Tag Archive for: diskusi nadim

Keinginan adanya lingkungan hidup yang baik terkadang terbentur oleh kemampuan untuk mengelola lingkungan itu sendiri.

Deforestasi, sampah plastik, dan polusi menjadi masalah yang kerap terjadi dan sulit untuk diatasi.

Gery Cahya Peranginangin, Mahasiswa Ilmu Komunikasi UII, lewat Tugas Akhirnya, mengajak kita untuk menumbuhkan kesadaran bahwa lingkungan perlu kita jaga dan lestarikan agar kebermanfaatan alam dapat berjangka panjang melalui karya yang dibuatnya, berjudul “Makhluk Hidup dan Lingkungan dalam Karya Fotografi Konseptual”.

Oleh karena itu, kami mengundang semua sahabat PSDMA Nadim Komunikasi UII untuk hadir dalam diskusi terkait karya fotografi ini, agar terwujudlah pembaruan baik dari konteks akademis maupun praktis.

Jangan sampai tertinggal karena diskusi akan berjalan asyik dengan turut menghadirkan Achmad Oddy Widyantoro sebagai praktisi yang akan mengulas karya ini.

The fate of traditional markets has been underestimated. But the Perumda Pasaraya traditional market is just the opposite. However, after the pandemic, this market experienced a drastic decline. According to data from the Association of Indonesian Market Traders (APPSI), the sales turnover of traditional markets decreased by 35%. This condition makes traditional market managers must immediately make strategies to bring consumers back to the market.

The topic of the marketing strategy in this traditional market is research conducted by Amalia Nur Rachman. She is a Communication student in the Universitas Islam Indonesia (UII) class of 2017. On this occasion, Amalia shared her research results in a discussion held by the Center for Alternative Media Studies and Documentation (PSDMA) NADIM at the Department of Communications, UII on Thursday, July 29, 2021.

In her research entitled Strategy Integrated Marketing to Increase Shopping Enthusiasm at Traditional Markets, Amalia focuses on a traditional market in the Menteng area, Central Jakarta. The marketing strategy is not enough just to revitalize the market. But also carry out various more integrated marketing strategies.

Some of the elements used by Perumda Pasar Jaya are to promote by advertising both print and digital. Amalia explained some examples of advertising by way of promotional prints for paid advertising products, printing banners and posters. Meanwhile, digital promotion with a totem video wall for events to be held. In addition to these advertisements, Perumda Pasaraya also activates four official social media accounts to publish events that will be or have already been held.

Perumda Pasaraya also conducts personal selling and other promotions by organizing an event, shopping tourism year, basic food bazaars for local residents, providing discounts, coupons, gifts.

Corporate Social Responsibility (SCR) efforts are also carried out by the Public Relations (PR) of Perumda Pasaraya. Early Childhood Education Center for local residents and traders, assistance for disaster victims, MSME centers, atmospheric control machines to prolong the age of vegetables, onions and chillies, free health checks, giving masks, hand sanitisers, face shields and socialization of health protocols, building 40 food barns, and managing rubbish.

 

Nasib pasar tradisional selama ini dipandang sebelah mata. Tapi parasr tradisional Perumda Pasaraya justru sebaliknya. Hanya saja, setelah pandemi pasar ini mengalami penurunan drastis. Menurut data Asosiasi Pedangan Pasar Seluruh Indonesia (APPSI), omset penjualan pasar tradisional menurun hingga 35%. Kondisi ini membuat pengelola pasar tradisional harus segera membuat strategi untuk kembali mendatangkan konsumen ke pasar.

Topik Strategi pemasaran di pasar tradisional ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Amalia Nur rachman. Ia adalah mahasiswa Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII) angkatan tahun 2017. Pada kesempatan ini Amalia berbagai hasil penelitiannya dalam diskusi yang diadalakan oleh Pusat Studi dan Dokumentasi Media Alternatif (PSDMA) NADIM Ilmu Komunikasi UII pada Kamis, 29 Juli 2021.

Dalam penelitian berjudul Strategi Pemasaran Terpadu untuk Meningkatkan Antusiasme Berbelanja di Pasar Tradisional ini, Amalia fokuskan di sebuah pasar traditional di area menteng, Jakarta Pusat. Strategi pemasarannya tidak cukup hanya sebatas melakukan revitalisasi pasar saja. Tapi juga melaukan berbagai strategi pemasan yang lebih terintegrasi.

Beberapa elemen yang digunakan Perumda Pasarjaya adalah melakukan promosi dengan beriklan baik cetak mapun digital. Amalia menjelaskan beberapa contoh advertising dengan cara promosi cetak produk iklan berbayar, cetak spaduk dan poster. Sedangkan promosi digital dengan totem video wall untuk event yang akan diselenggarakan. Selain iklan tersebut, Perumda Pasaraya juga mengaktifkan media sosial sebanyak 4 akun resmi untuk mempublikasikan acara yang akan dilaksanakan maupun sudah.

