknologi, sebagai dasar strategi komunikasi kesehatan berkelanjutan, terutama di negara berkembang.

Menjawab tantangan komunikasi publik bidang kesehatan, berikut beberapa rekomendasi kebijakan yang ditawarkan.

Poin-Poin Rekomendasi Kebijakan

  1. Pemanfaatan Ekosistem Digital:

Optimalisasi media sosial sebagai kanal utama informasi kesehatan dengan kurasi ketat dan mekanisme mitigasi disinformasi berkelanjutan.

  1. Integrasi Behavioral Insights:

Rancang pesan komunikasi yang tidak hanya informatif tapi juga mampu membentuk keyakinan dan memotivasi tindakan sehat berdasarkan wawasan perilaku.

  1. Standarisasi Layanan Digital:

Perkuat kualitas komunikasi profesional di layanan kesehatan digital dengan menjaga sentuhan humanis untuk meningkatkan kepuasan dan kepercayaan pasien.

  1. Penguatan Kapasitas Riset dan Inovasi:

Dukungan kebijakan untuk memperkuat riset komunikasi kesehatan digital, inovasi, dan kolaborasi internasional agar relevan secara lokal dan global.

  1. Pemanfaatan Figur Publik Berbasis Etika:

Gunakan figur publik kredibel dalam kampanye kesehatan dengan prinsip etika komunikasi dan kesinambungan pesan.

  1. Permanenisasi Strategi Cyber PR:

Jadikan strategi cyber public relations sebagai bagian permanen dalam komunikasi kesehatan dan krisis untuk interaksi dua arah yang berkesinambungan antara pemerintah dan publik.

  1. Pengembangan Kurikulum Lintas Disiplin:

Perkuat pendidikan komunikasi kesehatan di perguruan tinggi dengan pendekatan lintas disiplin (komunikasi, kesehatan masyarakat, kedokteran, TI, psikologi, kebijakan publik).

  1. Pembentukan Pusat Studi Komunikasi Kesehatan:

Dirikan pusat riset, pelatihan, dan advokasi yang menjadi penghubung antara dunia akademik, pemerintah, praktisi media, dan sektor swasta.

Visiting Professor: Method Workshop Arts-based Research

Pertanyaan sederhana dalam workshop kedua “apakah seni mampu menyadi alat dalam penelitian akademik?” jawabannya bisa. Menarik untuk ditelisik.

Sesi diskusi bersama Nico Carpentier, Extraordinary Professor in Media and Communication Studies, Centre for Media Studies, Institute of Communication Studies and Journalism, Faculty of Social Sciences, Charles University, Prague, Czech Republic mengiyakan bahwa kajian ini dibahas mendalam dalam art-based research.

Workshop art-based research fokus pada penelitian berbasis seni. Di Jurusan Ilmu Komunikasi UII, sebagian dosen telah melakukannya. Hasilnya bermacam-macam mulai dari film, buku foto, dan kekaryaan lainnya.

Art-based research sebuah pendekatan yang kerap disebut pergeseran-artistik di dunia akademik lantaran seni dan penelitian saling beririsan. Seolah menantan metode tradisional, art-based research menawarkan untuk memperluas pengetahuan dengan melampau rasionalitas (unsur perasaan, emosi, pengalaman indrawi).

Pendekatan ini menerima kompleksitas dan hibriditas. Disaat bersamaan peneliti harus menyeimbangkan perannya sebagai seniman sekaligus akademisi.

“Arts-Based Research is not only about knowledge but about feeling, experience, and the complexity of being both artist and academic—interacting without hierarchy, embracing hybridity as a source of insight,” jelas Nico.

Seni menjadi alat untuk penyelidikan dan komunikasi, bahasa berperan untuk mengekspresikan pengalaman manusia. Arts-based research menyoroti pentingnya interaksi, kolaborasi, dan kerendahan hati (tidak ada posisi superior).

Dalam penerapannya, art-based research digunakan dalam berbagai tahap mulai pengumpulan data, analisis, interpretasi, hingga presentasi (baik dalam riset seni maupun ilmu sosial). Biasanya hasilnya tentu adalah fitu-fitur estetika.

Dengan menggabungkan kepekaan artistik dan ketelitian akademik, mampu memberikan pemahaman dan representasi yang baru.

Meski nampaknya menarik, art-based research memiliki tantangan terutama soal ekspektasi politi dan epitemologis, hingga pengembangan keterlibatan kritis.

