Tag Archive for: gender

Perpus
Reading Time: 2 minutes

Jika menilik data dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), secara umum jenjang sarjana didominasi oleh Gen Z. Hal ini didasarkan pada rentang usia Gen Z di tahun 2023 yakni 11 hingga 26 tahun.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa aktivitas Gen Z saat ini paling banyak adalah menempuh pendidikan hingga menyiapkan karier. Namun, bagi Gen Z yang menjadi mahasiswa semester akhir tentu kesibukan utamanya adalah menyusun skripsi.

Kira-kira topik apa yang menarik digali oleh Gen Z sebagai bahan penelitian skripsi atau tugas akhir? Salah satu caranya adalah dengan mencari isu yang tepat dan menarik bagi Gen Z dan tentu harus relate dengan kehidupan yang tengah dijalani.

Social issues atau isu-isu sosial menjadi sangat menarik digali oleh Gen Z mengingat karakternya yang cukup unik.

Melansir dari laman Oxford Royale, terdapat tujuh karakter unik yang dimiliki oleh Gen Z. Ciri khas tersebut antara lain Gen Z adalah penduduk asli digital, Gen Z merasa dunia yang ditinggali tidak aman, Gen Z cenderung menerima, Gen Z sangat aware dengan kesehatan, Gen Z menghargai privasi, Gen Z juga memiliki jiwa entrepreneur karena khawatir akan masa depan, hingga mampu menempatkan diri setelah menjadi dewasa.

Jika dikaitkan dengan karakter unik tersebut, berikut beberapa social issues yang berkaitan dengan Gen Z dilansir dari laman The Annie E. Casey Foundation (AECF), salah satu lembaga sosial di Amerika Serikat yang fokus menangani isu keluarga, ekonomi, dan anak.

5 Social Issues yang Relate untuk Skripsi Gen Z

  1. Isu Health Care

Health care atau perawatan kesehatan termasuk menjadi masalah utama bagi Gen Z. Riset-riset yang dapat digali antara lain terkait rencana asuransi, efisiensi layanan kesehatan, dan banyak isu lainnya.

Selain itu tren menggunakan layanan kesehatan online ternyata menjadi habit bagi Gen Z. Perusahaan Fierce Healthcare di Amerika menyebut, Gen Z lebih nyaman berbagi informasi pribadi secara virtual.

  1. Mental Health

Data dari American Psycological Association menunjukkan 35 persen Gen Z yang disurvei melaporkan kondisi kesehatan mental memburuk selama pandemi Covid-19. Kesehatan mental Gen Z yang memburuk terjadi karena beberapa alasan termasuk karena berita-berita buruk di dunia. Tentu isu ini dapat digali dalam perspektif kajian Ilmu Komunikasi

  1. Pendidikan Tinggi

Gen Z juga sangat memperhatikan isu pendidikan tinggi. Tak hanya berpendidikan tinggi, Gen Z juga harus memperoleh keterampilan karier. Tumbuh di era digital, wajib bagi gen Z untuk bekerja secara kreatif, praktis, dan melek teknologi. Untuk itu duduk diam mendengarkan dosen dalam kelas saja tampaknya tak akan cukup. Isu ini juga berkaitan dengan ekonomi dan masa depan karier. Isu ini cukup menarik jika dikaji dengan perspektif Ilmu Komunikasi.

  1. Racial Equality

Racial Equality atau kesetaraan ras menjadi masalah sosial utama bagi Gen Z. Tak heran jika Gen Z sangat menyadari kesenjangan antar ras dan etnis. Mereka lebih positif memandang keberagaman dibanding dengan generasi sebelumnya. Melihat keberagaman di Indonesia, tentu isu ini sangat menarik untuk dikaji lebih dalam dengan berbagai perspektif ilmu, termasuk kajian Komunikasi.

  1. Lingkungan

Gen Z sangat peduli dengan lingkungan. Ancaman perubahan iklim adalah bahaya bencana yang akan berdampak besar dalam kehidupan.

Menurut survei First Insight, Inc., platform analisis prediktif ini menemukan bahwa 73 persen responden Gen Z tidak keberatan membayar lebih mahal untuk produk yang berkelanjutan. Tak hanya itu, akhir-akhir ini kajian Komunikasi lingkungan juga menjadi isu yang diseriusi oleh prodi Ilmu Komunikasi UII, bahkan ada beberapa dosen yang fokus dengan riset tersebut.

Itulah beberapa social issues yang relate dengan kehidupan Gen Z dan cocok menjadi bahan skripsi. Bagaimana menurutmu Comms, tertarik dengan isu apa?

 

Penulis: Meigitaria Sanita

Gender
Reading Time: 4 minutes

Isu gender cukup menarik untuk diteliti. Suara-suara kesetaraan gender telah menggema di berbagai sektor. Tak hanya itu, dukungan kesetaraan gender kini mulai masif dengan adanya beberapa akun media sosial seperti konde.co, magdaleneid, PurpleCode Collective, dan lainnya.