Perumda pasaraya juga melakukan personal selling dan promosi lain dengan membuat event tahun wisata belanja, bazar semabako untuk warga sekitar, memberikan diskon, kupon, hadiah.

Upaya Corporate Sosial Responsibiity (SCR) juga dilakukan oleh Public Relation (PR) Perumda Pasaraya ini.  PAUD untuk warga sekitar dan pedangan, bantuan korban musibah, sentra UMKM, mesin kontrol atmosfer untuk memperlama usia sayuran, bawang dan cabai, Pemeriksaan kesehatan gratis, pemberian masker, handsanitizer, faceshiled dan sosialisasi protokol kesehatan, membangun 40 titik lumbung pangan, dan pengelolaan sampah.

Diskusi PSDMA Nadim Komunikasi UII

PSDMA Nadim edisi Juni mulai lagi. Nadim menghadirkan narasumber yang melakukan riset di klaster Komunikasi Visual. Diskusi bertajuk:

Dinamika Maskulinitas Iklan Kendaraan dalam Televisi

Jadwal:

Selasa, 29 Juni 2021

15.30 WIB

Pembicara:

Jamilatul Makrifah

Live Uniicoms TV dan Daring Zoom di Poster berikut:

Film production requires not only technical quality but also sensitivity to point-of-view and critical thinking. Perspective in seeing an issue is also crucial for filmmakers, especially women or gender, viewing topics and film production.

A filmmaker needs to understand women’s perspectives so that, in the end, a film is created that is sensitive to the interests of vulnerable groups such as women.

“The film method can be drawn on a very personal question: What if this incident happened to my sister. Or what if it happened to my mother, or a female member of my family,” said Kisno Ardi. He was a speaker at the screening and discussion of the film entitled ‘Whip in Aceh, the Veranda of Mecca’ on Friday, April 23, 2021.

This film screening and discussion resulted in the final project of director Nurhamid Budi Sutrisno, UII Student at Department of Communications, class 2017. This film raised the topic of the phenomenon and the other side of the caning punishment applied in Nanggroe Aceh Darussalam. This event is a routine discussion held by PSDMA Nadim UII at the Department of Communications.

Budi, Nurhamid’s nickname, said that he deliberately tried to take the point of view of social pressure experienced by people who were sentenced to caning. The social pressures ranged from being embarrassed in public to being ostracized and ostracized by society. “Supposedly if we used a woman’s perspective, we would not side with this exile. Imagine if our women’s families were in that position,” said Kisno, who is also a community activist cum documentary filmmaker.

So as a documentary filmmaker, Kisno said, filmmakers must present a new perspective on what we offer to society. So it is natural for documentary films to use one point of view.

“Unlike journalistic products, documentaries are not required to comply with journalistic rules, cover both sides, for example. However, journalism and documentary have something in common: factual,” said Kisno.

Kisno suggested to Budi that the filmmaker’s point of view and partisanship in the film should be seen. Even if necessary, the filmmaker must reflect events on themselves to make the filmmaker’s presence more accurate in understanding the film’s subject.

Therefore, it is crucial to understand and study the perspective of women as a form of siding with groups or community entities that are often disadvantaged. The filmmaker’s alignment with women and vulnerable groups is beneficial so that discrimination does not occur and repeat. Kisno hopes filmmakers should internalize this perspective because we have female family members and other vulnerable groups. Here is where the student’s filmmaker intelligence in working on the final project is tested.

 

Masih banyak stigma dari masyarakat yang berasal dari luar Aceh, menganggap bahwa hukuman cambuk adalah hukuman yang kejam, hukuman yang melanggar HAM, dan bahkan pelaku akan dikucilkan.

Melalui film dokumenter berjudul Cambuk di Serambi Mekkah, mari kita ketahui bersama bagaimana realitas berbicara tentang hukuman yang ada di sana.

Pemutaran dan diskusi film ini akan dilakukan esok hari, Jumat, 23 April 2021.

PSDMA Nadim Komunikasi UII.

Siapa yang menentukan berada di kelas sosial apa kita di masyarakat? Jawabannya bisa bermacam-macam. Salah satunya yang menentukan adalah majalah musik. Majalah musik mendefinisikan bahwa selera musik kita menunjukkan dimana level kelas kta dalam masyarakat. Masyarakat penyuka musik dangdut dan pop melayu adalah selera kelas bawah sedangkan rock, pop, dan jazz adalah selera kelas menengah.

 

Hal-hal tersebut diungkapkan oleh Kavca Diosaputra dari hasil risetnya dalam majalah musik Rolingstone Indonesia (RSI). Mahasisswa tingkat akhir Ilmu Komunikasi UII itu mempresentasikannya dalam rangkaian acara Webinar series episode 16 yang diselenggarakan oleh Pusat Studi dan dokumentasi media Alternatif (PSDMA) NADIM Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia pada Jumat, 16 April 2021.