Tujuan Art-based Research

  1. Mengkomunikasikan hasil akademik menggunakan cara non tekstual
  2. Menjangkau audiens non-akademis
  3. Merangsang perdebatan masyarakat

Perbedaan Art-Based Research dengan Metode Lainnya

Quantitative Qualitative Art-based
Numbers Words Stories, images, sounds, scenes, sensory
Data discovery Data collection Data or content generation
Measurement Meaning Evocation
Tabulating writing (Re)presenting
Value neutral Value laden Political, consciousness-raising, emancipation
Realiability Process Authenticity
Validity Interpretation Truthfulness
Prove/convince Persuade Compel, move, aesthetic power
Generalizability Transferability Resonance
Diciplinary Interdisciplinary Transdisciplinary

Usai workshop, para peserta yakni para dosen dan staf Jurusan Ilmu Komunikasi UII diajak berkeliling untuk menyaksikan Photomontage Exhibition: The Construction of Europeanity in the House of European History by Nico Carpentier.

Workshop Art-based Research dalam sesi visiting professor dihelat oleh Magister Ilmu Komunikasi (MIKOM) UII.

Pak Rektor Mengajar: Prinsip Etika dalam Pemanfaatan Akal Imitasi

Pemanfaatan artificial intelligence (AI) dalam dunia akademik nampaknya perlu mendapat perhatian khusus. Alih-alih menyelesaikan tugas secara efisien, justru AI semakin mengambil peran dominan dan menguasai cara berfikir. Bagaimana seharusnya?

Dalam sesi kuliah pakar bersama Rektor Universitas Islam Indonesia (UII), Prof. Fathul Wahid, S.T., M.Sc., Ph.D. pada Sabtu, 19 Juli 2025 keabu-abuan AI dalam bidang akademik dibahas mendalam dalam materi bertajuk “Prinsip Etika dalam Pemanfaatan Akal Imitasi”. Dibuka dengan ilustrasi suasana ruang kelas SD, salah satu siswa menggunakan kalkulator sementara siswa lainnya mengerjakan tanpa bantuan alat.

Sekitar lima menit ratusan mahasiswa Ilmu Komunikasi diajak menganalisis ilustrasi tersebut. “Bagaimana pendapat anda terkait ilustrasi yang saya buat dengan AI ini?” ujar Pak Rektor. Jawaban beragam, mulai dari cara cepat mendapatkan hasil, ketergantungan terhadap alat, hingga perspektif ketidakadilan.

Pertanyaan dilempar ulang, “kalau yang menggunakan kalkulator adalah pedagang di pasar?” seluruh mahasiswa sepakat menjawab tak keberatan. Sama halnya dengan AI, ada etika dalam pemanfaatannya.

Meski demikian, Pak Rektor menekankan bahwa kehadiran AI tidak untuk ditolak melainkan menempatkan AI sebagai mitra kolaborasi yang adil.

“Pendekatan etis dan kolaboratif untuk mengembangkan AI sebagai mitra, bukan pengganti,” ujarnya.

“Perlu perdebatan kritis dan partisipatif untuk arah perkembangan AI yang adil,” tambahnya.

Sementara realita penggunaan AI dalam bidang akademik semakin menjauh dari etika. Secara sadar beberapa mahasiswa memanfaatkannya untuk mengambil alih pengerjaan proyek riset. Riset dari Tirto.id bersama Jakpat tahun 2024 menunjukkan jika 86,21 persen responden (mahasiswa dan siswa SMA) menggunakan AI untuk meyelesaikan tugasnya.

Menyerahkan sepenuhnya tugas pada AI sangat berdampak, secara umum manusia akan kehilangan otonomi berfikir.

“Membuat kalimat saja tidak otonom, membuat kalimat saja diserahkan ke AI. Kita kehilangan kemampuan pengambilan Keputusan,” jelas Pak rektor kepada mahasiswa.

Lebih luas, dampak dalam masyarakat akan menyebabkan terganggunya demokrasi, ekonomi, hingga keadilan. Di Hollywood beberapa pekerja seni, perawat, dan pekerja lainnya melakukan pemogokan kerja selama lima bulan lantaran sistem pengumpulan informasi pada mesin AI mengmbil karya dan riset mereka tanpa persetujuan.

“Karena model AI menggunakan rujukan karya mereka tanpa concern. Ada basis data untuk belajar, dari sini akan digunakan untuk rujukan. Memuat referensi karya-karya tanpa persetujuan,” jelasnya.

Etika Kecerdasan Buatan (AI): Nilai-Nilai Dasar

Empat nilai dasar yang menjadi landasan bagi sistem AI yang bekerja untuk kebaikan umat manusia, individu, masyarakat, dan lingkungan.