Global Gender Gap Report 2022 (WEF) merilis laporan terkait kesenjangan gender di ASEAN.  Dalam laporan diterapkan sistem skor dengan skala 0-1. Skor 0 berarti kesenjangan gender yang sangat lebar, sedangkan skor 1 menunjukkan tercapainya kondisi kesetaraan penuh. Di Asia Tenggara, posisi puncak tingkat kesetaraan terbaik diduduki oleh Filipina dengan skor 0,783. Sementara Indonesia menempati urutan ke-7 dengan skor 0,697.

Gender adalah peran dan status yang telah melekat pada perempuan dan laki-laki yang berasal dari konstruksi sosial budaya serta struktur masyarakat. Lantas bagaimana posisi gendesr dalam kajian Ilmu Komunikasi?

Ilmu Komunikasi mampu menyentuh setiap sudut kehidupan manusia, termasuk dalam kajian komunikasi gender. Komunikasi gender menjadi salah satu bidang studi yang menitikberatkan manusia sebagai makhluk gender berkomunikasi. Ivy and Backlund menyebutkan “Gender communication is communication about and between men and women”.

Beberapa teori yang umum digunakan untuk meneliti isu gender dalam kajian komunikasi antara lain Genderlect Theory, Standpoint Theory, dan Muted Group Theory. Bagi mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi berikut beberapa contoh riset yang bisa menjadi inspirasi skripsi.

  1. Framing Media Merekam Feminisme Indonesia

Abstrak: Artikel ini menjelaskan pembingkaian feminisme di surat kabar Indonesia. Sebagai contoh, akan dibahas bagaimana feminisme Indonesia dibingkai dalam Harian KOMPAS dari tahun 1997-1999. KOMPAS dipilih sebagai objek penelitian karena surat kabar ini menerbitkan berita-berita tentang gender dan gerakan perempuan secara berkala. Pembahasan dalam penelitian ini akan berkisar pada analisis tekstual hingga produksi berita tentang feminisme di ruang redaksi media. Melalui artikel ini, kita juga dapat melihat bagaimana media secara etis harus merespons isu-isu sensitif. Karena dalam situasi apapun, media harus selalu memberitakan kebenaran, demi melindungi hak-hak dasar masyarakat.

Metode penelitian       : Analisis framing

Penulis                        : Pratiwi Utami, Universitas Gadjah Mada

  1. Pembungkaman Kaum Perempuan dalam Film Indonesia (Penerapan Teori Muted Group dalam Film “Pertaruhan”)

Abstrak: Jenis kelamin dan gender adalah dua konsep yang berbeda. Namun bagi perempuan, gender atau sifat yang melekat pada proses kultural memunculkan berbagai ketimpangan dalam masyarakat seperti marginalisasi, stereotip, kekerasan dan pelabelan negatif.

Artikel ini berfokus pada peran perempuan dilihat dari Teori Kelompok Bungkam tentang pembungkaman perempuan di ruang publik dalam film “At Stake (Pertaruhan)”. Film ini terdiri dari empat cerita pendek yaitu Usaha untuk Cinta, Apa Gunanya, Nona atau Nyonya, dan Harta Anak-Anak.

Metode penelitian       : Analisis dengan Muthed Group Theory

Penulis                        : Ratna Permata Sari, Universitas Islam Indonesia

  1. Peran Manajerial Praktisi Humas Perempuan Lembaga Pemerintah dalam Profesi yang Didominasi Perempuan

Abstrak: Penelitian ini bertujuan mengevaluasi peran-peran yang dilakukan praktisi hubungan masyarakat (humas/public relations) lembaga pemerintah di Jawa Timur. Humas telah dikenal sebagai profesi bergender karena makin banyak perempuan memasuki profesi ini. Perempuan, secara umum, memiliki skill komunikasi yang feminim yang membantu membangun relasi dengan publik supaya mendukung reputasi lembaga. Hipotesis penelitian ini adalah praktisi humas perempuan telah berperan manajerial dalam aktivitasnya. Dengan menggunakan model peran kehumasan sebagai instrumennya, kuesioner disebarkan dan diisi oleh 69 responden, 35 di antaranya adalah praktisi laki-laki dan 34 praktisi perempuan. Penelitian ini berkontribusi mendorong bidang kehumasan pemerintah untuk membuka peluang bagi praktisi perempuan lebih berperan dalam peran manajerial sebagai bentuk pemberdayaan perempuan.