 

Diosaputra yang kerap disapa Dio mengumpulkan arsip dalam rentang 12 tahun sejak 2005 hingga 2017. Dalam arsip majalah yang ia temukan wacana yang paing sering sering muncul adalah konser. Baik berita, review konser, persiapan, cerita dibaik panggung, kerusahan, dan lain sebagainya.

 

Dari artikel-artikel tentang konser di majalah RSI tersebut, Dio menarik beberapa ide pokok tentang apa itu konser. Konser dan musik adalah alat politik kelas menengah atas. Disini, konser adalah tempat melarikan diri dari rutininas keseharian (leisure). Rutinitas harian yang maksud adalah rutinitas antara rumah, keluarga, dan pekerjaan dalam ruang kantor. Yang artinya dalah pekerjaan yang bersifat formal, bukan pekerjaan di luar ruang seperti pedangan, supir, atau pekerjaan ain luar ruangan yang sering disebut pekerjaaan informal.

“Konsep-konsep dominan yang dibicarakan dalam majalah Rolling Stone Indonesia cenderung membicarakan kepentingan kelas atas”

-Kavca Diosaputra-

 

Dalam mendefinikan kelas menengah selain melalui konser dan jenis musik tertentu, juga ditunjukkan melalui berita. Misalnya, artikel yang menggangkat musik dangdut dan pentas panggungnya. Konser dangdut selalu diidentikkan dengan kerusuhan dan mabuk. Selain itu, diksi yang digunakan selalu menggunakan kata ‘rakyat’ dan ‘selera rakyat’. Kata ‘rakyat’ selalu diidentikan dengan masyarakat kecil atau wong cilik.

 

Selain dari sisi pemilihan kata, mitos kelas menengah dalam majalah RSI juga terihat dari porsi tuisan dan mengedepankan subjek otoritas (misalnya: pemerintah) sebagai narasumber utama berita, bukan penonton ataupun pedangang, petugas kebersihan, dll.

 

Bukti selanjutnya adalah berkaitan dengan topik-topik artikel yang dibawa dalam majaah RSI. “Konsep-konsep dominan yang dibicarakan dalam RSI cenderung membicarakan kepentingan kelas atas,” tulis Dio dalam salah satu slide presentasinya.

 

“Misalnya pembicaraan tentang pariwisata musik. Ini terlihat lebih mengedepankan bisnis besar daripada membicarakan ekonomi kelas bawah.” Dari apa yang dibicarakan dapat terlihat dimana RSI memposisikan keberpihakan dan mewacanakan kelas tertentu.

Who determines which social class we belong to in society? The answers could vary. One of those who determine our social class  is a music magazine. Music magazines define that our taste in music indicates where our class level is in society. People who like dangdut and pop music belong to lower class tastes, while rock, pop, and jazz are middle class tastes.

These things were revealed by Kavca Diosaputra from the results of his research in the music magazine Rolingstone Indonesia (RSI). The final year student of Communication Studies UII presented it in a series of Webinar series episode 16 organized by the Center for Alternative Media Studies and Documentation (PSDMA) NADIM Communication Studies at the Islamic University of Indonesia on Friday, April 16, 2021.

Diosaputra, who is often called Dio, collected archives for a span of 12 years from 2005 to 2017. In the magazine archives he found that the discourse that appeared most often was concerts. Good news, concert reviews, preparations, stories on stage, riots, and so on.

From the articles about concerts in RSI magazine, Dio drew some main ideas about what concerts are. Concerts and music are tools of upper middle class politics. Here, the concert is a place to escape from the daily routine as a leisure time. Daily routines mean routines between home, family, and work in the office. Which means it is a formal job, not an outdoor job such as a tradesman, driver, or other outdoor work which is often called an informal job.

“The dominant concepts discussed in Rolling Stone Indonesia magazine tend to talk about the interests of the upper class”

-Kavca Diosaputra-

 

In defining the middle class apart from concerts and certain types of music, it is also shown through news. For example, articles about dangdut music and stage performances. Dangdut concerts are always identified with riots and drunkenness. In addition, the diction used always uses the words ‘people’ and ‘people’s tastes’. The word ‘people’ is always identified with the small community or wong cilik.

Apart from the choice of words, the myth of the middle class in RSI magazine is also seen from the writing portion and puts the subject of authority (eg government) as the main source of news, not spectators or traders, cleaners, etc.

Further evidence is related to the topics of articles carried in the RSI magazine. “The dominant concepts discussed in RSI tend to talk about the interests of the upper class,” Dio wrote in one of his presentation slides.

“For example, talk about music tourism. This seems to put big business ahead of the lower class economy.” From what was discussed, it can be seen where RSI is positioning partiality and discourse on certain classes.