  1. Menghormati, melindungi, dan mempromosikan hak asasi manusia, kebebasan dasar, dan martabat manusia
  2. Hidup dalam masyarakat yang damai, adil, dan saling terhubung
  3. Menjamin keragaman dan inklusivitas
  4. Kesejahteraan lingkungan dan ekosistem

Etika Kecerdasan Buatan (AI): Prinsip-Prinsip

  1. Berproporsi dan tidak merugikan
  2. Keamanan dan keselamatan
  3. Keadilan dan non-diskriminasi
  4. Keberlanjutan
  5. Hak privasi dan perlindungan data
  6. Pengawasan dan keputusan manusia
  7. Transparansi dan keterjelaskan
  8. Tanggung jawab dan akuntabilitas
  9. Kesadaran dan literasi
  10. Pemerintahan dan kolaborasi multi-pihak yang adaptif

Lantas, apakah mahasiswa boleh menggunakan AI dalam menyelesaikan tugasnya? Jawaban Pak Rektor “jangan sampai kehadiran AI menginjak martabat manusia,” jawabnya lugas.

Cerita Alumni Ilmu Komunikasi UII Kerja Sesuai Passion hingga Liputan Sepak Bola ke Luar Negeri

Bekerja sesuai passion diyakini akan membawa kenyamanan, antusias, hingga dedikasi yang tinggi pada bidang yang digelutinya. Cerita inspiratif ini datang dari Mozaik Al Isamer, alumni Jurusan Ilmu Komunikasi UII angkatan 2013. Kecintaanya pada penulisan dan olahraga membawanya bergelut pada pekerjaan di bidang digital.

Salah satu kalimat magis yang membuka jalan lebar peluang kariernya ia bagikan dalam sesi wawancara. “Salah satu dosen pernah bilang bahwa lulusan Ilmu Komunikasi harus bisa dua dari tiga hal yakni ngomong (good communication), menulis, dan mengoperasikan alat,” ujarnya membuka sesi wawancara.

Dari pengakuan Ojik sapaan akrabnya, profesi yang dilakoninya cenderung saling berkaitan dari mulai magang hingga terjun ke dunia profesional. Baginya passion sangat penting, bahkan dengan passion ia berkesempatan untuk meliput berbagai pertandingan sepak bola hingga mancanegara.

Penasaran dengan cerita Ojik, simak wawancara berikut:

  • Pekerjaan apa yang kini digeluti, dan mengapa memilih pekerjaan tersebut?

Saya bekerja di bidang digital lebih tepatnya media olahraga. Dulu saat kuliah salah satu dosen pernah bilang bahwa lulusan Ilmu Komunikasi harus bisa dua dari tiga hal. Yang pertama ngomong, menulis, dan mengoperasikan alat. Nah ketika mengoperasikan alat devicenya agak mahal, jadi yang saya tajamkan menulis dan ngomong. Kebetulan saya suka sepak bola, setelah dikorelasikan ketemu bahawa saya suka sepak bola, bisa ngomong, dan nulis yang cocok kerja di media. Itulah kenapa saya memilih pekerjaan ini.

  • Awal mula menggeluti bidang media, apakah ada pengalaman saat kuliah?

Pertama kali magang dari promotion staff di Radio Swaragama FM Jogja, lalu lulus menjadi creative writer salah satu media online, selanjutnya pindah ke federasi bola PSSI, dan sekarang di Sport77.

  • Bagaimana awal membangun Sport77, artinya media ini dirintis dari nol?

Dari relasi teman di pekerjaan sebelumnya ada tawaran untuk membangun bersama, dibangun pada tahun 2021 mulai visi hingga roadmap. Lalu membentuk tim dan terbentuklah sport77. Inilah pentingnya membangun relasi yang kuat.

  • Pengalaman menyenangkan selama bekerja?

Bisa satu kantor dengan teman-teman satu angkatan. Karena membangun bareng-bareng kita bisa eksplor semua hal yang pengen kita lakukan dengan catatan bisa bertanggung jawab. Terus bisa ke Spanyol.

  • Dalam rangka apa datang ke Spanyol?

Ke Spanyol nonton bola, salah satu bagian dari pekerjaan. LaLiga ada representatifnya di Asia Tenggara kebetulan mereka ada campaign untuk memberangkatkan satu media. Kebetulan LaLiga kerjasama dengan TikTok. TikTok memfollow up kita sebagai salah satu media yang kerap kerjasama dan akhirnya kita yang dipilih untuk berangkat. Di Spanyol selama 7 hari di dua kota Barcelona dan Madrid untuk menonton pertandingan. Yang dipilih dari Indonesia hanya Sport77 dan satu orang.

  • Kenapa bisa dipilih, pertimbangan dari LaLiga?