Metode penelitian       : Survei

Penulis                        : Rachmat Kriyantono, Ph.D., Sekolah Komunikasi, Universitas Brawijaya

  1. Representasi Perempuan Berdaya pada Akun Instagram @rachelvennya

Abstrak: Era digital membuka peluang bagi perempuan bukan hanya untuk merepresentasikan eksistensi diri, tetapi dapat dimanfaatkan bagi peningkatan kapasitas diri untuk lebih berdaya secara pendidikan dan ekonomi tanpa harus meninggalkan peran mereka dalam keluarga. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis dan menjelaskan representasi diri perempuan berdaya di era digital khususnya di media sosial. Metode penelitian yang digunakan adalah analisis konten kualitatif dengan objek kajian akun Instagram @RachelVennya. Berdasarkan hasil penelurusan, koding, dan analisis data ditemukan bahwa Rachel Vennya merepresentasikan diri sebagai pesohor Instagram dan pengusaha perempuan yang tetap memprioritaskan kehidupan domestiknya di keluarga. Bentuk-bentuk representasi dirinya adalah berdikari secara ekonomi, pentingnya pendidikan bagi perempuan, mengutamakan keluarga, perempuan harus mampu memimpin, dan perempuan dapat berekspresi. Penelitian ini menyimpulkan bahwa Rachel Vennya adalah sebuah bukti bahwa perempuan mampu merepresentasikan diri mereka sebagai sosok yang tidak hanya terampil di area domestik, tetapi juga berpeluang menjadi inspirator dan pemimpin di era digital.

Metode penelitian       : Kualitatif, Content Analysis

Penulis                        : Asmaul Husna, Yuhdi Fahrimal, Universitas Teuku Umar

  1. Representasi Gender pada Film TILIK Menurut Studi Semiotik Roland Barthes

Abstrak: Tilik adalah sebuah film pendek berbahasa Jawa yang menjadi perbincangan hangat setelah kemunculannya di kanal YouTube. Tilik menekankan jenis kelamin tertentu dalam setiap adegannya. Akibatnya, Tilik dianggap melanggengkan stereotip gender tertentu. Peneliti mencoba mencari makna di balik gender yang digunakan sebagai karakter utama. Dengan kemungkinan pemaknaan yang lebih luas, peneliti juga mencoba mencari makna lebih dalam yang dapat ditemukan dalam film Tilik. Terkait dengan tujuan penelitian, artikel ini mengajukan beberapa permasalahan sebagai berikut: (1) Apakah film Tilik melanggengkan stereotip perempuan? (2) Apa yang dikatakan oleh film Tilik tentang pesannya? (3) Apa yang dikatakan oleh keberadaan “truk” tentang fungsinya sebagai wadah pengalaman? Objek penelitian adalah konteks skenario, gambar, teks, dan adegan dalam film. Artikel ini menggunakan metode semiotika kualitatif Roland Barthes. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa Tilik tidak melanggengkan stereotip gender dengan menonjolkan jenis kelamin tertentu. Sebaliknya, Tilik mengekspresikan makna relasi sosial dalam masyarakat, perjuangan dalam kehidupan sehari-hari, dan pentingnya literasi digital sebagai bekal untuk berpartisipasi dalam kehidupan sehari-hari dengan menggunakan jenis kelamin tertentu.

Metode penelitian       : Analisis semiotik

Penulis                        : Jonathan Adi Wijaya, Antonius Denny Firmanto, Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi Widya Sasana, Indonesia

  1. co Sebagai Media Advokasi Perempuan

Abstrak: Subordinasi perempuan berkelindan dengan budaya patriarki di masyarakat. Magdalene.co merupakan salah satu media online yang melakukan advokasi terhadap perempuan. Penelitian ini mencoba mengungkap upaya kreatif Magdalene.co dalam menjalankan jurnalisme sensitif gender dan jurnalisme advokasi untuk perempuan. Analisis isi, wawancara, dan studi literatur dilakukan untuk mengumpulkan data. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Magdalene.co menawarkan nilai-nilai dan perspektif baru tentang perempuan dan mengangkat berbagai isu termasuk agama, kepercayaan, gaya hidup, dan kondisi sosial. Namun, bias kelas masih terlihat dalam artikel-artikel mereka, isu-isu yang dibahas terbatas pada ranah publik, dan tidak konsisten dalam mengubah stereotip perempuan.

Metode penelitian       : Analisis isi dan wawancara

Penulis                        : Eni Maryani, Justito Adiprasetio, Universitas Padjadjaran

  1. Cybermisogyny: Hate Against Women and Gendertrolling Manifestation on Instagram

Abstrak: Cybermisogyny adalah perilaku kebencian terhadap perempuan di media sosial. Penelitian ini bertujuan untuk menemukan bentuk-bentuk cybermisogyny yang terjadi di Instagram @viavallen. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan kerangka Analisis Wacana Kritis (Critical Discourse Analysis/CDA) dari Teun A. van Dijk yang berfokus pada analisis teks, kognisi sosial, dan konteks sosial. Penelitian ini menggunakan teori gendertrolling dari Karla Mantilla. Hasil penelitian menunjukkan: (1) cybermisogyny yang terjadi di Instagram @viavallen didominasi oleh pelecehan online dan pelecehan seksual; (2) produsen pesan cenderung permisif terhadap perilaku pelecehan; (3) dimensi kekuasaan dan akses menjadi faktor utama terjadinya cybermisogyny.