Saya tanya ke LaLiga, kami cukup rajin untuk mengikuti campaign di TikTok, selama beberapa waktu ke belakang kita memang jalan bareng dengan TikTok meliput AFF ke Vietnam, MotoGP Mandalika dan beberapa campaign lainnya. Kebetulan di campaign ini yang pas untuk berangkat dari TikTok tentu memberi SOW kepada LaLiga. TikTok merasa yang paling capable sport77.

  • Apakah bekerja harus sesuai passion, apakah sepenting itu?

Kalau menurutku sebelum menuruti passion pastikan dapur kalian aman dulu. Ketika dapur sudah aman bisa mengejar passion dimana. Namun alangkah lebih baik jika memang passion kalian bisa jadi sumber rezeki yasudah karena yang penting adalah dapur, karena dapur adalah segalanya. Kalau hanya mikirin passion tapi dapur kalian belum keisi waktu terus berjalan, akan bersaing dengan banyak orang dan orang-orang lain stepnya sudah mulai duluan.

Itulah cerita inspiratif yang dibagikan oleh Ojik, harapannya mampu memberi motivasi bagi kalian ya Comms.

Ask the Expert: Memilih Film yang Tepat Sesuai Usia Anak

Memilih film untuk anak wajib hukumnya untuk mempertimbangakan berbagai aspek. Cara mudahnya adalah dengan mamatuhi ketentuan usia yang tertera. Namun, tak sesederhana itu banyak hal mesti orang tua dan pendamping anak pahami.

Akhir-akhir ini sedang Virang film animasi karya anak bangsa, Jumbo kini telah ditonton lebih dari 9,8 juta kali. Nampaknya akan terus bertambah. Dalam artikel ini tidak akan mengkristisi cerita tentang apa di dalam film Jumbo sendiri, melainkan saling belajar soal literasi.

Jumbo menjadi primadona, di tengah kehausan tontonan edukatif film garapan Ryan Adriandy menjadi pelepas dahaga yang menyejukkan. Bahkan soundtracknya Selalu Ada di Nadi menjadi favorit anak-anak di sekolah.

Bersama-sama belajar literasi, apa sebaiknya yang harus dilakukan oleh orang tua, guru, pendamping, hingga pembuat film? Dalam artikel Ask the Expert edisi ketiga, dosen Ilmu Komunikasi UII, Fatma Nurainai Zahra, S.Sos., M.A. yang mendalami kajian media menyampaikan beberapa hal yang penting dalam memilih tontonan untuk anak.

Memilih Tontonan (Film) untuk Anak

  1. Apa pentingnya belajar memilih tontonan yang baik untuk anak-anak?

Anak-anak meniru apapun di sekelilingnya, kita saja ketika melakukan sesuatu anak-anak langsung mengikuti. Jadi kalau mereka melihat film sebagai tontonan itu akan menjadi tuntunan bagi mereka. Sehingga kita sebagai orang di sekelilingnya, sebagai orang tua, guru, dan lainnya punya peran penting membersamai mereka dalam memilih mana tontonan yang bisa menjadi tuntunan untuk mereka.

  1. ⁠Apakah anak hanya penonton pasif, atau mereka bisa berpikir kritis juga?

Pada dasarnya memang anak cenderung lebih pasif karena mereka akan mengikuti tanpa kemudian mempunyai kesadaran akan hal yang dia ikuti itu baik atau tidak, sesuai dengan nilai-nilai atau tidak, belum memiliki nalar yang sempurna (kritis) sehingga pendampingan dari orang tua sangat penting untuk bisa menumbuhkan nalar itu. Misalnya menemani mereka, mengajak diskusi ketika mereka mengkonsumsi sebuah film sehingga mereka bisa belajar dan menikmati secara pasif apa yang meraka tonton.

  1. ⁠Apa yang harus jadi pertimbangan saat membuat film untuk anak?

Film bagi anak tidak hanya sebagai media hiburan saja, tapi lagi-lagi menjadi media pembelajaran. Bisa mengembangkan kreativitas anak-anak, media belajar literasi, pengembangan nalar kritis, mengembangkan berbagai kemampuan diri mereka maka itu tentu harus dieseuaikan dengan fase perkembangan dan pertumbuhan anak-anak. Film bisa mengandung beberapa hal seperti nilai-nilai edukasi, nilai-nilai kebudayaan yang sesuai dengan mereka. Sehingga film bisa membersamai mereka dalam memahami dunia di sekitarnya.

  1. Apakah tontonan bisa menjadi alat belajar komunikasi untuk anak?

Bisa banget, apalagi anak-anak cenderung membayangkan yang di sekitarnya, lebih imajinatif, lebih kreatif sehingga ketika menerima pesan-pesan dari film apalagi anak yang sudah bisa menerima alur cerita panjang empat tahun ke atas itu sudah bisa memahami alur cerita panjang, sehingga ketika disampaikan lewat film pesan-pesan dan nilai yang ada di film bisa ditangkap oleh anak. Tetapi harus ada catatan ada diskusi yang dilakukan oleh anak dan orang tua, sehingga kita bisa memastikan apa yang dipahami oleh anak, apa yang diterima oleh anak dari film yang dikonsumsi. Sehingga tercipta pembelajaran yang baik, pembelajaran yang menyenangkan karena menonton film adalah sebuah memori yang menyenangkan yang akan disimpan oleh anak.

Visiting Professor Merlyna Lim dalam Grand Launching MIKOM UII

Visiting professor menjadi salah satu program unggulan di Magister Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII). Resmi diluncurkan pada Selasa, 29 April 2025 di GKU Dr. Sardjito UII kali ini MIKOM kedatangan Prof. Merlyna Lim dari Carleton University, Canada.

Lahirnya MIKOM tercatat sebagai anak ke 60 bagi UII, dalam momen bersejarah ini Grand Launching dikemas apik melalui rangkaian acara Asia Tenggara dalam Membingkai Media Digital dan Aktivisme Sosial. Dihadiri oleh kolega dari akademisi dari berbagai penjuru, NGO, hingga rekan media, Grand Launching dilanjutkan dengan diskusi bedah buku “Social Media and Politics in Southeast Asia” dengan pembahas Prof. Merlyna Lim dan Prof. Masduki.

Dipandu oleh Kaprodi Ilmu Komunikasi UII, Dr. Zaki Habibi diskusi berlangsung responsif. Prof. Merlyna Lim sebagai penulis buku yang diterbitkan oleh Cambride University Press membedahnya dengan sangat detail.

Pemaparan dari Prof. Merlyna Lim

Pemaparan dari Prof. Merlyna Lim. Image: Desyatri Parawahyu

Buku tersebut ditulis untuk memperluas studi di Asia Tenggara dalam konteks hubungan kompleks antara media sosial dan politik. Peran ganda pada media sosial justru menjadi penyebab utama praktik otoriter melalui politik algoritmik. Termasuk dalam kontestasi pemilihan umum, di Indonesia adalah contoh nyata.

Secara tegas, Prof. Merlyna Lim menyebut bahwa media sosial tidak pernah diciptakan untuk mendukung sistem demokrasi suatu pemerintahan.

“Sosial media tidak pernah diciptakan untuk empowering dan pasrtisipasi untuk demokratis. Tapi dasarnya kapitalis bukan untuk semua orang untuk berkomunikasi secara sehat,” terangnya.

Dari politik algoritmik, kapitalisme komunikatif di media sosial justru lebih mengutamakan pemasaran algoritmik dibanding diskusi publik. Dampaknya kualitas demokrasi semakin memburuk.

Algoritma di media sosial benar-benar mengacaukan rasionalitas manusia, Prof. Merlyna Lim menyebutnya mobilisasi afektif biner, bagaimana “algoritma mendorong emosi ekstrem yang memperkuat dua sisi aktivisme yakni progresif dan regresif,” jelasnya.

Parahnya, dampaknya akan meluas mulai dari polarisasi filter bubble (kantong algoritmik), disinformasi, hingga tren otokratisasi.

Prof. Masduki sebagai pembahas selanjutnya menyebut fenomena politik di Indonesia. Contoh nyata yang terjadi adalah kecenderungan politik dinasti.

“Ada satu kecenderungan di Asia Tenggara politik dinasti. Masalah serius di Asia Tenggara, apalagi di Indonesia termasuk di kota-kota dan daerah,” ungkapnya.

Tak hanya itu, Prof. Masduki juga menunjukkan data bahwa hanya 8 persen dari populasi dunia yang hidup dalam demokrasi penuh, sisanya campuran termasuk Indonesia.

Menjawab persoalan tersebut, Prof. Masduki mencoba memberikan tiga tawaran solusi yakni melalui reformasi struktural politik, merebut dan merayakan kembali ruang digital (deliberasi isu kerakyatan, demokrasi substansial), dan memperdalam demokrasi yang tangguh untuk politik yang selalu ada.

Mikom UII

Tercatat 20 tahun berdiri Departemen Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII) akhirnya secara resmi lakukan grand launching Magister Ilmu Komunikasi (MIKOM) pada Selasa, 29 April 2025 di GKU UII. Fokus pada kajian Digital and Environmental Communication harapannya mampu menjadi solusi dari permasalahan bangsa.

Iwan Awaluddin Yusuf, Ph.D selaku Ketua Jurusan menyampaikan rangkuman perjalanan lahirnya program MIKOM yang akan segera beroperasi September mendatang.