Metode penelitian       : Analisis wacana kritis, kualitatif

Penulis                        : Muhammad Dicka Ma’arief Alyatalatthaf, Kalbis Institute

Itulah beberapa riset yang dirangkum dari berbagai jurnal Ilmu Komunikasi dan dapat menjadi inspirasi judul skripsi tentang isu gender. Ternyata objek penelitian cukup beragam, mulai dari film, profesi, hingga media sosial.

 

Penulis: Meigitaria Sanita

 

 

 

 

 

Kekerasan seksual jurnalis perempuan
Reading Time: 4 minutes

Perempuan yang bekerja pada sektor media seperti jurnalis tentu memiliki peluang bersuara dengan lantang menanggapi isu kesetaraan. Ironisnya, jurnalis perempuan justru menerima banyak kekerasan hingga kelayakan upah yang tak setara dengan jurnalis pria. Jika dirimu perempuan yakin mau jadi jurnalis? Tingkat kekerasan tinggi, gaji masih belum mumpuni.

Dalam rangka merayakan “Hari Perempuan Internasional” 8 Maret 2023 sudah selayaknya kita tahu jika banyak perempuan yang mengalami kondisi mengerikan dan penuh diskriminasi. Perlu diketahui Hari Perempuan Internasional merupakan bentuk dukungan kepada seluruh perempuan di dunia yang memilih jalan hidupnya diberbagai bidang, mulai dari perempuan karier hingga ibu rumah tangga yang berhak untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Hari Perempuan Internasional juga diartikan sebagai titik balik untuk memperjuangkan hak mengingat perempuan memiliki pengaruh besar dalam advokasi berbagai isu.

Berdasarkan riset yang dilakukan oleh PR2Media dengan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) sebanyak 82,6 persen jurnalis perempuan mengalami kekerasan seksual. Riset dilakukan kepada 852 jurnalis perempuan yang tersebar di 34 provinsi di Indonesia. Setidaknya 704 perempuan memiliki pengalaman kekerasan seksual sepanjang menjalani kariernya.

Bagaimana fakta ini cukup mencengangkan bukan? Ternyata di tengah upaya kesetaraan gender yang digaungkan oleh berbagai pihak masih banyak perempuan yang posisinya tidak aman dan menerima perlakuan diskriminatif.

Lantas apa saja bentuk kekerasan serta tindakan diskriminatif yang diterima jurnalis perempuan selama menjalani profesinya, simak hasil laporan riset berikut ini.

Baca juga: “Riset: jurnalis perempuan masih menjadi target rentan kekerasan”

Kekerasan yang dialami jurnalis perempuan di Indonesia relatif tinggi

Meski memiliki kesempatan untuk bersuara lantang nyatanya jurnalis perempuan masih tidak aman dalam belenggu kekerasan seksual. Tingginya kasus kekerasan seksual tentu menjadi masalah besar yang perlu mendapatkan perhatian dari berbagai pihak.

704 dari 852 jurnalis dari 34 provinsi di Indonesia mengaku memiliki pengalaman kekerasan seksual selama bekerja.  Dari riset yang dilakukan PR2Media dan AJI mereka mengalami pelecehan seksual ataupun serangan seksual di kantor dan luar kantor, bahkan di lokasi liputan. Perlu diketahui kekerasan seksual dialami secara daring maupun luring. Fakta selanjutnya, pelaku kekerasan terhadap jurnalis perempuan juga berasal dari rekan kerja sebesar 20,9 persen dan atasan 6,9 persen.

Berikut data yang ditemukan oleh PR2Media dan AJI terkait kekerasan seksual yang dialami jurnalis perempuan.

  1. Body shaming secara luring (58,9% dari total responden),
  2. Catcalling secara luring (51,4%),
  3. Body shaming secara daring (48,6%),
  4. Menerima pesan teks maupun audio visual yang bersifat seksual dan eksplisit secara daring (37,2%),
  5. Sentuhan fisik bersifat seksual yang tidak diinginkan secara luring (36,3%),
  6. Komentar kasar atau menghina bersifat seksual secara luring (36%),
  7. Komentar kasar atau menghina bersifat seksual secara daring (35,1%),
  8. Diperlihatkan pesan teks maupun audio visual yang bersifat seksual dan eksplisit secara luring (27,2%),
  9. Dipaksa menyentuh atau melayani keinginan seksual pelaku secara luring (4,8%), dan
  10. Dipaksa melakukan hubungan seksual secara luring (2,6%).