“Momentum bersejarah untuk Departemen Ilmu Komunikasi UII, setelah sekian lama berproses dengan bangga dan senang hati melahirkan MIKOM. Semoga ini menjadi bagian dari proses lahirnya solusi dari permasalahan bangsa,” jelasnya membuka acara.

Sebelumnya benchmarking ke beberapa universitas yang menjalankan magister komunikasi dilakukan, mulai dari UI, UMN, LSPR, hingga NTU Singapura. Dari perjalanan tim pendiri berdiskusi panjang dan menentukan arah kajian yakni Digital and Environmental Communication.

MIKOM UII

Pemaparan MIKOM UII oleh Prof. Subhan Afifu. Image: Desyatri Parawahyu

Penjelasan detail dipaparkan oleh Prof. Subhan Afifi selaku Kaprodi MIKOM UII, “Belum banyak kajian yang melibatkan perspektif kemanusiaan environmental humanities, bukan hanya mengkaji namun juga mengarahkan mahasiswa pada tindakan nyata dalam menanggapi isu digital dan ekologi,” ujarnya.

Rektor UII, Prof. Fathul Wahid hadir untuk menandai grand launching MIKOM UII, beliau memberikan berbagai contoh dinamika politik di dunia yang dipengarui oleh komunikasi dan media digital.

Mulai dari kasus korupsi di Filipina soal korupsi tahun 2001 yang menimbulkan aksi melalui mobilisasi pesan SMS dan memblokade salah satu jalan, hingga penciptaan kesan positif pada perpolitikan di Indonesia 2024 lalu.

Lahirnya MIKOM menambah pilihan kajian humaniora di UII, “Kehadiran MIKOM menambah portofolio dan menjadi pilihan anak bangsa untuk kuliah di UII,” pungkasnya.

Setelah sesi Grand Launching MIKOM usai, dilanjukan dengan diskusi buku “Social Media and Politics in Southeast Asia” bersama Prof. Merlyna Lim, Canada dari Carleton University, Canada beserta Prof. Masduki.

Berikut lima alasan mengapa mengambil fokus Digital and Environmental Communication:

Transformasi Digital dalam Pola Pikir, Interaksi, dan Komunikasi

  • Teknologi digital mengubah pola pikir, perilaku, dan komunikasimanusia secara radikal, termasuk munculnya media baru yang menggantikan media lama.

Kebutuhan Literasi Digital dan Kemampuan Analitis Tingkat Lanjut

  • Tidak cukup mahir teknis; perlu kemampuan analitis untuk memahami perubahan sosial-budaya dan mengembangkan strategi kampanye isu lingkungan.

Krisis Ekologis Global dan Pentingnya Perspektif Kemanusiaan: Environmental Humanities

  • Krisis lingkungan (perubahan iklim, punahnya spesies); Indonesia: Mega Biodiversity vs Biodiversity Hotspot.
  • Akar krisis: relasi timpang manusia-alam dalambudaya modern; kontestasi kuasa dalam isu lingkungan di media digital.
  • Dibutuhkan pendekatan lintas disiplin berbasis budaya dan kemanusiaan (ecocriticism, political ecology, dll)

Digitalisasi dan Lingkungan: Konstruksi Sosial dan Tindakan Nyata

  • Teknologi digital membentuk persepsi masyarakat tentang lingkungan.
  • Kampanye digital mendorong aksi nyata seperti Urban Farming, Gerakan Zero Waste, Penanaman Pohon, Climate Diet, Bersih Pantai/Sungai, Donasi Konservasi, dan Kampanye Transportasi Ramah Lingkungan.

Kontribusi KajianKomunikasi: Dari Representasi ke Intersubjektivitas

  • Komunikasi perlu bergeser dari sekedar membicarakan lingkungan menjadi berkomunikasi dengan lingkungan.
  • Paradigma more-than-human communication mengakui non-human sebagai subjek komunikasi.
  • Diperlukan pendekatan komunikasi dan humaniora untuk memperkaya studi lingkungan di Indonesia.

Informasi pendaftaran selengkapnya dapat diakses melalui link berikut: https://communication.uii.ac.id/magister/

Abandoned and Beyond: Sebuah Buku Foto yang Merayakan Keterbengkalaian Ruang Kota

Jika buku karya dosen umumnya berisi rentetan teori dan “sangat akademis” berbeda dengan buku foto yang digarap Dr. Zaki Habibi. Tumpukan gambar yang dipotretnya lebih dari satu dekade akhirnya terbit menjadi buku foto berjudul Abandonded and Beyond.

Buku foto berkonsep artisanal photo book itu telah launching pada 2 Februari 2025 lalu dengan menggandeng beberapa pihak antara lain Gueari Galeri sebagai penerbit hingga yayasan riset visual Mata Waktu.

Dari catatan penulis, materi fotografi di dalamnya sebagian besar berasal dari proyek riset yang dilakukan di beberapa kota termasuk Yogyakarta. Pada momen itu, pemandangan ruang terbengkalai di kota menarik perhatiannya. Hingga, foto-foto yang terkumpul sempat dipamerkan pada gelaran COMART 2015 di Taman Budaya Yogyakarta (TBY).

Abandoned and Beyond: Sebuah Buku Foto yang Merayakan Keterbengkalaian Ruang Kota

Launching buku Abandoned and Beyond

“Kalau ditanya total prosesnya, 10 tahun,” ungkap Dr. Zaki Habibi, mengenang perjalanan panjangnya.

Setelah dibiarkan tersimpan cukup lama, pertengahan 2023 menjadi babak baru bagi foto-foto ruang terbengkalai. Workshop yang digagas Gueari Galeri bersama Zontiga di Kuala Lumpur menentukan nasib karya Abandonded and Beyond. Proses satu setengah tahun, dengan empat kali pembuatan dummy book beberapa elemen-elemen sensoris dan narasi diciptakan untuk menggugah pembaca.

Satu hal yang diimani dalam buku foto garapannya, tidak seluruhnya berupa gambar. Dari workshop pentingnya desain dan kurasi serta mengurutkan foto menjadi tantangan tersendiri agar narasi sesuai. Sehingga dalam prosesnya tak semua foto terpakai.

“Hasil dari workshop itu yang membuka mata bahwa buku foto enggak harus isinya hanya foto. Bentuk workshopnya digali sama mentornya sampai peserta juga menggali sisi-sisi lainnya, yang paling sulit ada tahapnya mengkonsep, design thingking, selecting, curating, sequencing di fase mengurutkan ini baru ketahuan foto-foto yang kusubmit enggak semuanya bisa kepakai karena buku unu butuh elemen lain,” jelasnya.

90 persen foto yang termuat diambil menggunakan kamera analog yang saat itu tengah terbengkalai juga lantaran sebagian masyarakat beralih dengan kamera digital. Bagian ini menambah narasi pada keterbengkalaian ruang kota.

Pengalaman sensoris dalam buku ini diwujudkan melalui berbagai elemen non cetak seperti bungkus plastik terbakar, karton bekas hingga lakban terbakar yang dikumpulkan dari satu tahun terakhir.  Bahkan beberapa halaman dilengkai QR Code yang isinya track audio dari beberapa foto yang terpotret. Elemen sensoris itu mewakili sentuhan, bau, dan suara.

Dr. Zaki Habibi berujar “Tujuan bukunya bukan informatif, makanya tidak ada caption, tidak ada lokasinya,” ujarnya. Buku ini lebih berfungsi sebagai undangan untuk merenung dan ber-refleksi tentang kondisi kota yang sering terabaikan.

Dari aspek teknis, pendekatan artisanal handmade melibatkan beberapa ahli. Misalnya dalam penjilidan ada Tarlen Handayani atau Vitarlenology seorang ahli konservasi buku, untuk elemen-elemen yang menggunakan teknik pembakaran dibantu oleh Agung Wibowo seorang pengrajin, serta Haya Habibi sang putri yang bertugas menggoreskan efek sobekan-sobekan pada sampulnya.

Buku ini bukan hanya tentang foto atau dokumentasi visual semata, tetapi tentang bagaimana sebuah narasi dan pemikiran mendalam dapat dihadirkan dalam bentuk buku yang menggugah panca indera pembaca. Dengan elemen yang sangat personal dan penuh makna, karya ini adalah perwujudan dari perjalanan panjang yang telah digali selama lebih satu dekade.

Komik

Kasus pelecehan seksual di Indonesia menjadi isu yang terus disuarakan. Berbagai gerakan untuk penuntasan dan penegakan keadilan berkali-kali dilakukan oleh masyarakat sipil.

Data yang ditampilkan pada Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni-PPA) sepanjang tahun 2025 (1 Januari – 4 Maret) jumlah kasus kekerasan seksual yang tercatat (dilaporkan) mencapai 1.721 dengan korban perempuan maupun laki-laki.

Resah dengan kondisi kekerasan seksual yang tak kunjung mereda, dua mahasiswa Ilmu Komunikasi memilih membuat komik edukatif terkait pelecehan seksual sebagai syarat kelulusan atau setara dengan skripsi.

Dua mahasiswa tersebut adalah Hanifatul Ilmi (Ilmi) yang menciptakan komik berjudul Tiga Permata Luxiya. Segmentasi dalam komik ini adalah anak-anak, ceritanya yang unik perpaduan fiksi dan keseharian memberikan contoh yang mudah diterima.