Sementara itu, terkait ranah daring dan luring, sebagian besar jurnalis mengalami kekerasan di ranah daring sekaligus luring (37% dari total responden), lalu daring saja (26,8%), dan luring saja (18,2%). Hanya 17,4% (148) responden yang tidak pernah mengalami kekerasan seksual apa pun dalam karier jurnalistik mereka.

Diskriminatif dan gaji yang belum mumpuni

Jika kekerasan masih menjadi pil pahit bagi sebagian besar jurnalis perempuan ternyata masih ada pola diskriminatif yang tumbuh subur. Isu soal gaji yang lebih rendah daripada pria hingga diskriminatif tugas di lapangan hanya karena persoalan gender.

Hasil riset yang dilakukan AJI Jakarta soal Survei Upah Layak 2021 ternyata masih ada jurnalis perempuan yang diberi gaji lebih rendah. 5 dari 99 jurnalis perempuan yang bekerja maksimal 5 tahun mengaku ada perbedaan signifikan terkait gaji jurnalis perempuan dengan laki-laki. Sedangkan 41 responden mengaku tidak ada perbedaan gaji, dan 54 lainnya tidak mengetahui sama sekali ada atau tidaknya perbedaan gaji.

Berdasarkan upah layak bagi jurnalis tahun 2022 yakni sekitar Rp 8,3 juta, faktanya sebagian jurnalis digaji dengan ketentuan UMP. Padahal gaji yang rendah tentu akan berpengaruh terhadap profesionalisme jurnalis seperti isu suap dan lainnya. Sementara etika dalam jurnalis dituntut untuk bekerja secara profesional , memihak kebenaran, serta kepentingan masyarakat luas.

Riset AJI bersama Internasional Federation Journalist (IFJ) pada akhir 2020 ternyata upah minimum tak berpihak kepada jurnalis. Setidaknya respoden yang terdiri dari 700 jurnalis mengungkap 83,5 persen jurnalis terdampak ekonomi dari pandemi, berupa pemotongan honor (53,9 persen), pemotongan gaji (24,7 persen), Pemutusan Hubungan Kerja (5,9 persen), dan dirumahkan (4,1 persen).

Melihat banyaknya potongan gaji tersebut apa kabar dengan jurnalis perempuan yang sejak awal menerima upah lebih rendah?

Beralih dari diskriminasi gaji, ternyata jurnalis perempuan juga menerima diskriminasi soal tugas di lapangan. Menurut penuturan Erlina Fury Santika salah satu jurnalis media nasional di Jakarta mengaku pada saat dirinya menjadi reporter pembagian pos liputan juga berbasis gender.

Sejak awal kesempatan dan jenis pekerjaan yang dilakukan antara jurnalis perempuan dan laki-laki berbeda. Erlina menyebut paling sering mengalami diskriminasi soal tugas lapangan. Isu potensial lebih banyak diberikan kepada jurnalis laki-laki.

“Perbedaanya di pos liputan dan itu terasa sekali. Liputan yang dianggap berat diserahkan ke laki-laki misalnya soal hukum, politik selalu didominasi laki-laki,” terangnya saatdihubungi melalui pesan WhatsApp pada 8 Maret 2023.

Ia menambahkan kondisi itu membuatnya merasa tidak nyaman, terlebih jurnalis perempuan juga butuh pengembangan kualitas di bidang jurnalistik dan liputan yang beragam. Hingga akhirnya Ia mantap untuk selalu mengajukan diri.

“Ada (isu potensial dan urgen) tidak tercover karena semua jurnalis laki-laki gak ada yang lowong akhirnya mengajukan diri,” terangnya.

Ketimpangan yang dialami jurnalis perempuan masih terjadi padahal menurut Anggota Dewan Pers Ninik Rahayu kesenjangan gaji yang diberikan kepada jurnalis perempuan bias disebabkan adanya bias yang sistematis terhadap perempuan dalam bekerja. Misalnya saja, jurnalis perempuan yang memang selama ini “dibedakan” pekerjaannya dengan laki-laki, sehingga kesempatan yang berkaitan dengan promosi gaji atau bonus pun juga berbeda.

“Sejak awal jenis pekerjaannya sudah dibedakan, kenapa (bisa jadi) mendapatkan upah yang berbeda,” katanya dilansir dari konde.co.

Artikel ini ditulis untuk memperingati Hari Perempuan Internasional 2023

Penulis: Meigitaria Sanita

Reading Time: 3 minutes

Women are still a minority, very few women occupy strategic positions in the media. Whereas the presence of women in strategic internal media positions can reduce the objectification of women by the media. Both media films, television, advertising, games, and journalistic products.

The objectification of women by the media often occurs because women are considered as attractive commodities in the media. Both as a form of the depiction of women who are very male and a form of harassment of women.