Komik selanjutnya berjudul The Unbearable Unkindness: Sexual Violence Educational Comic yang digarap olehKiko Javier (Kiko). Menyasar pembaca usia 18 tahun ke atas, cerita yang disajikan cukup beragam mulai dari pelecehan di tempat kerja hingga bullying di tempat umum.

Meet the Authors

Kenapa memilih komik sebagai tugas akhir kamu? apakah kamu sudah lama menekuni bidang ini?

Ilmi       : Pemilihan komik sebagai tugas akhir karena melihat peluang berkarya lewat komik dari karya terdahulu milik Bang Rosi yang berjudul Tata Basa. Dulu saya tidak tau kalau di UII bisa projek komik juga, saya baru mengetahui di UII bisa membuat komik dari Pak Ali di kelas Penulisan Kreatif. Kebetulan saya hobi gambar dari kecil, dan beberapa kali menerbitkan komik pemula di Webtoon Canvas.

Kiko       : Saya memilih komik karena saya merasa komik adalah medium yang sangat efektif untuk menyampaikan pesan. Visual dan narasi dalam komik dapat membuat topik yang berat atau kompleks lebih mudah diakses dan dipahami oleh banyak orang. Saya sudah tertarik dengan komik sejak lama, baik sebagai pembaca maupun sebagai pembuat, dan saya merasa bahwa menggabungkan minat saya dengan tugas akhir bisa menjadi cara yang baik untuk mengeksplorasi lebih dalam dan memperdalam keterampilan saya.

Alasan utama kamu mengabil isu pelecehan seksual?

Ilmi       : Karena marak banget pelecehan seksual baik di media online maupun lingkungan saya. Menargetkan anak usia sekolah dasar, karena banyak kejadian anak sekolah yang “dianggap remeh”, namun berdampak besar dikemudian hari. Seperti pada episode mengibaskan rok, itu baru satu contoh kejadian di sekolah yang saya tuangkan dalam komik, masih banyak yang belum saya tuangkan.

Kiko       : Isu pelecehan seksual adalah masalah yang sangat relevan dan penting untuk dibahas, terutama dalam konteks kesadaran sosial yang terus berkembang. Saya merasa banyak orang yang masih belum sepenuhnya memahami dampak yang ditimbulkan oleh pelecehan seksual, dan banyak korban yang merasa kesulitan untuk berbicara tentang pengalaman mereka. Dengan memilih isu ini, saya berharap bisa memberikan ruang bagi percakapan tentang trauma dan pentingnya empati, serta mengedukasi masyarakat tentang cara-cara mencegahnya.

Inspirasi membuat komik tersebut dan prosesnya berapa lama?

Ilmi       : Inspirasi karya ini, dari kejadian tahun 2009 di sekolah dasar, saya melihat kakak kelas yang mengangkat rok teman sekelasnya dan dilihat banyak anak. Lama pengerjaan komik 1,5 tahun, dengan semua yang saya lalui, kerja offline, dan masih banyak lainnya.

Kiko       : Inspirasi saya datang dari pengalaman korban pelecehan seksual yang bersuara di media sosial dan kisah nyata yang sering saya dengar dari teman-teman maupun berita yang ada di sekitar kita. Saya ingin menciptakan sebuah narasi yang bisa menggugah emosi dan membuat pembaca lebih peka terhadap isu ini. Proses pembuatan komik ini memakan waktu sekitar satu tahun, dari riset awal, penulisan cerita, hingga tahap ilustrasi dan finishing. Selama proses itu, saya banyak berdiskusi dengan dosen pembimbing untuk memastikan cerita yang saya angkat tetap akurat dan sensitif.

Harapanmu dengan terbitnya komik ini?

Ilmi       : Harapan saya, jika ada penerbit yang mau menerbitkan komik ini, saya harap dapat melibatkan idola saya, Ochi Rosdiana untuk mendapatkan royalti. Karena beliau, saya dapat menyelesaikan komik dengan penuh inspirasi hanya dengan memasukkan nama Rosdiana ke dalam komik saya.

Kiko       : Saya berharap komik ini bisa membuka mata banyak orang tentang pentingnya menghargai batasan dan mengenali tanda-tanda pelecehan seksual. Saya juga ingin komik ini bisa menjadi sarana edukasi dan refleksi diri bagi pembaca. Dengan terbitnya komik ini, saya berharap lebih banyak orang yang merasa terdorong untuk berbicara dan mendukung korban pelecehan, serta mendorong adanya perubahan dalam cara kita memperlakukan satu sama lain.

Penasaran dengan karya-karya yang diciptakan mahasiswa Ilmu Komunikasi UII? Kamu bisa mengaksesnya melalui PDMA Nadim ya Comms.