“For example, body shaming or sexist jokes that are not gender-sensitive are present in media content,” said Iwan Awaluddin Yusuf, a doctoral student at Monash University, Australia on May 30, 2021, at the LPM Meeting Public Discussion at Pasundan University.

Then what is the role of the media in the objectification of women?

According to Iwan, there is the worst role of the media, for example, the media in reproducing inequality and commodifying women. In addition, the media also perpetuates and celebrates the objectification of women. Another role of the media is also still passive in educating the public.

Iwan hoped that the media should educate the public. The media should carry out the functions of surveillance and prevention. “The most ideal and progressive is the media that plays the role of implementing and developing gender sensitive journalism,” said Iwan. “For example, journalists in Konde and Magdalene are committed to joining associations and advocating for the rights of women and the marginalized,” said Iwan as an example. Rights such as menstruation leave, pregnancy, lactation rooms and others are often voiced in the media called Iwan.

So what should the media do? What to avoid?

Media workers, including in the student press, try to avoid victim-blaming as much as possible. “In reporting, avoid defending the perpetrators, avoid using sensational, sadistic, and bombastic elements. This element in this journalistic code of ethics violates,” explained Iwan, Communication Lecturer at UII, who made gender-sensitive journalism his study while at Monash University.

Mainstream media, student press media, and community media are important in understanding gender sensitive journalism. According to Iwan, primarily public media such as RRI and TVRI have the potential to educate the public. “If there is something we need to criticize, it is that RRI and TVRI are not tools of the government, that hope should not be broken, any media needs to work together on this (gender sensitive journalism), including from RRI and TVRI,” continued Iwan.

The media can also balance the portion of sources in their coverage. The easiest thing is to balance male and female sources. “Also balancing sources that has a gender perspective,” he explained to the participants, most of whom were students.

Today’s mass media should also be able to adopt the Unesco Gender Sensitive Indicator for media which was released by Unesco in 2012. With this indicator, at least the media can apply it at the organizational or management level. The media can implement policies that are pro-women by creating a balanced structure and recruitment between female and male managers, leaders and journalists.

These efforts are important to avoid objectification of women and marginal groups in today’s media.

Today’s Media Challenge

“Startups or over the top (OTT) companies such as Google, YT, FB, Twitter, etc. have not all been willing to take responsibility if there is content and applications that are not gender-sensitive,” said Iwan. Iwan sees the challenges of today’s media not only among journalists but also in the scope of companies and digital media.

Not to mention, the fact that so far there has been no gender-sensitive curriculum in the academic environment. Yet this is also important to produce gender-aware journalists and media practitioners.

Iwan also feels the need to support the capacity building of media regulators to be able to identify various forms of objectification of women. Media regulators, such as KPI and the Press Council, must be able to see and observe carefully the discourses that actually hinder efforts to eliminate violence against women that appear in the media.

Another speaker, Nani Afrida, a journalist at Anadolu Agency, said that the need for an independent and gender sensitive mainstream media presence is urgently needed. “The position of the media is very difficult to be independent because it is co-opted by the conglomerate of media owners. The position of women is so unheard of,” She said.

 

Reading Time: 3 minutes

Perempuan masih menjadi minoritas, sedikit sekali perempuan yang menempati posisi strategis di media. Padahal kehadiran perempuan di posisi strategis internal media dapat mengurangi objektifikasi perempuan oleh media. Baik media film, televisi, iklan, game, dan produk-produk jurnalistik.

Objektifikasi perempuan oleh media sering terjadi juga karena perempuan dianggap sebagai komoditas menarik di media. Baik sebagai dalam bentuk penggambaran perempuan yang sangat laki-laki dan bentuk pelecehan terhadap perempuan.

“Misalnya body shaming atau joke-joke seksis yang tidak sensitif gender hadir dalam konten media,” kata Iwan Awaluddin Yusuf, mahasiswa doktoral Monash University, Australia pada 30 Mei 2021 di Diskusi Publik LPM Jumpa Universitas Pasundan.

Lalu bagaimana peran media dalam objektifikasi perempuan?

Menurut Iwan, ada peran media yang paling buruk misalnya media mereproduksi ketidaksetaraan dan mengkomodifikasi perempuan. Selain itu media juga melanggengkan dan merayakan objektifikasi perempuan. Peran lain dari media juga masih pasif dalam mengedukasi publik.

Seharusnya, harap Iwan, media dapat mengedukasi publik. Media sebaiknya menjalankan fungsi pengawasan dan pencegahan. “Yang paljng ideal dan progresif adalah media yang memainkan peran menerapkan dan mengembangkan jurnalisme sensitif gender,” ungkap Iwan. “Misal dilakukan teman-teman jurnalis di Konde dan Magdalene. Mereka berkomitmen berserikat dan melakukan advokasi thdp hak-hak perempuan dan marginal,” kata Iwan menyontohkan. Hak-hak seperti cuti haid, hamil, ruang laktasi dan lain-lain kerap disuarakan di media-media yang disebut Iwan tersebut.

Lalu apa yang harus dilakukan media? Apa yg harus dihindari?

Pekerja media, termasuk di pers mahasiswa, sebisa mungkin menghindari victim blaming. “Dalam peliputan, hindari membela pelaku, hindari menggunakan elemen-elemen yang sensasional, sadis, dan bombastis. Elemen yang ini di dalam kode etik jurnalistik ini melanggar,” jelas Iwan, Dosen Komunikasi UII, yang menjadikan jurnalisme sensitif gender sebagai kajiannya selama di Monash University.

Media arusutama, media pers mahasiswa, dan media komunitas penting memahami jurnalisme sensitif gender. Menurut Iwan, utamanya media publik seperti RRI dan TVRI berpotensi mengedukasi publik. “Kalau ada yang perlu kita kritisi adalah RRI dan TVRI tidak menjadi alat pemerintah, harapan itu tidak boleh putus, media apapun, perlu bersinergi soal ini (sensitif gender), termasuk dari RRI dan TVRI,” sambung Iwan.

Media juga bisa menyeimbangkan porsi narasumber dalam liputan-liputannya. Hal yang paling mudah adalah menyeimbangan narasumber laki-laki dan perempuan. “Juga menyeimbangkan narsum yang punya perspektif gender,” jelasnya pada peserta yang kebanyakan adalah mahasiswa.

Media massa hari ini juga sebaiknya bisa mengadopsi Unesco Gender Sensitive Indicator for media yang dirilis Unesco pada 2012. Dengan indikator ini setidaknya media bisa menerapkannya hingga di level organisasi atau manajemen. Media bisa menjalankan kebijakan yang pro perempuan dengan membuat struktur dan rekrutmen yang seimbang antara pengelola, pimpinnan dan jurnalis perempuan dan laki-laki.

Upaya-upaya ini penting untuk menghindari objektifikasi perempuan dan kelompok marginal di media hari ini.

Tantangan Media Hari Ini

“Startup atau perusahaan over the top (OTT) seperti google, YT, FB, twitter, dll belum semua mau mengambil tanggungjawab jika ada konten dan aplikasi yang tidak sensitif gender,” sebut Iwan. Iwan memandang tantangan media hari ini tidak hanya di kalangan jurnalis, melainkan di lingkup perusahaan dan media digital.

Belum lagi, fakta bahwa selama ini belum ada kurikulum sensitif gender di lingkungan akademik. Padahal ini juga penting untuk menghasilkan jurnalis dan praktisi media yang sadar gender.

Iwan juga merasa perlunya mendukung peningkatan kapasitas regulator media agar mampu mengidentifikasi berbagai bentuk objektifikasi perempuan. Regulator media, seperti KPI dan Dewan Pers, harus dapat melihat dan mengamati secara cermat wacana yang justru menghambat upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan yang muncul di media.

Pembicara lain, Nani Afrida, jurnalis di Anadolu Agency, mengatakan bahwa kebutuhan atas hadirnya media arusutama yang independen dan sensitif gender sangat dibutuhkan. “Posisi media ini sangat sulit independen karena dikooptasi oleh konglomerasi pemilik media. Posisi perempuan jadi sangat tidak terdengar,” katanya.

Reading Time: 2 minutes

The objectification of women in the media takes place in various forms and mediums. Starting from objectification in songs, films, advertisements, games, to journalistic content products. Women have always been objects and victims of media violence.

Iwan Awaluddin Yusuf said that something can be described as objectifying women if the content makes women objects, tools, and sexual commodities. “In addition, also check, are there any expressions, depictions, or dialogues that sound like harassment against women (body shaming, sexist jokes, etc.),” ​​said Iwan who is also a Communications Lecturer at UII, on May 30, 2021, at the Women in Media Perspectives a public discussion: Is it true that women are objectified by the media?

This discussion by the Student Press Institute/ LPM Meets Pasundan University, besides presenting Iwan as an academic, also presented from the perspective of women activists Poppy Dihardjo, and journalist Nani Afrida. Poppy is the initiator of Women Without Stigma at @pentasindonesia and Nani is a journalist at Anadolu Agency.

Iwan added that the full depiction of the Male Gaze (male perspective) must also be checked whether he is dominantly present in the visual or audio depiction produced by the media.

According to a doctoral student at Monash University, Australia, this media objectification is often also present by putting women as a form of the perpetuation of patriarchal values.

In front of more than a hundred participants, Iwan said, in the world of film, the practice of media objectification often occurs as well. “Many films with the title women (widows) create symbolic violence against women and widows,” said Iwan. Not only in movies, this also appears in song lyrics that use widow’s diction. There is symbolic violence that appears in the choices of song diction.

Seeing Gender and Media Issues through a Media Ecosystem Approach

Women’s representation in the media from the past until now is not far from placing women as commodity objects and not serious subjects. “In the past, women have never been shown (represented) in serious content. For example, news, why are women presenters and how are they arranged?” Iwan asked. “Say no to objectification. Towards women, towards men, towards you, towards us,” added Iwan.

Iwan provides a way to overcome gender issues in our media. “This has been an issue for a long time. This is actually a good way to build an egalitarian media. For example, women become media leaders, become directors, and enter the internal media ecosystem,” explained Iwan.

In the past, the public was the audience. Now it has changed. When the public is able to produce their own media which is eventually called prosumer, the public should also be able to remind and report the media to avoid objectification of women by the media.

Why is it important to avoid objectification? If the media objectifies women, then what Iwan calls double victimisation. “So women are not tried to be victims twice. Victims of sexual violence perpetrators, even victims by the media because the stories are published by the media that make women victims and media selling commodities,” explained Iwan.

Reading Time: 2 minutes

Objektifikasi perempuan dalam media berlaku dalam beragam bentuk dan medium. Mulai dari objektifikasi dalam lagu, film, iklan, game, hingga produk konten jurnalistik. Perempuan selalu menjadi objek dan korban kekerasan media.

Iwan Awaluddin Yusuf mengatakan sesuatu dapat digambarkan mengobjektifikasi perempuan jika konten menjadikan perempuan sebagai benda, alat, dan komoditas seksual. “Selain itu, cek juga, adakah ungkapan, penggambaran, atau dialog bernada pelecehan pada perempuan (body shaming, candaan seksis, dll),” kata Iwan yang juga adalah Dosen Komunikasi UII, pada 30 Mei 2021 di acara diskusi publik Perempuan dalam Kacamata Media: Benarkah Perempuan diobjektifikasi oleh Media.

Diskusi oleh Lembaga Pers Mahasiswa/ LPM Jumpa Universitas Pasundan ini selain menghadirkan Iwan sebagai akademisi, juga menghadirkan dari kacamata aktivis perempuan Poppy Dihardjo, dan Jurnalis, Nani Afrida. Poppy adalah penggagas Perempuan Tanpa Stigma di @pentasindonesia dan Nani jurnalis di Anadolu Agency.

Iwan menambahkan bahwa penggambaran penuh Male Gaze (perspektif laki-laki) juga harus dicek apakah ia dominan hadir dalam penggambaran visual atau audio yang diproduksi media. Menurut mahasiswa doktoral Monash University, Australia, ini objektifikasi media seringkali juga hadir dengan menomorduakan perempuan sebagai bentuk pelanggengan nilai-nilai patriarki.

Di depan lebih dari seratus partisipan, Iwan mengatakan, dalam dunia film, praktik objektifikasi media sering terjadi juga. “Banyak judul film dengan judul perempuan (janda) yang membuat kekerasan simbolik pada perempuan dan janda,” kata Iwan. Tak hanya film, hal ini juga muncul dalam lirik-lirik lagu yang menggunakan diksi janda. Ada kekerasan simbolik muncul dalam pilihan-pilihan diksi lagu.

Melihat Persoalan Gender dan Media melalui Pendekatan Ekosistem Media

Representasi perempuan di media dari dahulu hingga sekarang tidak jauh dari menampilkan perempuan sebagai objek komoditas dan bukan subyek yang serius. “Sejak dulu perempuan tidak pernah ditampilkan (representasi) dalam konten yang serius. Misal berita, kenapa perempuan presenter dan diatur sedemikian rupa?” Kata Iwan mempertanyakan. “Say no to objectification. Towards women, towards men, towards you, towards us,” imbuh Iwan.

Iwan memberi cara mengatasi persoalan gender di media kita. “Ini yang menjadi isu dari dulu. Ini sebenarnya cara yang baik untuk membangun media yang egaliter. Misalnya perempuan menjadi pemimpin media, menjadi sutradara, dan masuk ekosistem internal media,” kata Iwan menjelaskan.

Dahulu, publik sebagai audiens. Kini telah berubah. Saat ketika publik sudah bisa memproduksi media sendiri yang akhirnya disebut prosumen, maka publik juga seharusnya bisa mengingatkan dan melaporkan media untuk menghindari objektifikasi perempuan oleh media.

Mengapa penting menghindari objektifikasi? Jika media mengobjektifikasi perempuan, maka akan terjadi apa yang disebut Iwan sebagai double victimisation. “Jadi perempuan diupayakan tidak menjadi korban dua kali. Korban dari pelaku kekerasan seksual, bahkan juga korban oleh media karena ceritanya dipublish oleh media yang menjadikan perempuan korban dan komoditas jualan media,” jelas Iwan.